Jumat, 03 Agustus 2018

Apa Pendidikan Pak Tua Penjual Batu?

Apa Pendidikan Pak Tua Penjual Batu?

Suatu kesempatan saya kedatangan seorang penjual batu. Batu yang dimaksud adalah batu asahan—batu yang biasa digunakan untuk mengasah pisau dan benda tajam lainnya. Berat batu itu diperkirakan bisa mencapai sepuluh kilo bahkan bisa lebih. Ia menawarkan batu itu kepada saya seharga Rp. 12.000 waktu itu. Sebelum membeli, saya bertanya kepada bapak tua itu "di mana tempat tinggalnya", kemudian beliau jawab dari Rangperang Dejeh. Sebuah desa yang jaraknya diperkirakan enam (6) KM kurang lebih dari rumah.

Bapak itu menjual batu dengan dipikul sejauh sampai di mana batu itu bisa laku. Dari desa ke desa, kampung ke kampung bapak tua itu menjajakan batu dagangannya. Jarak tempuh yang sangat jauh belum ditambah dengan keliling perdesa yang disinggahi.  Tentu, di masing-masing desa yang ia singgahi tidak mempunyai tujuan yang jelas, melainkan setiap rumah di desa itu adalah tujuannya. Hingga akhirnya secara acak bapak itu sampai di rumahku. 

Dengan rasa kasihan saya membeli batu yang dijual bapak tua itu. Yang semula bapak itu pasang harga jual Rp. 12.000 saya tawar Rp. 10.000, dengan penawaran dari saya akhirnya bapak itu mau menjualnya. Tetapi, saya harus membayarnya dengan harga Rp. 15.000. Selepas membeli, saya membayangkan waktu itu, seandainya saya disuruh membawa batu seberat itu dengan jarak seperti bapak tua itu dengan hadiah Rp. 50.000 rasanya saya tidak mungkin melakukan. Sementara bapak tua itu membawa dua batu besar dengan jarak cukup jauh yang belum tentu akan terjual. Sungguh, ini adalah pekerjaan yang serius dengan penghasilan yang main-main.

Ada sebagian manusia yang memang bekerja serius tapi penghasilannya main-main. Pun, manusia yang bekerja main-main tapi penghasilan serius. Hal seperti itu bisa saja kebetulan dan terjadi kepada sebagian orang saja, karena yang benar seharusnya jika bekerja serius penghasilannya harus pula serius. Tapi kalaupun hal serupa itu menjadi bagian dalam drama kehidupan di dunia ini, kita mau apa. Sebab, kita tidak punya hak memilih pekerjaan serius dengan bayaran serius pula.

Entah, apakah tanda tangan itu termasuk pekerjaan serius atau tidak, karena tidak sedikit tanda tangan bisa bernilai ratusan juta dan bahkan lebih.

Deskripsi di atas yang disebut dengan ketimpangan sosial. Ada banyak pihak yang berupaya memperkecil angka ketimpangan, akan tetapi sampai saat ini hal itu tidak menunjukkan tanda-tanda berhasil. Saya curiga saja bahwa keinginan itu hanya di atas kertas pada saat musim kampanye; tidak sampai tembus dalam hati untuk betul-betul direalisasikan. Lantas, dengan kejadian semacam itu, sistem mana yang mau disalahkan. Apakah sistem pendidikan kita; atau sistem ekonomi kita; sistem hukum, atau sistem yang mana.

Sepertinya sistem yang digunakan dalam kehidupan kita ini adalah kompetisi penuh. Dimulai dari pendidikan misalnya, kita tidak cukup peduli kepada sebagian orang yang tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan, sehingga ia tidak mendapatkan kesempatan kerja seperti kita. Sebab, jika pendidikannya sama seperti kita, maka ia akan menjadi batu sandungan bagi kita sebagai kompetitor dalam sebuah pekerjaan. Biarkan saja, yang bodoh makin bodoh dan yang pintar makin pintar.

Kalau begitu, masalahnya di pendidikan. Iyakah? Tingkatkan saja taraf ekonominya agar mendapatkan peluang untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, sehingga peluang kerja lebih mudah kalau sudah mempunyai pendidikan tinggi. Pertanyaan selanjutnya: bagaimana cara meningkatkan taraf ekonominya? Nah, itu dia! Sementara orang dengan pendidikan rendah, tidak mempunyai keterampilan yang memadai. Meski keterampilan tidak berbanding lurus dengan penghasilan, tetapi dengan keterampilan lebih memungkinkan hidup lebih layak.

Atau jangan-jangan ada pada supremasi hukum kita. Coba saja para koruptor itu dimiskinkan dan hasil jarahannya masukkan amil zakat—kenapa pilihannya amil zakat? Karena lebih mungkin untuk sampai kepada kaum papa. Atau sistem kita ada yang mengatur tentang batas kekayaan perseorangan, agar manusia-manusia serakah itu tidak seenaknya mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).

Wallahu a'lam!
Sampang, 03 Agustus 2018

0 komentar:

Posting Komentar