This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 31 Desember 2017

Ramah, Baik, dan Ta'dzim (RBT)

Ramah, Baik, dan Ta'dzim (RBT)

Ramah, baik, dan ta'dzim, merupakan sifat yang melekat pada diri manusia-meski tidak semua manusia mempunyai sifat demikian. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), ramah berarti baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan. Maka dengan demikian, tidak mungkin ada kambing tiba-tiba menjadi ramah. Kalau ada temannya bermain sesama kambing, ia bertutur kata dengan baik, sehingga menyenangkan bagi kambing lainnya.

Baik, lebih bersifat universal. Orang yang baik tentu dia akan menjadi orang yang ramah, tetapi orang ramah belum tentu dia baik. Sebab, instrumen kebaikan itu tidak hanya ramah, tetapi ada hal lain seperti bekerja (sepenuh hati) dan berbagi untuk orang lain (baca: rakyat), yang biasa disebut dengan 'Berbaur'. Dalam kebaikan, tentu ada sifat tertentu yang lebih dominan dalam pribadi seseorang, seperti sifat ramah itu sendiri.

Tentu, sifat baik itu juga identik dengan sifat manusia. Karena lagi, tidak mungkin ada sapi pada Hari Raya bagi-bagi daging kurbannya sendiri, atau karena ta'dzim dia datang pada seorang Kyai untuk disembelih. Atau saking ta'dzimnya pagi buta tanpa dibawa pemiliknya, ia pergi ke sawah untuk membajak sawah. Sungguh, sapi yang ta'dzim sekali.

Ta’dzim, dalam bahasa inggris dapat berarti “respect” yang mempunyai makna sopan-santun, menghormati dan mengagungkan orang yang lebih tua atau yang dituakan. W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa sikap ta’dzim adalah perbuatan atau prilaku yang mencerminkan kesopanan dan menghormati kepada orang lain terlebih kepada orang yang lebih tua darinya atau pada seorang kyai, guru dan orang yang dianggap dimulyakan.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap ta’dzim adalah suatu totalitas dari kegiatan ruhani (jiwa) yang di realisasikan dengan prilaku dengan wujud sopan-santun, menghormati orang lain dan mengagungkan guru.

RBT (Inggris: ring-back tone) atau nada sambung adalah suara yang diperdengarkan di jalur telepon oleh pihak penelepon setelah selesai melakukan pemanggilan dan sebelum panggilan dijawab oleh pihak yang dihubungi. Versi personal dari nada sambung disebut nada sambung pribadi. Nada sambung dapat berbeda-beda di setiap negara tergantung kebutuhan spesifikasi nada sambung di negara tersebut. (Wikipedia)

Sehingga, tidak usah kaget bila sedang menelepon, tiba-tiba di ujung sana ada suara Bang Rhoma Irama dengan "bujangannya", suara Mars PMII yang mendayu-dayu, atau bahkan shalawat yang dilantunkan dengan versi kosidah Ainada Ria. Sungguh menyenangkan sekali. Bahkan tidak sedikit orang, menelepon hanya dengan kepentingan ingin mendengarkan nada sambung ini. Nada sambung ini, membuat orang betah berlama-lama di ujung telepon meski lama tak diangkat.

RBT juga bermakna Ra Baddrut Tamam. Tokoh muda yang saat ini sedang naik daun; meramaikan kontestasi Pilkada Pamekasan, digandrungi banyak orang terutama kaum muda. Beliau dikenal sebagai sosok pemimpin muda yang ramah, baik, ta'dzim, cerdas dan murah senyum. Sudah banyak prestasi yang beliau dapatkan, mulai dari sebelum dan setelah menjabat sebagai DPRD Jatim. Beliau juga aktif sebagai sekretaris Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur.

Dan yang pasti, anda akan terpikat dan betah bila berlama-lama dekat beliau, terutama dengan senyumnya yang memukau yang tidak semua orang miliki. Sehingga, tidak berlebihan jika kita manaruh harapan besar kepada beliau untuk menjadi pemimpin di bumi gerbang salam ini. Dengan maksud untuk merubah keadaan Pamekasan menjadi lebih baik pada masa yang akan datang.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 28 Desember 2017

Tahun Baru Harusnya Lebih Baik

Tahun Baru Harusnya Lebih Baik

Tidak benar, jika upacara tahunan yang hampir menyerupai setan itu adalah warisan. Sebab, tempo dulu tidak banyak orang yang cukup mampu untuk membeli sepeda motor untuk dijadikan sebagai media konvoi seperti saat ini. Kalau pun ada jumlahnya sangat terbatas, itu pun hanya orang-orang elit kelas menengah ke atas. Sedang orang kampung hanya menjadi pemerhati dari jarak jauh. Bagi orang kampung, jangankan sampai memiliki, berpikir untuk memiliki saja tidak terbersit.

Seperti yang disampaikan oleh Soe Hok Gie, "Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, perubahan hanya soal waktu," dan dilanjutkan oleh seorang penyair Chairil Anwar, "Karena zaman tidak bisa dilawan". Betul saja, yang semula kendaraan sepeda motor hanya dimiliki sebagian orang, kini sudah hampir dimiliki oleh semua orang; yang dulu hanya ada di perkotaan, di kampung pun sudah hampir setiap rumah ada. Tidak hanya yang tua, bahkan yang muda sekali pun.

Iya, perubahan hanya soal waktu, karena zaman tidak bisa dilawan. Mau apa lagi. Mungkin karena aneka ragam produksi kendaraan sepeda motor yang sangat banyak dengan harga yang relatif murah yang menyebabkan semua kalangan bisa memiliki.

Persoalannya bukan terletak kepada berapa jumlah pengguna kendaraan sepeda motor. Tetapi lebih kepada kecenderungan yang ditimbulkan bagi orang-orang yang belum siap memanfaatkannya dengan baik dan benar. Semisal menjelang tahun baru. Banyak catatan yang perlu dievaluasi atas kecenderungan para pemuda dalam berkendara. Mereka berjalan bersama beriringan dan menyisakan sedikit jalan bagi pengendara yang lain. Sangat mengganggu sekali.

Sebenarnya, dalam konteks tahun baru dengan aneka ragam pernak-perniknya, generasi saat inilah yang memulai. Tidak ada budaya yang sama sekali diturunkan oleh para orang tua. Mereka berinisiatif merayakan tahun baru dengan cara-cara yang menurut mereka menyenangkan. Dengan aneka ragam asesoris yang dikenakan, mulai dari riasan wajah yang tidak kalah seram dibandingkan setan, pakaian yang pantas untuk orang yang sudah meninggal; warna rambut yang tidak kalah macam dengan cat tembok, dan menyorong seperti bulu ayam mau tarung; wajah yang mirip vampir, dan lain sebagainya.

Dan dapat dipastikan, jika tidak segera diantisipasi budaya semacam ini akan menjadi budaya yang akan diwariskan secara turun-temurun. Semua elemen bisa mencegahnya, baik itu kepolisian, tokoh masyarakat dan lain-lain. Sebab, hal semacam ini lambat atau cepat akan merusak generasi bangsa.

Bisa dibayangkan, jika anak gadis harus pulang lebih dari jam 00.00 WIB. dan tidak sendirian pula, dia bersama teman laki-lakinya.

Yang paling jelas dari sekian banyak yang akan disampaikan, perlu disampaikan bahwa merayakan tahun baru dengan konvoi itu tidak baik dan tidak ada manfaatnya.

Wallahu a'lam!

Proppo, 01 Januari 2017

Selasa, 26 Desember 2017

Jeremy Teti Keranjingan LGBT

Jeremy Teti Keranjingan LGBT

Sampai sekarang saya masih muak bila mengingat pernyataan, Jeremy Teti yang mengatakan, untuk melanjutkan keturunan bagi kaum LGBT dengan meminjam rahim. Pernyataan itu tidak hanya melabrak hukum sosial, tetapi melabrak hukum positif dan hukum agama sekaligus. Bagaimana mungkin orang yang tidak suka perempuan, mau menitipkan sperma di rahim perempuan; bagaimana caranya. Kacamata yang digunakan sepertinya memang untuk kaum gay, karena mungkin yang bersangkutan sempat memikirkan tentang dirinya dan mewakili kaumnya. Sedangkan untuk lesbian tidak sempat ia pikirkan bagaimana cara mendapatkan keturunan. Asu dahlah!
 
Sungguh menjijikkan. Secara universal, kita (baca: bangsa Indonesia) mengakui bahwa lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) ada sesuatu yang menjijikkan. Bagaimana tidak, kalau pentungan harus dipertemukan dengan sama pentungannya. Hewan saja tahu mana kawan dan mana lawan. Ayam misalnya, belum pernah melihat berhubungan sesama jenis, termasuk hewan yang sulit dibedakan jenis kelaminnya sekalipun seperti love bird. Nah, manusia yang punya akal malah tidak bisa bedakan mana pasangannya dan yang bukan.

Menjikkan tetap saja menjijikkan. Jijik adalah sifat dasar dari manusia pada saat menemukan sesuatu yang tidak disukai: baik ia tidak disukai karena berseberangan dengan norma-norma, atau memang jenisnya yang menjijikkan. Dalam kaidah fikih, haram hukumnya bagi orang yang memakan sesuatu yang menjijikkan, meskipun bagi orang yang merasa tidak jijik kepada sesuatu yang menjijikkan itu sekalipun. Hal itu tidak akan merubah sifat dasar dari sesuatu yang jijik itu.

Kalaupun ada sebagian orang mampu merubah persepsi tentang LGBT bahwa hal itu bukan sesuatu yang menjijikkan, maka hal itu tidak berarti merubah sifat dasar kejijikannya. Jadi, kalau hanya bagi sebagian orang yang dianggap tidak menjijikkan, dan akan membuat semua orang muntah (kecuali bagi LGBT), maka LGBT ini wajib hukumnya dimusnahkan dari muka bumi, sebelum kita semua yang musnah secara alamiah. Musnah karena tidak ada hubungan biologis yang akan melahirkan keturunan, atau musnah karena Tuhan merasa tidak dihargai sebagai penciptanya.

Tidak hanya menjijikkan secara sosial, LGBT juga melahirkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan. Menurut, Prof. DR. Abdul Hamid Al-Qudah, bahwa bahaya yang ditimbulkan dari LGBT bagi kesehatan adalah terjangkitnya penyakit kelamin menular; dan itu terjadi pada 78% pelaku homo. 

Kemudian dari penelitian yang dilakukan Cancer Research di Inggris, mendapatkan sebuah hasil bahwa homoseksual lebih rentan terkena kanker. Dan hasil akhir penelitian bahwa gay dapat dua kali lebih tinggi terkena resiko kanker apabila dibandingkan pria heteroseksual (normal). Terdapat beberapa jenis kanker yang rentan akan dialami oleh para pelaku LGBT. Seperti: kanker anal (dubur), kanker mulut, meningitis (radang selaput otak), HIV/AIDS, hepatitis, dan infeksi Chlamydia. Bagi lesbian, Wanita lesbian punya masalah kemampuan ketahanan tubuh yang lebih lemah untuk menghadapi kanker.

Dampak lainnya yang akan terjadi pada LGBT adalah dampak sosial, dampak pendidikan, dampak keamanan, dan pemusnahan. Daripada dimusnahkan, bukankah lebih baik kembali ke jalan yang benar. Menjalani hidup dengan normal, tidak membentur kelaziman kodrat, dan norma. Karena yang demikian itu pasti lebih nyaman dan damai. Dikucilkan manusia di dunia masih belum seberapa, daripada kelak dikucilkan Tuhan di akhirat.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 26 Desember 2017

Senin, 25 Desember 2017

IKA, NU dan Pengabdian

IKA, NU dan Pengabdian

Menyatukan keberagaman dalam bingkai kebersamaan; melebur dalam satu ideologi tanpa disekat oleh sebuah profesi yang satu dengan lainnya. Tidak berbicara tentang strata sosial, yang dapat memicu kelas sosial. Yang bukan saudara menjadi saudara; dan jika ada saudara menjadi orang lain, tidak berlaku di tempat ini. Semuanya sahabat tanpa pandang bulu.

Strukturisasi persahabatan dan persaudaraan ini sebagai upaya memperat yang renggang; mendekatkan yang jauh; mengingatkan yang terlupakan; menyambung yang terputus; dan memperkenalkan yang tidak tercatat. Minimal ini adalah kerja nyata awal yang sempat terelisasi dalam semangat kebersamaan itu. Selebihnya dipikirkan kembali untuk kegiatan lainnya.

Ikatan Keluarga Alumni PMII Cabang Pamekasan, atau yang sering disebut dengan IKA, ingin melompat lebih tinggi dan menjadi bagian yang tercatat dalam sejarah perubahan di Kabupaten Pamekasan. IKA tetap menjadi wadah yang steril dari segala bentuk kepentingan secara kelembagaan, tetapi tidak menutup ruang afiliasi personal dalam segala aspek kehidupan sosial, yang endingnya bermuara pada penguatan ideologis.

Kegiatan dialog yang digelar, sebagai penguat Sumber Daya Manusia, adalah langkah awal sebagai salah satu cerminan akan pentingnya nilai-nilai akademis dalam setiap merealisasikan kegiatan di masa yang akan datang. Menyimak sambutan sekretaris Pengurus Wilayah IKA PMII Jawa Timur, yang menjelaskan bahwa, IKA ke depan tidak boleh bergerak seperti model-model yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hanya berkutat pada persoalan aksi dan audiensi.  Namun, juga harus bergerak menyesuaikan dan melihat kepentingan masyarakat. Lebih peka terhadap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Tidak kalah penting sambutan yang dilakukan oleh Pengurus Besar IKA PMII pusat, yang menjelaskan bahwa, akhir dari segala pengabdian di PMII dalam segala jenjang, adalah bagaimana akhirnya mampu membesarkan Nahdlatul Ulama (NU). Sebab kader yang sudah berproses di PMII sudah 60% menguasai ideologi Ahlussunnah waljamaah. IKA menjadi tidak penting jika hanya dijadikan tempat berkumpul saja, jika tidak diproyeksikan sebagai wadah yang akan melahirkan kader NU yang siap menjadi bagian untuk menjaga ahlussunnah waljamaah dan NKRI.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 26 Desember 2016

Minggu, 17 Desember 2017

Kacamata Hablun Minannas

Kacamata Hablun Minannas

Sebelum berangkat, saya mendapati kacamata model punya Bung Karno, di dapur. Kacamata berwarna agak kekuningan di bagian kacanya yang sudah beret dan gagangnya patah-tetapi patahannya masih menggelantung-sebelah itu saya coba. Seketika itu saya merasa lebih ganteng dengan pakai kacamata. Karena gagangnya sudah betul-betul patah, pikiran saya terbersit untuk membeli di pasar kalau nanti sudah sampai di tempat tujuan. Tujuan saya ke bengkel, karena ipar saya telpon kalau tutup timing bel yang rusak akibat kecelakaan istri saya itu sudah dapat.

Sesampainya di bengkel, saya letakkan sepeda motor saya, kemudian bergegas ke pasar tempat ipar saya jualan. Karena tadi punya niatan untuk membeli kacamata, saya pamit sama kakak ipar saya. Lalu keliling pasar untuk mencari penjual kacamata. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkan penjual kacamata, saya mendekat untuk memastikan ada yang cocok atau tidak.

Setelah saya coba beberapa. Lalu saya mencoba mengakrabkan diri dengan sang penjual dengan bertanya, "Sampèan dàri kakdimmah?" (Anda dari mana?) Penjual itu menjawab dengan sangat ketus sekali, "Marah padhàddhih ghàlluh kacamatanah, marènah la atanyah!" (Mari jadikan dulu kacamatanya, habis ini pas tanya) maksudnya jadikan dulu traksaksi kacamata itu. Deng, deg deg deg, kepala seperti dipukul pakai galon dan hati berdegup kencang seperti orang yang sedang berpapasan dengan orang yang disukai. Saya merasa sangat malu sekali, seperti tidak dihargai sama orang itu.

Karena saya bersama ponaan. Dengan kesal saya bilang sama ponaan saya, "Dhulih kakèh nyarèh se kemmaah bhàih!" (Segera kamu cari yang mana saja) instruksi saya kepadanya. Dengan tanggap dia mengambil satu, "Nikah ghi?" (Ini ya?) Saya bilang, "Paca'en!" (Terserah!) Hingga beberapa kali dia menunjuk dan saya tetap bilang terserah. Hingga akhirnya dia menjatuhkan sebuah pilihan. Setelah kecamata didapatkan (yang cocoknya pada dia, bukan saya), saya bertanya, "Sanapah arghànah? (Berapa harganya?) Dia jawab, "Tiga puluh ribu". Ponaan saya langsung membayarnya dengan instruksi saya.

Setelah dibayar, tanpa pamit saya langsung pergi dari tempat itu. Dalam hati menggerutu, "sepertinya orang itu tidak akan bertahan lama berjualan". Ponaan yang tahu saya sedang kesal, dia cengar cengir. Akhirnya saya kembali ke toko kakak ipar saya, lalu saya bercerita tentang kejadian itu. Dia senyam senyum, lalu istrinya menyampaikan kalau dia itu masih famili jauhnya. Dan ternyata, orang itu sudah sepuluh kali nikah talak.

Untuk meringankan kemarahan saya, lalu saya cerita juga kepada istri saya. Dia pun bilang kalau orang itu memang sedikit kurang.

Kejadian ini semacam ujian bagi saya. Bagi orang yang sering bercerita panjang lebar tentang Hablun minannas (hubungan manusia dengan manusia, dalam sebuah kegiatan), saya sampaikan bahwa keberagaman karakter manusia adalah sebuah keniscayaan dan tidak perlu diseragamkan. Bahwa kemiskinan dan kekayaan; kebodohan dan kepandaian itu adalah cara Tuhan untuk menciptakan keseimbangan. Jika semuanya kaya, petani tidak ada, dan yang kaya makan apa; pun, jika semuanya bodoh, mau belajar sama siapa, dan siapa yang akan membuat kapal.

Bagi Tuhan yang menjadi standardisasi kabaikan itu bukan kekayaan atau kepandaian, tetapi ketakwaan. Dan ketakwaan itu sendiri tidak berbanding lurus dengan harta benda, dan mental seseorang. Tidak berarti orang kaya dianggap lebih baik sehingga lebih mudah masuk surga; pun, orang yang angkuh tidak membuat Tuhan takut untuk memasukkannnya ke dalam neraka. Meskipun begitu, kemarahan saya tidak kunjung reda dengan pemahaman itu.

Sehingga atas dasar itu kita harus menjaga keseimbangan dengan cara saling menghargai, termasuk menghargai dan memahami seseorang yang pemarah. Sebab, semua orang mempunyai latar belakang yang berbeda, sehingga melahirkan karakter yang berbeda pula. Kalau semuanya lemah lembut, tidak ada panglima perang. Kalau tidak harus penglima perang, setidaknya orang berkapasitas sebagai satpol PP. Agak garang begitu, biar orang nurut perintah.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 17 Desember 2017

Kamis, 14 Desember 2017

Pilkada butuh Representasi Masyarakat Utara

Pilkada butuh Representasi Masyarakat Utara

Kabupaten Pamekasan adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur. Luas kabupaten Pamekasan adalah 732,85 km2 dengan populasi total 818.662 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai 1.117,09 jiwa/km2. Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 kecamatan, yang dibagi lagi atas 178 desa dan 11 kelurahan.

Berdasarkan penampakan yang bisa kita amati secara kasar melalui peta yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten Pemekasan, nampak kita lihat bahwa titik tengah kabupaten Pamekasan diperkirakan ada di Desa Bulangan Haji kecamatan Pegantenan. Seandainya kabupaten Pamekasan dibelah menjadi dua bagian maka garis belah itu ada di sebelah selatan sedikit dari kecamatan Pegantenan. Jadi kecamatan Pegantenan ada di sebelah utara garis yang ditarik memanjang dari ujung timur ke barat.

Berdasarkan demografi, maka kecamatan di Kabupaten Pamekasan dapat dipetakan menjadi beberapa kecamatan ada di sebelah utara garis tengah dan di sebelah selatan garis tengah. Beberapa kecamatan yang berada di utara garis tengah adalah: kecamatan Pegantenan, Pakong, Waru, Batu Marmar, dan Pasean. Sedangkan yang ada di sebelah selatan garis tengah adalah: kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Proppo, Pademawu, Galis, Larangan, Kadur, dan Palengaan.

Namun apabila diukur dari pendopo kabupaten Pamekasan sebagai pusat pemerintahan, akan dijumpai bahwa garis tengah pun lumayan jauh dari pusat pemerintahan, apalagi yang berada di utara garis tengah. Dan apabila pendopo sebagai pusat administrasi daerah kita asumsikan sebagai titik tengah maka akan ditemukan ketidak seimbangan yang luar biasa, karena kecamatan yang ada di sebelah selatan pemerintahan daerah hanya satu, yakni kecamatan Tlanakan. Selebihnya, mayoritas ada di utara pemerintahan daerah.

Maka atas dasar itu, penting sekali bagi para tokoh yang kompeten dan mempunyai kebijakan, untuk mempertimbangkan keterwakilan masyarakat bagian utara dalam bursa Pilkada kabupaten Pamekasan. Hal itu dimaksudkan, untuk memperkecil kesenjangan pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) antara utara dan selatan. Karena bagaimana pun dengan adanya keterwakilan masyarakat bagian utara dalam puncak pimpinan dalam pemerintahan, pasti daerah utara akan lebih diperhatikan. Sebab, ia akan berpikir bagaimana daerah tempat kelahirannya tidak jauh tertinggal dengan daerah lain.

Dalam banyak hal, baik dalam sektor pendidikan, ekonomi, infrastruktur, dan lainnya, daerah utara masih jauh tertinggal. Kalau mungkin, maka penting masyarakat bagian utara untuk memperjuangkan bagaimana ada keterwakilan di puncak pimpinan dengan pertimbangan populasi masyarakat dan luasnya wilayah bagian utara. Dalam pada ini, para tokoh bagian utara yang tahu. Entah, bagaimana caranya.

Jika pada kesempatan kontestasi hari ini masyarakat utara tidak dapat kesempatan, maka hal ini harus diperjuangkan untuk masa yang akan datang. Dan jika untuk saat ini mendapatkan kesempatan, maka sepantasnya hal itu untuk tidak disia-siakan. Karena rasanya sulit sekali orang lain memikirkan nasib anda, jika bukan anda sendiri yang memperjuangkan. Pantura tidak kekurangan tokoh, hanya mungkin kesempatan yang belum ada. Demi kemajuan masyarakat utara, semoga Tuhan memberikan jalan.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 14 Desember 2017

Senin, 11 Desember 2017

Sumenep; Insiden itu Pasti Ada

Sumenep; Insiden itu Pasti Ada

Beberapa saat setelah maghrib, tiba-tiba hand phone (HP) saya berbunyi. Saya melihat ada nomor baru yang masuk. Setelah saya angkat, ternyata ada suara istri saya di ujung sana dan sepertinya dia sedang panik, dan menyampaikan bahwa dia kecelakaan. Dia meminta saya untuk segera menyusulnya ke tempat kejadian perkara (TKP). Iya, dia baru saja mengantar ponaannya kembali pondok, di Panyeppen sana.

Saya bergegas ke tetangga mencari pinjaman sepeda motor dengan sendi tangan dan kaki gemetar lunglai. Untung, ada yang siap mengantar setelah saya beri sedikit pengantar. Sesampainya di TKP, kerumunan orang berada di antara istri dan sepeda motor saya. Pertama, saya lihat istri saya, setelah saya pastikan tidak ada cidera yang berarti, berikut saya periksa sepeda.

Setelah dapat dipastikan semuanya baik-baik saja-dalam pemeriksaan kasar-istri saya dibawa pulang. Menyusul saya yang membawa sepeda di belakangnya. Sekelebat sepeda di depan sudah hilang, dan dalam jarak kurang lebih 200 M (dua ratus meter) dari TKP, tiba-tiba sepeda mati. Terpaksa numpang berteduh dan shalat di rumah terdekat, setelah itu telpon untuk dijemput.

Pemeriksaan lebih lanjut dilakukan. Ternyata tutup sabuk (rantai pada sepeda nonmetik) bolong dibagian belakang. Akhirnya, terpaksa harus ditarik dengan kendaraan yang lain sampai di rumah. Sampai di rumah saya lihat istriku sedang menikmati luka-lukanya. Selesai!

***
Dalam kasus ini ada dua hal yang ingin saya perbincangkan. Pertama, tentang salah satu komponen sepeda motor yang rusak dan perlu diperbaiki; kedua, salah satu organ tubuh istri saya yang terluka dan butuh dirawat. Keduanya perlu dirawat dan diperbaiki, karena masih lebih banyak yang baik daripada yang rusak. Namanya sebuah insiden, terjadi begitu saja dan tidak ada yang mau.

Pun kejadian di Sumenep. Dalam konteks kabupaten Sumenep dengan seluruh komponen yang ada di dalamnya, kalau dalam kondisi tertentu ada salah satu komponen yang rusak akibat sebuah insiden, maka hal itu menjadi tugas bersama untuk memperbaikinya. Jangan semua berlari sambil mencaci-maki, tetapi harus ada yang mendekat sambil memperbaiki. Sebab, apabila hal itu semakin ditinggalkan, maka kerusakan akan menyebar kepada komponen yang lain.

Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin bagaimanapun redupnya. Sembuhkan luka itu oleh seluruh komponen yang masih merasa waras; seluruh tokoh berkenan untuk bersatupadu untuk memperbaiki guna mencegah keburukan lebih lanjut. Saya masih yakin bahwa Sumenep itu masih lebih banyak yang utuh daripada yang luka.

Wallahu a'lam!

Sampang, 10 Desember 2017

Minggu, 10 Desember 2017

Rejeki, Dicari dan Diberi

Rejeki, Dicari dan Diberi

Kalau kita mau menggunakan nalar secara manusiawi, dari mana dasarnya orang yang berjualan keliling itu bisa laku bila berjualan dekat pasar dengan harga yang lebih mahal. Manusia ya tetap manusia, yang tidak mempunyai kuasa untuk memberikan rejeki kepada manusia lainnya. Mereka hanya diberi kuasa sebagai media untuk mengalirkan rejeki dari Tuhan. Tuhan sang pemberi rejeki itu tidak pernah melihat tempat, Dia memberi rejeki kepada manusia yang mau ikhtiar.

Agar tercipta keberimbangan dalam menjalani kehidupan ini, Tuhan mendistribusikan rejeki dengan kuantitas yang berbeda sesuai dengan potensi dan kompetensi yang dianugerahkan oleh Tuhan itu sendiri. Tetapi tidak berarti Tuhan tidak memberikan rejeki bagi orang yang tidak bekerja. Kelebihan lain bisa Tuhan berikan dalam bentuk yang berbeda.

Rejeki Tuhan bisa berupa apa saja, dan tidak selamanya berupa materi. Bahkan sebelum materi, ada rejeki yang Tuhan berikan sebagai bekal untuk mendapatkan rejeki lainnya. Kesehatan dan kesempatan sebagai cikal bakal untuk mencari dan mendapatkan rejeki itu bagian dari rejeki yang maha besar, karena itu yang mendatangkan rejeki lain. Bahkan dalam keadaan kita sedang berpikir tidak mempunyai apapun, pada saat itu sebenarnya berada dalam keadaan mempunyai rejeki. Karena berpikir itu adalah anugerah dari Tuhan.

Lantas, adakah manusia di muka bumi ini yang tidak ketiban rejeki? Tentu, tidak ada. Selama kita masih hidup berarti Tuhan juga menurunkan rejekinya bagi kita. Kita tinggal melihat ujung rambut sampai ujung kaki; pikirkan juga tentang organ tubuh dan fungsinya. Maka nikmat yang mana lagi yang kamu dustakan. Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur, karena dengan bersyukur nikmat Tuhan akan bertambah. Tidak berarti materi tetapi nikmat. Sebab, tidak selamanya materi membawa kenikmatan.

Sebaiknya seperti apa memosisikan rejeki yang kita miliki. Konsep keberimbangan harus menjadi dasar bagi kita untuk berbuat baik. Tuhan memberikan keterbatasan bagi yang satu dan memberikan keberlimpahan bagi yang lainnya. Tuhan juga memberikan kesempatan bagi yang satu dan kesempitan bagi lainnya. Itu artinya, kita berupaya memosisikan diri mengisi kekurangan orang lain dengan kelebihan yang kita miliki. Begitu pun kesempitan yang terjadi pada diri kita dijadikan sebagai manfaat bagi kesempatan orang lain. Dalam artian bagi-bagi rejeki dan pekerjaan.

Hakekatnya materi yang kita punya sebagai media untuk mempererat dan memperkuat hubungan sosial di antara kita. Bukan malah menambah kesenjangan sosial dengan cara membangun jarak yang jauh dengan manusia lainnya.

Penguasa, penguasa, berilah hambamu uang, beri hamba uang.

Sampang, 10 Desember 2016

Jumat, 08 Desember 2017

Memang Tidak harus Sama

Memang Tidak harus Sama

Ketika hendak tidur, ada beberapa nyamuk yang dengan sengaja mengerumuni telinga. Dengan bunyinya yang serupa saronen (Madura; alat musik seperti seruling yang ditiup dari depan) sangat mengganggu gendang telinga, meski tidak sampai memecahkan gendang telinga. Tidak hanya berbunyi, kalau ada kesempatan, ia mencuri pandang cari perhatian, kemudian menggigit seenak udelnya. Terlalu! Kalau penghuninya tertidur, ia menimba darah dan mengganti dengan zat yang membuat alergi. Jadilah kita bentol dan gatal.

Sebagai manusia yang dianugerahi kesabaran yang minim, tangan pun mulai mengibas dengan pola yang tidak beraturan. Sepertinya, di antara sebagian nyamuk ada yang kena tempeleng, ia pun terbang menjulang semampunya. Hampir menyusul langit-langit rumah. Maklum, sebatas itulah kemampuannya, karena ia dianugerahi sampai di situ kemampuan terbangnya, disesuaikan dengan posturnya barangkali. Kalau terlalu tinggi kemungkinan takut dibawa angin atas yang mengakibatkan tidak tahu jalang pulang. Kasihan sekali!

Tentu, tidak sama seperti Super Man, Iron Man, dan Man Man yang lain. Mereka (manusia super) mempunyai tingkat kemampuan yang tinggi dalam urusan terbang, dan bahkan jam terbangnya sudah cukup tinggi untuk mencegah kejahatan. Apalah arti seekor nyamuk. Hanya bisa terbang di area bebas puting beliung. Sejak kapan si beliung punya puting. Ah, entahlah. Tanya saja pada rumput yang bergoyang.

Saya akhirnya kurang paham, apakah keberagaman kemampuan itu berlaku bagi satu spesies. Semisal manusia dengan manusia lainnya; kambing dengan kambing lainnya; merpati dengan merpati lainnya. Oh, tidak. Waktu saya di lapangan lomba merpati ternyata ada pemenangnya. Itu artinya, yang satu dengan lainnya mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda. Kalau tidak, pasti tidak ada pemenangnya.

Kalau begitu, ini juga berlaku bagi manusia. Ada manusia yang dianugerahi kemampuan yang luar biasa. Meski kemampuan yang satu dengan lainnya berbeda-beda. Ada yang pandai bernyanyi, pandai ilmu politik, pandai ilmu agama, pandai ilmu budaya dan pendidikan; dan bahkan ada yang tidak diberi kepandaian apapun oleh Tuhan. Nah, bagi yang sama-sama diberi kepandaian ini, bagaimana untuk menentukan kemenangannya.

Bagi yang pandai berpolitik, mungkin kemenangannya terletak bila dia terpilih sebagai pemimpin. Selain itu, pendapatan kursi di parlemen lebih banyak dari yang lainnya. Terus, kemenangan orang yang pandai ilmu agamanya itu kemenangannya di mana? Saya tidak yakin, bahwa kemenangan dalam beragama itu adalah lahirnya perpecahan; saling caci maki di atas perbedaan. Pengalaman hidup dan kemampuan manusia tidak sama, nikmati saja perbedaan. Kalau harus semua disamakan sesuai dengan keinginan kita, itu sesungguhnya keluar dari sunnatullah.

Dalam ilmu psikologi dijelaskan, bahwa manusia itu makhluk yang unik. Keberagamannya tidak harus diseragamkan. Keseragaman akan menimbulkan stagnasi dalam kehidupan. Tidak ada yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain.

Wallahu a'lam.

Sampang, 09 Desember 2016

Kamis, 23 November 2017

Warna NU dalam Kekuasaan

Warna NU dalam Kekuasaan

Kurang besar apa Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi yang sudah mendunia dan terbesar di dunia ini menunjukkan sebuah fakta yang bahkan semut pun tidak bisa membantah. Bagaimana NU mampu mencetak kader terbaik untuk menjadi bagian dari proses lajunya negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai dari level yang paling rendah sampai paling tinggi. Dari tingkat pusat sampai daerah. Mulai dari Indonesia belum merdeka sampai saat ini (baca: zaman now).

Berbicara laju negara tidak lepas dari kekuasaan dalam sebuah pemerintahan. Sebab yang dibutuhkan adalah kontribusi dalam setiap kebijakan. Bagaimana kebijakannya mampu memberikan perubahan yang lebih baik. Dan tidak perlu khawatir bahwa tinjauan yang digunakan dalam keputusan pasti berlandaskan pada dalil-dalil naqli selain dalil aqli. Karena kita tahu bahwa NU adalah organisasi sosial dan keagamaan. Selain negara kita juga bukan negara skuler, yang membiarkan negara berjalan sendiri tanpa intervensi norma agama.

Nah, maka penting kader NU bisa mewarnai proses-proses demokratisasi dalam setiap tingkatan, dan; sampai saat ini kader NU tetap mewarnai. Dalam pada ini, kita bisa melihat sendiri perbincangan di media sosial perihal Pilkada, baik tingkat provinsi atau tingkat kabupaten. Di tingkat Jawa Timur misalnya, yang sangat santer dibicarakan kalau tidak Gus Ipul (panggilan dari Syaifullah Yusuf) pasti Bunda Khofifah (panggilan Khofifah Indar Parawansa). Keduanya adalah kandidat terkuat dalam kontestasi Pilkada Jawa Timur. Lalu, siapa mereka? Mereka adalah kader NU. Iya, kader NU.

Kemudian kita tarik dalam konteks yang lebih sempit lagi, yakni Pilkada Pamekasan. Dalam Pilkada Pamekasan muncul dua tokoh yang sama-sama kuat, yakni KH. Kholilurrahman dan Lora Baddrut Tamam. Tidak perlu lagi dipertanyakan basic organisasinya di mana. Yang jelas para beliau adalah NU dan tidak diragukan lagi ke-NU-annya. Kader terbaik NU ini akan melenggang dalam kontestasi Pilkada Pamekasan untuk tahun pengabdian 2018/2023 mendatang. Kalau di media sosial ramai tentang tokoh atau figur dalam kontestasi Pilkada Pamekasan; saya pastikan tidak lepas dari kedua tokoh ini. Dan keduanya berdarah NU.

Mungkin keusilan anda akan bertanya-tanya, "Bagaimana kalau di pusat?" Jangan lupa, bahwa Wakil Presiden kita Bapak Yusuf Kalla adalah warga NU tulen. Masih belum yakin? Silahkan buka google, pasti akan mendapatkan pencerahan dari beliau (Mbah google). Meski tidak sampai presiden, tetapi cukup banggalah.

Tentu, kami bangga sebagai warga NU melihat kenyataan ini. Sebuah kenyataan yang memberikan penjelasan bahwa NU mampu memberikan warna yang terang dalam proses demokratisasi dalam semua tingkatan di Indonesia ini. Persoalan perbedaan karena banyaknya kader yang menjadi pilihan dalam sebuah kontestasi, itu bisa kita kembalikan kepada masing-masing personal. Karena dalam kaidah fikih pun ada khilafiyah yang melahirkan sebuah perbedaan, tapi tidak perpecahan.

Yang paling mengasyikkan, beberapa hari yang lalu Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammed bin Salman, mengatakan ingin kembali ke "Islam moderat" karena merupakan kunci dalam rencananya untuk memodernisir negara kerajaan itu. Artinya Arab Saudi akan mengadopsi Islam moderat yang di sini dikenal dengan Islam Nusantara yang diperkenalkan oleh NU. Akhirnya Arab Saudi gendeng NU untuk menerapkan Islam Nusantara di negaranya.

Sehingga, apabila ada sebagian oknum yang selama ini mengolok NU, mencacimaki seenak sendiri, sebaiknya bertanya pada hati kecilnya tentang apa yang sudah dilakukan sebagai kontribusi untuk memberikan perubahan yang lebih baik untuk negara ini. Karena NU sudah banyak berkontribusi sejak Indonesia belum merdeka.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 23 Nopember 2017

Kabupaten Pamekasan Butuh "Kota" (Iyakah?)

Kabupaten Pamekasan Butuh "Kota" (Iyakah?)

Sudah lazim, ketika ibu misalnya datang belanja dari Pamekasan, lalu ada yang bertanya, ibu akan menjawab, "Dâtêng dâri kottah" (datang dari kota). Termasuk bapak saya ketika dulu datang menarik becak dari Pamekasan, dan ibu ingin memberitahukan kepada saya, ibu akan mengatakan, "Cong, eppa'eh dâtêng dâri kottah," (nak, bapakmu datang dari kota). Sehingga akhirnya, ketika saya hendak pergi ke Pamekasan, saya pun mengatakan, pergi ke kota; atau ketika hendak bertemu dengan teman, bertemu di kota. Entah, untuk kepentingan ngopi bersama teman-teman, belanja barang kebutuhan, sekedar bermain, dan lain-lain, saya akan mengatakan sampai bertemu di kota.

Akhir-akhir ini santer di media sosial, bahwa perwakilan kita di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Pamekasan sedang membahas bahwa Pamekasan ingin dipecah menjadi kabupaten dan kota. Jadi kalau begitu, selama ini saya salah kaprah ketika menyampaikan istilah kota untuk Pamekasan dalam beberapa kesempatan. Karena sebenarnya, di Pamekasan itu secara resmi belum pernah menjadi kota. Tetapi bagaimana pula predikat yang selama ini disematkan pada Kabupaten Pamekasan ini. Mulai dari predikat kota pendidikan, kota budaya, kota gerbang salam, hingga Pamekasan sebagai kota batik.

Kalau misalnya, Pamekasan mau dipecah manjadi kota dan kabupaten itu sah-sah saja, dengan catatan tidak mengganggu fasilitas yang sudah dimiliki oleh Kabupaten. Bagaimana pun juga pada akhirnya, kota yang terbentuk itu tidak lagi menjadi bagian dari kabupaten Pamekasan, karena sama-sama menjadi daerah tingkat II di bawah propinsi Jawa Timur, dan secara administrasi juga terpisah. Jadi kalau DPRD berinisiatif untuk memecah Pamekasan menjadi kabupaten dan kota, berarti juga harus siap dengan segala konsekuensinya. Yakni menyiapkan dana sebanyak-banyaknya yang bukan bersumber dari APBD kebupaten Pamekasan. Ingat, kota itu berdiri sendiri tidak seperti kecamatan yang ada di bawah kabupaten.

Jangan sampai berpikir, bahwa kabupaten Pamekasan akan dicaplok sebagian termasuk infrastruktur yang sudah ada di dalamnya. Semisal kecamatan Pamekasan langsung mau dijadikan sebagai Kota, sedang pembangunannya dihasilkan oleh PAD yang notabene adalah milik kabupaten Pamekasan, mulai dari pantai utara sampai selatan. PAD yang mulai dulu dihasilkan dari Pantai utara sampai selatan untuk pembangunan kabupaten Pamekasan termasuk daerah perkotaan, tiba-tiba mau diakuisisi untuk kota yang baru yang tidak semua wilayah kabupaten masuk di dalamnya. Ini jelas sekali tidak baik.

Kalau hal itu terjadi sama saja dengan masyarakat Pamekasan memberikan jabatan atau kekuasaan termasuk fasilitas kepada seseorang yang entah itu siapa dan di mana saat ini. Ini tidak boleh terjadi, kita cukup berada dalam satu kekuasaan dan administrasi kabupaten. Tidak perlu wali kota yang entah akhirnya itu siapa dan dari mana.

Tentu, masyarakat akan keberatan jika hal itu yang dilakukan. Kecuali, mau memanfaatkan lahan kosong, dan segalanya dimulai dari sana, baik infrastruktur dan administrasi kota. Ini kami bisa menyebutnya dengan pengembangan. Tetapi jika yang sudah ada yang mau dimanfaatkan, itu berarti mau menghabiskan aset yang sudah dimiliki oleh Kabupaten Pamekasan, atas nama kerja keras yang sudah dilakukan oleh bupati dari masa lalu.

Tidak hanya itu, kesenjangan sosial pasti akan terjadi. Masyarakat non kota akan mendapatkan peluang lebih sempit dalam berbisnis, karena wali kota akan memprioritaskan masyarakat kota yang notabene adalah masyarakatnya sendiri. Akan muncul peraturan-peraturan baru yang akan memberatkan masyarakat desa dalam mengadu keberuntungan di kota orang lain pada saat itu. Iya, saat itu kota Pamekasan sudah bukan milik kita lagi orang kampung.

Kita tidak harus terjebak dengan kepentingan Madura Propinsi, sehingga harus mengorbankan kabupaten sendiri. Tanpa dipecah secara administrasi ataupun infrastruktur antara kota dan kabupaten, selama ini kami sudah menganggap daerah monumen Arek Lancor itu sudah kota. Kami (orang desa) juga masih butuh PAD dari hasil retribusi parkir dan sewa stadion.

Wallahu a'lam!

Sampang, 17 Nopember 2017

Kamis, 09 November 2017

Surat Cinta untuk KPUD Pamekasan

Surat Cinta untuk KPUD Pamekasan

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) membuka diri. Apabila dalam perjalanan proses seleksi calon Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) ada pelanggaran dan keputusan yang cacat secara hukum, maka Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Pamekasan memberikan ruang komplain kepada para pendaftar PPK untuk disampaikan dan ditindaklanjuti. Hal ini membuka peluang bagi kontestan yang tidak puas dan tidak lulus untuk mengganti posisi orang yang dianggap melakukan pelanggaran.

Komitmen itu dibuktikan, setelah KPUD Pamekasan mengumumkan penetapan hasil seleksi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), KPUD melalui ketua KPUD Pamekasan menyampaikan, "Jika memang ada yang melanggar aturan atau tidak sesuai aturan. Maka PPK terpilih tersebut bisa dieliminasi dan diganti calon yang lain". (Kilas Madura). Sip, Pak. Anda sungguh bijaksana.

Saya berdoa, semoga atas komitmen itu komisioner KPUD Pamekasan mendapatkan perlindungan dari Allah atas itikad baiknya dalam menyelenggarakan rekrutmen PPK; dan sebaliknya, apabila tidak amanah dan bekerja tidak sesuai dengan peraturan, semoga laknat Allah menyertai bapak. Tidak perlu takut pak, kalau bapak benar, Allah akan melindungi bapak, termasuk dari beberapa komplain masyarakat PPK yang akan terjadi.

Sebenarnya, saya tidak mau ikutan Pak untuk mengomentari hal ini. Namun setelah saya membaca kabar di media sosial, status dan komentar teman-teman di facebook, sepertinya ada yang janggal bin aneh. Contoh, ada status teman saya yang seperti ini, "Kok bisa ya? Tak mendaftar kok tiba-tiba lulus tes tulis lalu ikut tes wawancara? Ini mengacu pada aturan yang mana?" Ini namanya kan janggal, Pak. Kalau memang tidak mendaftar, hasil tes tulis itu datang dari mana. Namanya tidak mendaftar, berarti tidak ikut tes kan, Pak!

Teman saya juga ada yang cerita, katanya ada salah satu pengurus partai politik yang lulus rekrutmen PPK. Pada saat dia (teman saya) terdaftar sebagai anggota PPK, ia (pengurus partai) sebagai calon legislatif 2014. Ini mungkin butuh pembuktian lebih lanjut. Namanya juga cerita pak, bisa benar bisa salah. Tapi jangan lupa, orang tidak cerita kalau tidak terjadi. Kalau tidak ada menjadi ada, itu namanya hayalan, halusinasi dan mungkin mimpi.

Berikutnya, tentang tahapan. Setelah lulus administrasi, berikut dilanjutkan dengan tes tulis dan wawancara. Yang menjadi pertanyaan, wawancara itu berfungsi sebagai apa ya? Kalau untuk mengidentifikasi kemampuan seseorang, apakah tidak cukup dengan tes tulis. Ada sebagian teman, yang pernah berpengalaman menjadi PPK, lulus tes tulis malah tidak lulus di tes wawancara. Bagaimana cerita, pengalaman di pekerjaan yang sama kalah dengan 10 pertanyaan dengan orang yang belum berpengalaman. Kata, Cak Lontong, "Mikir!". Sepuluh pertanyaan mengalahkan pengalaman. Di sini saya merasa lucu.

Belum berbicara tingkat pendidikan. Ada yang tingkat pendidikannya di atasnya keok. Magister jatuh ditangan sajana. Kira-kira begitu kalau dijadikan judul film. ini hanya keluhan, pak. Maaf, soalnya kalau tidak ditulis unek-unek ini bisa tidak selesai sampai hari kiamat, mungkin sampai esoknya. Sekali lagi, saya mohon maaf, siapa tahu koreksi ini menjadi jalan hidayah. Karena di rumah ada anak dan istri yang menunggu hasil jerih payah kita, Pak. Darahnya adalah tanggung jawab kita.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 09 Nopember 2017

Senin, 06 November 2017

Felix Sauw Tester Politik Jawa Timur

Felix Sauw Tester Politik Jawa Timur

Beberapa hari terakhir ini, Indonesia khususnya Jawa Timur sedang dilanda oleh fitnah yang dahsyat. Massa Badan Otonom (Banom) NU Bangil yang meluruk Ustadz Felix Siauw yang akan mengisi pengajian akbar bertajuk Antara Wahyu dan Nafsu, di Masjid Manarul Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Sabtu (4/11/17), yang berakhir dengan gagalnya pengajian dimaksud, sedang diserang oleh beberapa kalangan.

Namun, aksi ini tidak semata-mata terjadi begitu saja, tetapi sudah melalui perjalanan panjang yang berakhir dengan permintaan penandatanganan tiga poin yang disodorkan pada Ustadz Felix: Pertama, menyatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia; kedua, tidak akan menyebarkan paham khilafah; ketiga, menyatakan keluar dari HTI. Tapi Ustadz Felix meninggalkan pengajian karena tidak mau menandatangani surat yang disodorkan Ansor Bangil.

Kenapa harus ada permintaan penandatanganan surat? Iya, karena beliau ustadz Felix adalah kader eks HTI yang sudah dibubarkan oleh pemerintah. Jangan sampai organisasi yang sudah dilarang oleh negara itu, masih menyuarakan ideologinya yang tidak sesuai dengan Pancasila di majlis-majlis. Karena itu tidak baik bagi kesehatan perjalanan NKRI.

Peristiwa ini sedang digoreng sedemikian rupa dengan berbagai macam argumentasi. Tentu, argumentasi itu masih bergantung kecenderungan kepada golongan mana orang itu berpihak. Bagi yang tidak pro dengan Banom NU, pasti ia akan memosisikan diri dijalur yang kontra terhadap gerakan Banser, pun sebaliknya bagi yang Ahlussunah wal Jama’ah akan memosisikan diri pada yang pro kepada gerakan Banser. Demikian itu, karena NU adalah ahlussunnah waljamaah.

Siapa sebenarnya Ustadz Felix Siauw? Inilah sedikit tentang profil beliau. Felix Siauw (lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 31 Januari 1984; umur 33 tahun) adalah seorang ustadz etnis Tionghoa-Indonesia. Ia menjadi seorang mualaf semenjak masa kuliah dan bertemu seorang aktivis gerakan Islam, Hizbut Tahrir Indonesia. Felix Siauw lahir dan tumbuh di lingkungan non-muslim. Ia mulai mengenal Islam pada tahun 2002, saat masih berkuliah di Institut Pertanian Bogor semester tiga.

Ingat, ia mengenal Islam sejak 2002. Entah, bagaimana cara seorang muallaf sampai sedemikian dipercaya ilmu agamanya melebihi Kyai pesantren. Oh, tidak!

Atas peristiwa ini, kacamata lain bisa kita gunakan untuk membedah unsur yang mungkin melatarbelakangi kejadian ini. Unsur politik misalnya. Felix Siauw dijadikan sebagai tester indikator keberpihakan masyarakat Jawa Timur kepada ideologi yang diusung, sehingga melahirkan klasifikasi masyarakat Jawa Timur yang cenderung kepada NU atau di luar NU.

Kemudian, muncul La Nyalla Mattaliti yang mencoba untuk menggiring masyarakat yang sudah mulai terkotak. Ambil bagian pada masyarakat yang tidak sepaham dengan gerakan Ansor. Lagi-lagi, agama menjadi isu empuk untuk dimainkan di Jawa Timur. Dalam pada ini, NU sudah dikuasai dua kader terbaiknya dalam kontestasi Jawa Timur, sehingga seakan non-NU menjadi bagian La Nyalla.

Konon katanya, Habib Rizieq, disebut tim La Nyalla, bersama para ulama dan habaib akan mendukung ikhtiar La Nyalla untuk memenangi pilgub di Jatim pada 2018.

"Insyaallah ana dan para ulama serta para habaib di Jatim akan mendukung antum. Insyaallah selama niat antum ikhlas karena Allah Ta'ala, kami semua akan mendukung. Apalagi antum berikhtiar untuk maju lewat Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Sudah benar itu," tandas Habib Rizieq, dalam sebuah kesempatan.

Munculnya dominasi kader NU dalam kontestasi politik Jawa Timur tidak membuat semua kalangan puas. Ada saja yang masih akan memanfaatkan isu agama di Jawa Timur yang notabene sudah dewasa dalam beragama. Semoga Jawa Timur dijauhkan dari aduk-aduk seperti DKI Jakarta beberapa tempo lalu.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 06 Nopember 2017

Sabtu, 04 November 2017

Perang Saudara dalam Bingkai NKRI

Perang Saudara dalam Bingkai NKRI

Pagi ini saya takut sekali. Yang seharusnya sejuk dengan angin sepoi dan udara segar, tiba-tiba menjadi panas. Sepertinya, Indonesia sudah tidak ramah lagi. Entah, apa penyebabnya. Apa mungkin, karena saya melihat detik-detik ambang kehancuran di negeri ini. Detik-detik di mana orang Indonesia akan bertemu dalam satu gelanggang; dengan sudut yang berbeda. Yang satu akan berteriak, "Allahu Akbar" dan yang lainnya akan berteriak, "Merdeka". Mungkin akan seperti negara lainnya yang sudah bubar duluan, negeri ini akan mengikuti jejak mereka. Nasionalisme akan dihadapkan dengan agama, yang tentu keduanya mempunyai penganut fanatiknya masing-masing dengan keterbatasan pengetahuan masing-masing tentang agama dan nasionalisme.

Peperangan yang akan terjadi ini bukan antar suku, agama, ras, etnis, golongan dan lainnya. Tetapi antar saudara yang pernah hidup bersama di atas nilai toleransi dan; orang tua mereka pernah berjuang bersama di atas Bumi Pertiwi ini. Kepentingan sebagian orang akan memorak-porandakan negeri tercinta ini dengan hasutan yang terselubung atas nama nilai-nilai. Agama yang selama ini anti kebencian menjadi terkesan sangat beringas sekali, seperti tidak ada maaf atas adanya sebuah perbuatan. 

Apa mungkin karena karena bangsa hari tidak pernah merasakan seperti apa rasa buah penjajahan dan peperangan yang berdarah-darah seperti yang dirasakan oleh para orang tua kita terdahulu sehingga kita mudah tersulut. Iya, jawabannya mungkin itu. Indonesia merdeka tujuh puluh tahun lebih yang lalu, sehingga sudah tidak ada lagi bangsa Indonesia yang mau menceritakan dengan wajah ketakutan detik-detik yang mencekam ketika suara bom dan peluru mendesing. Kesakitan yang tergambar pada wajah para pahlawan sudah terhapus oleh waktu. Ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai yang begitu menyakitkan, orang tua dan saudara meninggal di medan pertempuran.

Ketika perang betul-betul terjadi, siapa yang akan disalahkan. Oknum yang dengan sengaja mengompori masyarakat dengan membawa isu yang sangat sensitif di negeri ini dan juga; media yang telah dengan sengaja membesar-besarkan, mendramatisir keadaan demi kepentingan tuannya, yang wajib bertanggungjawab; kemudian kebodohan masyarakat itu sendiri, yang tidak bisa membedakan antara ada dan tidak adanya sebuah kepentingan dalam sebuah kejadian. Melihat peran media dalam moment seperti ini; memperkeruh suasana ini sangat besar sekali, sehingga jangan dimakan mentah tanpa dicerna terlebih dahulu apa yang sampai di hadapan kita. Semua informasi yang sampai kepada kita, selain orang yang ada di tempat kejadian adalah media yang menyampaikan. Ketika media yang tidak proporsional yang menyampaikan, maka kemungkinan pemelintiran segala bentuk informasi yang menguntungkan pasti dilakukan.

Memang betul, dan kebetulan sekali yang melakukan hal yang dianggap sebagai penistaan adalah orang yang saat ini mempunyai rival politik yang kuat dan banyak. Meski hal serupa banyak terjadi di negeri ini dan bahkan lebih parah, seperti orang yang dengan sengaja menghina Nabi Muhammad sebagai manusia paedofil, dengan sengaja menginjak al-Qur'an, shalat yang dijadikan sebagai candaan, menduduki kakbah yang diibaratkan sebagai WC, Allah yang digambarkan sebagai setan dan lain-lain. Atas hal itu, kita sepertinya hanya bisa pasrah kepada Tuhan tanpa ada tindakan melaporkan. Tetapi untuk hal yang masih debateble nyaris se-antero Nusantara turun jalan.

Apakah betul, musuh kita--kalau itu sudah bisa dinyatakan sebagai musuh--adalah orang yang sangat kuat sekali, sehingga harus mengerahkan kekuatan yang demikian besar. Kalau kita analogikan musuh kita sebagai gajah, maka wajar sekali untuk mengerahkan banyak semut untuk membunuhnya. Tetapi, justru kita tidak mau dikatakan sebagai segerombolan semut, namun kita mengklaim diri sebagai gajah-gajah. Kalau gajah berhadapan dengan gajah, kenapa tidak seimbang. Kalau musuh kita dianalogikan sebagai semut, kenapa harus menurunkan banyak gajah-gajah. Apa tidak sebaiknya, satu lawan satu biar seimbang dan tidak terkesan main keroyokan dan kita masih menjadi yang terkuat.

Dalam hal 04 November 2016, saya akan memasrahkan kepada masing-masing pribadi untuk berpikir lebih jernih dan kritis.

Wallahu a'lam.

Jumat, 03 November 2017

Syahwat dan Politik

Syahwat dan Politik

Pernahkah suatu ketika anda kebelet ingin anuh, tiba-tiba anak terbangun? Anda tidak perlu menjawab dengan keras, cukup anggukkan kepala pertanda setuju. Lalu, kemudian anda mengakhiri dengan tawa lepas dengan sedikit perasaan kecewa. Padahal seperangkat alat sudah dipersiapkan, seperti sarung sebagai alas dan tisu sebagai lap, termasuk rudal tempur, karena ini yang utama.

Tapi tidak perlu larut dalam kekecewaan, sampai teriak-teriak di jalan, apalagi sampai munting-munting. Saya pastikan itu tidak penting. Masih banyak kesempatan dan cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi itu, semisal dititipkan pada ibu mertua beberapa saat, atau segera ditidurkan kembali, tetapi menidurkan adalah selemah-lemahnya pengamanan. Tapi ingat, jangan sampai memberi anak anda obat tidur, itu sangat membahayakan.

Kira-kira begitu politik di Pamekasan, dalam kontestasi Pilkada saat ini. Ada beberapa kontestan yang sudah ereksi berat tetapi terkendala teknis di lapangan yang membuyarkan keinginan. Keinginan besar untuk melakukan penetrasi tidak didukung oleh situasi dan kondisi di lapangan, semisal tidak adanya partai pengusung, dan lemahnya dukungan masyarakat secara langsung dalam bentuk suara yang real yang memungkinkan bisa berangkat secara independen.

Syahwat politik sebenarnya mempunyai kenikmatannya sendiri. Kalau dalam kondisinya tertentu tidak ada pihak lain di luar dirinya yang bisa memfasilitasi dirinya dalam kontestasi itu, maka dia bisa melakukan masturbasi politik. Dalam artian, membangun opini sendiri, ditanggapi sendiri, berstatus sendiri, dikomentari sendiri; sibuk sendiri, tidur sendiri, makan sendiri. Meski kenikmatan didapatkan, sebab tidak ada penetrasi maka tidak akan membuahkan hasil.

Tetapi dengan begitu menunjukkan adanya sebuah kemajuan. Sebab masturbasi itu telah mengantarkan pada keinginan penetrasi yang begitu besar. Ingat, penetrasi tidak pernah menjanjikan hasil, tetapi lebih memungkinkan untuk menghasilkan buah daripada sekedar masturbasi. Kalau bisa hindari masturbasi dan perbanyaklah ngopi.

Wallahu a'lam!
Sampang, 28 Oktober 2018

Konsumerisme; antara Bahagia dan Petaka

Konsumerisme; antara Bahagia dan Petaka

Sekilas mengamati beberapa fenomena sosial yang terjadi saat ini sangat menarik untuk diperbincangkan. Tentang Pamekasan yang dinobatkan sebagai kota batik, dan kecaman yang dilayangkan oleh salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pamekasan.

Dinobatkannya sebagai kota batik sepertinya menjadi beban tersendiri bagi pemerintah Pamekasan. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah dengan digelarnya kirab batik yang melibatkan siswa SMP dan SMA hingga menghabiskan puluhan juta yang dibebankan kepada wali siswa (Kompas: 3 November 2014).

Konsumerisme tersebut nampaknya tidak selalu mendapatkan penilaian positif, akan tetapi menjadi petaka di sisi lain. Adanya keluhan masyarakat terhadap kegiatan tersebut menjadi indikator bahwa apakah kegiatan tersebut bermanfaat atau tidak, reaksi tersebut hampir dirasakan oleh peserta kirab yang melibatkan tata rias dan penyewaan busana.

Di pihak lain ada sebagian anggota DPRD Pamekasan yang mengecam adanya kegiatan peringatan hari ulang tahun Jawa Timur tersebut yang ditengarai salah tempat, karena mengganggu segala bentuk peribadatan, disebabkan tempat tersebut berhadapan langsung dengan masjid agung Pamekasan (AntaraNews: 02 Nov 2014).

Tetapi memang aneh, untuk kedua kalinya barangkali saya sampaikan, kerapkali anggota DPRD kita itu terlambat mengantisipasi kegiatan yang dianggap berefek kurang baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maksimalitas pengawasan yang dilakukan sebagai sebuah bentuk amanah kurang begitu diperhatikan.

Bagi Pemerintah dan sebagian masyarakat Pamekasan, memeriahkan hal itu penting dilaksanakan sebagai upaya pemantapan Pamekasan sebagai kota batik yang sekaligus dijadikan sebagai momen untuk mempublikasikan kebudayaan daerah. Tetapi, hal-hal yang akan merugikan masyarakat sebaiknya harus dikaji secara mendetail. Perebutan opini publik tidak hanya dengan konsumerisme, popularitas dapat dihasilkan dari kerja keras sebagai pemangku kebijakan. Berpikir kreatif, inovatif, dan mengedepankan nilai-nilai subtantif itu yang paling penting.

Pamekasan, 04 Nopember 2014

Senin, 23 Oktober 2017

Pemain Amatir Mencoba Keberuntungan

Pemain Amatir Mencoba Keberuntungan

Politik tidak jauh berbeda dengan bermain catur. Dalam permainan catur dikenal dengan tiga (3) tahapan permainan. Pertama, pembukaan (opening), tahap dimana permainan baru dimulai. Biasanya, kedua pemain akan mengembangkan buahnya, mencoba untuk mengontrol bagian tengah, dan tentunya melindungi raja dengan cara rokade. Pembukaan sangat menentukan pada permainan tengah dan akhir, karena pembukaan yang baik akan memberikan kemudahan untuk meraih kemenangan.

Dalam konteks politik, pembukaan ini bisa dimaknai sebagai upaya-upaya publikasi, baik melalui media elektronik, media cetak, baleho, kegiatan sosial atau lainnya. Baleho dengan jargon yang beraneka ragam merupakan bagian dari langkah awal untuk menyusun strategi. Strukturisasi tim dan pengembangan langkah yang memungkinkan mempermudah terhadap pengembangan langkah selanjutnya. Termasuk akun-akun baru yang bermunculan atas nama kontestan.

Berikutnya, Tahap Pertengahan (Middlegame), adalah tahap yang biasanya dimulai setelah kedua pemain mengembangkan buahnya dan mengamankan rajanya. Dalam tahap ini, kedua pemain saling menyerang bidak-bidak lawannya, dan juga mempertahankan bidak-bidak sendiri. Tahap ini yang mungkin disampaikan oleh seorang Filsuf politik Italia, Niccolo Machiavelli yang termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan kekejaman dan penggunaan kekuatan. Dengan bahasa lain, bertahan dan menyerang lawan-lawannya.

Bagi pemain pemula yang tidak cukup berpengalaman, biasanya dalam tahap opening saja sudah kewalahan. Tidak sampai pada tahap pertengahan, karena dalam tahap ini lawan tidak segan-segan untuk melakukan penyerangan habis-habisan. Pun dalam politik, bagi orang yang ujug-ujug berkecimpung dalam perpolitikan tanpa modal pengalaman yang cukup kemudian ia berkompetisi dengan yang sudah pengalaman, kebanyakan menyerah sebelum berperang. Taruhlah, kontestan pada Pilkada Pamekasan yang sudah mulai meredup dan jatuh satu-persatu.

Terakhir adalah tahan endgame di mana tahap ini dimulai saat bidak-bidak mulai tersisa sedikit. Di tahap ini kedua pemain berusaha menskakmat lawan dan juga bertahan untuk tidak diskakmat. Ketika kontestan dari awal sudah mulai saling menyerang dengan jumlah tenaga yang begitu besar. Pada tahap ini, tinggal mencoba memaksimalkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Bermain ritme dan keuletan agar tidak terbunuh. Dan yang terbaik akan keluar sebagai pemenang.

Dalam pada ini, penulis memang hanya bisa memberikan saran, bagi yang tidak cukup berpengalaman dalam dunia politik, sebaiknya belajar dulu. Sebab, kelas amatir yang tiba-tiba berusaha untuk melawan yang profesional hanya akan menjadi bahan tertawaan dan candaan di warung-warung. Mengaca pada permainan catur ini, yang jam terbangnya kurang hanya akan dijadikan bulan-bulanan.

Segala sesuatu ada kelasnya, termasuk politisi. Bagi yang suka dengan dunia politik jangan sungkan belajar, dan jangan berharap menjadi pintar tanpa belajar. Saya melihat pendatang baru itu sama dengan orang belajar merokok, berusaha seperti perokok ulung dengan gayanya, padahal tetap saja kelihatan kaku. Bagi yang betul-betul perokok, cara memegangnya saja sudah ketahuan kalau memang perokok ulung. Merokoklah dulu yang banyak, nanti juga akan ahli sendiri, apalagi setiap merokok ada kopinya, tentu akan semakin nikmat.

Wallahu a'lam!

Sampang, 23 Oktober 2017

Rabu, 18 Oktober 2017

Hari Santri Nasional Sebagai Kilas Balik Perjuangan

Hari Santri Nasional Sebagai Kilas Balik Perjuangan

Hari Santri Nasional merupakan salah satu cara bagaimana pemerintah menghargai perjuangan para ulama dan santri. Peran dan perjuangan para ulama, khususnya di lingkungan pesantren dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak bisa diabaikan apalagi dihapuskan, meski penulisan sejarah resmi sangat minim mengungkap peran tersebut, bahkan cenderung menghapuskannya. Sebelum pecah perang Revolusi yang berpuncak pada peristiwa 10 Nopember 1945, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU)—yang notabene orang pesantren—Hadlratu as-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad. Itulah Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945.

Dalam hal revolusi jihad, para ulama dan kaum santri berada di balik peristiwa besar yang mengawali perang di Surabaya itu, dan menjadi pertimbangan bagi Bung Tomo untuk meneriakkan “Allahu! Akbar!” berulang-ulang. Peperangan yang tidak bisa dihindari itupun mampu memukul tentara Inggris dan sekutunya.

Hal itu yang mendasari kewajaran pemerintah memberikan penghargaan bagi kaum santri, meski dalam perjalanannya dipenuhi pro dan kontra. Adanya pro dan kontra terhadap penghargaan tersebut dinilai sesuatu yang biasa. Mengingat, setiap orang mempunyai sudut pandang dan kepentingan serta cara menghargai dan mengapresiasi setiap perjuangan. Termasuk pemerintah. Pemerintah mempunyai kebijakan tersendiri untuk memberikan penghargaan terhadap siapapun, termasuk masyarakat atau golongan yang dianggap mempuyai kontribusi besar terhadap perjuangan dan berlangsungnya Negara sampai saat ini.

Tentu, pertimbangan-pertimbangan yang digunakan pemerintah sudah lebih matang dari sebatas wacana sebagian orang yang cenderung hanya berdiri di atas kepentingan sendiri atau golongan tertentu, karena pemerintah tidak sembarangan menentukan kebijakan tanpa tinjauan multi aspek yang komprehensif dari pihak-pihak yang kompeten seperti team-team ahli yang ada di sekitarnya.

Dalam perspektif penulis beberapa kalangan yang "berkeberatan" terhadap gagasan ini perlu dipertanyakan ke mana arah berfikirnya. Mengingat, selain perjuangan, sejarah juga mencatat, pesantren merupakan sumber pengetahuan pertama sebelum adanya pendidikan formal di negeri ini. Tidak hanya itu, selama ini pesantren identik sekali dengan golongan pertama dalam menyikapi persoalan-persoalan keagamaan, dan selalu berada di garda paling depan untuk membentengi akhlak dan moral bagi bangsa. Sehingga tidak berlebihan dan sangat wajar bila pemerintah memberikan penghargaan dengan meresmikannya tanggal 22 Oktober sebagai “Hari Santri Nasional”.

Menurut hemat penulis, hal ini harus dimaknai sebagai langkah awal pemerintah untuk memperkuat moral bangsa yang sudah mulai terkikis oleh keadaan. Dengan adanya Hari Santri Nasional akan membuka mata peran serta pesantren dalam perjuangan dan membangun kesandaran nyantri bagi masayarakat, selebihnya menghindari adanya antipati masyarakat terhadap pesantren.

Memperkuat peran pesantren dalam pusaran kebijakan nasional akan memperkecil angka-angka penyimpangan. Selama ini kenyataan membuktikan bahwa kaum pesantren sangat kecil dalam ruang publik terindikasi melakukan praktik-praktik yang melanggar peratuaran, baik agama ataupun perundang-undangan. Meskipun akhirnya persoalan moral itu kembali kepada pribadi masing-masing. Terakhir, Hari Santri Nasional itu sebagai harapan semoga pesantren dan santri mampu mempertahankan nilai-nilai pejuangan yang tertanam dalam institusi kepesantrenan dan mengembangkan kemampuan berkompetisi dalam bidang pengetahuan dan teknologi, serta bidang lainnya di kemuadian hari.

Salam hormat!

Ditulis:
Pamekasan, 19 Oktober 2015

Sabtu, 30 September 2017

Pemimpin Pekerja dan Menjadi Tauladan

Pemimpin Pekerja dan Menjadi Tauladan

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khatthab menyatakan, "Jika rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya". Pernyataan itu bukan hanya hisapan jempol belaka; tidak hanya menjadi symbol verbal tanpa realisasi yang konkret.

Amirul Mukminin, pernah ingin memastikan bahwa rakyatnya betul-betul dalam keadaan baik. Beliau berjalan di waktu malam menembus cuaca yang dingin dan masuk ke lorong-lorong untuk melihat apakah ada di antara rakyatnya yang mengalami kelaparan, yang sedang terlantar, kedinginan, dan yang sedang sakit. Hal itu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

Bagi seorang pemimpin, keteladanan manjadi hal utama yang disorot rakyat. Kepatuhan rakyat terhadap pemimpin berbanding lurus dengan kemampuan mereka memberikan keteladanan. Semakin Jauh pemimpin dari keteladanan semakin jauh rakyat dari kepatuhan. Seorang pemimpin tidak hanya menggunakan ujung jarinya untuk memerintah, tapi juga menggunakan segala upaya dan tenaga untuk memastikan bahwa rakyatnya dalam keadaan terpenuhi segala kebutuhannya. Tidak juga hanya sekedar turun ke bawah dengan program "bunga bangsa" yang tidak jelas arahnya.

Keteladanan tercipta atas dasar konstruksi masyarakat melalui interaksi yang dilakukan selama hidup di tengah masyarakat. Konstruksi masyarakat itu kemudian memunculkan opini masyarakat tentang pantas atau tidak pantasnya seseorang untuk dijadikan sebagai pemimpin. Karena pada dasarnya, menjadi seorang pemimpin itu bukan atas dasar kemauan sendiri, akan tetapi keinginan dari rakyat.

Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah engkau meminta kepemimpinan. Jika engkau menerima kepemimpinan atas dasar permintaan, niscaya akan membebanimu. Jika kepemimpinan itu diberikan bukan atas dasar ambisi, engkau akan ditolong (dalam melaksanakannya)," (HR. an-Nasa'i).

Seorang pemimpin harus besar dari pengalaman hidup yang memadai, karena ia harus berhadapan dengan problematika sosial yang tidak sederhana. Kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat menjadi tanggung jawab dari seorang pemimpin. Indikator minimal seorang pemimpin harus pernah mengabdikan dirinya di tengah masyarakat, bukan seseorang yang tanpa kompensasi dan pengalaman dan; tiba-tiba muncul menawarkan diri sebagai pemimpin. Naif sekali.

Ada sebuah realita, bahwa para Nabi dan pemimpin itu tidak langsung lahir sebagai pemimpin. Mereka lahir dan besar dalam kancah pergerakan. Mereka menjadi pemimpin melalui proses. Dengan demikian, tak bisa diterima kalau ada yang ujug-ujug datang menawarkan diri jadi pemimpin sementara selama ini tidak ada kiprah yang dilakukan.

Pemimpin itu jiwa, bukan hanya keinginan. Sehingga bila ada manusia-manusia yang menggebu-gebu untuk jadi pemimpin tanpa pengalaman yang memadai. Sebaiknya lewat.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 09 Juni 2017

Ironi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan

Ironi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan

Ada sebuah fenomena menarik di Pamekasan untuk diperbincangkan. Yaitu seputar datangnya, Lesti ke Pamekasan untuk melakukan buka puasa bersama. Tentu, tidak hanya sekedar buka bersama. Namun, dia masih berdangdut bersama para penggemarnya. Berdangdut tidak di ruang tertutup, tapi di ruang terbuka dan di depan umum. Karena kalau di tempat tertutup tidak ada urusan untuk diperbincangkan. Nah, di sini muncul masalah.

Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada, Lesti. Urusan yang bersangkutan mau berdangdut dan goyang maut pun sampai sehari-semalam tidak ada urusan. Tetapi dengan dibiarkannya, berdangdut di Pamekasan, saya melihat ada sebuah kebijakan timpang yang melahirkan kesenjangan sosial. Kenapa? Sebab, jauh sebelum, Lesti, berdangdut di kota yang katanya Gerbang Salam ini, Bupati Pamekasan dengan kebijakannya telah menggagalkan konser Irwan yang hendak digelar di Pamekasan. Meski memang pada saat itu tidak murni kebijakan Bupati.

Konon kabarnya, kegagalan konser Irwan itu disebab adanya aksi protes dan penolakan dari beberapa kalangan ulama. Tepatnya ulama yang tergabung dalam Aliansi Ulama Madura (AUMA), termasuk di dalamnya Forum Kiai Muda (FKM), (Harian Terbit, 20/04/16). Sehingga intervensi ini mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. Dan sejauh ini, aksi protes itu baik untuk mengurangi tingkat kenakalan remaja. Lebih baik lagi jika dilakukan secara istikomah, menembus ruang dan waktu. Kalau dianggap kemungkaran, sampai kapanpun harusnya dikawal.

Kalau kacamata yang mau digunakan adalah Gerakan Pembangunan Syariat Islam atau yang sering disingkat dengan "Gerbang Salam", maka kehadiran, Irwan lebih kecil mudharatnya. Irwan, akan melakukan pementasan pada siang hari, segala kemungkinan yang terjadi bisa diminimalisir dengan mudah, sedangkan Lesti, selain malam hari, pentasnya dilakukan pada bulan puasa pula dengan pakaian yang tidak memenuhi standar Islam (baca: kurang sopan). Kalau mau dibandingkan, Irwan masih dianggap lebih layak untuk ukuran gerbang salam.

Sebuah potret ironi dan paradoks sekali dengan munculnya dua kebijakan yang berbeda kepada dua kegiatan yang hampir sama oleh pemerintah kabupaten Pamekasan. Pertanyaannya, ada apa ini? Apakah dalam pada ini pemerintah dan segala elemen yang terlibat dalam aksi penggagalan konser Irwan masuk angin untuk saat ini, sehingga menyebabkan perut kembung dan tidak bisa berbuat apa-apa, untuk masalah, Lesti ini. Yang jelas, ini keluar dari asas keadilan. Ini sebuah indikasi bahwa pemerintah kabupaten Pamekasan dalam kondisi kurang baik.

Kalau pemerintah tidak baik, ini akan berpengaruh buruk terhadap pemerintahan. Dalam pada ini, pemerintah masih dianggap kurang bijaksana menyikapi sebuah persoalan-kalau dianggap sebagai persoalan. Sebagai indikator, elemen yang menjadi bagian dari kebijakan pemerintah kurang memenuhi standar kebaikan. Cenderung memihak, kurang istikomah dan kurang bijaksana menyikapi situasi. Padahal kata, Socrates, bahwa pemerintahan yang ideal harus melibatkan orang-orang bijak yang dipersiapkan dengan baik, serta mengatur kebaikan-kebaikan untuk masyarakat.

Sesungguhnya, persoalan utamanya tidak terletak pada konsernya. Tetapi, lebih kepada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memenuhi asas keadilan bagi masyarakat Pamekasan. Terkesan tebang pilih. Yang satu boleh, dan yang lain dilarang. Sepertinya, masyarakat Pamekasan, tidak sepenuhnya mempunyai hak yang sama atas kebijakan pemerintah kabupaten Pamekasan.

Wallahu a'lam!

Sampang, 17 Juni 2017

Kebijakan Salah, Harga Nyawa Murah

Kebijakan Salah, Harga Nyawa Murah

Saking kesalnya terhadap pencurian, beberapa hari lalu warga menghakimi pencuri hingga tewas. Peristiwa tersebut terjadi di Dusun Ginyang, Desa Taman Sare, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Madura. Pada saat tertangkap, sebenarnya terduga pencuri belum kedapatan memegang apapun, (Media Madura, 18/6). Akan tetapi, menurut hemat penulis, untuk objek pencurian di tingkat kampung, biasanya tidak lepas dari barang-barang yang masih harus diuangkan: seperti ternak, perhiasan, atau kendaraan bermotor (baca: sepeda motor). Kemungkinan mencuri uang sangat kecil, karena kebanyakan saat ini, jika uang dalam jumlah banyak disimpan di bank.

Untuk pencurian ternak, ini sangat beresiko ditemukan, sehingga pencuri biasanya cenderung kepada perhiasan dan kendaraan bermotor. Menjual dari keduanya, tidak akan sama dengan harga beli ketika masih di toko, karena biasanya barang curian itu tidak lengkap dengan surat-suratnya, sehingga harga jual akan jauh di bawah. Semisal sepeda motor yang dicuri, harga baru mencapai tujuh belas juta lengkap dengan surat-surat, ketika dijual tanpa surat-surat bisa ditaksir sekitar harga empat juta, karena dijual kosong.

Situasi seperti ini menjadi fenomena dan problematika sosial. Kita bayangkan saja, uang empat juta rupiah harus ditukar dengan nyawa manusia. Empat juta menghilangkan empati (rasa kemanusiaan) dan menutup jalan kebaikan bagi orang lain. Sebab, bisa mungkin seandainya tidak dibunuh, pada usia senja dia akan bertaubat dan akan memperbaiki jalan hidupnya. Hidup hanya satu kali, jika sudah demikian semuanya berakhir; dekat dengan neraka. Apa tidak kasihan? Saya tidak sedang membela, tetapi sanksi yang diterima terlampau berat.

Pembunuhan dan sanksi atas pembunuhan itu mempunyai garis yang berbeda. Pembunuh tidak berarti lepas sama sekali dari persoalan dosa, karena membunuh pencuri. Untuk pembunuh tidak ada hujjah yang membenarkan perbuatan itu, karena mencuri dan membunuh berbeda sanksi. Apalagi, di Indonesia ada hukum yang harus dijadikan sebagai dasar untuk memberikan sanksi terhadap pencuri, yang tidak harus dihakimi sendiri apalagi di bunuh. Setiap manusia mempunyai hak untuk menjadi benar. Hidup ini hanya satu kali, dan taubat itu hanya untuk hidup yang hanya sekali ini.

Pencurian tidak berdiri sendiri, erat kaitannya dengan persoalan ekonomi masyarakat. Seandainya masyarakat tercukupi, pencurian-di kampung-tidak perlu terjadi. Ini merupakan kesalahan pemerintah secara tidak langsung atas banyak kebijakan yang tidak pro masyarakat dan maraknya korupsi di tubuh pemerintahan. Seperti kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, misalnya yang mengeluarkan dana Tunjangan Hari Raya (THR) sampai sebesar Rp 26,6 miliar untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pejabat negara lainnya, (Media Madura, 20/6). Bisa dibayangkan, seandainya uang sebesar itu diperuntukkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, pasti  menambah ringan beban masyarakat, sekaligus mengurangi angka kriminal. Sudah bergaji, THR tinggi. Ah!

Yang terbaru, KPK menyita barang bukti sejumlah uang dalam pecahan seratus ribu rupiah dalam satu kardus ketika operasi tangkap tangan atau OTT istri Gubernur Bengkulu Lily Martiani Maddari, beserta empat orang lainnya di Bengkulu, (tempo, 20/6). Ditambah lagi, kasus e-KTP yang merugikan uang negara sebesar Rp. 2.314.904.234.275,39, (sengaja ditulis dengan angka agar tahu betapa panjangnya deret angka yang dibutuhkan) disederhanakan menjadi 2,3 triliun lebih. Sementara itu, nilai proyek tersebut mencapai hampir Rp 6 triliun, (detik news, 9/3). Waw!

Menurut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, kasus korupsi pengadaan e-KTP dampaknya tak hanya merugikan keuangan negara. Tindak pidana tersebut juga merenggut hak konstitusional masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi. Sebab, e-KTP menjadi salah satu syarat warga negara mendapatkan haknya dalam pemilu, ujar Titi dalam diskusi di Jakarta, Minggu (2/4/2017: KOMPAS.com). Lengkaplah penderitaannya.

Lantas, hukum apa yang sebanding bagi para pencuri uang rakyat ini, jika uang empat juta saja sebanding dengan harga nyawa bagi masyarakat desa.

http://mediamadura.com/massa-bantai-maling-bertitel-haji-di-sumenep-hingga-tewas/
http://mediamadura.com/pemkab-pamekasan-telan-rp-266-miliar-untuk-thr/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter
https://m.tempo.co/read/news/2017/06/20/063886093/ott-istri-gubernur-bengkulu-kpk-temukan-rp-1-miliar-dalam-kardus
https://m.detik.com/news/berita/d-3442179/jaksa-sebut-korupsi-e-ktp-rugikan-negara-rp-23-triliun
http://nasional.kompas.com/read/2017/04/02/16304531/tak.sekedar.rugikan.keuangan.negara.korupsi.e-ktp.dinilai.cederai.demokrasi

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 21 Juni 2017

Ketika Pejabat Potensi Menjahat (?)

Ketika Pejabat Potensi Menjahat (?)

Ada apa dengan kotaku? Setelah, Lesti berdendang di bulan Ramadan menuai kecaman dan memicu perdebatan; Tunjangan hari raya (THR) yang dianggap berlebihan hingga mencapai 26,6 M, dan; kini ada lagi pejabat kita yang secara sewenang-wenang memanfaatkan fasilitas negara.

Iya, tepatnya tadi malam, Polres Pamekasan menemukan adanya pengemudi kendaraan roda empat yang menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) palsu saat mengamankan arus mudik Lebaran 1438 Hijriah. Yang mengejutkan, ternyata mobil dinas tersebut adalah milik salah satu dinas di lingkungan Pemkab Pamekasan, (PENAWARTA.COM, 22/6). Lucu ya?

Dari beberapa kejadian tersebut, prestasi pemerintah kabupaten Pamekasan memuncak. Kota dengan ikon gerbang salam ini, betul-betul secara amanah melaksanakan ajaran agama islam (ironi). Betul-betul terjaga marwahnya dengan baik. Bahkan baik sekali. Entahlah, ini konspirasi atau bukan, tidak tahu. Yang jelas ini adegan yang membahayakan, jangan ditiru di rumah. Dan jika ini dianggap sebagai pelanggaran hukum, sehabis lebaran mari pertanyakan tindak lanjutnya ke Polres Pamekasan.  

Penulis tidak tahu secara pasti bagaimana hukum bagi orang yang menyalahgunakan wewenang atas sarana yang ada pada dirinya karena kedudukan atau jabatan. Namun, sekilas yang penulis pahami dari, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 3, sepertinya 'tidak boleh'. Berikut kutipan Undang-Undang yang dimaksud.

"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Pasal ini tidak menutup ruang tafsir yang bisa menyelamatkan orang yang mempunyai gengsi tingkat tinggi tersebut. Sudah pinjam maunya enak! Hihihi. Bagaimana pun juga, semua masih tergantung amal dan perbuatannya.

Wallahu a'lam!

Sampang, 23 Juni 2017

Sumber:
https://penawarta.com/2017/06/22/petugas-temukan-pengemudi-mobil-dinas-gunakan-tnkb-palsu/

Lebaran, dan Masa Kecil

Lebaran, dan Masa Kecil

Dulu, ketika masih kecil saya tidur di langgar, tempat di mana saya mengaji. Tidak hanya saya, termasuk teman-teman kecil sepermainan. Seperti biasa, ketika subuh dibangunkan untuk shalat jamaah kemudian dilanjutkan tadarus bersama sampai matahari terbit. Tidak hanya hari biasa kami tidur di langgar, pun pada malam lebaran.

Pada hari lebaran, sehabis shalat subuh, kami bersama teman-teman pergi ke sungai-yang berjarak kurang lebih 1,5 Kilometer-menyisir pematang sawah untuk mandi. Di jalan, hilir mudik orang-orang begitu banyak, di sungai orang-orang datang dan pergi mulai dari hilir ke hulu; dipenuhi dengan orang-orang yang mau mandi. Sebelum sampai di sungai, di tengah perjalanan-persisnya di pematang sawah-bersama teman-teman melihat awan di penghujung timur yang menyerupai aneka macam rupa, mulai dari perahu sampai unta.

Di perjalanan, kami biasa ambil daun wijen untuk dijadikan bahan keramas, dan sabun numpang punya orang yang bawa, biasanya sabun biasa kami minta warna hijau (cap kursi). Semerbak yang tak bisa dipungkiri dengan ciri khas yang tak lekang dimakan zaman, emmm.

Yang paling membahagiakan bagi kami, khususnya saya adalah ketika mau berpakaian baru dan makan nasi putih dengan daging ayam di langgar. Karena bagi saya, membeli baju baru itu hanya satu tahun sekali, itu pun kalau mampu membeli; dan makan enak itu hanya setahun sekali, cukup pada hari lebaran saja. Urusan makan enak itu pasti, tapi pakaian serba baru belum tentu.

Hingga sampai pada suatu titik, di mana orang tua saya tidak mampu sepenuhnya membelikan saya pakaian lebaran, persisnya kopiyah. Pada saat itu, orang tua saya berinisiatif untuk menyiasati songkok yang biasa saya pakai dengan cara dicerahkan warnanya dengan binter. Sejenis pewarna pakaian yang digunakan untuk mewarnai pakaian yang mulai kusam.

Sore hari itu-menjelang malam lebaran, ibu saya memasak air untuk merekayasa peci saya. Setelah dirasa air sudah cukup panas, kemudian dimasukkan peci saya ke dalam air yang sudah mendidih itu. Astagfirullaha al-'adzim! Setelah peci saya diangkat ternyata peci saya mengerut. Peci saya mengecil, karena memang terbuat dari karet krece yang dilapisi kain bagian luarnya, karet ini biasa dibuat untuk pemantulkan biji krambol bagian dalam. Pasti banyak yang tahu.

Melihat kejadian itu, air mata ibu tumpah tidak terbendung. Bisa kita bayangkan, satu-satunya cara untuk membahagiakan anaknya tidak terlaksana dengan baik, malah sebaliknya. Pupus sudah harapannya. Mungkin kita berpikir, kenapa malam harinya tidak berinisiatif membelikan pergi ke kota yang jaraknya hanya 15 Kilometer itu. Ada dua alasan, yang pertama pada saat itu tidak banyak orang punya kendaraan bermotor (sepeda motor) seperti sekarang; kedua, tidak cukup uang untuk membeli. Akhirnya, apa adanya harus saya pakai.

Tapi, justru hari itu adalah moment yang sangat membahagiakan bagi saya untuk saat ini. Ketika di penjuru dunia gema takbir berkumandang, pikiranku menerawang jauh menembus waktu yang entah itu. Air mata tumpah tidak terasa mengenangnya. Pakaian baru waktu itu, bukan formalitas seperti sekarang, tapi memang kebutuhan secara bersamaan, jika dibandingkan dengan saat ini yang bahkan bukan lebaran pun membeli pakaian baru.

Terima kasih untuk kasih sayang kalian, orang tua yang telah membesarkan kami. Nikmatilah hari tuamu dengan bahagia, amin.

Selamat Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H.
Mohon maaf lahir dan batin.

Sampang, 25 Juni 2017

Kami Juga Mau Dianggap Benar

Kami Juga Mau Dianggap Benar

Terang saja kami tersinggung, jika paham yang selama ini kami terima sebagai paham yang benar dan cocok dengan kultur Indonesia diobok-obok oleh paham transnasional. Apalagi, sebagai orang yang senantiasa menganut paham itu, kami menjalankan dengan penuh kepatuhan kepada pemuka agama-para ulama-yang telah lebih dulu memahami situasi sosial, budaya masyarakat, menyesuaikan serta menerapkannya di negeri ini.

Kami percaya, bahwa para pendahulu mempunyai tingkat keilmuan yang mumpuni dalam mengkombinasi nilai agama dengan budaya setempat, yakni budaya Indonesia. Sehingga agama Islam dengan paham-yang diterapkan para Wali-ini mudah diterima dengan baik oleh penganutnya tanpa merasa takut kehilangan budaya yang tertanam lebih dulu pada bangsa Indonesia. Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia memang tidak harus luntur dan bahkan lenyap dari negeri ini. Sebab, khasanah kekayaan bangsa terletak pada budayanya.

Apa bedanya budaya kita dengan facebook dan media sosial lainnya dalam konteks dijadikan sebagai media dakwah? Bedanya hanya karena facebook datang belakangan, sedangkan budaya lebih awal kehadirannya. Keduanya juga mengandung hiburan dan silaturrahmi bagi para penikmatnya. Lantas, bagaimana mungkin memanfaatkan budaya sebagai media dakwah menjadi salah, sedangkan facebook, tidak. Bagaimana mungkin budaya berkumpul yang diselingi dengan dzikir dan shalawat menjadi sesat. Ah, ada-ada saja!

Atas nama pemurnian akidah, tidak jarang kami terlecehkan, dihujat, dicaci-maki, sampai-sampai dianggap keluar dari Islam karena pemahaman tentang Islam yang berbeda. Bahwa yang selama ini kami pahami sebagai interpretasi produk hukum agama, dan dianggap mendekati kebenaran dalam melaksanakan ritual keagamaan dianggap menyimpang jauh dari induk hukum itu sendiri, yakni al-Qur'an dan al-Hadits.

Merasa paling benar, dan merasa paling sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Golongan ini merasa sumber yang digunakan dalam membangun hujjah-hujjah sangat dekat dengan kebenaran, karena sumbernya langsung al-Qur’an dan hadits (terjemahan).

Secara kasar, akan tampak sebuah penjelasan bahwa para ulama yang terlahir lebih dulu di negeri ini kurang memahami al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga lemah pemahamannya terhadap keutuhan dan kemurnian agama. "Yang benar aja lho tong, masak sama yang lebih tua begitu, Ellu!" Sudahlah, apapun alasannya, yang jelas sejarah tidak akan mengingkari bahwa pendekatan yang diterima oleh bangsa Indonesia ini bukan pendekatan 'merasa diri paling benar', yang lain kafir dan syirik.

Memang betul ada yang mengatakan, bahwa pertahanan paling baik itu adalah menyerang. Karena ketika pihak yang diserang diam, maka penyerang otomatis menang. "Qanun asasi" kami memang tidak pernah memberikan ruang kepada penganutnya untuk mudah menyalahkan orang lain, apalagi sampai menjustifikasi orang lain kafir. Ini adalah kelemahan yang dimanfaatkan oleh golongan lain, karena kami cenderung toleran terhadap keberadaan aliran-aliran yang muncul. Termasuk aliran takfiri ini.

Kami memahami, bahwa kebhinnekaan itu adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah negeri yang kita sebut Indonesia. Maka, siap atau tidak siap terhadap adanya keberagaman di lingkungan, harus siap. Dalam artian harus siap untuk tidak saling menaruh curiga antara kelompok yang satu dengan lainnya. Karena kecurigaan itu yang memotivasi perpecahan. Maka dari itu, tidak usah saling mengusik. Laksanakan saja keyakinan sesuai dengan pemahaman sendiri, tidak sampai mengganggu pemahaman golongan yang lain. "Begitu kan enak tong!"

Akan tetapi, dalam kondisi yang berlebihan, kami juga tidak bisa tinggal diam. Kami juga punya sesuatu yang harus dipertahankan sebagai sebuah kebenaran yang selama ini tertanam dalam jiwa kami melalui ajaran yang diwariskan turun-temurun. Anda jual, kami beli. Anda ngemis, kami beri.

Disunting dari status facebook, (27/07/16)

Wallahu a'lam!

Sampang, 28 Juni 207

Mencari Pemimpin Amanah

Mencari Pemimpin Amanah
(antara Lama dan Baru)

Sesaat setelah menghadiri pemakaman Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah ke-7... Umar berjalan bersama orang-orang menuju Masjid. Dari segala penjuru orang-orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan bershalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berpidato, "Wahai manusia, sesungguhnya saya mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah), dimana saya tanpa dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau bermusyawarah dulu dengan kaum muslimin. Sesungguhnya, saya telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai."

Mendengar ucapan itu, orang-orang pun berkata dengan satu suara, "Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah."

Banyak hal yang bisa kita teladani dari sikap hidup Umar bin Abdul Aziz. Selain sikap zuhud dan kesederhanaan, kita juga belajar wara' (menjauhi syubhat). Misalnya, kisah tentang memadamkan lampu minyak ketika menerima kedatangan anaknya, diabadikan oleh sejarah. Ia tak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarga, (Bastoni, 104-105).

Tetapi, itu Umar bin Abdul Aziz. Seorang pemimpin yang bisa membedakan antara harta pribadi dan harta rakyat. Bisa membedakan, kapan kepentingan harus dengan menggunakan mobil dinas dan kapan menggunakan mobil pribadi. Bukan malah mobil dinas dirubah dengan mobil pribadi, seperti yang terjadi di kota Pamekasan yang beraikon Gerbang Salam. Sungguh, kejadian yang memilukan sekaligus memalukan. Semoga tidak terulang, karena itu hak rakyat (umum).

Seorang pemimpin tidak harus bersimpati dengan THR menjelang hari Raya (saja) untuk mendulang dukungan rakyat. Menebar janji-janji dan sumpah serapah di setiap kesempatan. Menabur angpao sampai ke pelosok paling kampung. Tetapi yang mampu membuktikan dengan suara koor bahwa dirinya baik dan betul-betul dibutuhkan rakyat, istikomah berbuat. Seperti, Presiden Jokowi misalnya, kalau tidak sungguh baik, tidak mungkin karirnya akan melesat sedemikian cepat. Kebaikan yang terlihat oleh mata rakyat tanpa dibuat-buat, telah mengantarkannya pada puncak kekuasaan tertinggi di negeri ini.

Harusnya, kekuasaan hanya dijadikan sebagai ajang pengabdian kepada masyarakat. Tidak dengan kekuasaan membuatnya berkuasa seenak perutnya dan mengabaikan amanah rakyat. Apalagi, setelah berkuasa mempertahankan kekuasaan mati-matian dengan cara yang tidak berperikemanusiaan. Seorang tokoh bangsa, KH. Abdurrahman Wahid, pernah menyampaikan bahwa, "Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian." Apalagi mengorbankan rakyat. Tidak penting banget.

Namun, cara-cara bejat itu bukan tidak mungkin dilakukan oleh para penguasa. Seperti yang disampaikan oleh seorang filsuf Italia, Niccolo Machiavelli, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan kekejaman dan kekuatan, (Murtiningsih, 72-73).

Jika statement, Niccolo Machiavelli ini benar, maka menjelang kontestasi politik untuk merebut kekuasaan di Pamekasan ini sangat mungkin penuh dengan tipu muslihat. Sebab, rasanya sulit sekali melihat sifat Umar bin Abdul Aziz di era modern ini dengan segala kebijaksanaannya. Kalau sudah begitu, bersiaplah kita sebagai rakyat menjadi objek kedustaan.

Tetapi bagaimana pun caranya, sebuah negari sampai kampung tidak boleh dibiarkan kosong tanpa pemimpin. Karena akan berakibat stagnasi kekuasaan yang akan melahirkan penjajahan. Meski tidak menutup kemungkinan kita bisa dijajah oleh yang sebangsa dan setanah air.

Semoga kita bisa mendapatkan pemimpin yang bisa berjihad, seperti yang disampaikan, Prof. Abdul A'la bahwa jihad di era modern ini adalah melawan kemiskinan. Jadi, bila masih melihat banyak orang miskin di sekitar kita, itu artinya jihad pemimpin kita masih belum berhasil.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 04 Juli 2017