Sabtu, 30 September 2017

Lebaran, dan Masa Kecil

Lebaran, dan Masa Kecil

Dulu, ketika masih kecil saya tidur di langgar, tempat di mana saya mengaji. Tidak hanya saya, termasuk teman-teman kecil sepermainan. Seperti biasa, ketika subuh dibangunkan untuk shalat jamaah kemudian dilanjutkan tadarus bersama sampai matahari terbit. Tidak hanya hari biasa kami tidur di langgar, pun pada malam lebaran.

Pada hari lebaran, sehabis shalat subuh, kami bersama teman-teman pergi ke sungai-yang berjarak kurang lebih 1,5 Kilometer-menyisir pematang sawah untuk mandi. Di jalan, hilir mudik orang-orang begitu banyak, di sungai orang-orang datang dan pergi mulai dari hilir ke hulu; dipenuhi dengan orang-orang yang mau mandi. Sebelum sampai di sungai, di tengah perjalanan-persisnya di pematang sawah-bersama teman-teman melihat awan di penghujung timur yang menyerupai aneka macam rupa, mulai dari perahu sampai unta.

Di perjalanan, kami biasa ambil daun wijen untuk dijadikan bahan keramas, dan sabun numpang punya orang yang bawa, biasanya sabun biasa kami minta warna hijau (cap kursi). Semerbak yang tak bisa dipungkiri dengan ciri khas yang tak lekang dimakan zaman, emmm.

Yang paling membahagiakan bagi kami, khususnya saya adalah ketika mau berpakaian baru dan makan nasi putih dengan daging ayam di langgar. Karena bagi saya, membeli baju baru itu hanya satu tahun sekali, itu pun kalau mampu membeli; dan makan enak itu hanya setahun sekali, cukup pada hari lebaran saja. Urusan makan enak itu pasti, tapi pakaian serba baru belum tentu.

Hingga sampai pada suatu titik, di mana orang tua saya tidak mampu sepenuhnya membelikan saya pakaian lebaran, persisnya kopiyah. Pada saat itu, orang tua saya berinisiatif untuk menyiasati songkok yang biasa saya pakai dengan cara dicerahkan warnanya dengan binter. Sejenis pewarna pakaian yang digunakan untuk mewarnai pakaian yang mulai kusam.

Sore hari itu-menjelang malam lebaran, ibu saya memasak air untuk merekayasa peci saya. Setelah dirasa air sudah cukup panas, kemudian dimasukkan peci saya ke dalam air yang sudah mendidih itu. Astagfirullaha al-'adzim! Setelah peci saya diangkat ternyata peci saya mengerut. Peci saya mengecil, karena memang terbuat dari karet krece yang dilapisi kain bagian luarnya, karet ini biasa dibuat untuk pemantulkan biji krambol bagian dalam. Pasti banyak yang tahu.

Melihat kejadian itu, air mata ibu tumpah tidak terbendung. Bisa kita bayangkan, satu-satunya cara untuk membahagiakan anaknya tidak terlaksana dengan baik, malah sebaliknya. Pupus sudah harapannya. Mungkin kita berpikir, kenapa malam harinya tidak berinisiatif membelikan pergi ke kota yang jaraknya hanya 15 Kilometer itu. Ada dua alasan, yang pertama pada saat itu tidak banyak orang punya kendaraan bermotor (sepeda motor) seperti sekarang; kedua, tidak cukup uang untuk membeli. Akhirnya, apa adanya harus saya pakai.

Tapi, justru hari itu adalah moment yang sangat membahagiakan bagi saya untuk saat ini. Ketika di penjuru dunia gema takbir berkumandang, pikiranku menerawang jauh menembus waktu yang entah itu. Air mata tumpah tidak terasa mengenangnya. Pakaian baru waktu itu, bukan formalitas seperti sekarang, tapi memang kebutuhan secara bersamaan, jika dibandingkan dengan saat ini yang bahkan bukan lebaran pun membeli pakaian baru.

Terima kasih untuk kasih sayang kalian, orang tua yang telah membesarkan kami. Nikmatilah hari tuamu dengan bahagia, amin.

Selamat Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H.
Mohon maaf lahir dan batin.

Sampang, 25 Juni 2017

0 komentar:

Posting Komentar