Sabtu, 30 September 2017

Kami Juga Mau Dianggap Benar

Kami Juga Mau Dianggap Benar

Terang saja kami tersinggung, jika paham yang selama ini kami terima sebagai paham yang benar dan cocok dengan kultur Indonesia diobok-obok oleh paham transnasional. Apalagi, sebagai orang yang senantiasa menganut paham itu, kami menjalankan dengan penuh kepatuhan kepada pemuka agama-para ulama-yang telah lebih dulu memahami situasi sosial, budaya masyarakat, menyesuaikan serta menerapkannya di negeri ini.

Kami percaya, bahwa para pendahulu mempunyai tingkat keilmuan yang mumpuni dalam mengkombinasi nilai agama dengan budaya setempat, yakni budaya Indonesia. Sehingga agama Islam dengan paham-yang diterapkan para Wali-ini mudah diterima dengan baik oleh penganutnya tanpa merasa takut kehilangan budaya yang tertanam lebih dulu pada bangsa Indonesia. Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia memang tidak harus luntur dan bahkan lenyap dari negeri ini. Sebab, khasanah kekayaan bangsa terletak pada budayanya.

Apa bedanya budaya kita dengan facebook dan media sosial lainnya dalam konteks dijadikan sebagai media dakwah? Bedanya hanya karena facebook datang belakangan, sedangkan budaya lebih awal kehadirannya. Keduanya juga mengandung hiburan dan silaturrahmi bagi para penikmatnya. Lantas, bagaimana mungkin memanfaatkan budaya sebagai media dakwah menjadi salah, sedangkan facebook, tidak. Bagaimana mungkin budaya berkumpul yang diselingi dengan dzikir dan shalawat menjadi sesat. Ah, ada-ada saja!

Atas nama pemurnian akidah, tidak jarang kami terlecehkan, dihujat, dicaci-maki, sampai-sampai dianggap keluar dari Islam karena pemahaman tentang Islam yang berbeda. Bahwa yang selama ini kami pahami sebagai interpretasi produk hukum agama, dan dianggap mendekati kebenaran dalam melaksanakan ritual keagamaan dianggap menyimpang jauh dari induk hukum itu sendiri, yakni al-Qur'an dan al-Hadits.

Merasa paling benar, dan merasa paling sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Golongan ini merasa sumber yang digunakan dalam membangun hujjah-hujjah sangat dekat dengan kebenaran, karena sumbernya langsung al-Qur’an dan hadits (terjemahan).

Secara kasar, akan tampak sebuah penjelasan bahwa para ulama yang terlahir lebih dulu di negeri ini kurang memahami al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga lemah pemahamannya terhadap keutuhan dan kemurnian agama. "Yang benar aja lho tong, masak sama yang lebih tua begitu, Ellu!" Sudahlah, apapun alasannya, yang jelas sejarah tidak akan mengingkari bahwa pendekatan yang diterima oleh bangsa Indonesia ini bukan pendekatan 'merasa diri paling benar', yang lain kafir dan syirik.

Memang betul ada yang mengatakan, bahwa pertahanan paling baik itu adalah menyerang. Karena ketika pihak yang diserang diam, maka penyerang otomatis menang. "Qanun asasi" kami memang tidak pernah memberikan ruang kepada penganutnya untuk mudah menyalahkan orang lain, apalagi sampai menjustifikasi orang lain kafir. Ini adalah kelemahan yang dimanfaatkan oleh golongan lain, karena kami cenderung toleran terhadap keberadaan aliran-aliran yang muncul. Termasuk aliran takfiri ini.

Kami memahami, bahwa kebhinnekaan itu adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah negeri yang kita sebut Indonesia. Maka, siap atau tidak siap terhadap adanya keberagaman di lingkungan, harus siap. Dalam artian harus siap untuk tidak saling menaruh curiga antara kelompok yang satu dengan lainnya. Karena kecurigaan itu yang memotivasi perpecahan. Maka dari itu, tidak usah saling mengusik. Laksanakan saja keyakinan sesuai dengan pemahaman sendiri, tidak sampai mengganggu pemahaman golongan yang lain. "Begitu kan enak tong!"

Akan tetapi, dalam kondisi yang berlebihan, kami juga tidak bisa tinggal diam. Kami juga punya sesuatu yang harus dipertahankan sebagai sebuah kebenaran yang selama ini tertanam dalam jiwa kami melalui ajaran yang diwariskan turun-temurun. Anda jual, kami beli. Anda ngemis, kami beri.

Disunting dari status facebook, (27/07/16)

Wallahu a'lam!

Sampang, 28 Juni 207

0 komentar:

Posting Komentar