Selasa, 26 September 2017

Bukan Politisi Wacana tapi Politisi Pengabdi

Saya tertarik membincang tokoh yang satu ini. Di tengah kontestasi politik yang kian memanas dan mendekati klimaks, beliau tidak selesai dengan orang lain, yakni orang yang selama ini lepas dari perhatian banyak orang termasuk pemerintah. Membantu meringankan beban orang lain sepertinya sudah menjadi tabiat yang melekat pada dirinya. Tidak pandang bulu dalam membantu. Menyisir kelokan gang untuk menjumpai orang dengan warisan keterbatasan dalam dirinya.

Semula saya berpikir bahwa yang beliau lakukan adalah bagian dari pencitraan. Maklum, karena akhir-akhir ini memang sedang trend dan musim gaya seperti itu. Sehingga wajar dong kalau saya harus mencurigai adanya trend itu masuk dan menyelinap ke dalam hati semua politisi tanpa pandang bulu. Lagian pula bulu siapa yang akan jadi tontonan gratis. Owh, tidak bisa!

Lambat laun saya mulai berpikir, tentang bagaimana dalam kondisi tertentu manusia akan sampai pada titik jenuh apabila sesuatu yang dilakukan tidak selaras dengan suara hati. Bila sampai pada titik jenuh, maka apa yang dilakukan dari awal tidak akan sama dengan apa yang dilakukan berikutnya. Sebagai contoh, Anis Baswedan misalnya, pada saat berkampanye dia menyisir lorong-lorong untuk menyapa masyarakat, bagian sudah jadi, lorong-lorong pun ditutup rapat.

Dan manusia yang satu ini memang tidak ada lelahnya untuk menghibahkan dirinya pada orang lain. Mana mungkin pencitraan akan bertahan selama itu. Anggap saja seperti Presiden kita Jokowi, yang dianggap pencitraan oleh sebagian orang karena blusukan yang beliau lakukan, ternyata blusukan itu sudah menjadi bagian dari gaya hidupnya dan menguasai tulang sumsum. Sehingga tidak ada istilah capai, bagi yang tidak terbiasa melakukan interaksi ke bawah, dengan nada nyinyir mengatakan, "Ah, itu pencitraan". Asu-dahlah!

Dalam bursa politik hari ini tidak melihat ada nama beliau. Menurut saya, beliau adalah manusia yang sering bercermin dan pandai mengukur diri. Siapa yang tidak suka untuk menjadi bagian dalam kontestasi Pilkada bagi orang yang sudah manjalani beberapa tangga? Tapi bagi orang yang sadar diri dan merasa belum saatnya, maka lebih baik mengabdi dulu sebanyak-banyaknya pada masyarakat. Persoalan masyarakat sendiri yang menginginkan, kenapa tidak. Saat ini memang belum panggungnya beliau. Apa lagi yang lain.

Saya merasa harus angkat topi, meski sebenarnya tidak punya topi. Bahasa lain dari sebuah apresiasi yang sebesar-besarnya kepada beliau atas banyak hal yang sudah dilakukan. Yang turut merasa bersyukur atas kebenaran pilihan masyarakat sehingga beliau bisa menduduki jabatan yang memungkinkan lebih banyak membantu orang lain. Sebab, banyak orang dalam posisi yang sama, namun masih belum jelas kontribusinya.

Teruslah berkarya, meski bukan menjadi bagian dari golongan karya. Kebangkitan bangsa ada pada orang-orang seperti anda. Politik pengabdian adalah cara paling etis untuk mengantarkan pada puncak kekuasaan; dan puncak kekuasaan itu sendiri adalah pengabdian yang seluas-luasnya.

Akhirnya, semoga Allah senantiasa melimpahkan kesehatan dan karunia untuk banyak hal yang telah dilakukan. Amin.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 20 September 2017

0 komentar:

Posting Komentar