This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 31 Mei 2018

Pancasila, Setan dan Orang Kanan

Pancasila, Setan dan Orang Kanan

Dengan diikatnya setan-pada bulan puasa, bisa saja orang seperti Durjudana atau Rahvana sekalipun bisa menjadi baik. Sebab, kita percaya bahwa yang selama ini menjadikan manusia jahat adalah setan dengan berbagai godaan dan tipu dayanya. Kecuali kalau orang itu terlalu dekat dengan manusia bermodel Sengkuni atau; bermodel Halayuda, karena setannya mereka sendiri.

Jangankan orang yang mempunyai potensi jahat, yang baik pun bisa menjadi jahat. Mungkin orang seperti mereka yang dimaksud Allah dalam surat An-nas tentang setan berwujud manusia yang senantiasa membisikkan (kejahatan) dalam hati manusia. Dengan segala tipu daya yang dimiliki mampu merubah akal sehat orang lain.

Apalagi setan yang memang tugasnya menggoda manusia untuk jahat, tidak akan mempengaruhi manusia untuk jahat. Dekat dengan orang yang biasa berbuat jahat saja, kita akan ketularan jahat. Sebab, karakter manusia itu akan mencuri karakter manusia lainnya secara perlahan, kira-kira itu kaidah dalam Islam yang pernah saya dengar. Maka, dianjurkan bagi kita untuk mencari dan berteman dengan manusia-manusia yang baik, agar kita ketularan baik.

Kecenderungan orang yang tingkat kemampuannya lebih tinggi, mereka lebih mudah mempengaruhi orang yang ada di bawahnya. Selektif mencari teman adalah cara paling aman dan baik. Aman dari pengaruh jahat orang-orang yang ingin menggeser pemikiran kita, utamanya yang ingin menggeser kecintaan kita kepada negara, pemimpin negara dan ideologi negara yakni Pancasila.

Dalam konteks Indonesia, menjamurnya manusia apancasilais tidak lepas dari pergaulannnya. Orang ini senantiasa bergaul dengan orang-orang kanan yang sengaja menghadapkan agama dengan negara dan menjadikan negara sebagai musuh bersama, sehingga muncullah terorisme. Terorisme itu sengaja diciptakan oleh manusia ekstrim kanan untuk merubah ideologi negara, menjadi ideologi yang diinginkan.

Jadi ingat pesan Ali Imron, bahwa mendukung terorisme itu cukup dengan mengatakan, pengalihan isu dan konspirasi pemerintah. Itu sudah membuat teroris lebih tenang dan kipas-kipas. Namun, sayangnya masih banyak di antara kita yang kesadarannya sangat kecil akan ancaman terorisme ini, sehingga mengatakan bom Kampung Melayu adalah sebuah konspirasi pemerintah. Naif sekali!

Semoga Garuda masih mampu terbang tinggi dan mengamati musuh-musuhnya, dan Pancasila mampu mengikat kuat keberagaman bangsa Indonesia ini.

Selamat hari Pancasila.
Pamekasan, 01 Juni 2017

Senin, 28 Mei 2018

Tentang Kebaikan Semu

Tentang Kebaikan Semu

Suatu hari istriku menggurui saya dengan sebuah kalimat yang bijaksana. Setelah saya anggap selesai menyampaikan seluruh isinya, lantas saya balik menyampaikan sesuatu kepadanya. Saya katakan seperti ini, "Usahakan apa yang kamu sampaikan itu sesuai dengan keberadaan dirimu. Apa yang kamu katakan itu adalah cerminan dari dirimu, bukan hanya serangkaian kata-kata dan menjadi kalimat yang bagus. Seperti seseorang yang sedang makan, itu merupakan cerminan dari orang yang sedang lapar atau; seperti orang yang sedang minum, itu merupakan cerminan dari seseorang yang sedang haus".

Sebenarnya, hal itu merupakan sebuah refleksi dari banyaknya kata-kata bijak yang tidak terlaksana, atau sama dengan sebuah ilmu yang tidak diamalkan. Memang tidak semua ilmu menuntut pengamalan, jika ilmu itu jauh dari jangkauan akal manusia seperti ilmu yang menyangkut eksistensi ketuhanan. Ilmu yang hanya menuntut untuk diketahui saja, dan tidak ada unsur pengamalannya. Mengamalkan dalam artian melakukan sesuatu dalam bentuk pekerjaan, bukan dalam bentuk meyakini.

Ruang pembicaraan ini sebaiknya memang bukan masalah teologi (tauhid), tapi mungkin yang lebih bersifat teknis seperti syariat dan tasawwuf. Sebab, konsekuensi masalah tauhid itu adalah "keluar atau tidak keluar dari kepercayaannya" sedang konsekuensi masalah syariat itu adalah "dosa atau tidak dosa" dan konsekuensi masalah tasawwuf itu adalah "baik dan tidak baik".

Syariat memang identik dengan perbuatan dhahiriah. Selain pencitraan, orang yang secara dhahir perilakunya baik, dapat dipastikan isi hatinya baik. Namun, belum tentu orang yang kata-katanya baik mempunyai sifat yang baik pula. Karena dalam kondisi tertentu kata-kata dijadikan sebagai alat kamuflase untuk mengelabui orang lain.

Memperbaiki diri dengan cara menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan itu penting diupayakan. Karena demikian itu menjadi cara untuk menjadi lebih baik. Jangan sampai kita selalu berbicara atas nama agama, tiba-tiba terbukti korupsi atau terlibat menggunakan obat-obatan terlarang.

Untuk masalah yang bersifat filosofis yang seringkali saya bicarakan, tidak berarti saya seorang filsuf. Atas dasar ketidakselarasan itu, "Saya mohon maaf!"

Wallahu a'lam!

Sampang, 29 Mei 2017

Minggu, 27 Mei 2018

Keanekaragaman adalah Rahmat bukan Kutukan

Keanekaragaman adalah Rahmat bukan Kutukan

Segala sesuatu di muka bumi ini, Allah ciptakan berbeda termasuk dengan karakter masing-masing. Jangankan berbeda jenis, yang sama jenis saja dengan bentuk yang berbeda, akan melahirkan karakter yang berbeda. Bisa dilihat, bagaimana logam (baca: besi) bisa menimbulkan bunyi yang beraneka ragam, bergantung bentuk dan di mana logam itu ditempa.

Taruh saja gamelan jawa, mulai dari gong, bonang, demung, saron, peking, kenung, gender, gambang dan lain-lain. Semua itu terbuat dari besi. Namun, karena bentuknya berbeda, maka ia melahirkan karakter suara yang berbeda pula. Bagaimana kalau besi dibandingkan dengan emas yang sama-sama logam? Ah, itu lain cerita.

Sejenis saja bisa bermacam karakter muncul, apalagi beda jenis. Bandingkan saja karakter bunyi alat musik yang terbuat dari pohon bambu (seruling) dengan alat musik yang terbuat dari logam tadi; atau bandingkan karakter bunyi keduanya dengan alat musik yang terbuat dari kulit lembu (gendang). Belum lagi, kalau kita mau bandingkan alat musik dengan binatang; binatang sesama binatang; gunung dengan pepohonan; atau manusia dengan air. Kita akan menemukan perbedaan karakter yang sangat jauh.

Bahkan manusia dengan manusia sekalipun, tidak ada yang mempunyai karakter yang sama. Termasuk yang keluar dari satu rahim, diasuh oleh orang tua yang sama, dan dibesarkan dalam lingkungan yang sama pula. Apalagi mau dibandingkan dengan keluarga yang lain dengan latar belakang yang berbeda. Misalnya, seorang anak yang lahir lingkungan perkotaan dengan anak yang lahir di pedalaman. Perkotaan dengan tingkat peradaban yang tinggi akan melahirkan anak dengan pemikiran lebih terbuka. Sedang anak yang lahir di pedalaman akan cenderung tertutup, karena keterbatasan banyak hal, termasuk akses pendidikan.

Betul sekali, bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi terhadap karakter seseorang. Seperti yang disampaikan oleh seorang tokoh aliran Empirisme, John Lock-filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Aliran Empirisme berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya.

Terlepas perdebatan antara aliran Empirisme dan Aliran Nativisme yang manyatakan bahwa perkembangan karakter manusia itu dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan. William Stem, seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939, menyampaikan penemuannya yang disebut dengan teori Konvergensi. Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti penyatuan hasil atau kerja sama untuk mencapai suatu hasil.

Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan, dan kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang permainan. Dalam ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam arti yang sangat luas.

Atas dasar itu, yang paling penting adalah kesadaran memahami makhluk lain dari ciptaan Tuhan termasuk kita sesama manusia. Perbedaan pemikiran yang terjadi di antara kita tidak lepas dari latar belakang lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing, dan itu merupakan sebuah keniscayaan. Kalau hal itu harus dipaksakan sama, rasanya tidak mungkin, karena dia hidup di mana dan kamu di mana. Memaksa harus sama, sama halnya memindahkan ikan air asin ke air tawar, pasti tidak akan hidup.

Sengaja Tuhan menciptakan perbedaan karakter untuk saling melengkapi, bukan saling menjauhi satu sama lain. Menyadari adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lain, adalah hal yang harus dipelajari; dan bagaimana harus mampu menerimanya. Bukan menolaknya.

Wallahu a'lam!
Sampang, 28 Mei 2017

Gerakan Masyarakat Perangi Politik Uang

Gerakan Masyarakat Perangi Politik Uang

Saya setuju kalau masing-masing calon—melalui timnya—dalam kontestasi Pilkada Pamekasan ini sama-sama meneriakkan katakan "tidak" pada politik uang. Setidaknya, dengan begitu kita melihat sebuah kewarasan yang diperlihatkan oleh masyarakat (baca: tim). Terlepas dari persoalan siapa yang memulai dan mengajak akan hal itu, mau tim atau masyarakat umum, pokoknya hal itu waras. Bagi gue itu penting binggow sebagai sebuah cara memutus mata rantai korupsi.

Kalau mau ditelusuri jejaknya, "Memangnya maling ada jejaknya!" memang ada hubungan kausalitas antara money politik dengan korupsi. Sebab akhirnya, berapa banyak jumlah materi yang keluar waktu kampanye harus berbanding lurus dan bahkan berbanding lebih dengan jumlah materi yang harus masuk kantong setelah terpilih. Maka saya sepakat jika ada ajakan, "ambil uangnya dan pilih orangnya". Ups, maksudnya jangan pilih orangnya.

Dari itu, kewarasan semacam ini harusnya diapresiasi. Jika ada sepasang calon yang bertekad dan beritikad untuk memerangi korupsi, harusnya langkah yang waras bagi kita adalah menghindari nada-nada nyinyir agar tidak terbangun sebuah asumsi kelaziman pada politik uang. Meski tidak menutup kemungkinan yang terpilih tanpa modal sekalipun akan jual beli jabatan di birokrasi. Hal semacam itu bergantung integritas seseorang, bukan pengalaman kerja. Manusia kalau sudah sampai, cenderung lupa pada yang mengantarkan.

Korupsi itu penyakit yang menjangkiti hampir setiap lini masyarakat. Maka dari itu korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa yang membahayakan terhadap masa depan anak bangsa. Kenapa demikian? Karena korupsi menghilangkan kesempatan bagi orang lain untuk hidup lebih baik, yang seharusnya masyarakat mampu menyekolahkan anaknya menjadi tidak mampu. Belum lagi misalnya tidak ada kebijakan subsidi dari pemerintah seperti beasiswa bagi masyarakat kecil, dari itu ketimpangan sosial akan terlampau jauh. Kata, Bang Roma, "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin".

Korupsi juga bukan satu-satunya disebabkan oleh politik uang. Gaya hidup yang kurang baik juga bisa melahirkan korupsi bagi seorang pejabat. Gaya hidup seperti menumpuk harta kekayaan atau menumpuk benda-benda istimewa lainnya. Yang termasuk dalam golongan istimewa dalam pada ini adalah harta, tahta, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Ingat, diulang dua kali agar lebih mantap. Dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Kalau boleh meniru perkataan mantan Presiden kita bapak Sby, "saya prihatin" melihat kondisi ini. Dimana kebenaran memperjuangkan kebaikan dianggap sebagai bahan candaan. Melihat cita-cita besar aksi tanggap darurat korupsi ini saya jadi optimis bahwa keadaan akan lebih baik. Insyaallah, maalyakin. Tentu, harus didukung bersama oleh segenap elemen masyarakat, tidak membangun jarak antara pejabat dan masyarakat, dengan bahasa lain harus mampu adaptasi dan berbaur. Buang rasa gengsi di antara kita.

Harapan saya, semoga ke depan kita terhindar dari godaan politik uang yang terkutuk. Ibarat permainan catur, salah satu langkah akan melahirkan kesalahan pada langkah-langkah berikutnya. Salah memberikan suara, maka kerugian pada lima tahun ke depan sudah mengintip di balik tirai jendela. Anda mau tirai satu atau tirai dua? Silahkan pilih dan jangan sampai memilih 'zonk' agar tidak menyesal kemudian.

Kita adalah sahabat apapun pilihannya, jangan lupa untuk senantiasa berbaur.

Pamekasan, 25 Mei 2018

Senin, 21 Mei 2018

Irwan di Antara Para Pembunuhnya

Irwan di Antara Para Pembunuhnya

Bagi para penggemar Irwan, jangan bunuh karakternya dengan cara terlalu mengagungkannya. Kalian telah memberi beban moral yang berat di pundaknya dengan cara seperti itu. Saat ini dia masih dalam tahap perjuangan antara berhasil dan tidak berhasil, kalau dia tidak berhasil dia akan kembali pada sediakala --profesi semula sebagai apapun-- meski tidak dalam waktu dekat.

Sepertinya banyak penggemar Irwan menuntutnya untuk menjauh dari kehidupan biasanya termasuk gaya hidupnya yang dulu. Inilah yang akan menjadi bumerang bagi dirinya. Siapa pun support dia sampai puncak tertinggi, tapi dengan cara yang positif dan tetap ada yang mengingatkan tentang latar belakang kehidupan Irwan agar Irwan tidak tergiring oleh keadaan yang membawa dia pada glamoritas artis ibu kota kekinian.

Pada saat dia sudah merasa menjadi orang penting dan masyarakat sudah mulai jenuh dengan dia yang membuatnya mulai ditinggalkan, kita bisa bayangkan bagaimana dia mau menghadapi kehidupan ini. Gaya hidupnya sudah dia ubah dan materi semakin menipis, sisi lain tertuntut mempertahankan prestisenya. Pertanyaannya, apakah anda tidak kasihan kepadanya?

Saya himbau, jangan bunuh dia secara perlahan, selain kondisi tenar yang dia nikmati dia harus diingatkan pula bagaimana dia tetap mampu membawa dirinya agar tidak jumawa dalam kondisi itu, saya melihatnya masih polos yang cenderung bisa dibawa kemana saja termasuk kepentingan kelompok yang mulai mendekatinya.

Kalau di antara pembaca ada keluarga dia, ingatkanlah.

Intermizo dengan segelas kopi.
Pamekasan, 11 Mei 2015

20 Mei 2015 Sebagai Gerakan Sporadis Mahasiswa

20 Mei 2015 Sebagai Gerakan Sporadis Mahasiswa

Selama ini mahasiswa bergerak di atas pemikiran–kesejahteraan rakyat—yang sama dan merespon setiap kebijakan pemerintah dengan cara yang sama pula, baik itu gerakan persuasive atau gerakan turun jalan. Kali ini publik dikejutkan dengan tontonan yang kontras dalam gerakan mahasiswa, ketika melihat gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa itu tidak sama antara yang satu dengan lainnya yaitu berjalan sendiri-sendiri. Ada yang memilih makan malam bersama Bapak Presiden ada pula yang memilih mengepung istana. Hal ini akan dibaca sebagai sebuah bentuk kelemahan mahasiswa dalam mengawal kebijakan pemerintah.

Adanya beberapa gerakan yang dilakukan oleh bapak Presiden untuk menggembosi gerakan mahasiswa seperti melakukan pertemuan dengan aktivis lintas generasi, bukan sebuah bentuk kecerdasan bapak Presiden dalam merespon gerakan yang akan dilakukan oleh mahasiswa, tetapi ini merupakan bentuk kebodohan dari mahasiswa. Presiden telah menyelamatkan diri dengan cara membaca kebutuhan mahasiswa disebabkan kecenderungan pragmatisme yang terjadi di kalangan mahasiswa.

Adanya beberapa mahasiswa yang mendekat kepada kekuasaan dengan tujuan keuntungan pribadi mampu ditangkap dengan baik oleh presiden.
Atas nama ketidakkompakan yang terjadi pada gerakan mahasiswa mengakibatkan antara yang satu dengan yang lain saling menggiring opini pembenaran terhadap langkah yang dilakukan. Seperti yang terjadi antara Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Bung Karno dengan BEM se-UI.

Statement pembenaran yang disampaikan oleh koordinator  BEM se-UI kenapa mereka menerima untuk makan malam bersama presiden, ”Bagi saya, aksi dan perlawanan itu tidak boleh dibatasi hanya dengan turun ke jalan. Hadirnya saya ke forum dengan presiden juga saya niatkan sebagai bagian dari aksi dan advokasi mahasiswa untuk menyampaikan langsung apa yang menjadi keresahan masyarakat. Saya pastikan bahwa apa yang saya lakukan adalah tetap dalam koridor gerakan moral dan intelektual. Ini hanya masalah pilihan gerakan (choice of movement) apa yang mau kita gunakan. Bertemu langsung kah? Atau terus menerus berada di jalanan?”.

Ada pernyataan lain yang disampaikan oleh Koordinator BEM se-UI yaitu “Besok, Kamis, 21 Mei 2015 (hari ini-ed), Pukul 10.00 BEM UI akan bergabung dengan ribuan massa mahasiswa di depan Istana Negara. Saya sudah mendapatkan konfirmasi dari Kordinator Pusat BEM SI akan hadirnya ribuan massa di depan Istana esok. Saya undang seluruh rakyat yang masih peduli akan hadirnya kesejahteraan yang lebih baik, untuk hadir bersama kami mahasiswa.” Inilah bagian tidak cerdas dari BEM UI, pada moment yang sama dia mengambil dua sikap dan pernyataan yang tidak konsisten.

Ada dua pernyataan yang bertentangan sebenarnya apa yang disampaikan BEM UI itu, yang pertama menyampaikan bahwa mereka menggunakan pendekatan yang berbeda karena substansinya adalah gerakan perjuangan, tapi sisi lain masih menyampaikan mau turun bersama tanggal 21 mei 2015. Pertanyaannya buat apa mereka turun kalau sudah bertemu dengan pemilik kebijakan, bukankah aspirasi mereka sudah disampaikan.

Belum lagi hujatan yang dilayangkan oleh Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Universitas Bung Karno (UBK), mereka mengecam kehadiran para mahasiswa yang diundang Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu tersebut, mereka menuding bahwa apa yang dilakukan oleh BEM UI sebagai “pelacur Intelektual”. Beberapa mahasiswa yang mengambil sikap turun jalan adalah Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Universitas Bung Karno dan banyak dari elemen mahasiswa lainnya.

Adanya keberagaman gerakan di antara mahasiswa ini sah-sah saja, yang terpenting dalam gerakan yang diambil mempunyai orientasi yang jelas dan tidak tendensius. Meski sebenarnya gerakan sporadis yang terjadi ini akan membangun kesan bahwa nilai tawar dan sakralitas gerakan yang selama ini ditakuti oleh penguasa sudah tidak ada lagi.

Evaluasi gerakan harus tetap dilakukan oleh para mahasiswa selama Negari ini ada. Baik gerakan pemikiran atau pun gerakan jalanan. Perubahan yang lebih baik masih menjadi cita-cita bangsa Indonesia, mahasiswa harus hati-hati mengambil sikap karena kelak beban bangsa ini ada di pundak kita sekalian. Kepentingan pribadi harus dikesampingkan dan lebih mengedepankan kepentingan rakyat. Selama ini kekuatan mahasiswa sudah mampu menumbangkan rezim, jangan lupa itu.

Pamekasan, 22 Mei 2015

Minggu, 13 Mei 2018

Ketika Sang Wali Butuh Pendapat (?)

Ketika Sang Wali Butuh Pendapat (?)

Seorang wali yang mendapat bocoran tentang musibah yang akan terjadi-di sebuah desa-sedang bingung. Sebagai seorang wali, ia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menyelamatkan penduduk desa dari musibah itu. Untuk menyelamatkan penduduk desa, seperti tidak ada cara lain selain dengan cara mengevakuasi penduduk desa itu ke tempat yang aman. Namun yang menjadi persoalan adalah cara bagaimana meyakinkan penduduk desa bahwa di desa itu akan terjadi musibah. Namanya penduduk desa, aneka macam karakter yang ada sulit untuk diajak kerja sama, apa lagi perihal sesuatu yang belum jelas.

Namanya penduduk desa, tidak hanya satu atau dua orang saja, tapi ratusan atau bahkan ribuan. Bisa kita bayangkan dalam kondisi itu. Jika ada orang menyampaikan suatu hal yang besar dan tidak betul-betul terjadi, kira-kira apa yang akan dilakukan kepada orang itu selain dicincang habis-habisan. Dengan jumlah penduduk yang banyak itu harus dievakuasi, maka sulit sekali untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Di sisi yang berbeda, Sang Wali juga harus menyembunyikan identitas diri tentang kewaliannya. Sebagai seorang wali yang menyembunyikan statusnya, otomatis orang hanya melihat profesi yang digeluti selama ini, bukan sebagai seorang wali. Pekerjaan sebagai petani, yang menurut sebagian orang sebagai pekerjaan kelas dua atau dalam kacamata sosial identik dengan pekerjaan masyarakat menengah ke bawah semakin mengurangi kepercayaan masyarakat atas apa yang akan disampaikan.

Memberikan pemahaman dan meyakinkan penduduk tentang hal itu rasanya sulit, karena selain status sebagai seorang wali yang dirahasiakan, beliau adalah seorang petani. Mana bisa seorang petani tiba-tiba berfatwa bahwa di desa itu akan terjadi musibah, kecuali dia akan menjadi bulan-bulanan masyarakat desa karena dianggap tidak waras. Tidak, rasanya itu bukanlah jalan yang baik. Harus berpikir ekstra keras dengan langkah-langkah yang cerdas.

Sang Wali pun bingung. Ia harus berpikir keras untuk memecahkan masalah itu; dan harus pandai memanfaatkan satu jatah doa yang akan dikabulkan oleh Tuhan dalam masalah itu. Kira-kira doa apa yang akan dipanjatkan untuk menyelamatkan penduduk desa. Apakah akan berdoa agar musibah itu digagalkan. Tidak, rasanya itu tidak mungkin, karena persoalan itu merupakan hak prerogatif Tuhan, manusia hanya punya upaya dan ihtiar untuk menghindari itu.

Atau, berdoa memohon uang sebanyak-banyaknya untuk membuat rumah di tempat yang berbeda. Kemudian penduduk dievakuasi ke tempat itu. Tapi ini mencurigakan sekali. Bagaimana mungkin seorang petani mempunyai banyak uang untuk membeli tanah dan membuat rumah untuk penduduk desa. Sungguh di luar nalar akal sehat. Sang Wali, semakin bingung tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan penduduk desa, dengan satu jatah doa itu.

***
Seandainya, Anda adalah Wali itu. Apa yang akan anda lakukan untuk menyelamatkan penduduk desa? Sedangkan anda tidak boleh membocorkan rahasia tentang kewalian anda yang memungkinkan orang percaya terhadap apa yang anda sampaikan, termasuk tentang musibah yang akan terjadi, dengan tujuan agar masyarakat perpindah dengan sukarela.

Berikutnya, bila Tuhan berkenan memberikan satu permintaan yang akan dikabulkan olehNya. Kira-kira, doa apa yang akan dipanjatkan untuk menyelamatkan penduduk desa itu, selain gagalnya musibah di desa itu.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 13 Mei 2017

Sabtu, 12 Mei 2018

Pergeseran Paradigma Perguruan Tinggi

Pergeseran Paradigma Perguruan Tinggi 
Perguruan tinggi merupakan salah satu subsistem pendidikan nasional. Keberadaannya dalam kehidupan bangsa dan negara berperan penting melalui penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 20 Ayat 2).

Dasar itulah yang mengantarkan perguruan tinggi pada puncak paling tinggi dalam kontribusinya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kontribusi itu sudah digambarkan dalam kehidupan sehari-hari dari segala bidang kehidupan yang hampir semua elemen masyarakat dimotori oleh mahasiswa–mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan di pergruan tinggi—baik bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum, pemerintahan, sosial dan budaya, serta pemberdayaan dan lain-lain. Prestasi perguruan tinggi yang ikut andil dalam pencerdasan bangsa ini secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan kehidupan bangsa.

Tetapi naif sekali ketika perguruan tinggi yang dipercaya sebagai pencerah bagi bangsa melakukan praktik-praktik yang keluar dari fungsinya dan mengabaikan nilai Tri Dharma Perguruan tinggi. Seperti yang banyak terjadi belakangan ini, yang semestinya perguruan tinggi memberikan motivasi secara maksimal kepada mahasiswa dalam melakukan penelitian dengan segala bentuk bimbingannya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, karena beberapa oknum perguruan tinggi malah memanfaatkan hal itu sebagai perluasan penghasilan dengan cara mengambil alih tugas akhir (skripsi) mahasiswa untuk mendapat penghasilan lebih.

Pembodohan terhadap mahasiswa itu sesungguhnya telah menciderai Tri Dharma perguruan tinggi, yang seyogyanya dalam proses pendidikannya melakukan penelitian sebagai bekal pengalaman hidupnya, ternyata hal itu tidak terjadi. Hal ini akan menggeser posisi mahasiswa sebagai orang yang dianggap paling mampu memberikan penyelesaian terhadap segala bentuk fenomena dan problematika sosial.

Point penting dalam Tri Dharma perguruan tinggi seperti penelitian sebagai pengembangan keilmuan bagi mahasiswa sudah dipotong prosesnya oleh pihak perguruan tinggi yang tidak bertanggungjawab. Hal inilah yang mengakibatkan degradasi pemikiran dan keilmuan di kalangan mahasiswa, yang akhirnya mengakibatkan menurunnya militansi dan keterpurukan hidup. Paling ironis bagi sebagian mahasiswa yang selama ini getol melakukan pembelaan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat akar rumput dengan cara melakukan penekanan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, kini mereka tidak mampu membela teman sekampusnya dari pembodohan terstruktur.

Bagi para mahasiswa yang selama ini melabelkan dirinya sebagai aktivis lihatlah hal ini sebagai bentuk kejahatan yang harus dicarikan solusi. Harus ada langkah-langkah kongkrit yang dilakukan oleh para pemikir ini, karena saat ini perguruan tinggi sudah tidak mampu memberikan pendidikan bagi mahasiswa untuk meneliti dan menulis. Mata kuliah penulisan karya ilmah di perguruan tinggi yang tidak produktif itu hasrus disikapi oleh segenap mahasiswa dengan cara sesering mungkin melakukan kajian-kajian yang bisa memberikan jawaban terhadap kegelisahan mahasiswa lainnya dalam hal penulisan karya ilmiah yang dimaksud.

Hentikan kejahatan struktural dan jual beli tugas akhir (skripsi) bagi mahasiswa. Hentikan segala bentuk pembodohan bagi mereka sebagai generasi penerus bangsa.

Mari, berpikir sambil menikmati secangkir kopi dengan sebatang rokok.

Pamekasan, 13 Mei 2015

Kamis, 10 Mei 2018

Lantas, Siapa Yang Benar?

Lantas, Siapa Yang Benar?

Saat ini umat Islam dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang sangat meresahkan. Munculnya banyak organisasi keislaman yang mempunyai pendekatan yang berbeda dalam menyikapi persoalan sosial, politik, hukum di Indonesia telah membuat umat Islam bingung. Konstruksi berpikir para cendekiawan yang disandarkan pada nilai-nilai agama justru menjadi penyebabnya. Taruh saja, bagaimana dari kalangan umat Islam memberikan penilaian terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Bapak Basuki Tjahya Purnomo (Ahok) ketika melakukan penggusuran terhadap rumah warga yang tinggal di atas lahan milik pemerintah. Di antara mereka ada yang membenarkan ada pula yang menyalahkan.

Parahnya lagi, tidak hanya persoalan kebijakan yang menjadi sorotan, agama sang gubernur juga menjadi sorotan. Sehingga muncul sebagian kalangan orang-orang yang mengatasnamakan agama, larangan-larangan untuk memilih gubernur dari nonmuslim; meski di sisi lain banyak juga organisasi kemasyarakatan--termasuk orang di dalamnya--membolehkan nonmuslim sebagai gubernur, dan hal itu juga atas nama agama.

Belum lagi, fenomena adanya organisasi yang mengatasnamakan Islam mendeklarasikan penerapan hukum Islam di Indonesia. Tidak ayal, hal ini menuai kontroversi dan bahkan kecaman dari organisasi keislaman lainnya, dengan alasan NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dan tidak perlu diotak-atik kembali. Argumentasi-argumentasi pembenaran bertebaran di mana-mana, baik melalui selebaran atau media sosial. Semuanya saling menguatkan ideologi yang mengusung nilai yang dianggap sebagai kebenaran dimaksud. Para tokoh baru bermunculan dengan hujjah-hujjah pembenaran terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan, sekaligus sebagai pembendung serangan pihak lain yang tidak sejalan dengan pemikirannya.

Selain itu, muncul lagi sebuah aliran (faham) yang dengan sengaja mengganggu konsentrasi kelompok lain dalam ibadah. Ibadah dengan nilai-nilai tradisi di dalamnya diserang tanpa ampun. Baik dengan menyebut kelompok itu syirik, kafir, dan penganut bid'ah. Bagaimana mungkin akan tercipta kenyamanan dalam beribadah apabila sesama umat Islam saling menyalahkan dan menjatuhkan antara yang satu dengan lainnya. Dan kelompok yang disudutkan juga tidak tinggal diam, sehingga perang ayat dan haditspun tidak bisa dihindarkan terjadi di mana-mana, baik melalui selebaran, media sosial dan majelis-majelis.

Sampai saat ini umat islam masih sibuk dengan persoalan perbedaan di dalam agama itu sendiri. Sehingga konsentrasi umat Islam banyak tersita merampungkan argumentasi-argumentasi untuk menghantam saudaranya sendiri. Sisi lain, orang di luar kita sudah berpikir bagaimana mampu meningkatkan taraf hidup dengan banyak melakukan penelitian dan penemuan. Sehingga, untuk saat ini dominasi pengetahuan di bidang teknologi dikendalikan oleh orang-orang di luar Islam. Sedang argumentasi-argumentasi umat islam belum rampung. Jika demikian adanya, akhirnya kita menjadi bagian orang yang menurunkan harkat dan martabat Islam itu sendiri dengan mengatasnamakan Islam. Umat Islam hari ini masih sibuk berdebat tentang nilai-nilai keagamaan dalam Islam yang sesungguhnya sudah finish, padahal hari ini tinggal bagaimana kita mengimplementasikannya.

Coba sebentar saja kita melihat sejarah bagaimana rekam jejak ulama terdahulu menjaga wibawa agama Islam. Agar umat Islam tidak dinyatakan sebagai umat yang tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, para ulama terdahulu mampu menyaingi para ilmuwan, termasuk ilmuwan Eropa sekalipun. Seperti Al-Khawarizmi yang hidup (780-850 M.) telah berkontribusi dalam bidang astronomi; Ibnu Haitham yang menggeluti ilmu sains dan optik; Ar-Razi (864-930 M.) yang ahli di bidang kedokteran selain itu juga menekuni bidang yang lain seperti kimia, filsafat, logika dan fisika; Ibnu Sina ahli di bidang filsafat dan kedokteran; Al-Fàràbi ahli terapi musik dan ahli hukum; Al-Khazini merupakan ilmuwan Astronomi yang mencetuskan beragam teori penting dalam sains seperti: metode ilmiah eksperimental dalam mekanik, energi potensial gravitasi, perbedaan daya, masa dan berat, teori keseimbangan hedrostatis; Al-Kindi yang ahli di bidang kedokteran, filsafat, dan terapi musik; Al-Biruni adalah seorang Fisikawan dan teori gravitasi bumi; Ibnu Khaldun adalah seorang yang ahli dalam bidang sosiologi dan Ekonomi; Al-Zahrawi ahli bedah dan kedokteran; Jabir Ibnu Hayyan adalah seorang yang ahli di bidang kimia; dan kita masih belum selesai berbicara tentang furuiyah dan khilafiyah.

Untuk saat ini dibutuhkan para pembaharu pemikir Islam yang tidak terkontaminasi oleh gesekan antar golongan yang menghambat terhadap Ide-ide cerdas. Sehingga lahir generasi brilian yang mampu mengembalikan masa kejayaan Islam di masa depan, tidak hanya yang bersifat keagamaan tetapi juga yang mampu bersaing di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Entah, kapan hal itu akan menjadi kenyataan, tapi ini adalah harapan.

Wallahu a'lam.

Pamekasan, 11 Mei 2016

Selasa, 08 Mei 2018

Realitas Permainan Catur dalam Pilkada

Realitas Permainan Catur dalam Pilkada

Dalam permainan catur, kita akan mengenal istilah solid dan agresif. Solid menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kuat; kukuh; berbobot: "organisasi itu terkenal sebagai organisasi yang solid," begitulah kira-kira contohnya. Permainan solid cenderung bertahan dan mengandalkan serangan balik, itu pun jika serangan lawan dirasa mengancam dan membahayakan bagi dirinya. Selain bertahan, permainan solid juga mampu memanfaatkan perwira dengan baik.

Bila tidak membahayakan, permainan solid lebih suka dengan bermain indah dan akrobatik; menonjolkan kemampuan bermain kualitas dengan mengembangkan perwira dengan baik. Kelebihan permainan solid, semakin diserang semakin membahayakan bagi lawan. Solid merupakan wujud dari, kematangan, kebijaksanaan dan kesabaran, memahami segala situasi dan kondisi dengan cermat; tahu kapan bertahan dan kapan saatnya menyerang. Solid berbanding terbalik dengan agresif.

Agrésif bersifat atau bernafsu menyerang; secara psikologis cenderung (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Pemain catur dengan tingkat agresifitas yang tinggi cenderung menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, sebab dalam kondisi seperti itu situasi sering tidak terkontrol dengan baik. Sikap agresif melahirkan sikap gegabah dengan langkah-langkah ceroboh.

Pemain agresif yang mempunyai kemampuan bermain di atas pemain yang solid, mungkin sangat mudah untuk mendobrak pertahanan lawan. Namun, bagi dua pemain yang mempunyai tingkat kemampuan yang sama, terlalu agrésif hanya akan melahirkan langkah-langkah blunder. Kesalahan satu langkah akan merusak formasi dan melemahkan pertahanan, pada saat yang sama, kekalahan mengintai di belakangnya.

Solid bukan berarti lemah, justru solid itu sudah penuh dengan kematangan dalam segala hal, dan lebih bijaksana dalam mengontrol permainan. Sementara itu, pemain agresif mengandalkan serangan meski terkadang tanpa perhitungan yang matang. Kecerobohan-kecerobohan biasa sering terjadi pada babak akhir pada permainan yang agresif. Dan bahkan dalam kondisi tertentu, ia melangkah tanpa tujuan yang penting menyerang.

Realitas permainan dalam catur ini juga menjadi bagian dalam kehidupan kita. Dalam kehidupan kita sehari-sehari dapat kita jumpai dengan mudah orang-orang yang hanya bisa menyalahkan dan menyerang orang lain hanya untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya; hanya untuk membangun kesan bahwa dirinya hebat dan lebih cerdas. Padahal menyerang tanpa ada konsep tandingan sama dengan mempertontonkan kelemahan dirinya. Tipe agresif ini hanya bermodalkan wacana tanpa konsep dengan perhitungan yang matang. Padahal semua orang tahu bahwa retorika saja tidak cukup untuk mengalahkan konsep yang matang.

Di akhir catatan ini, saya jadi teringat dengan debat kandidat tadi malam. Kalau kita mengikuti perdebatan itu dari awal sampai selesai, kita jadi tahu mana yang solid dan mana yang agresif; mana yang konsepnya matang dan mana yang pura-pura matang; mana yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik dan mana yang membuang waktu dengan sia-sia. Dan dalam pada ini, anda yang menilai dan memutuskan.

Wallahu a'lam. 

Pamekasan, 08 Mei 2018

Akikah untuk Anak

Akikah untuk Anak

Ada satu hal yang dipikirkan orang tua dari sekian banyak hal yang harus dipikirkan ketika anaknya lahir. Satu hal itu adalah akikah. Apa itu akikah? Akikah adalah pengurbanan hewan dalam syariat Islam, sebagai bentuk rasa syukur umat Islam terhadap Allah SWT. mengenai bayi yang dilahirkan. Ingat, substansinya adalah rasa syukur.

Yang lazim, akikah menggunakan kambing. Satu kambing untuk bayi perempuan dan dua kambing bagi bayi laki-laki. Namun demikian, kalau misalnya ada yang mau akikah lain dari kambing, yang serupa kambing seperti sapi, boleh saja. Meski masih menjadi perdebatan, kita sebagai pelaksana teknis tinggal mengikuti saja tanpa ikut memperdebatkan. Islam tidak memberatkan, kok.

Bagi peternak kambing, bukan sesuatu yang berat untuk melaksanakan ritual itu. Namun, bagi orang yang tidak beternak kambing, dibutuhkan pengorbanan untuk mendapatkannya. Harus mengorbankan materi, tenaga dan meluangkan waktu ke pasar untuk sekedar mendapatkan kambing yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan dimaksud, sudah layak dikurbankan, semisal giginya sudah tanggal.

Dalam pencariannya ada kenikmatan tersendiri ketika sedang berbaur dengan masyarakat. Ada banyak karakter kita jumpai di pasar. Mulai dari yang penyabar sampai yang pemarah; dari yang pemaksa sampai yang acuh; dari yang pembohong sampai yang jujur. Pokoknya nano-nano sekali. Bahkan, akibat dari kebohongan pedagang, teman saya terpaksa harus menukar kambingnya dengan tambahan uang, karena ternyata kambing yang dijual belum tanggal giginya.

Perilaku menarik dari pedagang ketika ia menggunakan nominal dalam transaksi. Bila harga jual satu juta, ia menyebutnya dengan seribu, atau jika harga jualnya lebih dari satu juta, ia hanya menyebut ekor nominalnya saja. Misalnya harga barang Rp. 1.350.000 (satu juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) pedagang hanya menyebut dengan 350 (tiga ratus lima puluh) tanpa ribu. Sungguh tidak dimengerti maksud. Apakah mungkin maksudnya memperirit kata atau ingin membangun kesan murah pada pembeli.

Belum lagi pemilihan kalimat yang digunakan. Bukan pedagang namanya kalau tidak punya cara untuk membangunkan kesan pada pembeli. "Mun tellok sèket tak èjuàllàh," (kalau tiga ratus lima puluh tidak mau dijual) salah satu diksi yang digunakan pedagang. Bayangkan, jauh sebelum orang menawar, ia sudah meletakkan standar harga sejauh mana seorang pembeli layak menawar.

Ada kenikmatan tersendiri berbaur dengan mereka. Banyak hal yang kita pahami dalam keramaian, terutama tentang perilaku pasar. Berbaur memungkinkan banyak memahami karakter orang, dengan begitu kita akan lebih bijaksana menyikapi perbedaan. Latar belakang yang melahirkan perbedaan itu juga perlu kita maklumi. Sebab, jika kita tidak mampu menerima perbedaan, berarti dunia ini bukan tempatnya.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 07 Mei 2018

Selasa, 01 Mei 2018

Undangan, dan Pergeseran Nilai

Undangan, dan Pergeseran Nilai

Dulu, sebelum manusia familiar dengan tulis menulis, ketika hendak mengundang sanak famili, kerabat, teman, dan lainnya, caranya berkunjung ke rumahnya. Substansi dari kunjungan itu adalah pemberitahuan sebuah kegiatan yang akan dilaksanakan di rumahnya yang sekaligus mengundang kehadirannya. Bila tuan rumah yang hendak berhajat, berhalangan untuk secara langsung mengundang kerabatnya, maka ia mengutus orang yang dipercaya untuk menyampaikan undangan kepada kerabatnya. Bila shahibu al-hajat tidak mendapatkan orang untuk mewakili dirinya, maka ia berkirim surat untuk mewakili maksudnya. Inti dari semua itu, adalah pemberitahuan.

Pada hakikatnya, undangan itu terletak pada legitimasi shahibu al-hajat. Kalau pengundang memanfaatkan media lain, selain kunjungan atau utusan, semisal SMS atau sejenis pemberitahuan lainnya, maka hal itu sah-sah saja dijadikan sebagai legitimasi. Yang paling penting sumber undangan itu jelas, artinya kalau via SMS, nomor yang digunakan memang nomor orang yang hendak melaksanakan hajat. Apalagi undangan itu dilakukan dengan cara berkomunikasi sekalipun menggunakan telepon dan dilakukan dari jarak jauh, karena pada intinya, mengundang itu dengan cara apapun.

Seiring dengan perkembangan zaman, banyak orang menggunakan media surat untuk mengundang. Dengan alasan kesibukan dan banyaknya jumlah orang yang akan diundang, maka pengundang melegitimasi undangannya dengan membubuhkan tandatangan atau sekedar ada nama pengundang. Ini merupakan cara terakhir untuk menyiasati, agar menjangkau sejumlah orang yang akan diundang. Ingat, bahwa undangan itu bukan kertas yang berisi pemberitahuan itu. Akan tetapi sebuah maksud yang termaktub di dalam tulisan itu. Yang sesungguhnya, bisa disampaikan secara langsung baik lisan ataupun tulisan.

Ada fenomena menarik saat ini. Yang semula, undangan tertulis merupakan alternatif untuk menyiasati kesibukan, kini menjadi substansi dari sebuah undangan. Maka, tidak jarang, ketika kita mengundang seseorang dengan menggunakan lisan, yang bersangkutan masih bertanya, "Undangannya mana?" Yang dimaksud adalah undangan dalam bentuk tulisan dalam kertas; dan undangan secara langsung dari mulut orang yang berhajat menjadi percuma dan tidak berguna. Undangan sudah betul-betul diwakili oleh secarik kertas.

Pergeseran dari yang substansi kepada formalitas ini sangat menarik untuk kita kaji dalam kacamata sosial. Sebab, kita seringkali terjebak dengan simbol yang diberlakukan jauh sebelum substansi sesuatu itu ada. Kalau lisan sudah lebih dulu menyampaikan, apa guna tulisan. Sedang inti dari keduanya adalah pemberitahuan.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 02 Mei 2017