This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 30 Maret 2018

Alam Bawah Tanah, Alam Bawah Sadar dan Analogi Sederhana

Alam Bawah Tanah, Alam Bawah Sadar dan Analogi Sederhana

Berbicara alam bawah tanah (akhirat) memang sesuatu yang abstrak. Karena tidak ada satu orang pun yang bisa mendeskripsikan dengan data analisis untuk memberikan keterangan konkrit perihal keberadaannya. Tetapi, kita masih bisa menggunakan pendekatan tertentu untuk setidaknya mendapatkan sebuah gambaran meski tidak segamblang realitas yang sering kita jumpai dalam kihidupan kita sehari-hari.

Membicarakan akhirat kita tidak berbicara natural tetapi berbicara supra-natural tidak juga berbicara tentang fisik tetapi tentang meta-fisik. Akan tetapi kita masih bisa mempunyai ruang untuk memahami hal itu dengan pendekatan tertentu seperti pendekatan analogis.

Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan mimpi dalam tulisan ini.
Tidur merupakan proses masa istirahatnya tubuh dan urat saraf manusia. Mata yang letih, anggota badan yang terlalu capai atau kekenyangan dengan mudah merangsang rasa kantuk dan akhirnya tertidur lelap. Dalam tidur sering muncul mimpi, padahal realitasnya orang yang sedang tidur berada di bawah alam sadar, bahkan tidur sama dengan mati sebentar, sedangkan mati sama dengan tidur yang panjang.

Lalu, kenapa orang yang berada di alam bawah sadar bisa bermimpi? Apakah mimpi itu realitas atau khayalan? Tentu saja, orang yang sedang tidur tidak bisa berkhayal. Dengan demikian, mimpi merupakan realitas yang dialami orang yang berada di alam bawah sadar. Apabila seseorang bermimpi dikejar-kejar setan, ada orang yang dalam mimpinya benar-benar ketakutan, tidurnya terlihat gelisah dan berteriak-teriak histeris. Ketika terbangun dari tidurnya, napasnya tersengal-sengal seperti baru saja dikejar anjing galak. Jika ditanya, apa yang terjadi? Dia akan menjawab, “Aku bermimpi dikejar setan.”

Secara filosofis, jika mimpi buruk cukup menyiksa orang yang sedang tidur, apalagi jika orang yang tidur panjang (mati) setiap hari bermimpi dikejar dosa yang menjadi penyebab ia disiksa atau bahkan itu sudah menjadi bagian dari siksaan itu sendiri. Setiap hari mimpi menyeramkan menghantuinya, maka setiap hari ia akan tersiksa di alam barzah, sedangkan masa kebangkitan di alam kubur masih sangat lama dan hari-hari pun tidak ada yang tahu. Maka, wajar apabila orang yang sudah meninggal itu tinggal tulang belulang bagi yang terlalu banyak dosa, karena setiap hari selalu dikejar-kejar.

Deskripsi tersebut memberikan pandangan kepada kita bahwa sesungguhnya mimpi itu adalah realitas alam bawah sadar. Mimpi tersebut sangat nyata meski tidak melibatkan faktor-faktor fisik dalam kejadian itu, disebut sangat nyata karenak seandainya kita tidak bangun maka mimpi itu merupakan kehidupannya seperti kehidupan yang kita rasakan saat ini. Kita akan sulit sekali sebenarnya untuk membedakan antara mimpi dengan yang bukan mimpi, karena jangan-jangan hari ini kita sedang bermimpi.

Bukan tidak mungkin seandainya lebih banyak tidur manusia dengan kuantitas yang cukup intens, tentu kita akan menilai bahwa kehidupan yang kita jalani adalah mimpi. Harapannya semoga mimpi kita selalu indah hingga tiba di hari akhir kelak. Amin…

Wallahu alam!

Pamekasan, 30 Maret 2018

Rabu, 28 Maret 2018

Kaum Muda dan andil Pelestarian Budaya

Kaum Muda dan andil Pelestarian Budaya
Menyoal kecenderungan kaum muda yang larut dengan kebudayaan barat dalam konteks kekinian
Oleh: Musannan*

Kaum muda adalah aset bangsa yang mempunyai andil besar terhadap keberlanjutan dan maju mendurnya sebuah bangsa. Kenapa kaum muda, karena kaum mudalah generasi yang akan melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga atas dasar itulah, bagaimana mulai saat ini, kaum muda mampu mempertahankan elemen penting dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara itu, dan elemen penting itu adalah kebudayaan.

Cakupan kebudayaan sangat luas dan hampir meliputi semua unsur dalam kehidupan, karena budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Bila demikian adanya dapat ditarik sebuah konklusi bahwa kadar intelektual suatu bangsa ditentukan oleh seberapa jauh kebudayaan bangsa itu sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah apakah bangsa Indonesia mempunyai nilai kebudayaan yang rendah yang mengakibatkan bangsa ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Negara lain kebanyakan. Tentu jawabannya adalah tidak. Karena, pertanyaan yang sebenarnya adalah seberapa jauh bangsa kita selama ini mempertahankan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kebudayaan itu sendiri. Apabila jawabannya setengah hati, jangan salah apabila kecerdasan bangsa ini hanya setengah-setengah.

Nah, disinilah peran kaum muda muncul, bagaimana kaum muda membulatkan tekat untuk mengembalikan citra bangsa dengan cara merampungkan kembali situs-situs kebudayaan bangsa dan kemudian difahami secara komprehensif serta diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Disadari atau tidak, budaya merupakan identitas bangsa. Maka dari itulah bagaimana kita sebagai bangsa utamanya kaum muda berperilaku layaknya budaya orang ketimuran yang syarat dengan norma-norma, jangan sampai kabur dan tidak mampu dibedakan antara kita dan bangsa lain. Justeru sebaliknya bagaimana kaum muda mampu melestarikan dan mampu bersaing dalam era globalisasi saat ini, dan membawa orang bertekuk lutut dan mengakui bahwa budaya kita adalah budaya yang layak untuk diapresiasi.

Menyikapi kecenderungan kaum muda yang kerap bersinggungan dengan budaya menjadi persoalan yang sepantasnya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini masuk kepada langkah antisipatif, yang tidak lepas peran beberapa pihak baik struktur pemerintah atau tokoh-tokoh Masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mentransfer keilmuan di bidang kebudayaan, agar kaum muda tidak menjadi orang lain di Negaranya sendiri.

Budaya barat atau western culture yang masuk tanpa filterisasi sangat berpengaruh negatif terhadap bangsa terutama terhadap kaum muda. Utamanya perilaku dari berpenampilan, pola makan, dan kesenangan. Dan perlu disampaikan hal itu merupakan agenda besar yang terselubung yang sengaja akan dicekokan kepada bangsa kita utamanya kaum muda sebagai generasi bangsa.

Orientasi terselubung ini terbaca pada saat didengungkannya globalisasi, yang tentu tidak perlu dijalaskan apa itu globalisasi, negara barat utamanya amerika akan melakukan penyeragaman kebudayaan yang dilakukan secara bertahap, yang ending-nya kita mengikuti pola-pola yang dilakukan barat. Bila hal itu terjadi anak cucu kita tidak tahu warisan asli dari pada moyangnya.

Ancaman tersebut tidak hanya sebatas itu, lambat laun arus budaya barat itu akan mengurangi nasionalisme bangsa, sebelum akhirnya hilang sama sekali.

Meski tidak dapat dipungkiri adanya ilmu teknologi akan sangat cepat memberikan kabar tentang budaya barat, tetapi sebaliknya yang harus dilakukan bagaimana justeru kita mampu memanfaatan teknologi itu sendiri sebagai sarana balik untuk mempublikasikan budaya bangsa. Apakakah dengan tidak meniru kebudayaan orang lain dianggap tertinggal. Tentu tidak.

Kita harus mengaca pada orang-orang China bagaimana mempertahankan budayanya. Budaya seperti barongsai tetap bertahan dan Aksara Cina yang tetap terjaga. Kemudian, apakah orang-orang China dianggap tertinggal dalam bidang ekonomi dan teknologi. Kita bisa menjawabnya sendiri.

Wallahu a'lam...

*Penulis adalah kaum muda pemerhati budaya.

Pamekasan, 29 Maret 2012

Pro-kontra Kebijakan Pemerintah

Pro-kontra Kebijakan Pemerintah
Refleksi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak anatara maslahat dan mudorat
Oleh: Musannan*

Kebijakan pemerintah terhadap kenaikan Bahan Bakar Minyak telah menuai pro dan kontra dengan berbagai macam alasan. Sebagian masyarakat mangklaim kebijakan tersebut tidak berpihak kepada masyarakat kacil, karena dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tersebut, maka semua bahan pokok kebutuhan masyarakat akan naik.

Pemerintah mempunyai alasan sendiri kenapa harga Bahan Bakar Minyak tersebut harus naik. Alasan yang disampaikan pemerintah di media adalah untuk menyelamatkan perekonomian Nasional disebabkan harga minyak dunia naik. Lain dari itu pemerintah juga memberikan alasan bahwa subsidi yang biasa dialokasikan melalui Bahan Bakar Minyak tersebut akan diberikan secara langsung kepada masyarakat berupa Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Kemudian muncul persepsi lain berkenaan dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang dicanangkan pemerintah. Bahwa hal itu adalah sebuah bentuk pembodohan kepada rakyat dan sama halnya mengajari rakyat menjadi pengemis.

Yang lebih parah lagi asumsi masyarakat berkenaan dengan naiknya harga Bahan Bahan Minyak tersebut adalah mengalihan dari kasus-kasus korupsi yang sedang menimpa kader demokrat di parlemen. Yang dimaksud adalah Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum dan Nazaruddin yang sampai saat ini masih sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi wisma atlet.

Analisis kebijakan pemerintah itu memang penting untuk dilakukan, akan tetapi harus dilakukan tanpa adanya unsur kepentingan dari pihak manapun. Naif sekali apabila masyarakat melakukan justifikasi terhadap kebijakan tanpa pengetahuan dan hanya ikut-ikutan pihak tertentu yang mempunyai kepentingan, apa lagi kepentingan secara politis, artinya bahwa kita terjebak dengan kepentingan orang lain atau pun kelompok tertentu.

Tetapi bagaimana pun alasan kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan rakyat, apabila kebijakan tersebut tidak diterima oleh rakyat maka tidak harus dipaksakan, karena masyarakat jualah yang akan menerima dampak dari kebijakan tersebut. Pemerintah harus mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi yaitu "dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat".

Terlepas dari persoalan itu menurut hemat penulis kesalahan pemerintah dalam kebijakan ini adalah "pemerintah tidak memberikan kail, akan tetapi memberikan ikan". Maknanya adalah dalam hal ini pemerintah memberikan bantuan secara langsung berupa uang dan tidak memberikan lahan pekerjaan kepada masyarakat yang memungkinkan lebih bertahan lebih lama hidup daripada pemberian uang tersebut.

Selain itu kebijakan ini tidak memberikan nilai pencerdasan dan kreatifitas terhadap bangsa, dengan kata lain kita sebagai bangsa hanya diajari diam dan menerima bantuan tanpa menggunakan akal dan pikiran. Kefakuman pola pikir masyarakat inilah juga memberikan akhir yang tidak baik terhadap perkembangan ekonomi bangsa.

*Penulis adalah masyarakat yang berusaha menyalurkan aspirasi dengan jalan seperti ini.

Pamekasan, 28 Maret 2012

Selasa, 27 Maret 2018

Pos Kamling dan Kedaulatan Desa

Pos Kamling dan Kedaulatan Desa

Desaku kini tak ramah lagi. Tidak ramah yang dimaksud bukan disebabkan oleh tanah atau tempat tinggal masyarakat; seperti longsor dan lainnya. Tetapi lebih disebabkan oleh beberapa orang tidak bertanggung jawab yang menjadi pengganggu di desa. Orang yang membuat resah penduduk desa, mengganggu keamanan dan kenyamanan warga desa.

Tadi malam, (27/03) persisnya jam 03:±-menurut informasi-ada burung (jalak) tetangga yang hilang. Beberapa hari sebelumnya, handphone (HP) tetangga saya juga hilang, termasuk dua sarung BHS milik orang tua saya.

Agak jauh dari tempat tinggal saya (masih di kampung yang sama) burung cinta (love bird) atau yang sering orang kampung sebut labhet dan beberapa sak gabah juga dibawa orang. Selain tersebut di atas tentu masih banyak lagi kasus lainnnya yang serupa, meski tidak sama di bagian kampung yang lain. "Waspadalah, waspadalah! Pencurian bukan hanya karena adanya niat pelakunya, tetapi juga adanya kesempatan".

Karakter manusia memang beragam dan tidak mungkin bisa diseragamkan. Ada manusia yang baik, dan juga jahat. Maka atas nama keanekaragaman karakter ini, kita sebagai manusia harus menyadari, memahami dan bahu membahu untuk menanggulangi kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan manusia jahat yang malas bekerja dan hanya suka dengan harta milik orang lain.

Untuk mengatasi kejahatan seperti pencurian, memang tidak cukup diatasi melalui mimbar pengajian, tetapi di sisi lain juga harus melalui penjagaan yang ketat dari segenap masyarakat desa. Untuk menghemat tenaga, penjagaan bisa dilakukan secara bergantian oleh masyarakat setempat.

Pengamanan yang sementara bisa dilakukan adalah pos keamanan keliling (kamling). Konsepnya, secara bergantian masyarakat bisa ronda malam dengan cara diberi jadwal. Setiap pos disediakan kentungan (baca: tongtong) yang ditabuh setiap jam sekali, untuk memastikan penjaga pos tidak tidur. Jika ada yang mencurigakan, kentungan bisa ditabuh sesering mungkin, sebagai bentuk antisipasi kemungkinan terjadinya kejahatan.

Pos kamling bisa dibuat dibeberapa dusun, perdusun satu atau bisa lebih. Pos kamling tergantung luasan kampung, dan posisi pos kamling diupayakan dibuat di jalan masuk desa agar mudah mengidentifikasi orang luar yang masuk desa. Sehingga setiap kejadian lebih mudah ditelusuri.

Kejadian seperti ini sebenarnya menuntut untuk segera diatasi. Jika dalam waktu yang lama tidak segera diatasi maka kita sebagai warga desa yang berdaulat akan senantiasa disepelekan oleh pihak lain. Tidak hanya itu, hal itu juga untuk mengurangi kecurigaan satu sama lain.

Kerjasama pemerintahan desa dengan masyarakat harus dibangun. Hal-hal yang terjadi di desa sebenarnya bukan semata-mata tanggung jawab pemerintahan desa, tetapi tugas setiap orang yang ada di desa itu. Karena jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita sendiri yang rugi. Pemerintah desa hanya bisa memfasilitasi selebihnya masyarakat yang memaksimalkan pemanfaatannya. Dalam artian, pemerintah desa menyediakan pos kamling, dan masyarakat yang melakukan penjagaan.

Mari, jaga lingkungan kita dari segala tindak kejahatan, jaga selalu lingkungan agar tetap aman, nyaman, dan kondusif.

Pamekasan, 27 Maret 2018

Usia dan Produktivitas yang Rendah

Usia dan Produktivitas yang Rendah

Dulu, ke utara rumah saya ada pohon mangga besar. Saya melihat betapa ia sangat lelah menjalani hari-harinya sejak dulu. Pohon yang dulu gagah dengan buah yang banyak, daun yang rindang, kini sudah mulai tidak produktif (baca: tidak berbuah) dan bahkan dikerumuni semut di sepanjang batang, dahan dan rantingnya. Kalau pun berbuah, ada beberapa saja itupun belah dan busuk di atas, orang Madura menyebutnya "asah".

Jalan satu-satunya agar lebih bermanfaat adalah ditebang dan dijadikan bahan bakar. Mau apa lagi? Dijadikan tempat berteduh tidak bisa, diharapkan buahnya tidak memungkinkan, yang ada hanya membahayakan karena dahannya sudah lapuk, belum lagi semut yang setiap saat mengintai untuk menggigit. Yang paling menakutkan kalau ada angin besar.

Memang iya, yang paling bagus untuk kelas pohon besar berbuah itu, yang sedang-sedang saja. Umurnya tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda, kira-kira sama dengan perasaan itulah: tidak terlalu cinta dan tidak terlalu benci. Dalam kondisi itu buahnya bagus dan pohonnya masih gagah. Karena yang serba terlalu itu memang tidak baik.

Masih ingat dengan istilah "reboisasi" pelajaran waktu Sekolah Dasar? Kenapa harus ada reboisasi? Intinya, reboisasi itu adalah penanaman kembali pohon yang sudah ditebang (karena tua) dengan maksud adanya proses regenerasi. Dalam rangka penyelamatan dan maksimalitas fungsi sumber daya alam (SDA). Mari, galakkan reboisasi untuk mengganti pohon yang sudah ditebang!

Dalam kehidupan manusia pun harusnya juga begitu. Suatu malam yang dingin, pernah berpapasan dengan seorang bapak yang sudah sepuh sekali mengayuh becak. Dalam pikiran bertanya, "Kemana anak bapak tua ini? Apakah bapak tua ini punya anak? Kenapa sesepuh dia masih bekerja?" Untuk saat ini, harusnya bapak ini sudah pensiun dan urusan makan sudah ada anaknya yang manggung yang masih punya tenaga kuat. Jadi, tidak harus memaksakan diri untuk bekerja.

Lain pohon, lain manusia; lain juga kapal dan pesawat. Beberapa hari yang lalu, ada kapal milik TNI yang tenggelam. Dimungkinkan penyebabnya usia kapal yang sudah terlalu tua. Kapal yang seharusnya dikandaskan masih dioperasikan. Tenggelam deh. Belum jumlah pesawat yang jatuh yang ditengarai karena usianya yang sudah tua, seharusnya dimuseumkan masih dipakai. Tapi itulah Indonesia. Beberapa orang kadang masih suka dengan yang gitu-gitu.

Akhirnya, saya teringat, Cak Imin dengan Jaman Nownya; teringat pula Arofik dan Bang Rhoma dengan celana komprangnya. Membayangkan dua situasi itu rasanya lucu, seandainya untuk saat ini masih ada orang yang mau pakai komprang ala Arofik dengan kerah seperti orang yang hendak terbang. Memang setiap sesuatu ada jamannya, dan setiap jaman ada sesuatunya. Jadi, jangan pakai sesuatu yang bukan jamannya, biar sesuai dengan jaman.

Wallahu a'lam!

Sampang, 23 Maret 2018

Maklumat Ini Asli

Maklumat Ini Asli

Beberapa hari lalu ada surat edaran yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren Sidogiri. Isi surat tersebut menginstruksikan bahwa pada Pilkada 27 Juni mendatang para santri pondok pesantren Sidogiri yang ada di Pamekasan memilih pasangan Berbaur. Kenapa harus berbaur, hanya beliau yang tahu.

Dengan beredarnya maklumat dimaksud, beberapa pihak menyanksikan terhadap surat itu, dan bahkan beberapa pihak berani mengolok-olok seolah-olah surat itu palsu. Seharusnya sebelum menyerang surat itu, terlebih dahulu ada klarifikasi untuk memastikan kebenarannya. Sebab, jika ternyata surat itu benar, maka secara tidak langsung telah mengolok beliau yang menulis surat. Meski memang disadari bahwa upaya itu untuk mengaburkan isi dari surat dimaksud.

Bukankah mengedarkan maklumat yang tidak benar itu beresiko sekali? Jangankan untuk pondok pesantren besar seperti Sidogiri, siapapun pihak yang tanda tangannya dicatut untuk kepentingan kelompok atau pribadi, itu sebuah pelanggaran. Semua orang tahu bahwa memalsukan tanda tangan sangat dekat dengan jeruji besi, apalagi yang dipalsu sekelas Kiyai pondok pesantren besar seperti Sidogiri yang santrinya sudah jutaan dan tersebar di seluruh Indonesia.

Sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa hal itu hanya merupakan bentuk dukungan belaka. Iya, dukungan yang hanya diberikan kepada salah satu pasangan calon saja. Artinya, bahwa dukungan itu atas pilihan dari yang terbaik dan tidak semua kontestan mendapatkan dukungan yang sama. Kalau tidak percaya, silahkan coba keberuntungannya, siapa tahu anda beruntung.

Ada pula yang menyanksikan karena ditulis dengan menggunakan komputer. Substansi dari sebuah tulisan itu bukan alat tulisnya, tapi pesannya. Mau ditulis pakai spidol, atau kapur dan bahkan arang sama saja, yang terpenting pesannya sampai. Ayolah, jangan mempermainkan pesan ulama!

Tetapi saya menaruh hormat kepada segenap santri Sidogiri. Atas ketakdziman kepada gurunya, tidak melihat satupun santri Sidogiri yang berusaha mempertanyakan isi surat itu, apalagi menyerang. Karena kebanyakan dari mereka tahu bahwa menyanksikan hal itu adalah perbuatan yang tidak sopan dalam kacamata santri; mereka tahu bahwa maklumat itu memang adanya dari gurunya.

Yang jelas, untuk urusan surat ini pasti sudah ada yang klarifikasi. Karena santri Sidogiri tidak mungkin membiarkan keberadaan surat instruksi ini liar. Dan untuk saat ini semua santri Sidogiri sudah tahu kebenaran surat dimaksud. Tinggal melihat seberapa jauh bentuk kepedulian meraka kepada guru dan pesantrennya. Insyaallah, mereka semua akan patuh atas perintah itu.

Sebenarnya posisi dukungan pesantren Sidogiri kepada Berbaur itu sama saja dengan dukungan beberapa ulama kepada pasangan kholifah. Tidak perlu dirisaukan sebagaimana berbaur tidak risau.

Wallahu alam!

Pamekasan, 22 Maret 2018

Selasa, 20 Maret 2018

NU dari Madura untuk Indonesia

NU dari Madura untuk Indonesia

Di bagian barat pulau Madura ada sebuah kabupaten yang bernama Bangkalan. Berbicara Bangkalan, ini memang tidak lepas dari adanya makam seorang ulama yang dipercaya sebagai seorang wali. Beliau adalah Syaikh Kholil bin Abdul Latif, yang makamnya setiap hari dipenuhi oleh para peziarah, baik yang datang dari pulau Madura sendiri atau di luar Madura.

Syaikhona Kholil Bangkalan sebagai ulama kharismatik kelahiran Madura, ternyata sebelum meninggal, sempat mewariskan sebuah organisasi besar sebagai cikal bakal pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah melakukan istikharah, beliau menyuruh salah satu muridnya yang bernama As'ad (pada masa itu) untuk mengantarkan sebuah tongkat dan bacaan ayat al-Quran surat toha ayat 17-23, kepada murid beliau juga yang ada di Jombang.

Atas nama legitimasi dari beliau, murid beliau yang--berada di Jombang--bernama Hasyim Asy'ari itu mendeklarasikan organisasi yang sudah mendapatkan restu itu. Organisasi itu kemudian diresmikan di Surabaya pada tanggal 31 Desember 1926, bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H. dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Kemudian Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari atau yang biasa disebut Mbah Hasyim disebut sebagai pendirinya.

Lantas, murid yang bernama As'ad itu siapa? Beliau adalah KHR. As'ad Syamsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekah-meninggal 04 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun) pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya. Yang beberapa tahun terakhir dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Demikian, sekilas tentang sosok seorang As'ad.

Apakah berlebihan sekiranya dikatakan Madura sebagai pulau NU? Saya kira tidak. Sebab, tokoh inisiator yang menjadikan NU sebagai organisasi ini adalah seorang ulama yang oleh mayoritas orang Madura tidak diragukan lagi kealimannya. Pada saat masyarakat Madura bersepakat dengan kewalian dan kealiman beliau, maka otomatis masyarakat Madura juga sepaham dengan alur pemikiran beliau, termasuk berdirinya NU ini.

Pada saat yang bersamaan dengan diresmikannya NU, ada ulama yang membawanya ke Pamekasan. Beliau adalah KH. Sirojuddin Bettet dan KH. Badruddin Panyeppen. KH. Siroj (panggilan KH. Sirojuddin) sebagai Rais Syuriah dan KH. Badruddin sebagai Ketua Tanfidz-nya. Yang berarti beliau berdua sebagai pimpinan NU pertama di kabupaten Pamekasan.

KH. Sirojuddin ini seangkatan dengan KH. Rofi'i (Sumber Anom) dan Mbah Wachab waktu ngaji ke Mbah Machfud al-Termasi di Makkah. Itu artinya para beliau bukan hanya ngaji bersama, tetapi juga punya kesepahaman dalam membesarkan NU. Hingga sampai saat ini anak cucu beliau masih berkhidmat di NU.

Ketika membicarakan nama beliau, nama beliau senantiasa disandingkan dengan NU. Pertama, KH. Sirajuddin adalah pendiri PP. Miftahul Ulum Bettet. Untuk para santri dari beliau tidak usah khawatir sesat berkhidmat di NU, sudah ada beliau yang mendahuluinya. Termasuk santri (tak langsung) KH. Badruddin pengasuh PP. Miftahul Ulum Panyeppen, beliau adalah NU tulen dari dulu sampai sekarang.

Saya sebagai murid tidak langsung dari beliau (KH. Sirajuddin) bangga berada dalam satu haluan bersama beliau. Tidak hanya saya, pun orang tua saya dari dulu memegang teguh warisan organisasi dengan ideologi Ahlus sunnah wal jamaah ini, dari para leluhur (baca: kakek & nenek).  Tentu, hal ini juga disebabkan tokoh masyarakat setempat yang sudah lebih dulu mengamalkan nilai-nilai yang tertanam dalam Nahdlatul ulama.

Semoga menjelang Harlah Nahdlatul Ulama beberapa hari ke depan, NU tetap berkontribusi dalam bidang sosial keagamaan bagi nusa dan bangsa, utamanya dalam menjaga NKRI.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 20 Maret 2018

Senin, 19 Maret 2018

Mengukur Kebenaran Syariat Dengan Kacamata Sosial

Mengukur Kebenaran Syariat Dengan Kacamata Sosial

Mencoba menilai kebenaran secara sederhana terhadap syari’at dalam perspektif sosial.  Tentu kita tahu ketika memunculkan istilah syariat berkaitan erat dengan Islam, karena syariat itu sendiri selalu bertalian dengan Islam. Selama ini umat Islam memahami syariat sebagai aturan yang diyakini kebenarannya karena sumber-sumber yang digunakan merupakan sumber utama dalam islam, yaitu al-Qur’an dan hadits.

Menyikapi kecenderungan ketidakpuasan manusia terhadap kebenaran itu, penulis berusaha meninjau dalam perspektif sosial, artinya bahwa bagaimana syariat ini kemudian dinilai dari kacamata sosial secara kritis, meski sebenarnya yang bernama ajaran dalam sebuah agama itu cukup diyakini dan dilaksanakan.

Penulis memang sedikit mendekati pemikiran ini dengan agak bebas, dalam artian bebas kemana-kemana, tidak terikat oleh teori tertentu atau sistematika tertentu, biar tidak terpaku dalam menulis.

Kembali kepada pokok persoalan yang mau kita bahas bahwa penulis mencoba mengukur kebenaran syariat dalam kacamata sosial. Seperti bagaimana syari’at melarang seseorang mencuri. Kita tahu bahwa mencuri merupakan perbuatan tidak menyenangkan bagi orang lain karena perbuatan itu merugikan orang lain.

Kenapa syari’at melarang perbuatan itu? Bisa kita bayangkan seandainya ada legimasi terhadap pencurian, maka rasanya sulit kita melihat orang bekerja, yang ada orang-orang yang selalu bersiap-siap cara bagaimana bisa mencuri –dalam pemikiran ini mencuri dianggap sebagai perbuatan yang tidak melanggar— tetapi dalam kurun waktu tertentu apa yang mau dicuri pada saat semua orang mengandalkan harta milik orang lain. Maka yang terjadi adalah semua orang akan mati dan kehidupan ini akan punah, dari itulah syariat mengatur bahwa kita harus ihtiar dan tidak mengambil harta orang lain.

Bagaimana dengan zina? Bukankah sangat menarik apabila itu dilakukan? Kita tidak usah repot menghadirkan penghulu, wali atau siapa saja yang berkompeten di dalamnya. Pada saat kita menginginkan kebutuhan seks kita bisa mengajak lawan jenis untuk melakukan hubungan itu, baik itu di bawah pohon, di halaman, di trotoar, di sungai, di tempat wisata dan di mana saja kita inginkan. Tetapi kenapa syari’at melarang perbuatan itu, sepertinya ada sesuatu yang tersimpan yang kadang keterbatasan kita mengabaikan hal itu.

Dua hal sebenarnya yang diinginkan oleh siapa saja yang melakukan perbuatan itu, yang pertama perbuatan itu berorientasi kesenangan, yang kedua perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan spesies kita sebagai manusia. Pada saat yang bersamaan kita sudah mulai tidak tahu siapa sebenarnya bapak kita, kalau masih medapatkan satu anak masih mudah untuk diatasi fasilitasnya oleh ibunya, tetapi kalau sudah banyak, di sini masalah muncul. Kalau seorang ibu harus memfasilitasi banyak anak, kemungkinan paling ringan akan terjadi penelantaran dan paling berat adalah pembantaian. Pada akhirnya spesies kita sebagai manusia tidak ubahnya hewan dengan kemampuan pengetahuan yang pas-pasan dan akhirnya kepunahan.

Rasionalisasi ini memang tidak harus dilakukan, karena merupakan dogma yang harus dipercayai kebenarannya. Bukan tidak percaya terhadap syari’at itu sendiri, hanya saja biar lebih mantap apabila kita berupaya melakukan pendekatan secara rasional, seperti bagaimana dulu ketika nabi Ibrahim AS. berdialog dengan Allah SWT. “dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati’. Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim manjawab: ‘aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: …” artinya bahwa pendekatan ini hanya menginginkan kemantapan iman terhadap kebenaran syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT. Melalui Rasulnya Muhammad SAW.

Wallahua’lam bisshawab!

Masyarakat Pamekasan, Bangkit dan Melawan

Masyarakat Pamekasan, Bangkit dan Melawan

Pamekasan memang diinginkan untuk tidak menjadi lebih baik. Hal ini disampaikan bukan tanpa alasan. Nepotisme yang kita percaya sebagai salah satu penyakit kronis pada masa "orde baru" yang menghambat kecepatan dan percepatan laju birokrasi dalam pembangunan, ternyata di kota dengan ikon gerbang salam ini sedang terjadi. Kita tidak bisa menutup mata atas persoalan ini, karena masyarakat Pamekasan sudah kadung menjadikan Pamekasan ini (juga) sebagai kota pendidikan, yang artinya masyarakat Pamekasan dianggap cerdas. Tidak ada hegemoni dan monopoli kekuasaan bagi kaum terdidik.

Sebagian orang boleh tidak tahu-menahu dan mengabaikan atas hal ini, namun fakta tidak akan pernah membohongi realitas. Bahwa realitanya, saat ini Pamekasan sedang dipimpin oleh dua orang bersaudara, di lembaga Eksekutif dan Legislatif. Hubungan darah yang sangat mudah dan rentan melahirkan sebuah konspirasi menuju keberlangsungan dinasti.

Silahkan berapologi bahwa itu merupakan keinginan masyarakat dan sistem yang mengatur tentang pemerintahan. Tetapi hal itu tidak sepenuhnya benar. Sebab, dalam proses pemilihan legislatif, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pamekasan yang saat ini terpilih sebagai ketua tidak mengantongi suara terbanyak, sehingga keterpilihannya sebagai pemimpin parlemen terkesan dipaksakan; sebagai pertimbangan saudaranya duduk dipucuk pimpinan eksekutif.

Masih melekat dalam ingatan bagaimana para aktivis hampir 'koor' untuk menyuarakan tentang adanya monopoli kekuasaan sedarah ini. Baik melalui diskusi resmi, diskusi di trotoar, termasuk melalui media sosial. Namun, lambat laun suara itu mengecil dan akhirnya hilang sama sekali dan tidak terdengar lagi, seperti sedang berada di tengah padang pasir di tengah malam. Sunyi sekali.

Kesimpulan sederhana akan membawa pada sebuah hubungan kausalitas bahwa lambatnya pembangunan berbanding lurus dengan lemahnya pengawasan. Kita sebagai insan akademis memahami betul bahwa tugas Dewan Perwakilan Rakyat, baik di pusat atau pun di daerah sama yakni membuat peraturan, menganggarkan, dan mengawasi; tugas eksekutif adalah melaksanakan program kegiatan dan menuntaskan anggaran yang telah disetujui oleh anggota dewan. Sudah bisa dibayangkan seperti apa pelaksanaan programnya, bila yang mengawasi adalah saudaranya sendiri.

Bagaimana pun alasannya, dalam hal ini ketua dewan mempunyai otoritas untuk menentukan sebuah kebijakan, termasuk melonggarkan fungsi pengawasan terhadap realisasi program yang rendah. Bagaimana dengan anggota yang lain? Ah, tidak tahulah. Yang jelas, semua elemen masyarakat Pamekasan harus bangkit untuk melawan monopoli kekuasaan ini, karena pemerintahan bukan milik keluarga besar. Sudah cukup kita membantu orang-mendapatkan penghasilan-makan.

Tulisan ini hanya untuk membangunkan masyarakat yang terlalu banyak tidur dan kurang ngopi. Pilihannya ada pada diri kita, "Bangkit melawan atau diam tertidas".

Pamekasan, 20 Maret 2017

Minggu, 18 Maret 2018

Hati-hati dengan Pendukung Baru

Hati-hati dengan Pendukung Baru

Memang dunia apapun yang dihinggapi oleh pendatang baru yang tidak ahli di bidangnya cenderung kacau balau. Beberapa waktu yang lalu, tentu masih terkenang dalam ingatan kita bersama, ada seorang pendakwah perempuan di stasiun televisi swasta yang membawa ayat-ayat Alquran: dengan percaya diri menulis, membaca, dan menafsirkan ayat Alquran secara serampangan.

Atas perbuatan itu, ia harus diganjar dengan kecaman oleh beberapa pihak. Akhirnya, dia harus meminta maaf atas perbuatan itu. Tetapi dengan meminta maaf apakah semuanya selesai? Semuanya sudah terjadi, asumsi apapun di otak orang lain tidak bisa dikendalikan dengan permintaan maaf.

Dalam dunia keilmuan apapun, semuanya ada ahlinya. Misalnya: dalam bidang sosial, sosiolog adalah ahlinya; dalam bidang ekonomi, ekonom adalah ahlinya; dalam bidang politik, politikus adalah ahlinya; dalam bidang psikologi, psikolog adalah ahlinya; termasuk dalam bidang agama, maka ulama adalah ahlinya (ulama dalam konteks Indonesia), dan bidang yang lain. Sehingga dengan begitu, kita harus memahami klasifikasi dan kapasitas masing-masing.

“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya," demikian sebuah hadits berbunyi. Dalam hal apapun, jangan sampai dirasuki oleh orang-orang yang bukan ahlinya, biar keadaan tidak dibuat kacau dan hancur lebur.

Dalam konteks agama, kita harus memahami klasifikasi kapasitas seseorang. Ulama adalah orang yang ahli di bidang agama, beliau selain paham agama juga patuh dan tunduk terhadap segala nilai-nilai agama, pun menyebarkan sekaligus memberikan fatwa dan jalan keluar bagi persoalan keagamaan. Selebihnya ada masyarakat, mereka menjadi pelaku nilai agama atas petunjuk para ulama, ia tidak mempunyai kapasitas untuk menggali hukum-hukum secara langsung, karena keterbatasannya. Sehingga apabila ada masyarakat berfatwa, itu namanya salah tempat.

Nah, bagaimana dengan fenomena munculnya politisi dadakan seperti jamur di musim hujan seperti saat ini? Kalau politisi yang dimaksud adalah pendatang baru, yang tiba-tiba menjelma sebagai seorang yang ahli, ini berbahaya bagi berpolitikan tanah air. Karena orang menyangka, bahwa wajah politik itu tidak ramah lagi, beringas dan penuh caci maki. Di media sosial misalnya, yang heboh itu rata-rata pendatang baru yang belum ahli, sementara yang ahli sekelas ketua partai atau DPRD (yang tidak instan) bawaannya santai. Dan mereka semua dikhawatirkan sedang menertawakan kita.

Bagi sebagian ahli yang menganggapnya sebagai hiburan, bagi yang lain adalah sebuah perang. Itu bergantung keahlian masing-masing orang.

Politik itu sebenarnya adalah sistem pemerintahan. Sistem itu butuh penggerak, dan penggeraknya adalah manusia. Manusia yang menggerakkan itu butuh rekomendasi dari masyarakat. Sehingga untuk mendapatkan rekomendasi ini dibutuhkan strategi. Strategi ini yang kemudian dimaksud dengan politik oleh masyarakat kebanyakan. Yang lazim digunakan oleh sebagian orang strategi menjatuhkan.

Kesimpulannya, untuk membedakan politisi an sich dengan politisi imitasi, tinggal kita lihat seperti apa orang itu memperlakukan lawan politiknya. Dalam politik hanya butuh strategi yang baik, bukan fitnah dan caci maki. "Engkau yang lawan dalam politik, adalah teman dalam kemanusiaan." Naluri kita sama sebagai manusia, butuh sandang, pangan dan papan untuk anak dan istri.

Mari, tanam lagi toga-nya (baca: tanaman obat keluarga).

Wallahu a'lam!

Sampang, 16 Maret 2018

Kamis, 15 Maret 2018

Pantura, Harapan dan Aspirasi

Pantura, Harapan dan Aspirasi

Waktu saya kecil-saya ingat-ketika bapak mau ke Pamekasan bekerja (narik becak), hampir ada saja orang yang menitip sesuatu untuk dibelikan di Pamekasan. Maklum, tidak semua orang sempat ke Pamekasan kecuali orang yang memang bekerja di sana. Memang iya, untuk kebutuhan yang di desa tidak ada, harus menitip ke kota.

Sebagai tetangga, urusan titip menitipkan sudah biasa dilakukan, karena menitip sesuatu kepada orang yang jauh tidak mungkin dilakukan; selain tidak kenal juga belum tahu karakternya. Jangan-jangan apa yang kita titip "tak ada" dan uang tidak kembali, kalau sudah begitu komplainnya ke mana coba.

Demikian juga ibu. Kalau kebetulan sedikit yang mau dibeli di pasar, ia memilih menitip kepada tetangga yang mau ke pasar. Selain mudah dan praktis, namanya tetangga pasti lebih amanah, kecuali orang yang tidak akur dengan tetangga. Kesimpulannya, untuk urusan menitipkan pasti tetangga lebih bertanggung jawab. Dijamin 100%!

Dalam konteks Pilkada Pemekasan, kita sebagai masyarakat Pamekasan boleh menitip aspirasi kepada orang yang kita percaya. Hemat saya, menitip aspirasi kepada tetangga lebih mungkin untuk dilakukan. Sebab, interaksi yang dilakukan dengan tetangga itu lebih intens daripada orang jauh.

Sebagai orang Madura, perasaan tidak nyaman dan beban moral pasti ada manakala lepas dari tanggung jawab. Apalagi bagi orang yang hampir bertemu setiap saat, maka beban moral akan semakin besar, sehingga beban moral ini yang mengantarkan seseorang pada tanggung jawab. Sementara orang jauh, jangankan beban moral, bertemu saja akan jarang, kalau masih bertemu.

Untuk saat ini, ada salah satu masyarakat pantura mendapatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari penentu kebijakan. Dengan begitu masyarakat Pantura akan lebih mudah menyampaikan aspirasinya kepada orang yang notabene adalah tetangga.

Kesempatan yang diberikan kepada tokoh Pantura sebagai representasi dari masyarakat harus dimanfaatkan dengan baik. Sebab, selama Pamekasan ini berdiri tidak ada representasi masyarakat Pantura yang mendapatkan kesempatan untuk menjadi wakil pimpinan eksekutif di Pamekasan. Jika pada kontestasi hari ini tidak dimanfaatkan dengan sebaiknya oleh warga Pantura, maka belum tentu kesempatan yang sama akan terjadi untuk waktu-waktu yang akan datang. Baik untuk lima tahun mendatang atau sepuluh tahun mendatang, dan bahkan untuk tahun-tahun selanjutnya.

Bila dalam kontestasi hari ini, momen langka seperti saat ini dimanfaatkan sebaik-baiknya, hal ini akan menjadi semacam ruang masuk bagi tokoh Pantura untuk menjadi bagian pemangku kebijakan di tahun-tahun yang akan datang.

Ke depan para politisi tidak segan lagi untuk menggandeng tokoh dari Pantura dalam setiap momen Pilkada. Dan bila kesempatan Pilkada saat ini perwakilan Pantura tidak mendapatkan respon baik dari segenap masyarakat Pantura, jangan harap ke depan mendapatkan kepercayaan lagi dalam kontestasi Pilkada Pamekasan.

Dalam hal pasangan representatif untuk Pilkada Pamekasan, Berbaur adalah pasangan yang mewakili utara dan selatan. Jadi untuk masyarakat Pantura pada saatnya bisa menitipkan segala kebutuhannya kepada tetangga sendiri, pun masyarakat bagian selatan. Bertemunya utara dan selatan adalah keuntungan masyarakat Pamekasan secara umum. Insyaallah!

Wallahu a'lam!

Sampang, 09 Maret 2018

Semua Kejadian adalah Sumber Pengetahuan

Semua Kejadian adalah Sumber Pengetahuan

Ketika sepeda motor saya rusak, saya perbaiki sepeda motor ke bengkel. Karena lampu depannya juga mati, tukang bengkelnya menawarkan lampu halogen (lampu kepala berwarna putih) untuk dipasang. Saya setuju, dan dipasanglah lampu tersebut.  Perbaikan sepeda selesai. Sepeda motor pun siap dipakai.

Setelah beberapa hari dipakai ternyata stater-sklar sepeda motor untuk memulai menghidupkan sepeda motor-tidak berfungsi. Sehingga untuk menyalakannya harus ditrap (diinjak engkok manualnya). Dalam kondisi seperti itu, saya bercerita dengan teman-teman sambil santai tentang kondisi sepeda saya. Ada yang berpendapat bahwa masalah sepeda itu terletak pada batre/aki. Untuk membuktikannya, dicobalah batre sepeda motor yang sama, ternyata sepeda motor hidup. Sehingga Kesimpulannya terletak pada batre.

Karena masalahnya ada pada batre, maka dibelikan batre ke dealer. Batre dipasang, sepeda pun staternya hidup kembali. Setelah beberapa hari sepeda motor dipakai (kurang lebih 3 hari), stater mati lagi. Aduh, apes om, pusing pala berby! Untungnya, ketika saya komplin dealer mau mengganti karena masih baru pembeliannya. Bergantilah batre saya dengan yang baru, stater sepeda hidup lagi. "Selesailah, urusan batre ini," pikirku dalam hati.

"Ya Allah! Ya Allaaaaaaaaaaaaaaah!" Beberapa hari saja stater mati lagi. "Huaaaaaa!" Menangis tapi tidak sampai guling-guling. Aduh, kepala mulai pusing tujuh keliling, delapan tanjakan, dan sembilan turunan. Mulailah saya konsultasi ke bengkel, tapi bukan bengkel yang memperbaiki yang pertama. Saya sampaikan, bahwa sepeda ini sudah banyak memakan korban; (korban batre dan perasaan). Dia cek kiri dan kanan, dan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kiproknya-fungsi kiprok pada sepeda motor adalah sebagai penstabil arus dan tegangan yang masuk ke aki-bermasalah.

Saya tanya lagi, "Berapa biasanya harga kiprok itu?" Tukang servisnya menjawab, "Enam ratus ribu biasanya. Soalnya, gejala seperti itu sudah sering saya tangani." Deng! Kepala seperti dipukul pakai galon dari belakang. Saya tidak puas dengan jawaban itu, entah kenapa. Sebelum saya pulang, saya bertanya, "Apakah lampu ini tidak masalah? Dia menjawab, "Tidak". "Baik terima kasih, bersambung," kataku.

Kemudian, saya berusaha mencari tahu kepada bengkel yang lain. Saya sampaikan permasalahan dari awal sampai akhir. Dia hidupkan sepeda saya, dan cek sampai kepada lampu depan. Dia bilang, "Ganti lampunya dengan yang original, karena lampu ini wh-nya (baca: wat) sangat besar, meski dalam tulisan tercatat 25 wh, karena ini bukan aslinya, bisa mencapai 40 wh". Saya bertanya lagi, "Apakah setelah lampunya diganti, sepeda ini akan normal kembali?" (Dengan wajah yang penuh pengharapan) "Kita coba dulu, tapi kebanyakan berhasil" timpalnya.

Setelah diganti, sepeda motor pun dinyalakan dengan ditrap dan dibiarkan hidup beberapa menit. Setelah selang beberapa menit, sepeda motor dihidupkan menggunakan stater. Jreng, sepeda motor hidup dan normal kembali. Yes! Dia bilang, "Aki yang dulu kemungkinan besar masih hidup, amankan!". "Baik, terima kasih saya bilang, Ooh, iya berapa?". "25 ribu," murah sekali pikirku. Sampai di rumah saya pun bertanya tentang aki itu, ternyata sudah dijual ibu. Wkwkwkwkwk, sungguh eman sekali saya.

Dalam konteks hari ini, anda mungkin sering bertemu dengan tukang fatwa yang anda anggap ahli. Tapi, justru dari fatwa itu beberapa kasalahan bermunculan dalam hidup anda. Maka, hati-hati adalah jawabannya. Jangan mudah menyimpulkan agar tidak salah jalan. Cari informasi sebanyak-banyaknya, datanglah kepada orang yang lebih ahli untuk memecahkan persoalan. Kalau urusan agama, datanglah pada Kiai yang belajar puluhan tahun tentang agama, bukan pada Kiai karbitan yang dipoles oleh media untuk terkenal.

Semoga cerita ini menjadi Ibroh. Baik sebagai sebuah analogi dalam kehidupan kita, atau kenyataan pahit tentang sepeda motor anda yang sering memakan korban perasaan.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 15 Maret 2017

Selasa, 06 Maret 2018

Selamat Pagi Tuan Salman

Selamat Pagi Tuan Salman!

Apakah Anda betah di Indonesia? Berdasarkan informasi media, katanya Anda akan berada di Indonesia selama 9 (sembilan) hari dan akan menambah 3 (tiga) hari lagi. Saya tidak dengar dari Tuan sendiri informasi itu, ataupun dari protokoler kerajaan, tapi dari media. Masih menurut informasi media, anda akan bertahan di Indonesia mulai tanggal 01-09 Maret 2017 sebelum ada tambahan. Kalau begitu, berarti tinggal lima hari lagi di Indonesia.

Dengan kehadiran Anda di Indonesia, sepertinya rakyat Indonesia ketiban barokah. Yang semula di media sosial penuh hoax dan aksi yang berjilid-jilid, kini mulai reda. Sebab, semua mata tertuju kepada Anda. Tertuju kepada aktivitas Anda selama ada di Indonesia, termasuk ketika anda masuk Masjid tidak membuka sepatu. Anda mungkin lupa, atau belum tahu kalau Masjid Istiqlal itu kebanggaan Indonesia.

Dalam sembilan hari di Indonesia, katanya Tuan Salman membagi waktunya dalam dua kepentingan. Pertama, 3 (tiga) hari sebagai kunjungan kerjasama kenegaraan dengan segala Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang ditandatangani; pertemuan dengan segenap tokoh muslim Indonesia. Untuk urusan negara, katanya tuan Salman menanam investasi tanpa bunga di Indonesia sebesar 332 triliun, jika tidak ada perubahan. Itu angka yang sangat fantastis sekali bagi kami, bisa buat makan tujuh turunan dan mungkin lebih. Urusan pihak yang mana yang dirugikan, itu bukan sepenuhnya urusan saya, tapi juga urusan Menteri Perekonomian.

Dalam pertemuannya dengan Tokoh Indonesia, Tokoh Indonesia sifatnya hanya mendengarkan uraian, atau cerita seputar Arab Saudi oleh Tuan Salman, tentu tidak pakai bahasa Indonesia, tapi pakai bahasa Arab.  Beliau mana bisa bahasa Indonesia. Eh, ternyata di tengah cerita Raja Salman yang mengharu biru, ada tokoh kita yang tidak respek terhadap cerita Anda; Raja Salman sedang cerita, beliau pakai headset mendengarkan musik. Mohon dimaafkan ya!

Kedua, 6 (enam) hari berikutnya kalau tidak nambah, beliau akan menghabiskan waktunya di Bali-tempat wisata yang terkenal dengan pantainya yang indah. Menurut sebagian cerita, tidak hanya pantainya yang indah, tetapi pengunjungnya juga indah, terutama yang dari mancanegara. Yang dari mancanegara (katanya) paling tertarik menghiasi bibir pantai dengan modal yang murah, cukup berpakaian bagian dalam saja. Ah, apalagi ini!

Saya kasihan sebenarnya dengan Tuan Salman. Sepertinya beliau akan terisolasi di tempat yang indah ini. Karena beliau akan dihadang dengan maksiat di mana-mana, sehingga pilihan paling aman harus berdiam diri di penginapan. Padahal, menurut perhitungan biaya penginapannya saja mencapai 44 M, kurang lebih demikianlah. Meski sebenarnya, bagi beliau tidak ada masalah, tapi bagi para pangeran yang masih muda, ini persoalan. Tapi itu resiko bagi orang baik.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 07 Maret 2017

Minggu, 04 Maret 2018

Momentum dan Kompetisi Tidak Sehat

Momentum Dan Kompetisi Tidak Sehat
Refleksi terhadap pergeseran NU, dari tradisi pesantren kepada model politik praktis.

Konferensi cabang NU merupakan sebuah momen yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Momen tersebut diamanahkan oleh AD/ART organisasi sebagai bahan evaluasi dan pertanggungjawaban pengurus dalam periode kepemimpinan. Orientasi konferensi itu sebagai salah satu cara peremajaan terhadap segala kegiatan sebelumnya, atau menambah dengan program baru yang dianggap lebih penting bagi perjalanan organisasi. Selain peremajaan program, peremajaan terhadap struktur (pemilihan pemimpin organisasi) juga sebuah keniscayaan untuk dilakukan, meski dalam perjalanannya masih ada pengurus yang tetap memimpin sampai periode berikutnya.

Sebenarnya, bukan persoalan siapa yang akan terpilih untuk memimpin organisasi ini ke depan, tetapi siapapun yang terpilih sebagai pimpinan organisasi mampu mengemban amanah dan membawa  NU menjadi lebih baik. Tetapi tentu, organisasi dimaksud akan lebih baik jika dikendalikan oleh orang-orang yang mempunyai kapabelitas, kreativitas, integritas, dan inovasi, serta kecerdasan dalam memimpin organisasi. Untuk sampai pada tahap itu, tentu dibutuhkan orang-orang yang tidak melegalkan segala cara untuk dapat menjadi pimpinan tertinggi ini—dalam konteks kabupaten.

Saat ini, seperti ada semacam pergeseran orientasi. Yang semula konferensi dijadikan sebagai ajang evaluasi dan solusi untuk memperbaiki organisasi di masa yang akan datang, berubah menjadi organisasi yang berorientasi kepada perebutan kekuasaan. Ia, betul bahwa organisasi butuh pemimpin. Tetapi, rasanya kurang elok apabila dalam kesempatan evaluasi lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan daripada bagaimana mengevaluasi masa kepemimpinan sebelumnya kemudian memperbaiki pada masa yang akan datang. Nah, kepentingan kekuasaan inilah yang kerap menyeret organisasi ke jalan yang tidak benar, sering menimbulkan perpecahan di tubuh organisasi. Diakui atau tidak, selepas momen konferensi pasti akan terjadi kubu-kubu dalam tubuh organisasi.

Belum lagi, cara-cara tidak sehat sering digunakan untuk menyerang satu sama lain, kepada orang-orang yang dianggap sebagai rival dalam momen tersebut. Mbok yo sadar to yo, ini lho organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, yang tidak sepantasnya diperebutkan dengan cara-cara yang tidak baik. Fakta-fakta tentang isu di lapangan sudah semakin tajam menyerang satu sama lain, saling menjatuhkan satu sama lain. Dan ini sesungguhnya sudah keluar dari tradisi NU dan mencabik-cabik nilai-nilai yang selama ini ditanam dalam tubuh NU.

Kalau konferensi ini dipahami sebagai evaluasi, bagaimana mungkin akan mendapatkan bahan yang akan dijadikan sebagai evaluasi dan berkontribusi dalam pemikiran, apabila sebelum konferensi sibuk mencari celah dan keburukan orang lain. Bagaimana mungkin orang-orang seperti ini akan memperbaiki organisasi ke depan, kalau memimpin karakternya saja tidak mampu.

Aroma politik—tidak dimaknai sebagai politik praktis—uang baunya seperti sudah menyengat sekali. Untuk meloloskan ambisinya menguasai NU, bahkan tidak segan-segan menggunakan uang sebagai alat transaksi jual beli suara dengan pemilih—ranting dan MWC—hal lain yang lebih memprihatinkan terkadang terjadi pemutarbalikan fakta, dalam artian yang dilakukan oleh dirinya dituduhkan kepada orang lain.

Pentas kepentingan kekuasaan yang dilakukan dengan berbagai macam cara ini dipertontonkan kepada khalayak yang notabene masih awam dan masih melihat organisasi ini sebagai penopang nilai ideologi. Padahal, hal ini berpengaruh signifikan terhadap kepercayaan konstituen terhadap organisasi terutama kepada orang-orang yang ada di dalamnya.

Kalau sudah demikian, kebaikan apa yang bisa diharapkan oleh organisasi ini ke depan. Jika keterpilihan pemimpin diperebutkan sedemikan rupa, maka perpecahan pasti terjadi, dan perpecahan ini yang akan membuat organisasi ini tidak hidup meski tidak sampai mati. Dan jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka organisasi yang besar ini akan kehilangan ruh perjuangan para tokoh yang telah mendirikan NU disebabkan perbedaan tujuan dengan para pendiri. Jalan satu-satunya untuk menghindari terjadinya perpecahan itu tidak lain, bahwa semua elemen satu suara untuk tetap memertahankan tradisi NU. Di mana, NU tidak pernah mengenal perseteruan apa lagi sampai politik uang.

Penulis tidak mempunyai solusi dalam hal Ini—karena semua tahu cara mengatasinya—tapi menaruh harapan besar bagaimana model-model keumuman dalam politik praktis tidak pula terjadi dan mengikis tradisi NU yang identik dengan budaya pesantren. Mari, kita bersama turut serta untuk menyelamatkan perahu besar dengan penumpangnya yang begitu banyak ini, agar jangan sampai karam dan tidak bersisa sedikitpun buat anak cucu kita.

Ini semacam kegelisahan dari orang yang selama ini besar dalam lingkungan dan tradisi NU yang banyak memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai keagamaan.

Wallahu a’lam…

Penulis peduli NU.

Pamekasan, 05 Maret 2016

Jumat, 02 Maret 2018

Masa Depan NU dan Konfigurasi Tokoh Ideal

Masa Depan NU dan Konfigurasi Tokoh Ideal
(Catatan menjelang Konferensi Cabang Nahdhatul Ulama Kabupaten Pamekasan)

NU bergolak. Kiai-kiai bersimpuh di hadapan kursi kekuasan. Elite-elite struktural NU menyandera Negeri Bintang Sembilan. Syuriah NU hanya memberi himbauan moral, tanpa sanksi dan tidak tegas. Faksi-faksi berkecambah. Kelompok politik yang tanpa menggunakan etika mengerat-ngerat Khittah NU. Menjunjung nilai kejujuran pun tergerus oleh badai syahwat pribadi dan oligarki elite-elite struktural NU. Kepentingan warga NU dan ketulusan sebagai ruh dari nilai kekiaian dan ke-NU-an terkunci oleh kunci-kunci para Qarun di NU. Sebuah potret buram dari organisasi kaum ulama. Nyata dan nyata.

Seperti yang disampaikan oleh, Dr. KH. Tolhah Hasan, “Aurat NU telah diobok-obok. Kiai dan pesantrean, sebagai aurat NU, sekarang sudah dijadikan permainan. Orang datang kapada kiai-kiai dan pesantren-pesantren kita, bukan untuk menghormati, melainkan untuk menawarkan ‘harganya’. Aurat NU sudah dibuka oleh siapa saja,” (Demoralisasi Kittah NU Dan Pembaharuan).

Deskripsi tersebut menunjukkan batapa organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang jumlah anggotanya terbesar di dunia ini sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis, NU memang seperti rumah besar yang menyediakan banyak madu, sehingga banyak orang yang datang untuk memanfaatkan, tetapi tentu pemanfaatnya dari kalangan menengah ke atas (para elite). Di sisi lain, di tingkat akar rumput, banyak warga  NU yang membutuhkan uluran tangan para pengurus NU. Para buruh, petani, nelayan, dan wiraswastawan kecil, yang mayoritas adalah warga NU, tidak pernah tersentuh oleh kebijakan NU. NU lebih banyak berkutat di lingkungan kiai, pesantren, lembaga pendidikan ma’arif, dan forum pengajian. Miris sekali.

Yang lebih memilukan, sampai saat ini NU hanya dibutuhkan pada dua momen: Pertama, untuk kepentingan pemilu, karena warga NU itu banyak, tetapi sehabis itu ditinggal begitu saja oleh “tamu-tamu” kekuasaan. Hal ini sudah sering terjadi berulang kali. Kedua, NU dibutuhkan jika di Negeri ini terjadi konflik. Sebagai organisasi besar NU hadir sebagai “pemadam kebakaran (penengah)”, antara kelompok yang berkonflik. Jika konflik sudah selesai, NU kembali seperti semula, ditinggal lagi.

Ini merupakan persoalan yang terjadi pada NU (bila kita sepakat bahwa ini adalah persoalan). Dan persoalan ini sudah merambah ke hampir seluruh lapisan struktural. Rasanya terlalu jauh bila berpikir NU secara umum—dari pusat sampai ke desa—, tetapi setidaknya bagaimana kita berkontrisbusi pemikiran untuk NU yang lebih baik khusunya di daerah sendiri yakni di Pamekasan. Momen menjelang konferensi cabang di Pamekasan, merupakan momen yang tepat untuk bersama-sama mengevaluasi dan merumuskan strategi pencapaian yang lebih maksimal dan mengandung lebih besar nilai maslahahahnya sampai pada lapisan masyarakat paling bawah. Tidak hanya menjawab persoalan-persoalan keagamaan, tetapi juga menjawab persoalan kesejahteraan masayarakat.

NU sekarang seperti kapal besar yang sedang oleng, karena pelayarannya sekarang sedang tanpa nakhoda. Diperlukan nakhoda yang tangguh dan visioner dengan gagasan cerdas yang mampu mengatasi kompleksitas persoalan dan membawa kapal besar NU menuju arah yang lebih baik. Menurut penulis, idealnya NU harus dipimpin oleh tokoh muda, pemimpin dari tokoh muda menjadi jawaban untuk menjawab persoalan-persoalan yang sekarang sedang terjadi di tubuh NU. Karena pemimpin muda lebih mempunyai visi-misi yang kreatif, lebih energik dan bersemangat, sedang pemimpin tua cenderung menunggu dan tidak peka terhadap keadaan sehingga membuat para kaum muda gregetan. Ketidakseimbangan ini akan melahirkan stagnasi dalam tubuh organisasi.

Untuk mengimbangi  semangat kaum muda ini, maka kaum tua harus memberikan kesempatan kepada kaum muda memimpin. Tetapi, dengan segala keterbatasannya kaum tua juga wajib memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam setiap kebijakan kaum muda. Dan sepertinya hal ini memang diatur dalam perangkat (AD/ART) organisasi secara struktural, bahwa kaum sepuh yang terdiri kiai sepuh sebagai penyeimbang setiap kebijakan yang dilakukan. Sehingga terjadi sinergitas antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda bekerja, kaum tua sebagai badan penimbang.

Wallahu A’lam…

Mohon maaf, Penulis hanya karena Peduli dengan NU.

Pamekasan, 02 Maret 2016