Selasa, 20 Maret 2018

NU dari Madura untuk Indonesia

NU dari Madura untuk Indonesia

Di bagian barat pulau Madura ada sebuah kabupaten yang bernama Bangkalan. Berbicara Bangkalan, ini memang tidak lepas dari adanya makam seorang ulama yang dipercaya sebagai seorang wali. Beliau adalah Syaikh Kholil bin Abdul Latif, yang makamnya setiap hari dipenuhi oleh para peziarah, baik yang datang dari pulau Madura sendiri atau di luar Madura.

Syaikhona Kholil Bangkalan sebagai ulama kharismatik kelahiran Madura, ternyata sebelum meninggal, sempat mewariskan sebuah organisasi besar sebagai cikal bakal pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah melakukan istikharah, beliau menyuruh salah satu muridnya yang bernama As'ad (pada masa itu) untuk mengantarkan sebuah tongkat dan bacaan ayat al-Quran surat toha ayat 17-23, kepada murid beliau juga yang ada di Jombang.

Atas nama legitimasi dari beliau, murid beliau yang--berada di Jombang--bernama Hasyim Asy'ari itu mendeklarasikan organisasi yang sudah mendapatkan restu itu. Organisasi itu kemudian diresmikan di Surabaya pada tanggal 31 Desember 1926, bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H. dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Kemudian Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari atau yang biasa disebut Mbah Hasyim disebut sebagai pendirinya.

Lantas, murid yang bernama As'ad itu siapa? Beliau adalah KHR. As'ad Syamsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekah-meninggal 04 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun) pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya. Yang beberapa tahun terakhir dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Demikian, sekilas tentang sosok seorang As'ad.

Apakah berlebihan sekiranya dikatakan Madura sebagai pulau NU? Saya kira tidak. Sebab, tokoh inisiator yang menjadikan NU sebagai organisasi ini adalah seorang ulama yang oleh mayoritas orang Madura tidak diragukan lagi kealimannya. Pada saat masyarakat Madura bersepakat dengan kewalian dan kealiman beliau, maka otomatis masyarakat Madura juga sepaham dengan alur pemikiran beliau, termasuk berdirinya NU ini.

Pada saat yang bersamaan dengan diresmikannya NU, ada ulama yang membawanya ke Pamekasan. Beliau adalah KH. Sirojuddin Bettet dan KH. Badruddin Panyeppen. KH. Siroj (panggilan KH. Sirojuddin) sebagai Rais Syuriah dan KH. Badruddin sebagai Ketua Tanfidz-nya. Yang berarti beliau berdua sebagai pimpinan NU pertama di kabupaten Pamekasan.

KH. Sirojuddin ini seangkatan dengan KH. Rofi'i (Sumber Anom) dan Mbah Wachab waktu ngaji ke Mbah Machfud al-Termasi di Makkah. Itu artinya para beliau bukan hanya ngaji bersama, tetapi juga punya kesepahaman dalam membesarkan NU. Hingga sampai saat ini anak cucu beliau masih berkhidmat di NU.

Ketika membicarakan nama beliau, nama beliau senantiasa disandingkan dengan NU. Pertama, KH. Sirajuddin adalah pendiri PP. Miftahul Ulum Bettet. Untuk para santri dari beliau tidak usah khawatir sesat berkhidmat di NU, sudah ada beliau yang mendahuluinya. Termasuk santri (tak langsung) KH. Badruddin pengasuh PP. Miftahul Ulum Panyeppen, beliau adalah NU tulen dari dulu sampai sekarang.

Saya sebagai murid tidak langsung dari beliau (KH. Sirajuddin) bangga berada dalam satu haluan bersama beliau. Tidak hanya saya, pun orang tua saya dari dulu memegang teguh warisan organisasi dengan ideologi Ahlus sunnah wal jamaah ini, dari para leluhur (baca: kakek & nenek).  Tentu, hal ini juga disebabkan tokoh masyarakat setempat yang sudah lebih dulu mengamalkan nilai-nilai yang tertanam dalam Nahdlatul ulama.

Semoga menjelang Harlah Nahdlatul Ulama beberapa hari ke depan, NU tetap berkontribusi dalam bidang sosial keagamaan bagi nusa dan bangsa, utamanya dalam menjaga NKRI.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 20 Maret 2018

0 komentar:

Posting Komentar