Senin, 19 Maret 2018

Mengukur Kebenaran Syariat Dengan Kacamata Sosial

Mengukur Kebenaran Syariat Dengan Kacamata Sosial

Mencoba menilai kebenaran secara sederhana terhadap syari’at dalam perspektif sosial.  Tentu kita tahu ketika memunculkan istilah syariat berkaitan erat dengan Islam, karena syariat itu sendiri selalu bertalian dengan Islam. Selama ini umat Islam memahami syariat sebagai aturan yang diyakini kebenarannya karena sumber-sumber yang digunakan merupakan sumber utama dalam islam, yaitu al-Qur’an dan hadits.

Menyikapi kecenderungan ketidakpuasan manusia terhadap kebenaran itu, penulis berusaha meninjau dalam perspektif sosial, artinya bahwa bagaimana syariat ini kemudian dinilai dari kacamata sosial secara kritis, meski sebenarnya yang bernama ajaran dalam sebuah agama itu cukup diyakini dan dilaksanakan.

Penulis memang sedikit mendekati pemikiran ini dengan agak bebas, dalam artian bebas kemana-kemana, tidak terikat oleh teori tertentu atau sistematika tertentu, biar tidak terpaku dalam menulis.

Kembali kepada pokok persoalan yang mau kita bahas bahwa penulis mencoba mengukur kebenaran syariat dalam kacamata sosial. Seperti bagaimana syari’at melarang seseorang mencuri. Kita tahu bahwa mencuri merupakan perbuatan tidak menyenangkan bagi orang lain karena perbuatan itu merugikan orang lain.

Kenapa syari’at melarang perbuatan itu? Bisa kita bayangkan seandainya ada legimasi terhadap pencurian, maka rasanya sulit kita melihat orang bekerja, yang ada orang-orang yang selalu bersiap-siap cara bagaimana bisa mencuri –dalam pemikiran ini mencuri dianggap sebagai perbuatan yang tidak melanggar— tetapi dalam kurun waktu tertentu apa yang mau dicuri pada saat semua orang mengandalkan harta milik orang lain. Maka yang terjadi adalah semua orang akan mati dan kehidupan ini akan punah, dari itulah syariat mengatur bahwa kita harus ihtiar dan tidak mengambil harta orang lain.

Bagaimana dengan zina? Bukankah sangat menarik apabila itu dilakukan? Kita tidak usah repot menghadirkan penghulu, wali atau siapa saja yang berkompeten di dalamnya. Pada saat kita menginginkan kebutuhan seks kita bisa mengajak lawan jenis untuk melakukan hubungan itu, baik itu di bawah pohon, di halaman, di trotoar, di sungai, di tempat wisata dan di mana saja kita inginkan. Tetapi kenapa syari’at melarang perbuatan itu, sepertinya ada sesuatu yang tersimpan yang kadang keterbatasan kita mengabaikan hal itu.

Dua hal sebenarnya yang diinginkan oleh siapa saja yang melakukan perbuatan itu, yang pertama perbuatan itu berorientasi kesenangan, yang kedua perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan spesies kita sebagai manusia. Pada saat yang bersamaan kita sudah mulai tidak tahu siapa sebenarnya bapak kita, kalau masih medapatkan satu anak masih mudah untuk diatasi fasilitasnya oleh ibunya, tetapi kalau sudah banyak, di sini masalah muncul. Kalau seorang ibu harus memfasilitasi banyak anak, kemungkinan paling ringan akan terjadi penelantaran dan paling berat adalah pembantaian. Pada akhirnya spesies kita sebagai manusia tidak ubahnya hewan dengan kemampuan pengetahuan yang pas-pasan dan akhirnya kepunahan.

Rasionalisasi ini memang tidak harus dilakukan, karena merupakan dogma yang harus dipercayai kebenarannya. Bukan tidak percaya terhadap syari’at itu sendiri, hanya saja biar lebih mantap apabila kita berupaya melakukan pendekatan secara rasional, seperti bagaimana dulu ketika nabi Ibrahim AS. berdialog dengan Allah SWT. “dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati’. Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim manjawab: ‘aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: …” artinya bahwa pendekatan ini hanya menginginkan kemantapan iman terhadap kebenaran syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT. Melalui Rasulnya Muhammad SAW.

Wallahua’lam bisshawab!

0 komentar:

Posting Komentar