Jumat, 02 Maret 2018

Masa Depan NU dan Konfigurasi Tokoh Ideal

Masa Depan NU dan Konfigurasi Tokoh Ideal
(Catatan menjelang Konferensi Cabang Nahdhatul Ulama Kabupaten Pamekasan)

NU bergolak. Kiai-kiai bersimpuh di hadapan kursi kekuasan. Elite-elite struktural NU menyandera Negeri Bintang Sembilan. Syuriah NU hanya memberi himbauan moral, tanpa sanksi dan tidak tegas. Faksi-faksi berkecambah. Kelompok politik yang tanpa menggunakan etika mengerat-ngerat Khittah NU. Menjunjung nilai kejujuran pun tergerus oleh badai syahwat pribadi dan oligarki elite-elite struktural NU. Kepentingan warga NU dan ketulusan sebagai ruh dari nilai kekiaian dan ke-NU-an terkunci oleh kunci-kunci para Qarun di NU. Sebuah potret buram dari organisasi kaum ulama. Nyata dan nyata.

Seperti yang disampaikan oleh, Dr. KH. Tolhah Hasan, “Aurat NU telah diobok-obok. Kiai dan pesantrean, sebagai aurat NU, sekarang sudah dijadikan permainan. Orang datang kapada kiai-kiai dan pesantren-pesantren kita, bukan untuk menghormati, melainkan untuk menawarkan ‘harganya’. Aurat NU sudah dibuka oleh siapa saja,” (Demoralisasi Kittah NU Dan Pembaharuan).

Deskripsi tersebut menunjukkan batapa organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang jumlah anggotanya terbesar di dunia ini sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis, NU memang seperti rumah besar yang menyediakan banyak madu, sehingga banyak orang yang datang untuk memanfaatkan, tetapi tentu pemanfaatnya dari kalangan menengah ke atas (para elite). Di sisi lain, di tingkat akar rumput, banyak warga  NU yang membutuhkan uluran tangan para pengurus NU. Para buruh, petani, nelayan, dan wiraswastawan kecil, yang mayoritas adalah warga NU, tidak pernah tersentuh oleh kebijakan NU. NU lebih banyak berkutat di lingkungan kiai, pesantren, lembaga pendidikan ma’arif, dan forum pengajian. Miris sekali.

Yang lebih memilukan, sampai saat ini NU hanya dibutuhkan pada dua momen: Pertama, untuk kepentingan pemilu, karena warga NU itu banyak, tetapi sehabis itu ditinggal begitu saja oleh “tamu-tamu” kekuasaan. Hal ini sudah sering terjadi berulang kali. Kedua, NU dibutuhkan jika di Negeri ini terjadi konflik. Sebagai organisasi besar NU hadir sebagai “pemadam kebakaran (penengah)”, antara kelompok yang berkonflik. Jika konflik sudah selesai, NU kembali seperti semula, ditinggal lagi.

Ini merupakan persoalan yang terjadi pada NU (bila kita sepakat bahwa ini adalah persoalan). Dan persoalan ini sudah merambah ke hampir seluruh lapisan struktural. Rasanya terlalu jauh bila berpikir NU secara umum—dari pusat sampai ke desa—, tetapi setidaknya bagaimana kita berkontrisbusi pemikiran untuk NU yang lebih baik khusunya di daerah sendiri yakni di Pamekasan. Momen menjelang konferensi cabang di Pamekasan, merupakan momen yang tepat untuk bersama-sama mengevaluasi dan merumuskan strategi pencapaian yang lebih maksimal dan mengandung lebih besar nilai maslahahahnya sampai pada lapisan masyarakat paling bawah. Tidak hanya menjawab persoalan-persoalan keagamaan, tetapi juga menjawab persoalan kesejahteraan masayarakat.

NU sekarang seperti kapal besar yang sedang oleng, karena pelayarannya sekarang sedang tanpa nakhoda. Diperlukan nakhoda yang tangguh dan visioner dengan gagasan cerdas yang mampu mengatasi kompleksitas persoalan dan membawa kapal besar NU menuju arah yang lebih baik. Menurut penulis, idealnya NU harus dipimpin oleh tokoh muda, pemimpin dari tokoh muda menjadi jawaban untuk menjawab persoalan-persoalan yang sekarang sedang terjadi di tubuh NU. Karena pemimpin muda lebih mempunyai visi-misi yang kreatif, lebih energik dan bersemangat, sedang pemimpin tua cenderung menunggu dan tidak peka terhadap keadaan sehingga membuat para kaum muda gregetan. Ketidakseimbangan ini akan melahirkan stagnasi dalam tubuh organisasi.

Untuk mengimbangi  semangat kaum muda ini, maka kaum tua harus memberikan kesempatan kepada kaum muda memimpin. Tetapi, dengan segala keterbatasannya kaum tua juga wajib memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam setiap kebijakan kaum muda. Dan sepertinya hal ini memang diatur dalam perangkat (AD/ART) organisasi secara struktural, bahwa kaum sepuh yang terdiri kiai sepuh sebagai penyeimbang setiap kebijakan yang dilakukan. Sehingga terjadi sinergitas antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda bekerja, kaum tua sebagai badan penimbang.

Wallahu A’lam…

Mohon maaf, Penulis hanya karena Peduli dengan NU.

Pamekasan, 02 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar