Selasa, 27 Februari 2018

Mengukur Keimanan Dengan Teks Al-Qur’an

Mengukur Keimanan Dengan Teks Al-Qur’an

Sudah diketahui bersama bahwa rukun iman kita sebagai umat Islam ada enam. Dalam salah satu rukun iman yaitu rukun iman ketiga kita harus iman kepada kitab-kitab Allah. Secara terminologi, iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang. Artinya, dalam hal ini kita tidak hanya dituntut iman terhadap adanya kitab-kitab Allah yang dimaksud, tetapi juga harus percaya terhadap kandungan isi dari kitab-kitab itu sendiri yang sudah dirampungkan dalam al-qur’an, dan mengamalkannya.

Mengamalkan isi kandungan al-qur’an menjadi indikator seberapa jauh tingkat keimanan yang ada dalam diri seseorang kepada Allah, karena al-qur’an itu sendiri merupakan sekumpulan kalam Allah yang mengandung kebenaran, dan tidak satu teks pun yang mangandung kebohongan. Tetapi dalam hal tertentu, kita sebagai umat islam masih tidak cukup percaya untuk melaksanakan himbauan-himbauan teks al-qur’an yang sudah kita percaya sebagai lambang kebenaran itu. Seperti seumpamanya ayat-ayat seperti berikut ini “siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:245).

Teks berikutnya adalah “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang  menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunianya) lagi maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:261).

Ayat-ayat tersebut berisi himbaun yang sekaligus motivasi untuk berbuat baik dengan cara memberikan sebagian hartanya di jalan Allah, dan Allah siap mengganti harta yang dikeluarkan itu beberapa kali lipat. Bukankah yang menyampaikan itu Allah sendiri dalam firmannya yang kita percaya sebagai lambang kebenaran, tetapi sejauh mana kita menerima teks itu sebagai lambang kebenaran.

Sangat ironis ketika kita bandingkan antara himbauan Allah itu dengan situasi dan kondisi sosial saat ini. Karena masih terlihat banyak sekali orang yang membiarkan orang-orang di sekitarnya dalam keadaan kelaparab: itu artinya, bahwa kita tidak sungguh-sungguh yakin terhadap teks al-qur’an itu, andai kita betul-betul meyakini terhadap teks al-qur’an, niscaya kita akan berebut untuk bisa menyisihkan sebagian hartanya bagi orang lain, dengan harapan Allah akan menggantinya, karena Allah sendiri yang telah menggaransi hal itu.

Memahami garansi dari Allah itu secara sungguh-sungguh akan meningkatkan kadar keimanan seseorang. Secara otomatis kegiatan keagamaan yang dilakukan akan membuat para penganutnya semakin kuat seiring perjalanan waktu. Meski semula berangkat dari keinginan mengharapkan sesuatu di dunia, seiring pembuktian secara ilahiah yang bersangkutan akan menambah kadar keimanannya sedikit demi sedikit, disebabkan lambat laun Allah mulai membuktikan apa yang disampaikan melalui kitab suciNya al-qur’an.

Tentu, hal itu tidak berlangsung secara simultan karena bagaimanpun Allah memperhatikan proses dan keyakinan kita sebagai penganutNya.

Dua teks itu hanya sebagai alat ukur, bahwa kebanyakan dari kita sebagai penganut suatu agama dengan ketentuan yang sudah jelas, tidak mempercayai kandungan teks wahyu secara komprehensif.

Wallahu a'lam.

Pamekasan, 28 Pebruari 2015

0 komentar:

Posting Komentar