This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 23 November 2017

Warna NU dalam Kekuasaan

Warna NU dalam Kekuasaan

Kurang besar apa Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi yang sudah mendunia dan terbesar di dunia ini menunjukkan sebuah fakta yang bahkan semut pun tidak bisa membantah. Bagaimana NU mampu mencetak kader terbaik untuk menjadi bagian dari proses lajunya negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai dari level yang paling rendah sampai paling tinggi. Dari tingkat pusat sampai daerah. Mulai dari Indonesia belum merdeka sampai saat ini (baca: zaman now).

Berbicara laju negara tidak lepas dari kekuasaan dalam sebuah pemerintahan. Sebab yang dibutuhkan adalah kontribusi dalam setiap kebijakan. Bagaimana kebijakannya mampu memberikan perubahan yang lebih baik. Dan tidak perlu khawatir bahwa tinjauan yang digunakan dalam keputusan pasti berlandaskan pada dalil-dalil naqli selain dalil aqli. Karena kita tahu bahwa NU adalah organisasi sosial dan keagamaan. Selain negara kita juga bukan negara skuler, yang membiarkan negara berjalan sendiri tanpa intervensi norma agama.

Nah, maka penting kader NU bisa mewarnai proses-proses demokratisasi dalam setiap tingkatan, dan; sampai saat ini kader NU tetap mewarnai. Dalam pada ini, kita bisa melihat sendiri perbincangan di media sosial perihal Pilkada, baik tingkat provinsi atau tingkat kabupaten. Di tingkat Jawa Timur misalnya, yang sangat santer dibicarakan kalau tidak Gus Ipul (panggilan dari Syaifullah Yusuf) pasti Bunda Khofifah (panggilan Khofifah Indar Parawansa). Keduanya adalah kandidat terkuat dalam kontestasi Pilkada Jawa Timur. Lalu, siapa mereka? Mereka adalah kader NU. Iya, kader NU.

Kemudian kita tarik dalam konteks yang lebih sempit lagi, yakni Pilkada Pamekasan. Dalam Pilkada Pamekasan muncul dua tokoh yang sama-sama kuat, yakni KH. Kholilurrahman dan Lora Baddrut Tamam. Tidak perlu lagi dipertanyakan basic organisasinya di mana. Yang jelas para beliau adalah NU dan tidak diragukan lagi ke-NU-annya. Kader terbaik NU ini akan melenggang dalam kontestasi Pilkada Pamekasan untuk tahun pengabdian 2018/2023 mendatang. Kalau di media sosial ramai tentang tokoh atau figur dalam kontestasi Pilkada Pamekasan; saya pastikan tidak lepas dari kedua tokoh ini. Dan keduanya berdarah NU.

Mungkin keusilan anda akan bertanya-tanya, "Bagaimana kalau di pusat?" Jangan lupa, bahwa Wakil Presiden kita Bapak Yusuf Kalla adalah warga NU tulen. Masih belum yakin? Silahkan buka google, pasti akan mendapatkan pencerahan dari beliau (Mbah google). Meski tidak sampai presiden, tetapi cukup banggalah.

Tentu, kami bangga sebagai warga NU melihat kenyataan ini. Sebuah kenyataan yang memberikan penjelasan bahwa NU mampu memberikan warna yang terang dalam proses demokratisasi dalam semua tingkatan di Indonesia ini. Persoalan perbedaan karena banyaknya kader yang menjadi pilihan dalam sebuah kontestasi, itu bisa kita kembalikan kepada masing-masing personal. Karena dalam kaidah fikih pun ada khilafiyah yang melahirkan sebuah perbedaan, tapi tidak perpecahan.

Yang paling mengasyikkan, beberapa hari yang lalu Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammed bin Salman, mengatakan ingin kembali ke "Islam moderat" karena merupakan kunci dalam rencananya untuk memodernisir negara kerajaan itu. Artinya Arab Saudi akan mengadopsi Islam moderat yang di sini dikenal dengan Islam Nusantara yang diperkenalkan oleh NU. Akhirnya Arab Saudi gendeng NU untuk menerapkan Islam Nusantara di negaranya.

Sehingga, apabila ada sebagian oknum yang selama ini mengolok NU, mencacimaki seenak sendiri, sebaiknya bertanya pada hati kecilnya tentang apa yang sudah dilakukan sebagai kontribusi untuk memberikan perubahan yang lebih baik untuk negara ini. Karena NU sudah banyak berkontribusi sejak Indonesia belum merdeka.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 23 Nopember 2017

Kabupaten Pamekasan Butuh "Kota" (Iyakah?)

Kabupaten Pamekasan Butuh "Kota" (Iyakah?)

Sudah lazim, ketika ibu misalnya datang belanja dari Pamekasan, lalu ada yang bertanya, ibu akan menjawab, "Dâtêng dâri kottah" (datang dari kota). Termasuk bapak saya ketika dulu datang menarik becak dari Pamekasan, dan ibu ingin memberitahukan kepada saya, ibu akan mengatakan, "Cong, eppa'eh dâtêng dâri kottah," (nak, bapakmu datang dari kota). Sehingga akhirnya, ketika saya hendak pergi ke Pamekasan, saya pun mengatakan, pergi ke kota; atau ketika hendak bertemu dengan teman, bertemu di kota. Entah, untuk kepentingan ngopi bersama teman-teman, belanja barang kebutuhan, sekedar bermain, dan lain-lain, saya akan mengatakan sampai bertemu di kota.

Akhir-akhir ini santer di media sosial, bahwa perwakilan kita di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Pamekasan sedang membahas bahwa Pamekasan ingin dipecah menjadi kabupaten dan kota. Jadi kalau begitu, selama ini saya salah kaprah ketika menyampaikan istilah kota untuk Pamekasan dalam beberapa kesempatan. Karena sebenarnya, di Pamekasan itu secara resmi belum pernah menjadi kota. Tetapi bagaimana pula predikat yang selama ini disematkan pada Kabupaten Pamekasan ini. Mulai dari predikat kota pendidikan, kota budaya, kota gerbang salam, hingga Pamekasan sebagai kota batik.

Kalau misalnya, Pamekasan mau dipecah manjadi kota dan kabupaten itu sah-sah saja, dengan catatan tidak mengganggu fasilitas yang sudah dimiliki oleh Kabupaten. Bagaimana pun juga pada akhirnya, kota yang terbentuk itu tidak lagi menjadi bagian dari kabupaten Pamekasan, karena sama-sama menjadi daerah tingkat II di bawah propinsi Jawa Timur, dan secara administrasi juga terpisah. Jadi kalau DPRD berinisiatif untuk memecah Pamekasan menjadi kabupaten dan kota, berarti juga harus siap dengan segala konsekuensinya. Yakni menyiapkan dana sebanyak-banyaknya yang bukan bersumber dari APBD kebupaten Pamekasan. Ingat, kota itu berdiri sendiri tidak seperti kecamatan yang ada di bawah kabupaten.

Jangan sampai berpikir, bahwa kabupaten Pamekasan akan dicaplok sebagian termasuk infrastruktur yang sudah ada di dalamnya. Semisal kecamatan Pamekasan langsung mau dijadikan sebagai Kota, sedang pembangunannya dihasilkan oleh PAD yang notabene adalah milik kabupaten Pamekasan, mulai dari pantai utara sampai selatan. PAD yang mulai dulu dihasilkan dari Pantai utara sampai selatan untuk pembangunan kabupaten Pamekasan termasuk daerah perkotaan, tiba-tiba mau diakuisisi untuk kota yang baru yang tidak semua wilayah kabupaten masuk di dalamnya. Ini jelas sekali tidak baik.

Kalau hal itu terjadi sama saja dengan masyarakat Pamekasan memberikan jabatan atau kekuasaan termasuk fasilitas kepada seseorang yang entah itu siapa dan di mana saat ini. Ini tidak boleh terjadi, kita cukup berada dalam satu kekuasaan dan administrasi kabupaten. Tidak perlu wali kota yang entah akhirnya itu siapa dan dari mana.

Tentu, masyarakat akan keberatan jika hal itu yang dilakukan. Kecuali, mau memanfaatkan lahan kosong, dan segalanya dimulai dari sana, baik infrastruktur dan administrasi kota. Ini kami bisa menyebutnya dengan pengembangan. Tetapi jika yang sudah ada yang mau dimanfaatkan, itu berarti mau menghabiskan aset yang sudah dimiliki oleh Kabupaten Pamekasan, atas nama kerja keras yang sudah dilakukan oleh bupati dari masa lalu.

Tidak hanya itu, kesenjangan sosial pasti akan terjadi. Masyarakat non kota akan mendapatkan peluang lebih sempit dalam berbisnis, karena wali kota akan memprioritaskan masyarakat kota yang notabene adalah masyarakatnya sendiri. Akan muncul peraturan-peraturan baru yang akan memberatkan masyarakat desa dalam mengadu keberuntungan di kota orang lain pada saat itu. Iya, saat itu kota Pamekasan sudah bukan milik kita lagi orang kampung.

Kita tidak harus terjebak dengan kepentingan Madura Propinsi, sehingga harus mengorbankan kabupaten sendiri. Tanpa dipecah secara administrasi ataupun infrastruktur antara kota dan kabupaten, selama ini kami sudah menganggap daerah monumen Arek Lancor itu sudah kota. Kami (orang desa) juga masih butuh PAD dari hasil retribusi parkir dan sewa stadion.

Wallahu a'lam!

Sampang, 17 Nopember 2017

Kamis, 09 November 2017

Surat Cinta untuk KPUD Pamekasan

Surat Cinta untuk KPUD Pamekasan

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) membuka diri. Apabila dalam perjalanan proses seleksi calon Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) ada pelanggaran dan keputusan yang cacat secara hukum, maka Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Pamekasan memberikan ruang komplain kepada para pendaftar PPK untuk disampaikan dan ditindaklanjuti. Hal ini membuka peluang bagi kontestan yang tidak puas dan tidak lulus untuk mengganti posisi orang yang dianggap melakukan pelanggaran.

Komitmen itu dibuktikan, setelah KPUD Pamekasan mengumumkan penetapan hasil seleksi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), KPUD melalui ketua KPUD Pamekasan menyampaikan, "Jika memang ada yang melanggar aturan atau tidak sesuai aturan. Maka PPK terpilih tersebut bisa dieliminasi dan diganti calon yang lain". (Kilas Madura). Sip, Pak. Anda sungguh bijaksana.

Saya berdoa, semoga atas komitmen itu komisioner KPUD Pamekasan mendapatkan perlindungan dari Allah atas itikad baiknya dalam menyelenggarakan rekrutmen PPK; dan sebaliknya, apabila tidak amanah dan bekerja tidak sesuai dengan peraturan, semoga laknat Allah menyertai bapak. Tidak perlu takut pak, kalau bapak benar, Allah akan melindungi bapak, termasuk dari beberapa komplain masyarakat PPK yang akan terjadi.

Sebenarnya, saya tidak mau ikutan Pak untuk mengomentari hal ini. Namun setelah saya membaca kabar di media sosial, status dan komentar teman-teman di facebook, sepertinya ada yang janggal bin aneh. Contoh, ada status teman saya yang seperti ini, "Kok bisa ya? Tak mendaftar kok tiba-tiba lulus tes tulis lalu ikut tes wawancara? Ini mengacu pada aturan yang mana?" Ini namanya kan janggal, Pak. Kalau memang tidak mendaftar, hasil tes tulis itu datang dari mana. Namanya tidak mendaftar, berarti tidak ikut tes kan, Pak!

Teman saya juga ada yang cerita, katanya ada salah satu pengurus partai politik yang lulus rekrutmen PPK. Pada saat dia (teman saya) terdaftar sebagai anggota PPK, ia (pengurus partai) sebagai calon legislatif 2014. Ini mungkin butuh pembuktian lebih lanjut. Namanya juga cerita pak, bisa benar bisa salah. Tapi jangan lupa, orang tidak cerita kalau tidak terjadi. Kalau tidak ada menjadi ada, itu namanya hayalan, halusinasi dan mungkin mimpi.

Berikutnya, tentang tahapan. Setelah lulus administrasi, berikut dilanjutkan dengan tes tulis dan wawancara. Yang menjadi pertanyaan, wawancara itu berfungsi sebagai apa ya? Kalau untuk mengidentifikasi kemampuan seseorang, apakah tidak cukup dengan tes tulis. Ada sebagian teman, yang pernah berpengalaman menjadi PPK, lulus tes tulis malah tidak lulus di tes wawancara. Bagaimana cerita, pengalaman di pekerjaan yang sama kalah dengan 10 pertanyaan dengan orang yang belum berpengalaman. Kata, Cak Lontong, "Mikir!". Sepuluh pertanyaan mengalahkan pengalaman. Di sini saya merasa lucu.

Belum berbicara tingkat pendidikan. Ada yang tingkat pendidikannya di atasnya keok. Magister jatuh ditangan sajana. Kira-kira begitu kalau dijadikan judul film. ini hanya keluhan, pak. Maaf, soalnya kalau tidak ditulis unek-unek ini bisa tidak selesai sampai hari kiamat, mungkin sampai esoknya. Sekali lagi, saya mohon maaf, siapa tahu koreksi ini menjadi jalan hidayah. Karena di rumah ada anak dan istri yang menunggu hasil jerih payah kita, Pak. Darahnya adalah tanggung jawab kita.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 09 Nopember 2017

Senin, 06 November 2017

Felix Sauw Tester Politik Jawa Timur

Felix Sauw Tester Politik Jawa Timur

Beberapa hari terakhir ini, Indonesia khususnya Jawa Timur sedang dilanda oleh fitnah yang dahsyat. Massa Badan Otonom (Banom) NU Bangil yang meluruk Ustadz Felix Siauw yang akan mengisi pengajian akbar bertajuk Antara Wahyu dan Nafsu, di Masjid Manarul Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Sabtu (4/11/17), yang berakhir dengan gagalnya pengajian dimaksud, sedang diserang oleh beberapa kalangan.

Namun, aksi ini tidak semata-mata terjadi begitu saja, tetapi sudah melalui perjalanan panjang yang berakhir dengan permintaan penandatanganan tiga poin yang disodorkan pada Ustadz Felix: Pertama, menyatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia; kedua, tidak akan menyebarkan paham khilafah; ketiga, menyatakan keluar dari HTI. Tapi Ustadz Felix meninggalkan pengajian karena tidak mau menandatangani surat yang disodorkan Ansor Bangil.

Kenapa harus ada permintaan penandatanganan surat? Iya, karena beliau ustadz Felix adalah kader eks HTI yang sudah dibubarkan oleh pemerintah. Jangan sampai organisasi yang sudah dilarang oleh negara itu, masih menyuarakan ideologinya yang tidak sesuai dengan Pancasila di majlis-majlis. Karena itu tidak baik bagi kesehatan perjalanan NKRI.

Peristiwa ini sedang digoreng sedemikian rupa dengan berbagai macam argumentasi. Tentu, argumentasi itu masih bergantung kecenderungan kepada golongan mana orang itu berpihak. Bagi yang tidak pro dengan Banom NU, pasti ia akan memosisikan diri dijalur yang kontra terhadap gerakan Banser, pun sebaliknya bagi yang Ahlussunah wal Jama’ah akan memosisikan diri pada yang pro kepada gerakan Banser. Demikian itu, karena NU adalah ahlussunnah waljamaah.

Siapa sebenarnya Ustadz Felix Siauw? Inilah sedikit tentang profil beliau. Felix Siauw (lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 31 Januari 1984; umur 33 tahun) adalah seorang ustadz etnis Tionghoa-Indonesia. Ia menjadi seorang mualaf semenjak masa kuliah dan bertemu seorang aktivis gerakan Islam, Hizbut Tahrir Indonesia. Felix Siauw lahir dan tumbuh di lingkungan non-muslim. Ia mulai mengenal Islam pada tahun 2002, saat masih berkuliah di Institut Pertanian Bogor semester tiga.

Ingat, ia mengenal Islam sejak 2002. Entah, bagaimana cara seorang muallaf sampai sedemikian dipercaya ilmu agamanya melebihi Kyai pesantren. Oh, tidak!

Atas peristiwa ini, kacamata lain bisa kita gunakan untuk membedah unsur yang mungkin melatarbelakangi kejadian ini. Unsur politik misalnya. Felix Siauw dijadikan sebagai tester indikator keberpihakan masyarakat Jawa Timur kepada ideologi yang diusung, sehingga melahirkan klasifikasi masyarakat Jawa Timur yang cenderung kepada NU atau di luar NU.

Kemudian, muncul La Nyalla Mattaliti yang mencoba untuk menggiring masyarakat yang sudah mulai terkotak. Ambil bagian pada masyarakat yang tidak sepaham dengan gerakan Ansor. Lagi-lagi, agama menjadi isu empuk untuk dimainkan di Jawa Timur. Dalam pada ini, NU sudah dikuasai dua kader terbaiknya dalam kontestasi Jawa Timur, sehingga seakan non-NU menjadi bagian La Nyalla.

Konon katanya, Habib Rizieq, disebut tim La Nyalla, bersama para ulama dan habaib akan mendukung ikhtiar La Nyalla untuk memenangi pilgub di Jatim pada 2018.

"Insyaallah ana dan para ulama serta para habaib di Jatim akan mendukung antum. Insyaallah selama niat antum ikhlas karena Allah Ta'ala, kami semua akan mendukung. Apalagi antum berikhtiar untuk maju lewat Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Sudah benar itu," tandas Habib Rizieq, dalam sebuah kesempatan.

Munculnya dominasi kader NU dalam kontestasi politik Jawa Timur tidak membuat semua kalangan puas. Ada saja yang masih akan memanfaatkan isu agama di Jawa Timur yang notabene sudah dewasa dalam beragama. Semoga Jawa Timur dijauhkan dari aduk-aduk seperti DKI Jakarta beberapa tempo lalu.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 06 Nopember 2017

Sabtu, 04 November 2017

Perang Saudara dalam Bingkai NKRI

Perang Saudara dalam Bingkai NKRI

Pagi ini saya takut sekali. Yang seharusnya sejuk dengan angin sepoi dan udara segar, tiba-tiba menjadi panas. Sepertinya, Indonesia sudah tidak ramah lagi. Entah, apa penyebabnya. Apa mungkin, karena saya melihat detik-detik ambang kehancuran di negeri ini. Detik-detik di mana orang Indonesia akan bertemu dalam satu gelanggang; dengan sudut yang berbeda. Yang satu akan berteriak, "Allahu Akbar" dan yang lainnya akan berteriak, "Merdeka". Mungkin akan seperti negara lainnya yang sudah bubar duluan, negeri ini akan mengikuti jejak mereka. Nasionalisme akan dihadapkan dengan agama, yang tentu keduanya mempunyai penganut fanatiknya masing-masing dengan keterbatasan pengetahuan masing-masing tentang agama dan nasionalisme.

Peperangan yang akan terjadi ini bukan antar suku, agama, ras, etnis, golongan dan lainnya. Tetapi antar saudara yang pernah hidup bersama di atas nilai toleransi dan; orang tua mereka pernah berjuang bersama di atas Bumi Pertiwi ini. Kepentingan sebagian orang akan memorak-porandakan negeri tercinta ini dengan hasutan yang terselubung atas nama nilai-nilai. Agama yang selama ini anti kebencian menjadi terkesan sangat beringas sekali, seperti tidak ada maaf atas adanya sebuah perbuatan. 

Apa mungkin karena karena bangsa hari tidak pernah merasakan seperti apa rasa buah penjajahan dan peperangan yang berdarah-darah seperti yang dirasakan oleh para orang tua kita terdahulu sehingga kita mudah tersulut. Iya, jawabannya mungkin itu. Indonesia merdeka tujuh puluh tahun lebih yang lalu, sehingga sudah tidak ada lagi bangsa Indonesia yang mau menceritakan dengan wajah ketakutan detik-detik yang mencekam ketika suara bom dan peluru mendesing. Kesakitan yang tergambar pada wajah para pahlawan sudah terhapus oleh waktu. Ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai yang begitu menyakitkan, orang tua dan saudara meninggal di medan pertempuran.

Ketika perang betul-betul terjadi, siapa yang akan disalahkan. Oknum yang dengan sengaja mengompori masyarakat dengan membawa isu yang sangat sensitif di negeri ini dan juga; media yang telah dengan sengaja membesar-besarkan, mendramatisir keadaan demi kepentingan tuannya, yang wajib bertanggungjawab; kemudian kebodohan masyarakat itu sendiri, yang tidak bisa membedakan antara ada dan tidak adanya sebuah kepentingan dalam sebuah kejadian. Melihat peran media dalam moment seperti ini; memperkeruh suasana ini sangat besar sekali, sehingga jangan dimakan mentah tanpa dicerna terlebih dahulu apa yang sampai di hadapan kita. Semua informasi yang sampai kepada kita, selain orang yang ada di tempat kejadian adalah media yang menyampaikan. Ketika media yang tidak proporsional yang menyampaikan, maka kemungkinan pemelintiran segala bentuk informasi yang menguntungkan pasti dilakukan.

Memang betul, dan kebetulan sekali yang melakukan hal yang dianggap sebagai penistaan adalah orang yang saat ini mempunyai rival politik yang kuat dan banyak. Meski hal serupa banyak terjadi di negeri ini dan bahkan lebih parah, seperti orang yang dengan sengaja menghina Nabi Muhammad sebagai manusia paedofil, dengan sengaja menginjak al-Qur'an, shalat yang dijadikan sebagai candaan, menduduki kakbah yang diibaratkan sebagai WC, Allah yang digambarkan sebagai setan dan lain-lain. Atas hal itu, kita sepertinya hanya bisa pasrah kepada Tuhan tanpa ada tindakan melaporkan. Tetapi untuk hal yang masih debateble nyaris se-antero Nusantara turun jalan.

Apakah betul, musuh kita--kalau itu sudah bisa dinyatakan sebagai musuh--adalah orang yang sangat kuat sekali, sehingga harus mengerahkan kekuatan yang demikian besar. Kalau kita analogikan musuh kita sebagai gajah, maka wajar sekali untuk mengerahkan banyak semut untuk membunuhnya. Tetapi, justru kita tidak mau dikatakan sebagai segerombolan semut, namun kita mengklaim diri sebagai gajah-gajah. Kalau gajah berhadapan dengan gajah, kenapa tidak seimbang. Kalau musuh kita dianalogikan sebagai semut, kenapa harus menurunkan banyak gajah-gajah. Apa tidak sebaiknya, satu lawan satu biar seimbang dan tidak terkesan main keroyokan dan kita masih menjadi yang terkuat.

Dalam hal 04 November 2016, saya akan memasrahkan kepada masing-masing pribadi untuk berpikir lebih jernih dan kritis.

Wallahu a'lam.

Jumat, 03 November 2017

Syahwat dan Politik

Syahwat dan Politik

Pernahkah suatu ketika anda kebelet ingin anuh, tiba-tiba anak terbangun? Anda tidak perlu menjawab dengan keras, cukup anggukkan kepala pertanda setuju. Lalu, kemudian anda mengakhiri dengan tawa lepas dengan sedikit perasaan kecewa. Padahal seperangkat alat sudah dipersiapkan, seperti sarung sebagai alas dan tisu sebagai lap, termasuk rudal tempur, karena ini yang utama.

Tapi tidak perlu larut dalam kekecewaan, sampai teriak-teriak di jalan, apalagi sampai munting-munting. Saya pastikan itu tidak penting. Masih banyak kesempatan dan cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi itu, semisal dititipkan pada ibu mertua beberapa saat, atau segera ditidurkan kembali, tetapi menidurkan adalah selemah-lemahnya pengamanan. Tapi ingat, jangan sampai memberi anak anda obat tidur, itu sangat membahayakan.

Kira-kira begitu politik di Pamekasan, dalam kontestasi Pilkada saat ini. Ada beberapa kontestan yang sudah ereksi berat tetapi terkendala teknis di lapangan yang membuyarkan keinginan. Keinginan besar untuk melakukan penetrasi tidak didukung oleh situasi dan kondisi di lapangan, semisal tidak adanya partai pengusung, dan lemahnya dukungan masyarakat secara langsung dalam bentuk suara yang real yang memungkinkan bisa berangkat secara independen.

Syahwat politik sebenarnya mempunyai kenikmatannya sendiri. Kalau dalam kondisinya tertentu tidak ada pihak lain di luar dirinya yang bisa memfasilitasi dirinya dalam kontestasi itu, maka dia bisa melakukan masturbasi politik. Dalam artian, membangun opini sendiri, ditanggapi sendiri, berstatus sendiri, dikomentari sendiri; sibuk sendiri, tidur sendiri, makan sendiri. Meski kenikmatan didapatkan, sebab tidak ada penetrasi maka tidak akan membuahkan hasil.

Tetapi dengan begitu menunjukkan adanya sebuah kemajuan. Sebab masturbasi itu telah mengantarkan pada keinginan penetrasi yang begitu besar. Ingat, penetrasi tidak pernah menjanjikan hasil, tetapi lebih memungkinkan untuk menghasilkan buah daripada sekedar masturbasi. Kalau bisa hindari masturbasi dan perbanyaklah ngopi.

Wallahu a'lam!
Sampang, 28 Oktober 2018

Konsumerisme; antara Bahagia dan Petaka

Konsumerisme; antara Bahagia dan Petaka

Sekilas mengamati beberapa fenomena sosial yang terjadi saat ini sangat menarik untuk diperbincangkan. Tentang Pamekasan yang dinobatkan sebagai kota batik, dan kecaman yang dilayangkan oleh salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pamekasan.

Dinobatkannya sebagai kota batik sepertinya menjadi beban tersendiri bagi pemerintah Pamekasan. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah dengan digelarnya kirab batik yang melibatkan siswa SMP dan SMA hingga menghabiskan puluhan juta yang dibebankan kepada wali siswa (Kompas: 3 November 2014).

Konsumerisme tersebut nampaknya tidak selalu mendapatkan penilaian positif, akan tetapi menjadi petaka di sisi lain. Adanya keluhan masyarakat terhadap kegiatan tersebut menjadi indikator bahwa apakah kegiatan tersebut bermanfaat atau tidak, reaksi tersebut hampir dirasakan oleh peserta kirab yang melibatkan tata rias dan penyewaan busana.

Di pihak lain ada sebagian anggota DPRD Pamekasan yang mengecam adanya kegiatan peringatan hari ulang tahun Jawa Timur tersebut yang ditengarai salah tempat, karena mengganggu segala bentuk peribadatan, disebabkan tempat tersebut berhadapan langsung dengan masjid agung Pamekasan (AntaraNews: 02 Nov 2014).

Tetapi memang aneh, untuk kedua kalinya barangkali saya sampaikan, kerapkali anggota DPRD kita itu terlambat mengantisipasi kegiatan yang dianggap berefek kurang baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maksimalitas pengawasan yang dilakukan sebagai sebuah bentuk amanah kurang begitu diperhatikan.

Bagi Pemerintah dan sebagian masyarakat Pamekasan, memeriahkan hal itu penting dilaksanakan sebagai upaya pemantapan Pamekasan sebagai kota batik yang sekaligus dijadikan sebagai momen untuk mempublikasikan kebudayaan daerah. Tetapi, hal-hal yang akan merugikan masyarakat sebaiknya harus dikaji secara mendetail. Perebutan opini publik tidak hanya dengan konsumerisme, popularitas dapat dihasilkan dari kerja keras sebagai pemangku kebijakan. Berpikir kreatif, inovatif, dan mengedepankan nilai-nilai subtantif itu yang paling penting.

Pamekasan, 04 Nopember 2014