Sabtu, 04 November 2017

Perang Saudara dalam Bingkai NKRI

Perang Saudara dalam Bingkai NKRI

Pagi ini saya takut sekali. Yang seharusnya sejuk dengan angin sepoi dan udara segar, tiba-tiba menjadi panas. Sepertinya, Indonesia sudah tidak ramah lagi. Entah, apa penyebabnya. Apa mungkin, karena saya melihat detik-detik ambang kehancuran di negeri ini. Detik-detik di mana orang Indonesia akan bertemu dalam satu gelanggang; dengan sudut yang berbeda. Yang satu akan berteriak, "Allahu Akbar" dan yang lainnya akan berteriak, "Merdeka". Mungkin akan seperti negara lainnya yang sudah bubar duluan, negeri ini akan mengikuti jejak mereka. Nasionalisme akan dihadapkan dengan agama, yang tentu keduanya mempunyai penganut fanatiknya masing-masing dengan keterbatasan pengetahuan masing-masing tentang agama dan nasionalisme.

Peperangan yang akan terjadi ini bukan antar suku, agama, ras, etnis, golongan dan lainnya. Tetapi antar saudara yang pernah hidup bersama di atas nilai toleransi dan; orang tua mereka pernah berjuang bersama di atas Bumi Pertiwi ini. Kepentingan sebagian orang akan memorak-porandakan negeri tercinta ini dengan hasutan yang terselubung atas nama nilai-nilai. Agama yang selama ini anti kebencian menjadi terkesan sangat beringas sekali, seperti tidak ada maaf atas adanya sebuah perbuatan. 

Apa mungkin karena karena bangsa hari tidak pernah merasakan seperti apa rasa buah penjajahan dan peperangan yang berdarah-darah seperti yang dirasakan oleh para orang tua kita terdahulu sehingga kita mudah tersulut. Iya, jawabannya mungkin itu. Indonesia merdeka tujuh puluh tahun lebih yang lalu, sehingga sudah tidak ada lagi bangsa Indonesia yang mau menceritakan dengan wajah ketakutan detik-detik yang mencekam ketika suara bom dan peluru mendesing. Kesakitan yang tergambar pada wajah para pahlawan sudah terhapus oleh waktu. Ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai yang begitu menyakitkan, orang tua dan saudara meninggal di medan pertempuran.

Ketika perang betul-betul terjadi, siapa yang akan disalahkan. Oknum yang dengan sengaja mengompori masyarakat dengan membawa isu yang sangat sensitif di negeri ini dan juga; media yang telah dengan sengaja membesar-besarkan, mendramatisir keadaan demi kepentingan tuannya, yang wajib bertanggungjawab; kemudian kebodohan masyarakat itu sendiri, yang tidak bisa membedakan antara ada dan tidak adanya sebuah kepentingan dalam sebuah kejadian. Melihat peran media dalam moment seperti ini; memperkeruh suasana ini sangat besar sekali, sehingga jangan dimakan mentah tanpa dicerna terlebih dahulu apa yang sampai di hadapan kita. Semua informasi yang sampai kepada kita, selain orang yang ada di tempat kejadian adalah media yang menyampaikan. Ketika media yang tidak proporsional yang menyampaikan, maka kemungkinan pemelintiran segala bentuk informasi yang menguntungkan pasti dilakukan.

Memang betul, dan kebetulan sekali yang melakukan hal yang dianggap sebagai penistaan adalah orang yang saat ini mempunyai rival politik yang kuat dan banyak. Meski hal serupa banyak terjadi di negeri ini dan bahkan lebih parah, seperti orang yang dengan sengaja menghina Nabi Muhammad sebagai manusia paedofil, dengan sengaja menginjak al-Qur'an, shalat yang dijadikan sebagai candaan, menduduki kakbah yang diibaratkan sebagai WC, Allah yang digambarkan sebagai setan dan lain-lain. Atas hal itu, kita sepertinya hanya bisa pasrah kepada Tuhan tanpa ada tindakan melaporkan. Tetapi untuk hal yang masih debateble nyaris se-antero Nusantara turun jalan.

Apakah betul, musuh kita--kalau itu sudah bisa dinyatakan sebagai musuh--adalah orang yang sangat kuat sekali, sehingga harus mengerahkan kekuatan yang demikian besar. Kalau kita analogikan musuh kita sebagai gajah, maka wajar sekali untuk mengerahkan banyak semut untuk membunuhnya. Tetapi, justru kita tidak mau dikatakan sebagai segerombolan semut, namun kita mengklaim diri sebagai gajah-gajah. Kalau gajah berhadapan dengan gajah, kenapa tidak seimbang. Kalau musuh kita dianalogikan sebagai semut, kenapa harus menurunkan banyak gajah-gajah. Apa tidak sebaiknya, satu lawan satu biar seimbang dan tidak terkesan main keroyokan dan kita masih menjadi yang terkuat.

Dalam hal 04 November 2016, saya akan memasrahkan kepada masing-masing pribadi untuk berpikir lebih jernih dan kritis.

Wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar