Kamis, 01 Februari 2018

Sebuah Kisah Masa Kecil

Sebuah Kisah Masa Kecil

Saya lahir dari seorang ibu yang buta huruf. Beliau tidak bisa baca huruf latin, tetapi bisa baca huruf (baca: kalimat) Arab. Kalau ngaji, tajwid dan makhrajul hurufnya cukup fasih; bahkan masih hafal, hafalan ketika masih belajar di Madrasah Diniyah. Hafalan itu dibuktikan ketika sedang mengamati (néténih: Madura) ketika anaknya hafalan untuk kepentingan lomba di madrasah.

Bapak saya pun demikian, tidak bisa membaca huruf latin, tetapi baca kalimat Arab bisa. Itulah sebab kenapa bapak tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS), karena menjadi PNS sekurang-kurangnya bisa baca huruf latin, sehingga mau atau tidak mau bapak harus menjadi pekerja kasar. Iya, waktu saya kecil, bapak saya adalah tukang becak. Berangkat pagi dan pulang sore hari.

Kebiasaan bapak ketika mau berangkat bekerja, bapak saya selalu sisiran dan membawa sarung. Entahlah, orang mau narik becak mesti rapi dulu, saya tidak mengerti. Yang unik, sebelum sarung dilipat dan digulung, di dalamnya diletakkan senjata sejenis keris tetapi kecil (guluk: Madura), lalu digulung lagi dengan koran bekas. Tetapi saya tidak tahu manfaat dari pusaka itu.

Sepulang bekerja, bapak hampir selalu membelikan saya biskuit dengan bentuk bulat pipih (dengan kemasan bulat memanjang), orang kampung menyebutnya, "mari". Kalau saya ingat saat ini sepertinya biskuit itu sama dengan merk rom*. Sisa dari buat beli biskuit itu buat beli rokok dan belanja atau mungkin sebaliknya. Namanya juga narik becak, biasanya hanya cukup beli ikan saja, dan nasinya pakai singkong di kebun sendiri, jika masih ada.

Berbeda dengan bapak, hari-hari ibu gunakan untuk nyabit rumput. Seperti biasa, kebiasaan masyarakat kampung itu selain bertani biasanya juga beternak. Saat itu orang tua kami beternak sapi. Peternak yang tidak pernah berhasil, karena sapi ternak hanya gemuk di perut, sementara tubuhnya masih kelihatan tulang.

Menurut sumber yang dipercaya, yaitu ibu saya sendiri. Ketika sedang nyabit dan menemukan sisa singkong (biasanya singkong yang sudah tidak dianggap, karena terlalu kecil yang melekat pada pangkal batang) dan ditinggalkan orangnya, ibu selalu masukkan ke dalam tempat rumputnya. Tentu, sebelum dimasukkan masih menoleh kanan-kiri takut ada yang melihat, karena perbuatan seperti itu seperti sangat memalukan. Menurunkan harkat dan martabat, bahkan bukan hanya turun biasa tetapi terjun bebas.

Sisa singkong kecil seperti itu sulit dikupas. Jadi kalau mau dimasak, singkong dimaksud tidak bisa dikupas karena kulitnya terlalu tipis, sehingga hanya dikerik kulit luarnya lalu dicacah. Nasi dari singkong semacam itu tidak tahan satu hari, kalau mau makan nasi siang harinya sudah berhadapan dengan nasi yang basi. Kalau sudah basi, nasi sudah mulai lunak, bau dan kalau diambil mengeluarkan benang dan melekat ke tangan. Tapi tetap saja harus dimakan, karena itulah satu-satunya makanan yang bisa dinikmati.

Selain itu ada lagi semacam pekerjaan ibu saya untuk menambah uang belanja. Di rumah, beliau menjual jajanan anak kecil, jika pagi menjelang, ibu menyiapkan jualannya untuk dibawa ke sekolah dasar (terdekat). Bermanfaat untuk dijual sekaligus meringankan uang jajan buat saya. Tapi entah berapa lama bertahan, karena seingat saya pernah dikasih uang jajan dengan hitungan Rp. 25 dengan lima keping lima rupiah-an. Itu artinya, ibu saya berhenti berjualan.

Hal lain, yang pernah saya ingat pada masa kecil dulu, pada saat saya menjelang tidur. Agar cepat lelap tidur, saya selalu ditakuti-takuti dengan (gugur: Madura) sebangsa manusia jadi-jadian yang konon ceritanya kalau ada orang meninggal selalu diambil jasadnya untuk disembelih dan dijual dagingnya. Dengan ilmunya, daging mayat pun serupa daging sapi. Terutama jika seseorang yang meninggal dalam keadaan mengandung.

***
Ada banyak lagi cerita masa kecil yang akan dilanjutkan pada cerita berikutnya.

Pamekasan, 01 Pebruari 2018

0 komentar:

Posting Komentar