Sabtu, 04 Agustus 2018

Jangan Salah Pintar

Jangan Salah Pintar

Jangan lupa bahwa kita mengukur sebuah kebenaran, berdasarkan informasi dan pengetahuan yang didapatkan. Informasi itu, bisa dari lembaga pendidikan formal, informal, bahkan non formal. Tidak hanya itu, interaksi dengan orang lain; media informasi, berupa lisan atau tulisan; buku bacaan, berupa buku-buku ilmiah, dan bacaan lainnya juga turut serta dalam membentuk ilmu dan pengetahuan. Sehingga dengan itu semua, terciptalah konstruksi berpikir dalam diri manusia. Konstruksi berpikir ini yang sering digunakan sebagai tolok ukur menilai sebuah kebenaran.

Semua orang mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan pengetahuan dan informasi; mempunyai pengalaman hidup yang berbeda. Maka, keterbatasan itu yang harus disadari untuk tidak mudah menyalahkan orang lain. Dan pengalaman hidup yang berbeda, akan melahirkan pemikiran yang berbeda pula dalam menilai sesuatu. Sehingga, kita tidak harus mengutuk perbedaan itu dengan berlebihan, karena justeru perbedaan itu yang memenuhi keinginan Tuhan sebagai substansi kemanusiaan. Sedang kita juga tidak tahu siapa yang paling benar.

Saya pernah mendengar--dan terus terang sudah lupa sumbernya dari mana--bahwa, ilmu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia diibaratkan dengan ujung jarum yang dimasukkan ke dalam lautan, dan air yang melekat pada ujung jarum itu adalah ilmu yang diberikan kepada manusia semesta alam. Jika hal ini benar, bagaimana mungkin kita bisa "memanusiakan Tuhan" dengan cara menyalahkan orang lain dengan membawa-bawa nama Tuhan. Apakah ia, dalam waktu yang sama, Tuhan sedang menyalahkan orang itu. Kalaupun dalam perspektif Tuhan salah, yakinkah bahwa keinginan Tuhan sama seperti yang kita lakukan.

Memang benar, ketika seseorang benci pada orang lain, apapun yang dilakukan orang itu pasti salah. Demikian itu diakibatkan dasar hati kita sudah terlanjur kotor. Introspeksi diri barangkali bisa menjadi obat untuk membersihkan penyakit hati ini. Kalau sudah akut, ini semacam virus yang menggerogoti kebaikan nurani; setiap saat menebar kebencian; mencari pengakuan bahwa diri kita dalam posisi yang benar.

Manusia yang sedang menyalahkan orang lain, pasti pada saat yang bersamaan dia merasa benar. Perasaan benar ini yang sesungguhnya akan melumpuhkan hati nurani manusia, karena akan menyeret pada sifat sombong. Seandainya orang-orang sombong ini menyadari, bahwa ada banyak orang di luar sana yang lebih pandai dengan wawasan yang lebih luas, tetapi dalam menyikapi persoalan, tidak semerta-merta menyalahkan, pasti akan mengurangi sikap demikian ini. Tapi, begitulah manusia, bila ada yang tidak disukai, tertutuplah mata hatinya.

Saya tidak sedang membicarakan orang yang biasa menyalahkan kebijakan pemerintah; tidak pula orang yang sering mengafir-bid'ah dan syirikkan golongan lain; atau orang yang biasa menyesatkan para ulama. Tidak, tidak itu semua. Tapi lebih kepada bagaimana kita bisa menyadari diri dengan segala keterbatasan kita sendiri. Bagaimana mungkin, orang yang pengetahuan tentang kepemerintahannya rendah menyalahkan pemerintah yang dikelilingi para ahli; bagaimana mungkin, orang yang tingkat keagamaannya rendah menyesatkan ulama. Dari mana ini? Kalaupun ada pertarungan manusia pilihan dengan maqom yang sama, biarkan saja, kita tidak harus terlibat. Mari, kita dengan pekerjaan kita, biarkan mereka dengan pekerjaannya.

Pamekasan, 29 Juli 2016

0 komentar:

Posting Komentar