Sabtu, 04 Agustus 2018

NU Punya Ulama dan Kitab Kuning

NU Punya Ulama dan Kitab Kuning

Ini salah satu tradisi ilmiah yang sampai saat ini masih dilakukan di NU. Mendiskusikan persoalan keumatan dalam bidang keagamaan; memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dalam perspektif agama. Kita menyebutnya ilmiah, karena pendekatan yang digunakan dalam memecahkan persoalan menggunakan pendekatan kitab kuning--kitab klasik tanpa harkat yang dikarang oleh para ulama. Dalam tradisi ini, warga nahdhiyyin menyebutnya Bahtsul Masail. Dengan mendatangkan para Masyaih, dan asatid yang ahli dalam bidang agama yang notabene mampu membaca kitab kuning, para beliau mendiskusikan persoalan dengan merujuk pada pendapat para ulama yang ada dalam kitab kuning.

Bertempat di kediaman KH. Mannan Fadhali sebagai Rois NU cabang Pamekasan, Pondok Pesantren Miftahul Qulub Polagan Kecamatan Galis. Satu mobil dengan bapak Dr. Shohieb, SH., M.Pd., Lukman Hakim, SH., Gus Lenong, Minhadji Ahmad Abdalla, kita menuju tempat kegiatan. Tentu saja kehadiran kami ke sana sudah koordinasi pada malam sebelumnya dengan KH. Tovix Hasyim sebagai Ketua PCNU Pamekasan. Sampai di tempat, kita jumpa dengan yang mulia kanda Basiruddin, pun dengan Ustadz Farid Khan sebagai pemilik forum. Tapi ke mana ya kira-kira, ustadz Abu Siri, Elman Duro, yang biasanya tidak pernah lepas dengan forum-forum ilmiah seperti ini? Kok, tidak kelihatan batang hidungnya.

Aroma keilmuan sangat terasa. Semua orang yang berargumentasi tidak lepas dengan referensi. Manfaat terbesar, ketika masyarakat mengetahui secara langsung sumber yang melegitimasi tentang boleh dan tidak bolehnya sesuatu yang dilakukan di masyarakat, dengan konsekuensi haram atau halal dan atau hukum syariat lainnya. Dan ini penting diikuti oleh semua masyarakat dari semua lapisan, agar supaya mendapatkan ilmu agama langsung dari sumbernya secara langsung. Tidak hanya ilmu yang didapatkan, pada saat bersamaan kita juga mengakrabkan diri dengan Tuhan.

Sebenarnya tradisi ilmiah seperti ini tidak tiba-tiba ada. "Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat muslim nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan pengejawantahan tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya.

NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada Kongres I NU (kini bernama Muktamar), tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum Bahtsul Masa`il ditempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum diwadahi dalam organ tersendiri.

Pada tingkat nasional, bahtsul masail diselenggarakan bersamaan momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar (Konbes), Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai) atau Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama. Mulanya Bahtsul Masail skala nasional diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I (1926) sampai Muktamar XV (1940). Namun situasi politik yang kurang stabil akibat meletusnya Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail yang menyertai Kongres, setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat. Tidak lagi tiap tahun.

Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah diselenggarakan Bahtsul Masa`iltingkat nasional sebanyak 42 kali. Ada beberapa Muktamar yang dokumennya belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII (1947), XVIII (1950), XIX (1952), XXI (1956), XXII dan XXIV. Dari dokumen yang terlacak, baru ditemukan 36 kali Bahtsul Masail skala nasionalyang menghasilkan 536 keputusan.

Setelah lebih setengah abad NU berdiri, Bahtsul Masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Hal itu dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Komisi I Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, sebagai lembaga permanen.

Untuk memperkuat wacana pembentukan lembaga permanen itu, pada Januari 1990, berlangsung halaqah (sarasehan) di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomendasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengonsolidasi ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i.

Empat bulanan kemudian, pada tahun 1990 pula, PBNU akhirnya membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, dengan SK PBNU nomor 30/A.I.05/5/1990. Sebutan lajnah ini berlangsung lebih satu dekade. Namun demikian, status lajnah dinilai masih mengandung makna kepanitian ad hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah, setelah Muktamar 2004, status “lajnah” ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.

Dalam sejarah perjalanan Bahsul Masail, pernah ada keputusan penting yang berkaitan dengan metode kajian. Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992 diputuskan bahwa metode pemecahan masalah tidak lagi secara qawly tetapi secara manhajiy. Yakni dengan mengikuti metode dan prosedur penetapan hukum yang ditempuh madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah). Bukan sekadar mengikuti hasil akhir pendapat madzhab empat." (http://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html?m=1)

Pamekasan, 26 Juli 2016

0 komentar:

Posting Komentar