This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 30 September 2018

Mari, Sedikit Memahami Arti Hikmah

Mari, Sedikit Memahami Arti Hikmah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kebijakan (dari Allah); sakti atau kesaktian dan; arti atau makna yang dalam; manfaat. Tetapi sebenarnya, kata "hikmah" merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Sedang, menurut kamus bahasa Arab itu sendiri, al-Hikmah mempunyai banyak arti. Diantaranya, kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur'anul karim. (Kamus al-Munawir: 287).

Sedangkan Imam al-Jurjani dalam kitabnya memberikan makna al-Hikmah secara bahasa artinya ilmu yang disertai amal (perbuatan). Orang yang ahli ilmu Hikmah disebut al-Hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah al-Hukama'. Yaitu orang yang mengamalkan ilmunya di jalan yang benar.

Ilmu Hikmah adalah suatu amalan spiritual yang berupa ayat Alqur’an, doa-doa tertentu, hizib atau mantra-mantra suci yang berbahasa Arab dan diimbangi dengan laku batin untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati. Yang disebut mantra suci adalah mantra yang isi kandungannya tidak melanggar syariat islam. Ilmu Hikmah bisa dipelajari dengan amalan berupa dzikir, tabarruk, menyendiri, membersihkan hati, bersikap bijaksana atau riyadhoh tertentu sesuai ajaran para guru/ulama.

Oleh karena itu, inti dari Ilmu Hikmah sebenarnya adalah mendekatkan diri dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Hingga kita sama sekali tidak merasa punya kehebatan. Karena tiada daya dan upaya yang mampu hamba lakukan kecuali karena adanya Allah semata.

Para ulama' tafsir rahimahumullah juga mempunyai definisi masing masing tentang Ilmu Hikmah. Yang  mana antar pendapat tersebut saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain. Imam Mujahid mengartikan al-Hikmah adalah "Benar dalam perkataan dan perbuatan".

Ibnul Qasim mengatakan, Ilmu Hikmah adalah memahami ajaran agama Allah lalu mengikutinya dan mengamalkannya." Imam Ibrahim an-Nakho'i mengartikan Ilmu Hikmah adalah memahami apa yang dikandung Al-Qur’an."

lmam as-Suddiy mengartikan al-Hikmah dengan an-Nubuwwah (hal-hal yang berkaitan dengan kenbian). Ar-rabi' bin Anas berkata mendefinisikan Hikmah sebagai rasa takut kepada Allah. Sedangkan Hasan al-Bashri memakna hikmah sebagai "Sifat wara' atau hati-hati dalam masalah halal dan haram.

Imam at-Thabari rahimahullah menambahkan, “Menurut kami, makna Ilmu Hikmah yang tepat adalah ilmu tentang hukum-hukum Allah yang tidak bisa dipahaminya kecuali melalui penjelasan Rasulullah. Dengan begitu al-Hikmah disini berasal dari kata al-Hukmu yang bermakna penjelasan antara yang haq dan yang bathil. Seperti kalimat al-Jilsah berasal dari kata al-Julus. Kalau dikatakan bahwa si Fulan itu orang yang Hakim, berarti dia itu orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan." (Kitab Tafsir at-Thaban: 1/ 557).

Dari berbagai definis Ilmu Hikmah yang disampaikan oleh ulama-ulama besar di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Ilmu Hikmah bukanlah sekedar bacaan dzikir yang dibaca rutin setiap hari. Ilmu Hikmah mencakup segala perbuatan kita, baik perbuatan kita kepada diri kita, kepada sesama, kepada alam dan bakti kita kepada Allah. Jelas sudah bahwa, orang yang mengamalkan Ilmu Hikmah hendaknya berusaha berperilaku bijaksana dalam segala hal. Dengan demikian Allah memberkahi segala amal perbuatan kita. 

Ilmu Hikmah adalah ilmu spiritual islam yang membimbing kita mengenal ajaran-ajaran Allah dan sunnah Rasul-Nya, sehingga kita bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang diperintahkan dan  mana yang dilarang. Dengan ilmu hikmah seperti itulah, kita akan menjadi orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Itulah sejatinya ilmu Hikmah.

Apabila kita memperhatikan definisi ilmu Hikmah yang disampaikan oleh para ulama' di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu Hikmah itu ada sumbernya, yaitu al-Qur'an dan a-Hadits. Keduanya merupakan referensi ilmu Hikmah yang sebenarnya. Apabila ada kitab-kitab lain yang mengajarkan ilmu hikmah, tapi ternyata bertentangan atau menyimpang dari al-Qur'an dan al-Hadits, berarti itu adalah ilmu Hikmah palsu atau gadungan.

Dalam al-Qur'an disebutkan, “Allah menganugrahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 269).

Ilmu Hikmah adalah ilmu yang disertai amal perbuatan nyata sehingga kita menjadi manusia yang bijaksana dalam bertindak, lebih dekat dengan Allah dan mendapatkan keberkahan dalam usaha mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan belajar ilmu hikmah bukanlah untuk menjadi sakti atau menjadi hebat, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga Allah memberikan kemudahan kepada kita.

Namun akhirnya, kita dibenturkan dengan kata Hikmah yang tidak sesuai dengan kaidah penggunaannya. Semisal kata Hikmah yang digunakan sebagai Chanel televisi yang kontennya tidak mencerminkan nama yang digunakan. Hal ini perlu penyikapan secara serius agar simbol yang dekat dengan nilai ke-Tuhanan ini tidak disalahgunakan. Kata Hikmah yang digunakan sebagai Chanel sebuah televisi ini memberikan citra yang tidak baik.

Saran penulis, jika bukan nama chanelnya yang akan dirubah, maka tontonan yang tidak mengandung hikmah itu dirubah. Tontonan yang dimaksudkan adalah seperti program yang berisi nyanyian yang dinyanyikan dengan pakaian yang kurang elok dan sama sekali tidak mengandung hikmah. Karena selain pakaian rok mini yang kurang mendidik; adegan pegang tangan juga tidak kalah buruknya--dalam konteks penamaan chanel 'hikmah'.

Seandainya tidak bernama 'hikmah', maka tidak ada persoalan. Yang ditakutkan ketika beberapa tontonan yang tidak mendidik itu akan dianggap sebagai hikmah.

Wallahu a'lam

Pamekasan, 01 Oktober 2016

Minggu, 05 Agustus 2018

Ah, Ada-ada Saja Kiai ini

Ah, Ada-ada Saja Kiai ini

Beberapa hari yang lalu ada sebuah kegiatan. Kegiatan dimaksud adalah seminar aswaja yang dilaksanakan oleh manusia-manusia suci, yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Forum Kiai Muda (FKM). Sebelum membahas banyak tentang isi seminar, saya lebih tertarik membicarakan tentang forumnya. Sebab, forum ini melegitimasi diri sebagai sebuah kelompok, komunitas, golongan, perkumpulan atau apa pun namanya, yang di dalamnya terdiri dari para kiai.

Siapa Kiai itu? Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa, Kiai adalah sebutan bagi para alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam). Bukan bermaksud meragukan kealiman dan kepandaian orang-orang yang ada di dalam kelompok ini. Tapi bagaimana mungkin label yang biasa diberikan masyarakat, dan masyarakat yang biasa menyandingkan nama Kiai dengan manusia pilihan yang dianggap layak itu dengan maksud penghormatan atas ilmunya, mereka sanding sendiri. Tidak tanggung, tidak hanya satu dan dua orang saja ,tetapi segerombolan orang.

Pengakuan itu akan datang dengan sendiri pada saat kita sudah dianggap layak dalam ruang publik. Nama forum ini menindikasikan kebutuhan pengakuan tentang kepandaian dan kealiman. Tapi bagaimana mungkin manusia yang sungguh alim membutuhkan sebuah pengakuan. Rasanya tidak etis, manusia-manusia pilihan ini, melegitimasi dirinya sebagai orang yang alim.

Yang aneh lagi. Muncul istilah NU garis lurus. Artinya bahwa NU yang dianut oleh selain dirinya adalah NU garis miring. Apakah ini tidak akan melahirkan keretakan sosial. Jika ada sebagian manusia menganggap dirinya paling benar dan merasa sebagai pemilik kunci surga, ini perlu dipertanyakan keilmuannya. Penebar kebencian seperti ini justru tidak jauh beda dengan masa jahiliah dan ini cukup membahayakan.

Jangan-jangan kelompok ini masuk kategori yang disebut oleh, Prof. Dr. Abd. A'la, M.Ag., sebagai gerakan, jahiliyah kontemporer dan fundamentalisme. Seperti statement beliau bahwa, "Menguatnya kelompok fundamentalisme keagamaan yang sektarian dan fundamentalisme globalisasi ekstrem akhir-akhir ini memperlihatkan betapa nilai-nilai moral sosial--bahkan relegius--mengalami pemudaran cukup parah dalam kehidupan. Keangkuhan yang ditampakkan kedua kelompok itu meluaskan sikap saling menghormati antar sesama manusia. Keangkuhan pada gilirannya memunculkan kebrutalan dan pengrusakan di mana-mana. Kehidupan tentram dan damai nyaris tidak bersisa lagi, berganti dengan kehidupan penuh kecemasan dan ketakutan."

Artinya bahwa menculnya kelompok-kelompok baru dengan mengatasnamakan sebuah ideologi ini akan memecah belah kehidupan dalam bermasyarakat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai kehidupan yang mereka anut bersifat tribal primordialistik. Berebut kebenaran tunggal yang belum jelas di mana. Semoga tidak sampai kena batu dari do'a Syaikhona Kholil, Bangkalan, dan atau do'a dari KH. R. As'ad Syamsul Arifin. Amin.

Pamekasan, 04 Agustus 2016

Tentang Kopi dan Paste

Tentang Kopi dan Paste

Sudah terlanjur enak ya? Ingat, bahwa kopi-paste (salin-tempel) karya orang lain tanpa mengikutsertakan sumber atau pengarangnya adalah sebuah kejahatan. Belum tahu ya? Plagiat adalah sebuah kejahatan intelektual yang sangat merugikan orang lain. Sebab, karya yang ditulis seseorang itu merupakan hasil pemikiran dan peras otak. Sehingga, jangan karena kepentingan popularitas, lantas kopi-paste seenaknya tanpa mengikutsertakan sumber atau pengarangnya.

Tidak penting kelihatan cerdas, bila tidak mempunyai sikap ilmiah; dan mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri. Tetapi, dalam hal ini ada dua kemungkinan bagi orang seperti ini: pertama, orang yang demikian ini tidak tahu bahwa kopi-paste adalah kejahatan; dan atau kedua, orang ini menganggap bahwa orang lain tidak tahu bahwa dirinya sedang kopi paste.

Menghargai karya orang lain, termasuk menghargai orang lain. Setiap orang mempunyai hak terhadap karya yang dibuat; ini yang disebut dengan hak intelektual. Seseorang yang melakukan kopi-paste karya orang lain tanpa mengikutsertakan sumbernya, maka dianggap melanggar hak intelektual. Dan hal ini ada konsekuensi secara hukum. Sebaiknya, bila ingin kelihatan pandai belajarlah, jangan memanfaatkan karya orang lain.

Kran informasi sudah dibuka seluas-luasnya, akses informasi saat ini sudah demikian deras dan ada di mana-mana. Maka, berpikir tidak ada yang tahu tentang apa yang sedang kita curi-dalam bentuk tulisan-perlu dihindari. Bagi yang jarang baca mungkin saja tidak tahu, tapi jangan tutup kemungkinan bagi yang lainnya. Simpan saja dulu keinginan untuk kelihatan pandai, belajar dulu untuk menghargai karya orang lain termasuk orangnya. Bila kita merasa kesulitan menulis satu kalimat saja, orang lain juga demikian.

Mari, belajar!

Pamekasan, 05 Agustus 2016

Sabtu, 04 Agustus 2018

NU Punya Ulama dan Kitab Kuning

NU Punya Ulama dan Kitab Kuning

Ini salah satu tradisi ilmiah yang sampai saat ini masih dilakukan di NU. Mendiskusikan persoalan keumatan dalam bidang keagamaan; memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dalam perspektif agama. Kita menyebutnya ilmiah, karena pendekatan yang digunakan dalam memecahkan persoalan menggunakan pendekatan kitab kuning--kitab klasik tanpa harkat yang dikarang oleh para ulama. Dalam tradisi ini, warga nahdhiyyin menyebutnya Bahtsul Masail. Dengan mendatangkan para Masyaih, dan asatid yang ahli dalam bidang agama yang notabene mampu membaca kitab kuning, para beliau mendiskusikan persoalan dengan merujuk pada pendapat para ulama yang ada dalam kitab kuning.

Bertempat di kediaman KH. Mannan Fadhali sebagai Rois NU cabang Pamekasan, Pondok Pesantren Miftahul Qulub Polagan Kecamatan Galis. Satu mobil dengan bapak Dr. Shohieb, SH., M.Pd., Lukman Hakim, SH., Gus Lenong, Minhadji Ahmad Abdalla, kita menuju tempat kegiatan. Tentu saja kehadiran kami ke sana sudah koordinasi pada malam sebelumnya dengan KH. Tovix Hasyim sebagai Ketua PCNU Pamekasan. Sampai di tempat, kita jumpa dengan yang mulia kanda Basiruddin, pun dengan Ustadz Farid Khan sebagai pemilik forum. Tapi ke mana ya kira-kira, ustadz Abu Siri, Elman Duro, yang biasanya tidak pernah lepas dengan forum-forum ilmiah seperti ini? Kok, tidak kelihatan batang hidungnya.

Aroma keilmuan sangat terasa. Semua orang yang berargumentasi tidak lepas dengan referensi. Manfaat terbesar, ketika masyarakat mengetahui secara langsung sumber yang melegitimasi tentang boleh dan tidak bolehnya sesuatu yang dilakukan di masyarakat, dengan konsekuensi haram atau halal dan atau hukum syariat lainnya. Dan ini penting diikuti oleh semua masyarakat dari semua lapisan, agar supaya mendapatkan ilmu agama langsung dari sumbernya secara langsung. Tidak hanya ilmu yang didapatkan, pada saat bersamaan kita juga mengakrabkan diri dengan Tuhan.

Sebenarnya tradisi ilmiah seperti ini tidak tiba-tiba ada. "Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat muslim nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan pengejawantahan tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya.

NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada Kongres I NU (kini bernama Muktamar), tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum Bahtsul Masa`il ditempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum diwadahi dalam organ tersendiri.

Pada tingkat nasional, bahtsul masail diselenggarakan bersamaan momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar (Konbes), Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai) atau Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama. Mulanya Bahtsul Masail skala nasional diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I (1926) sampai Muktamar XV (1940). Namun situasi politik yang kurang stabil akibat meletusnya Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail yang menyertai Kongres, setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat. Tidak lagi tiap tahun.

Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah diselenggarakan Bahtsul Masa`iltingkat nasional sebanyak 42 kali. Ada beberapa Muktamar yang dokumennya belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII (1947), XVIII (1950), XIX (1952), XXI (1956), XXII dan XXIV. Dari dokumen yang terlacak, baru ditemukan 36 kali Bahtsul Masail skala nasionalyang menghasilkan 536 keputusan.

Setelah lebih setengah abad NU berdiri, Bahtsul Masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Hal itu dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Komisi I Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, sebagai lembaga permanen.

Untuk memperkuat wacana pembentukan lembaga permanen itu, pada Januari 1990, berlangsung halaqah (sarasehan) di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomendasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengonsolidasi ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i.

Empat bulanan kemudian, pada tahun 1990 pula, PBNU akhirnya membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, dengan SK PBNU nomor 30/A.I.05/5/1990. Sebutan lajnah ini berlangsung lebih satu dekade. Namun demikian, status lajnah dinilai masih mengandung makna kepanitian ad hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah, setelah Muktamar 2004, status “lajnah” ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.

Dalam sejarah perjalanan Bahsul Masail, pernah ada keputusan penting yang berkaitan dengan metode kajian. Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992 diputuskan bahwa metode pemecahan masalah tidak lagi secara qawly tetapi secara manhajiy. Yakni dengan mengikuti metode dan prosedur penetapan hukum yang ditempuh madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah). Bukan sekadar mengikuti hasil akhir pendapat madzhab empat." (http://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html?m=1)

Pamekasan, 26 Juli 2016

Jangan Salah Pintar

Jangan Salah Pintar

Jangan lupa bahwa kita mengukur sebuah kebenaran, berdasarkan informasi dan pengetahuan yang didapatkan. Informasi itu, bisa dari lembaga pendidikan formal, informal, bahkan non formal. Tidak hanya itu, interaksi dengan orang lain; media informasi, berupa lisan atau tulisan; buku bacaan, berupa buku-buku ilmiah, dan bacaan lainnya juga turut serta dalam membentuk ilmu dan pengetahuan. Sehingga dengan itu semua, terciptalah konstruksi berpikir dalam diri manusia. Konstruksi berpikir ini yang sering digunakan sebagai tolok ukur menilai sebuah kebenaran.

Semua orang mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan pengetahuan dan informasi; mempunyai pengalaman hidup yang berbeda. Maka, keterbatasan itu yang harus disadari untuk tidak mudah menyalahkan orang lain. Dan pengalaman hidup yang berbeda, akan melahirkan pemikiran yang berbeda pula dalam menilai sesuatu. Sehingga, kita tidak harus mengutuk perbedaan itu dengan berlebihan, karena justeru perbedaan itu yang memenuhi keinginan Tuhan sebagai substansi kemanusiaan. Sedang kita juga tidak tahu siapa yang paling benar.

Saya pernah mendengar--dan terus terang sudah lupa sumbernya dari mana--bahwa, ilmu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia diibaratkan dengan ujung jarum yang dimasukkan ke dalam lautan, dan air yang melekat pada ujung jarum itu adalah ilmu yang diberikan kepada manusia semesta alam. Jika hal ini benar, bagaimana mungkin kita bisa "memanusiakan Tuhan" dengan cara menyalahkan orang lain dengan membawa-bawa nama Tuhan. Apakah ia, dalam waktu yang sama, Tuhan sedang menyalahkan orang itu. Kalaupun dalam perspektif Tuhan salah, yakinkah bahwa keinginan Tuhan sama seperti yang kita lakukan.

Memang benar, ketika seseorang benci pada orang lain, apapun yang dilakukan orang itu pasti salah. Demikian itu diakibatkan dasar hati kita sudah terlanjur kotor. Introspeksi diri barangkali bisa menjadi obat untuk membersihkan penyakit hati ini. Kalau sudah akut, ini semacam virus yang menggerogoti kebaikan nurani; setiap saat menebar kebencian; mencari pengakuan bahwa diri kita dalam posisi yang benar.

Manusia yang sedang menyalahkan orang lain, pasti pada saat yang bersamaan dia merasa benar. Perasaan benar ini yang sesungguhnya akan melumpuhkan hati nurani manusia, karena akan menyeret pada sifat sombong. Seandainya orang-orang sombong ini menyadari, bahwa ada banyak orang di luar sana yang lebih pandai dengan wawasan yang lebih luas, tetapi dalam menyikapi persoalan, tidak semerta-merta menyalahkan, pasti akan mengurangi sikap demikian ini. Tapi, begitulah manusia, bila ada yang tidak disukai, tertutuplah mata hatinya.

Saya tidak sedang membicarakan orang yang biasa menyalahkan kebijakan pemerintah; tidak pula orang yang sering mengafir-bid'ah dan syirikkan golongan lain; atau orang yang biasa menyesatkan para ulama. Tidak, tidak itu semua. Tapi lebih kepada bagaimana kita bisa menyadari diri dengan segala keterbatasan kita sendiri. Bagaimana mungkin, orang yang pengetahuan tentang kepemerintahannya rendah menyalahkan pemerintah yang dikelilingi para ahli; bagaimana mungkin, orang yang tingkat keagamaannya rendah menyesatkan ulama. Dari mana ini? Kalaupun ada pertarungan manusia pilihan dengan maqom yang sama, biarkan saja, kita tidak harus terlibat. Mari, kita dengan pekerjaan kita, biarkan mereka dengan pekerjaannya.

Pamekasan, 29 Juli 2016

Jumat, 03 Agustus 2018

Apa Pendidikan Pak Tua Penjual Batu?

Apa Pendidikan Pak Tua Penjual Batu?

Suatu kesempatan saya kedatangan seorang penjual batu. Batu yang dimaksud adalah batu asahan—batu yang biasa digunakan untuk mengasah pisau dan benda tajam lainnya. Berat batu itu diperkirakan bisa mencapai sepuluh kilo bahkan bisa lebih. Ia menawarkan batu itu kepada saya seharga Rp. 12.000 waktu itu. Sebelum membeli, saya bertanya kepada bapak tua itu "di mana tempat tinggalnya", kemudian beliau jawab dari Rangperang Dejeh. Sebuah desa yang jaraknya diperkirakan enam (6) KM kurang lebih dari rumah.

Bapak itu menjual batu dengan dipikul sejauh sampai di mana batu itu bisa laku. Dari desa ke desa, kampung ke kampung bapak tua itu menjajakan batu dagangannya. Jarak tempuh yang sangat jauh belum ditambah dengan keliling perdesa yang disinggahi.  Tentu, di masing-masing desa yang ia singgahi tidak mempunyai tujuan yang jelas, melainkan setiap rumah di desa itu adalah tujuannya. Hingga akhirnya secara acak bapak itu sampai di rumahku. 

Dengan rasa kasihan saya membeli batu yang dijual bapak tua itu. Yang semula bapak itu pasang harga jual Rp. 12.000 saya tawar Rp. 10.000, dengan penawaran dari saya akhirnya bapak itu mau menjualnya. Tetapi, saya harus membayarnya dengan harga Rp. 15.000. Selepas membeli, saya membayangkan waktu itu, seandainya saya disuruh membawa batu seberat itu dengan jarak seperti bapak tua itu dengan hadiah Rp. 50.000 rasanya saya tidak mungkin melakukan. Sementara bapak tua itu membawa dua batu besar dengan jarak cukup jauh yang belum tentu akan terjual. Sungguh, ini adalah pekerjaan yang serius dengan penghasilan yang main-main.

Ada sebagian manusia yang memang bekerja serius tapi penghasilannya main-main. Pun, manusia yang bekerja main-main tapi penghasilan serius. Hal seperti itu bisa saja kebetulan dan terjadi kepada sebagian orang saja, karena yang benar seharusnya jika bekerja serius penghasilannya harus pula serius. Tapi kalaupun hal serupa itu menjadi bagian dalam drama kehidupan di dunia ini, kita mau apa. Sebab, kita tidak punya hak memilih pekerjaan serius dengan bayaran serius pula.

Entah, apakah tanda tangan itu termasuk pekerjaan serius atau tidak, karena tidak sedikit tanda tangan bisa bernilai ratusan juta dan bahkan lebih.

Deskripsi di atas yang disebut dengan ketimpangan sosial. Ada banyak pihak yang berupaya memperkecil angka ketimpangan, akan tetapi sampai saat ini hal itu tidak menunjukkan tanda-tanda berhasil. Saya curiga saja bahwa keinginan itu hanya di atas kertas pada saat musim kampanye; tidak sampai tembus dalam hati untuk betul-betul direalisasikan. Lantas, dengan kejadian semacam itu, sistem mana yang mau disalahkan. Apakah sistem pendidikan kita; atau sistem ekonomi kita; sistem hukum, atau sistem yang mana.

Sepertinya sistem yang digunakan dalam kehidupan kita ini adalah kompetisi penuh. Dimulai dari pendidikan misalnya, kita tidak cukup peduli kepada sebagian orang yang tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan, sehingga ia tidak mendapatkan kesempatan kerja seperti kita. Sebab, jika pendidikannya sama seperti kita, maka ia akan menjadi batu sandungan bagi kita sebagai kompetitor dalam sebuah pekerjaan. Biarkan saja, yang bodoh makin bodoh dan yang pintar makin pintar.

Kalau begitu, masalahnya di pendidikan. Iyakah? Tingkatkan saja taraf ekonominya agar mendapatkan peluang untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, sehingga peluang kerja lebih mudah kalau sudah mempunyai pendidikan tinggi. Pertanyaan selanjutnya: bagaimana cara meningkatkan taraf ekonominya? Nah, itu dia! Sementara orang dengan pendidikan rendah, tidak mempunyai keterampilan yang memadai. Meski keterampilan tidak berbanding lurus dengan penghasilan, tetapi dengan keterampilan lebih memungkinkan hidup lebih layak.

Atau jangan-jangan ada pada supremasi hukum kita. Coba saja para koruptor itu dimiskinkan dan hasil jarahannya masukkan amil zakat—kenapa pilihannya amil zakat? Karena lebih mungkin untuk sampai kepada kaum papa. Atau sistem kita ada yang mengatur tentang batas kekayaan perseorangan, agar manusia-manusia serakah itu tidak seenaknya mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).

Wallahu a'lam!
Sampang, 03 Agustus 2018

Minggu, 08 Juli 2018

Lebih Baik Tanpa Kebencian

Lebih Baik Tanpa Kebencian

Entah, apa motivasinya dengan postingan-postingan itu. Kok, saya dibuat galau, kacau, risau, geram, radang, dan bahkan gusar. Beraneka ragam post dengan nada kebencian bertebaran, adu domba setiap saat, propaganda tidak henti-henti, sara di mana-mana, perang dingin menjadi-jadi dan bahkan perseteruan yang tidak selesai-selesai. Ini seperti bom waktu yang menunggu kapan akan meledak dan akan menjadi kekacauan sosial yang sangat dahsyat sekali. Semua orang hanya berpegang pada satu kebenaran egosentrisme. Mengabaikan keanekaragaman perspektif manusia lain, sebagai bagian dari keberagaman konstruksi berpikir manusia lainnya.

Ada banyak cara yang dilakukan untuk menumbuhkan sikap-sikap benci sekelompok orang kepada kelompok lainnya. Ekspresinya pun berbeda-beda. Mulai dari membagikan artikel-artikel, dan gambar dari situs-situs tidak bertanggung jawab, sampai dengan sengaja mencari situs yang memojokkan pihak lain, tanpa melihat sumbernya autentik atau tidak. Autentisitas rasanya tidak penting, yang paling penting puas karena ada pihak lain yang mewakili kebencian dalam bentuk argumentasi, hujat, dan cacimaki.

Bermunculan orang-orang pintar baru. Yang setiap saat tampil sebagai orang bijaksana, untuk mengelabuhi orang lain dengan misi menebar kebencian. Bukankah kedamaian lebih menenangkan, dan hati menjadi lebih tenteram, sejuk dan damai. Tapi, kenapa harus menebar kebencian. Selama ini keberhasilan apa yang didapatkan dari kebencian itu, selain murka Allah. Sampai kapanpun tidak ada kebencian dalam bentuk apapun yang mengandung kebaikan; tidak ada kebencian yang mendapat legitimasi dari manapun.

Tidak dalam rangka menghakimi terhadap opini yang berseleweran. Yang benar dan yang salah juga belum jelas. Tetapi memaksakan kebenaran tunggal yang mengarah pada kebencian dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan serta norma yang terdapat dalam keberagaman suku bangsa, ini adalah malapetaka. Sebagai seorang filsuf, Voltair, pernah mengatakan, "Saya tidak percaya apa yang kau katakan, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu," artinya, bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Selama ini kita hanya meraba kebenaran itu sendiri, dan berusaha paling dekat dengan kebenaran, tanpa mengetahui kebenaran yang absolut, karena kebenaran absolut itu adalah milik Tuhan, dan yang lainnnya serba relatif. Tidak seharusnya kita menjustifikasi diri sebagai manusia paling benar, sehingga selalu menyalahkan orang lain. Hal ini juga akan melahirkan sikap-sikap sombong dan menang sendiri.

Sampai kapan ini akan selesai? Rasanya kebencian sudah menghujam ke hulu hati. Bagaimana mungkin keadaan akan menjadi lebih baik, jika manusia-manusianya hanya pandai mengkritik tanpa memberikan solusi. Sesungguhnya Tuhan Maha Tahu, apakah kritik yang dilakukan oleh sekelompok orang itu mengandung kebencian atau tidak; mengandung maksud yang baik atau tidak. Sehingga, apabila kritik itu tidak membangun dan didasarkan pada niat yang tulus untuk sebuah perubahan, sebaiknya jangan dilakukan agar tidak menambah beban dosa sosial dan keadaan menjadi lebih buruk. Bersambung...

Wallahu a'lam.

Pamekasan, 08 Juli 2016

Rabu, 27 Juni 2018

Mereka Juga Manusia

Mereka Juga Manusia

Kadang merasa bingung menanggapi tentang kemanusiaan. Ada yang berbicara tentang hak asasi manusia, demokrasi, budaya, agama, dan bahkan hukum. Semuanya membawa aturan mainnya sendiri. Ada orang meludah mengenai wajah orang, atas nama hukum ia harus diadili; ada yang memukul orang lain, atas nama hak asasi manusia juga harus diadili; begitu juga yang mencuri, harus diadili. Yang mau dibicarakan bukan persoalan pelanggaran yang harus diadili. Tetapi, pada saat manusia-manusia ini diadili, mereka dirantai kemudian dipenjarakan. Membayangkan saja pusing, ketika pada saat tertentu manusia harus menjadi binatang, yang dibatasi ruang geraknya.

Itu mungkin menjadi sebuah penjelasan, bahwa dalam keadaan tertentu manusia bisa menjadi binatang dan bisa diperlakukan sebagai binatang. Tetapi, pasti semua ada alasannya; ada penjelasannya.

Kadang, sesuatu yang memotivasi tindakan mengarah pada perbuatan negatif itu tidak pernah dijadikan evaluasi untuk menciptakan keadaan menjadi lebih baik, tetapi hal itu dibiarkan berlalu begitu saja. Padahal fakta-fakta di persidangan misalkan, itu justru cukup untuk dijadikan sebagai indikator tentang karakter dan masalah suatu bangsa, dan dari sana pula bisa merumuskan langkah strategis untuk mengatasi persoalan. Kenapa itu hanya dijadikan sebagai catatan kriminal saja, tanpa melahirkan sebuah pertanyaan, kenapa tindakan ini terjadi dan bagaimana mengantisipasi agar tidak berulang.

Memanusiakan manusia itu sebenarnya bisa dilakukan dengan cara menghindarkan manusia dari kursi peradilan. Caranya, tentu memperkecil alasan kenapa tindakan negatif (baca: kriminal) itu terjadi. Yudikatif memperkuat hubungannya dengan eksekutif dan legislatif untuk membicarakan tentang kecenderungan pelanggaran yang dilakukan olah masyarakatnya. Sehingga dengan begitu, diagnosa yang digunakan untuk mencegah dan mengatasi masalah bisa tepat. Bukan malah bangga, ketika mampu menangkap maling; bangga ketika sudah merantai, memukul dan memenjarakan manusia. Ia, jangan lupa, dia manusia. Sama seperti kita, anakmu ataupun keluargamu yang lain.

Apakah sengaja menggunakan logika terbalik. Kalau tidak ada pelanggaran, pekerjaan penegak hukum tidak ada.

Pamekasan, 28 Juni 2016

Selasa, 19 Juni 2018

Kita Ini Kawan atau Lawan?

Kita Ini Kawan atau Lawan?

Memasuki dunia teater, kita akan mengenal dengan konsep pemanggungan. Dalam konsep pemanggungan itu sendiri, kita akan mengenal dengan beberapa istilah. Dan istilah ini seringkali digunakan untuk mengarahkan pemain oleh sutradara dalam setiap latihan sebuah pertunjukan. Istilah yang dimaksud ialah: sadar panggung, sadar teman, dan sadar diri.

Sadar panggung, artinya kesadaran dalam setiap gerakan tidak sampai melampaui panggung, memahami batasan-batasan panggung dan di mana harus melakoni peran. Sadar teman, ialah sebuah kesadaran bahwa di atas panggung dan apa yang kita pentaskan tidak sendirian, ada orang lain di sekitar kita. Sehingga, gerakan apapun yang kita lakukan tidak boleh sampai mengganggu (menghalang, red) teman. Semua pemain diinginkan oleh penonton untuk dilihat, bukan hanya sebagian orang.

Berikutnya, sadar diri. Kesadaran yang harus dimiliki oleh perseorangan tentang peran diri sendiri dalam panggung pertunjukan. Tidak mengambil alih peran orang lain, semuanya berjalan sesuai dengan peran masing-masing yang telah diarahkan sang sutradara. Meski dalam kondisi tertentu kita berhadapan dengan sebuah kesalahan, maka ada langkah improvisasi yang harus dilakukan untuk meminimalisir kesalahan dimaksud, sehingga pada saat yang bersamaan kita masih berada dalam alur yang diinginkan sutradara.

Panggung politik tidak jauh beda dengan panggung teater. Kesadaran demi kesadaran harus tetap senantiasa digalakkan. Kesadaran panggung dalam politik harus kita ciptakan, kita harus menyadari bahwa tidak semua arena adalah gelanggang politik. Ada arena tertentu yang tidak harus dicemari dengan persoalan politik, seperti arena lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, Instansi TNI/Polri, dan lain sebagainya.

Politik adalah pengetahuan mengenai sistem pemerintahan. Namun, belakangan bergeser menjadi perebutan kekuasaan dalam pemerintahan. Sehingga untuk menuju pemerintahan (baca: kekuasaan) membutuhkan strategi yang harus dilakukan. Dalam strategi inilah yang seringkali banyak menjebak orang untuk melakukan perbuatan yang tidak baik, seperti fitnah, caci maki, dan isu-isu tidak baik lainnya. Apakah strategi identik dengan sesuatu yang tidak baik? Jawabannya, tidak. Strategi bagi-bagi takjil, bagi-bagi lebaran, blusukan menyapa konstituen, silaturrahmi, adalah sesuatu yang baik.

Kesadaran teman dalam politik juga tidak boleh dibuang. Sebelum banyak mengenal politik dan mendukung sebuah pasangan tertentu, pertemanan sudah terjalin lebih awal. Kita harus memahami objek serangan, jangan semuanya disamaratakan, tidak kawan tidak lawan. Keretakan pertemanan tidak sebanding dengan apa yang akan kita dapatkan setelah kontestasi ini selesai. Bagi para penggembira, cukuplah sadar diri mengenai batasan dirinya sampai di mana. Jangan melampaui batas untuk saling menyerang sesama teman. Sadar dengan kapasitas diri adalah strategi paling baik; kalau hanya sebagai penggembira, biasa ajja kéles.

Menjelang hari-H dalam kontestasi Pilkada Pamekasan, dinamika politik semakin tinggi. Aksi propaganda, permainan isu, fitnah, dan caci maki semakin beranekaragam. Tampak beberapa orang yang mengatasnamakan diri sebagai tim mengkonter fitnah dengan cara memfitnah balik; mengkonter caci maki dengan cara mencaci maki balik. Akhirnya, saling serang fitnah dan caci maki tak kunjung selesai. Itupun dilakukan oleh sesama teman.

Sebagian lagi ada yang mengevaluasi kesalahan statement orang lain. Semula seperti ingin memberikan pencerahan yang baik agar tidak mengulang perbuatan yang sama, akan tetapi akhirnya mengajak teman-temannya untuk menghakimi bersama. Akhirnya, sama saja tidak ada yang mana satu. Tapi ini adalah ruangnya pilkada, ruang yang penuh dengan kepentingan seputar perut dan kekuasaan. Tidak perlu terlalu agresif menyerang kawan, apalagi yang pernah satu perjuangan.

Berbeda pilihan, boleh-boleh saja. Di zaman demokrasi ini kemerdekaan tiap individu dijamin oleh undang-undang. Tidak ada paksaan kepada pihak manapun untuk menentukan pilihannya yang terbaik. Namun, apapun pilihannya jangan pernah lupa bahwa kita pernah makan satu piring. Dalam kondisi apapun kita harus tetap 'satu' dan 'berbaur', jangan sampai pecah belah menjadi beberapa bagian. Cukuplah persoalan akidah dalam Islam yang terbagi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, dan 1 (satu) masuk surga, yaitu ahlussunnah waljamaah.

Wallahu a'lam!
Pamekasan, 19 Juni 2018

Senin, 18 Juni 2018

Teman STM, Mesin dan Pilkada Pamekasan

Teman STM, Mesin dan Pilkada Pamekasan

Waktu masih Sekolah Teknik Mesin (STM) di SMKN 2 Pamekasan, ada pelajaran yang menarik tentang teknik mesin. Mesin yang dimaksud, bisa mesin mobil, sepeda motor, atau sejenisnya. Guru saya bilang, "Mesin itu hidup, kalau ada (berfungsi) tiga hal: ada kompresi, ada bahan bakar, dan ada percikan api busi." Kompresi adalah pemampatan udara untuk menciptakan panas yang tinggi di dalam blok silinder.

Setelah blok silinder panas, baru karburator-tempat pencampuran bahan bakar dengan udara-mengirimkan hasil olahan bahan bakar ke dalam blok silinder, lalu ada percikan api busi untuk membakar bahan bakar. Setelah tiga hal itu bertemu, maka terjadilah pembakaran pada blok silinder.

Terbakarnya bahan bakar di dalam silinder blok menciptakan ledakan dengan suara yang nyaring. Itulah sebab, kenapa mesin menggunakan knalpot dan filter. Hal itu untuk menghindari suara bising yang ditimbulkan oleh ledakan. Kita bisa bayangkan saja kalau ada knalpot tanpa filter, atau yang disebut dengan knalpot 'telo' oleh anak muda. Betapa suaranya sangat mengganggu sekali.

Nah, ledakan itu yang kemudian menciptakan putaran poros engkol dan putaran dikirim pada transmisi untuk mengatur kecepatan, lalu ke roda.

Tentu, tiga hal tersebut ada perangkatnya masing-masing. Kompresi tidak akan maksimal jika seker dan gelangnya sekeng atau bengkok; pun percikan api busi tidak akan baik dan bahkan mati, jika koel, kawat atau busi rusak. Termasuk bahan bakar tidak akan terbakar dengan baik jika karburatornya juga rusak. Itu teori sederhananya, dan namanya teori memang seringkali semudah itu.

Hidup itu memang harus kompleks. Butuh bersatunya beberapa elemen, sebab dari beberapa komponen bisa saling menopang satu sama lain. Semua komponen harus saling mendukung menjadi satu untuk menghasilkan kerja yang baik. "Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh," itulah yang pernah diajarkan waktu masih di sekolah.

Yang masih terkenang bukan hanya seputar mesin dengan segala tetek bengeknya. Lain dari itu yang paling diingat dalam perjalanannya adalah asumsi banyak orang bahwa anak ATM itu terkenal nakal dan sering tauran. Pernah suatu ketika saya ke SMA 3, menyapa siswi setempat dan pura-pura bertanya seseorang, ketika saya masih mengatakan bahwa saya siswa SMA 4, kelihatan sekali baik-baik saja, pas saya jujur kalau saya anak STM, tiba-tiba ia berkelebat dan menghilang. Itulah anak STM.

Tapi sampai saat ini saya masih bangga dengan sekolah saya, termasuk teman-teman saya yang masih kompak. Selepas lebaran, kita masih sering menyempatkan diri untuk bertemu dan sekedar bersenda gurau. Dengan aneka ragam profesi kita melebur: ada yang masih istiqomah dengan mesin (bekerja di bengkel), ada pegawai Bank, ada yang bekerja di percetakan, ada yang menjadi guru, ada yang polisi, ada yang TNI, wartawan juga ada, bergerak di besi tua, dan bahkan ada yang bergerak di bisnis benda pusaka (seperti keris, besi kuning, dll.)

Yang menarik sampai saat ini, mereka semua masih rasional. Mereka tidak meninggalkan sama sekali persoalan masa depan kabupaten Pamekasan. Di sela-sela perbincangan, masih menyempatkan diri membicarakan tentang calon pemimpin masa depan kabupaten Pamekasan. Di antara mereka ada yang bertanya, "Siapa calon pemimpin Pamekasan di masa depan yang menurut kamu baik, Nan?" Dengan pertanyaan seperti itu, tentu semuanya tahu bahwa saya menjawab, siapa. Dan atas dasar jawaban itu, insyaallah mereka bersama dengan saya untuk menentukan masa depan Pamekasan.

Wallahu a'lam!
Pamekasan, 17 Juni 2018

Selasa, 12 Juni 2018

Puasa Harusnya Tanpa Kekerasan

Puasa Harusnya Tanpa Kekerasan

Sungguh perbincangan sangat menarik ketika membicarakan tentang bagaimana kita seorang muslim menyikapi persoalan-persoalan di bulan Ramadlan. Taruhlah, bagaimana posisi kita menyikapi persoalan penyisiran yang dilakukan oleh lembaga tertentu kepada warung-warung yang buka di siang hari pada bulan puasa yang berakhir dengan pemaksaan untuk menutup. Ada yang berposisi sebagai pembela Tuhan, bahwa setiap warung yang buka di siang hari harus ditutup dengan alasan mengganggu ketenangan orang yang sedang puasa; ada juga yang berposisi sebagai pembela kemanusiaan, yang membela keberadaan mereka (penjual) karena itu merupakan sumber untuk mendapatkan penghasilan, yang endingnya untuk menghidupi keluarga.

Jika kita sepakat bahwa ini persoalan, maka semua pihak tidak boleh diam untuk mencari jalan tengah terhadap persoalan ini. Karena yang jelas semua orang mencari pembenaran sendiri untuk mempertahankan tanggungjawabnya masing-masing, baik kepada keluarganya atau kepada instansinya. Yang satu beralasan penertiban dan yang lainnya beralasan untuk menghidupi keluarga. Jika memang, berjualan merupakan satu-satunya penghasilan bagi para penjual makanan, maka pihak yang mempunyai tanggungjawab untuk melakukan penertiban tugasnya tidak selesai sampai di sana, tetapi bagaimana pasca pelarangan itu ada antisipasi agar keluarga yang biasa berjualan itu terpenuhi kebutuhan hidupnya.

Persoalan-persoalan kemanusiaan seperti ini juga tidak boleh luput sebagai pertimbangan. Karena kita sebagai penganut sebuah agama tidak pernah meyakini bahwa agama akan membawa kesengsaraan bagi penganutnya, apalagi menjadi sebuah petaka. Belum lagi adanya pertimbangan-pertimbangan lain bahwa tidak semua umat Islam mempunyai kewajiban untuk berpuasa, seperti orang yang sedang menstruasi, dalam perjalanan, sakit, hamil yang dimungkinkan mengganggu bayinya, dan lain sebagainya. Jangan sampai perilaku keberagamaan kita justru sampai tidak mewakili agama.

Penyampaian substansi dari puasa malah lebih penting agar orang-orang yang menjalankan puasa lebih menjiwai terhadap kegiatan puasa. Puasa sebagai upaya penyucian diri dan pencegahan dari hal-hal yang berbau negatif betul-betul terealisasikan. Dengan begitu, berapa banyak pun manusia-manusia yang hendak berjualan (makanan) di siang hari tidak akan mampu memberikan pengaruh yang bisa menggoyahkan puasa yang sedang dilakukan. Adanya razia bagi para pedagang yang berjual makanan itu hanya selesai dipermukaan saja, tidak selesai secara substantif. Bagi orang yang belum memahami betul tentang substansi dari puasa, dimanapun bisa menjadi tempat untuk makan.

Yang diharapkan dalam uraian ini, bagi pihak yang mempunyai tanggungjawab harus mampu memberikan penyadaran tanpa kekerasan. Jangan sampai ibadah yang diharapkan mampu mencegah dan menahan hawa nafsu, malah dijadikan alasan untuk mengumbar nafsu; ibadah yang diharapkan bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, malah semakin jauh dari Tuhan.

Wallahu a'lam

Pamekasan, 13 Juni 2016

Babak Akhir Pertarungan Dunia Maya

Babak Akhir Pertarungan Dunia Maya

Menjelang pemungutan suara tanggal 27 Juni 2018 dalam kontestasi Pilkada Pamekasan, sudah bisa dikatakan bahwa pemilih sudah hampir konkret menentukan pilihannya. Memasuki babak akhir ini, kerja keras seperti apapun tidak akan membuahkan hasil yang signifikan, kecuali hanya berkutat membicarakan basis-yang sama-seperti kemarin dan lusa. Tidak ada perkembangan lain.

Sembilan puluh koma sekian dari 100% jumlah pemilih sudah menentukan sikapnya. Pemilih fanatik sudah terbentuk, sehingga untuk memengaruhi pemilih sangat sulit. Yang bisa dilakukan saat ini mencoba menghitung jumlah orang berdasarkan informasi dari tim masing-masing sampai ke lingkup paling sempit, yaitu TPS. Kalau sudah kalah berdasarkan survei, maka khawatir tidak menyembelih sapi.

Strategi apapun jika memasuki ruang pemilih fanatik bukan malah menambah suara, tetapi bisa mempertajam perseteruan diantara para pemilih. Karena seringnya diskusi pilkada di media sosial (baca: facebook) maka pemilih fanatik lahir di sana, melalui media sosial. Maka tidak heran jika di media sosial melahirkan sebuah perseteruan yang sangat alot. Tidak jarang, kawan to be lawan.

Pemilih ada yang bisa diciptakan dalam waktu dekat ada pula yang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Pemilih rasional adalah pemilih yang sudah mampu menentukan pilihannya jauh hari, bukan karena intervensi politik. Jika kita melihat pemilih yang tidak konsisten seperti misalnya, kemarin A dan sekarang berubah B, itu menandakan pemilih yang tidak rasional. Terlepas dari persoalan, pertama ke siapa berikutnya ke siapa.

Stagnasi suara bisa diperparah oleh lemahnya tim. Semisal tim yang memengaruhi satu orang tetangganya saja tidak bisa; bukan tokoh, sering membuat dagelan yang memilukan, terlalu mengandalkan doktrin, sering blunder dan tidak ada rasionalisasi kepada pemilih. Rasionalisasi dalam artian, semacam pertanyaan, kenapa harus memilih nomor 1, dan tidak nomor 2.

Di facebook teman kita sudah sangat paham pada masing-masing figur. Berdasarkan aksi propaganda yang dilakukan oleh masing-masing tim, saya pikir semuanya sudah mampu memosisikan pemilih. Tetapi kalau harus menambah pemilih, rasanya tidak. Kenapa sebab, karena kita tidak menambah pertemanan, kalaupun menambah belum tentu orang setempat dan bisa diajak bersama. Pertanyaannya adalah: perdebatan yang dilakukan siang malam itu untuk memengaruhi siapa? Sementara teman kita di facebook yang itu-itu saja.

Jawaban dari pertanyaan itu adalah, hanya ingin memenangkan hujjah saja. Kalau ingin memenangkan figur yang diusung, tempatnya di dunia nyata, tempat di mana banyak orang yang tidak tahu dengan dunia maya. Dunia maya sudah final, tinggal gerilya ke pelosok desa dari kampung ke kampung. Mari, hentikan segala bentuk perdebatan yang memperuncing perpecahan di antara kau dan aku, Sayang.

Yang jelas, bagi yang merasa tidak mempunyai sistem yang kuat sampai lapisan paling bawah, khawatir.

Wallahu a'lam!
Pamekasan, 08 Juni 2018

Rabu, 06 Juni 2018

Politik; Permainan dan Anak Kecil

Politik; Permainan dan Anak Kecil

Lucu sekali melihat anak kecil bertengkar hanya memperebutkan mainan (mobil-mobilan, red). Tentu, lucu bagi saya, tapi serius bagi mereka. Sebab, bagi mereka hal itu memperebutkan sebuah kesenangan dan kebahagiaan. Dunia mereka di sana, dan hanya sebatas itu jangkauan pemikirannya.

Beda anak kecil beda pula orang dewasa. Kita sebagai manusia mempunyai tingkat kesenangan yang berbeda. Semakin dewasa seseorang akan semakin menjauh dari sesuatu yang bersifat remeh temeh. Kalau sudah lebih dewasa kesenangannya akan berbeda lagi. Yang dulu menyenangkan, kini tampak lucu di hadapan orang dewasa.

Sesuatu yang mengasyikkan bagi anak kecil, sudah tidak lagi bagi para remaja. Jika kita melihat anak remaja masih bermain mobil-mobilan perlu dipertanyakan perkembangannya secara psikologis. Jika mobil-mobilan saja sudah tidak relevan bagi otak anak remaja, apalagi orang dewasa ataupun orang tua. Para remaja beranjak kepada permainan lain yang dianggap relevan dengan usianya, yang sekaligus keluar dari pola pikir permainan anak kecil.

Semakin dewasa seseorang, ia akan semakin melihat kelucuan yang ada di sekitarnya, terutama kepada orang yang masih ada di bawahnya. Pada masa remaja, senang dengan berambut panjang dengan anting di telinga, setelah dewasa kita akan menertawakan diri sendiri, karena terkenang pada masa itu, dan bahkan tidak segan menertawakan anak remaja yang mengikuti jejak kita tempo dulu.

Begitu juga sebaliknya. Tidak ada anak kecil yang suka dengan permainan orang dewasa. Kemungkinan itu terjadi disebabkan jangkauan mereka yang masih terbatas. Bagi anak kecil, yang serius itu makan hati, sementara bagi orang dewasa, buat apa pekerjaan yang sia-sia. Pada akhirnya, saya meyakini bahwa segala bentuk permainan itu akan semakin lucu bersama dengan semakin dewasanya diri kita.

Pun permainan politik. Melihat perseteruan di media sosial (baca: facebook, dll.) saling caci maki, saling fitnah, intimidasi, yang mewarnai permedsosan pada saatnya akan menjadi sesuatu yang lucu bagi kita seiring dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan kita. Seperti anak kecil, sebelum mereka tahu bahwa yang di hadapannya adalah permainan, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang serius.

Bahkan pada saatnya, ketika kita sudah memahami bahwa politik itu tidak lebih dari sekedar permainan, kita akan menertawakan diri sendiri sembari menertawakan orang lain yang masih suka dengan permainan kita tempo dulu. Bagi yang belum sampai, permainan ini memang cenderung dianggap serius sebelum akhirnya harus tersenyum kecil mengenang kelucuan pada saat bermain-main dengan caci maki, fitnah, dll.

Ingin rasanya saat ini saya pergi dari keseriusan politik menuju kelucuan politik. Dalam artian, saya ingin segera menggeser pola pikir bahwa politik itu bukan mainan saya, tetapi permainan mereka yang masih lucu. Untuk saat ini mungkin saya belum bisa, tetapi semoga segera bisa. Sehingga akhirnya, saya akan tersenyum kecil melihat pendatang baru dengan keseriusannya dalam permainan politik. Di tengah keseriusan berpolitik ini saya pilih berbaur dalam Pilkada Pamekasan ini.

Ya Allah, segera dewasakan hamba agar segera melihat politik sebagai sebuah kelucuan, sebagaimana Engkau telah memperlihatkan kelucuan mobil-mobilan bagi orang yang sudah dewasa.  Amin...

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 06 Juni 2018

Selasa, 05 Juni 2018

Ilmu sebagai Jalan Keluar Memecahkan Persoalan Hidup

Ilmu sebagai Jalan Keluar Memecahkan Persoalan Hidup

Persoalan tidak akan menjadi masalah bagi orang yang mempunyai ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah yang sesuai dengan persoalan yang sedang terjadi. Contoh sederhana misalnya; orang yang punya masalah dengan mobil macet, karena mengerti cara memperbaiki mobil, maka diperbaiki, dan baik.

Bagi yang sedang punya masalah dengan gigi (baca: sakit), karena tahu bagaimana cara mengobatinya, maka sakit gigi lewat; punya barang elektronik (TV, Radio, Komputer, dan lain-lain) rusak, karena tahu cara memperbaiki, maka masalah beres; ada Dosen memberikan tugas makalah kepada mahasiswa, karena mahasiswa tahu cara membuatnya, makalah pun bisa diselesaikan dengan baik.

Beberapa peristiwa di atas sebenarnya masalah. Namanya masalah, tentu akan membuat panik. Tapi, bagi orang yang mengerti bagaimana cara memecahkannya, maka sesuatu itu tidak menjadi masalah.

Beberapa persoalan di atas, bukan hanya diselesaikan menggunakan perasaan, tetapi menggunakan ilmu pengetahuan. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa ilmu pengetahuan dapat memberikan jalan keluar bagi setiap orang yang punya masalah. Semakin lengkap ilmu yang kita miliki, maka semakin mudah kita memecahkan banyak persoalan.

Dalam kehidupan ini, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam persoalan. Ada persoalan yang akan terasa berat, pun ada yang terasa ringan. Ada per"soal"an yang sama, berat bagi yang satu dan ringan bagi yang lain. Hal itu bergantung kepada tingkat pengetahuan orang itu terhadap masalah yang dihadapi.

Pasti kita sudah bisa menangkap pesan apa yang dimaksud oleh tulisan ini. Semakin banyak seseorang mengetahui suatu hal, maka akan semakin sedikit persoalan yang terjadi pada dirinya. Karena sesuatu yang semula adalah masalah, menjadi bukan masalah baginya. Atas pengetahuan yang dimiliki, ia mudah memecahkan permasalahan.

Bagi manusia yang sudah mencapai pada keluasan ilmu pengetahuan, ia sudah sulit akan berhadapan dengan masalah. Seperti seorang, Wali Allah, misalnya. Para Wali Allah banyak dibekali dengan Ilmu Pengetahuan oleh Allah, dan bahkan ilmu yang bersifat transendental. Sesuatu yang belum banyak orang ketahui, sudah diketahui lebih dulu.

Sudah wajar, Allah menganugerahkan ilmu yang memadai bagi para Wali. Sebab, para wali dipercaya oleh Allah untuk menjaga keadaan bumi. Dituntut untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di muka bumi. Tentu, tugas itu sangat berat bagi manusia biasa yang tidak mencapai maqam seperti para wali.

Tetapi Allah akan menyesuaikan tingkat keilmuan seseorang dengan masalah yang akan diberikan. Jadi soal akan semakin sulit bagi orang yang dianggap mampu, meski akhirnya juga akan terpecahkan.

Dalam kehidupan sosial, penting sekali mempunyai banyak ilmu pengetahuan. Sebab dalam interaksi dengan manusia yang lain, membutuhkan kecerdasan agar bagaimana tidak selalu melahirkan permasalahan. Dan jika ada pihak lain dengan sengaja menabur permasalahan, kita sudah siap bagaimana mengantisipasi dengan ilmu yang kita miliki.

Wallahu a'lam!

Sampang, 06 Juni 2017

Jumat, 01 Juni 2018

Pancasila sebagai Perekat, Jangan Dihujat

Pancasila sebagai Perekat, Jangan Dihujat

Sebuah negeri yang dasarnya Pancasila itu adalah Indonesia. Negeri dan Pancasila itu ibarat perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak (soft ware) dalam sebuah komputer. Perpaduan keduanya melahirkan sebuah negara yang disebut dengan Indonesia. Jadi bagi siapa saja yang menginginkan hidup di Indonesia, yang bersangkutan harus menerima apa adanya Indonesia dengan segala perangkat yang tersedia di dalamnya. Termasuk Pancasila, yang turunannya adalah Bhinneka tunggal ika, NKRI, UUD '45. Disebut dengan PBNU: Pancasila, Bhinneka tunggal ika, NKRI, UUD '45.

Di dunia ini, sudah banyak negara dengan perangkat lunak masing-masing di dalamnya yang memungkinkan bisa dipilih sesuai dengan selera masing-masing. Jika dalam perjalanan hidup ada ketidaksesuaian keinginan dengan sistem yang sudah terbentuk dalam sebuah negara tertentu, berdasarkan hak asasi bagi manusia itu tidak ada paksaan untuk tetap tinggal di negara itu. Dalam artian bisa mutasi kewarganegaraan sesuai dengan keinginan hati; yang cocok dengan pemikirannya, tanpa harus merusak isi negara yang telah memberikan kesempatan hidup pertama kali.

Dalam konteks Indonesia, jika ada beberapa golongan memaksakan perubahan sistem di antara masih adanya golongan lain yang menginginkan sistem itu, berarti kesadarannya (golongan) masih kecil untuk memahami hak orang lain. Kalau ada pertanyaan: bukankah semua orang mempunyai hak yang sama? Iya, betul. Tapi tidak harus mengganggu hak orang lain yang masih menginginkan sistem itu, karena sistem itu yang pertama kali diterapkan. Jika masih ingin memaksakan sistem versi lain selain Pancasila, golongan ini bisa pindah negara. Atau kalau tidak, cari negeri perdikan untuk dijadikan negara versi yang disuka.

Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang disebut dengan warga negara adalah, penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu. Warga negara yang baik, harus memahami segala bentuk kewajiban dan haknya kemudian menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan yang memilih berseberangan dengan segala kebijakan yang ditetapkan oleh negara tersebut. Seperti menginginkan perubahan terhadap sistem yang sudah membentuk negara itu.

Boleh saja menginginkan perubahan terhadap sebuah sistem negara, apabila sudah dianggap tidak relevan dengan keadaan bangsanya. Untuk saat ini, peraturan yang diterapkan di Indonesia masih baik-baik saja, dan jika masih belum berlaku baik, berarti ada oknum yang mempermainkan sistem itu. Tentunya yang bermain adalah orang yang mempunyai kapasitas sebagai pelaksana dari sistem dimaksud. Yang merusak sistem itu biasanya manusia-manusia yang mempunyai keinginan kuat untuk memperkaya diri.

Saling menghargai antar suku, agama, ras, dan aliran (kepercayaan) juga tidak kalah penting dalam rangka menjaga harmonisasi sosial dalam keberagaman di dalam bernegara.  Mengimplementasikan nilai-nilai yang tertanam dalam sistem bernegara sebagai perwujudan dari kepatuhan dalam bernegara harus senantiasa digalakkan untuk menghindari kekacauan. Untuk menghindari perselisihan sebagai wujud dari sebuah perdamaian sesama warga negara, kiranya setiap warga negara penting sekali memerhatikan aspek-aspek yang akan menimbulkan perpecahan dalam bingkai persatuan, seperti saling mencurigai, memfitnah, mencaci-maki, dan lain sebagainya.

Namun, diakui atau tidak, di tubuh NKRI ini telah terjadi perang dingin antara satu golongan dengan golongan yang lain. Perang dingin ini yang malahirkan perpecahan secara perlahan. Penyebabnya bisa berbagai macam: mulai dari masalah ideologi, pemikiran, keinginan yang berbeda, dan lain-lain (pembaca bisa menambah sendiri sesuai fenomena dan problematika sosial yang terjadi di lingkungan). Tapi apapun yang terjadi, semoga Indonesia tidak sampai gulung tikar, agar kelak anak cucu kita dapat menikmati hal yang sama sebagaimana kita nikmati saat ini.

Pamekasan, 02 Juni 2017

Kamis, 31 Mei 2018

Pancasila, Setan dan Orang Kanan

Pancasila, Setan dan Orang Kanan

Dengan diikatnya setan-pada bulan puasa, bisa saja orang seperti Durjudana atau Rahvana sekalipun bisa menjadi baik. Sebab, kita percaya bahwa yang selama ini menjadikan manusia jahat adalah setan dengan berbagai godaan dan tipu dayanya. Kecuali kalau orang itu terlalu dekat dengan manusia bermodel Sengkuni atau; bermodel Halayuda, karena setannya mereka sendiri.

Jangankan orang yang mempunyai potensi jahat, yang baik pun bisa menjadi jahat. Mungkin orang seperti mereka yang dimaksud Allah dalam surat An-nas tentang setan berwujud manusia yang senantiasa membisikkan (kejahatan) dalam hati manusia. Dengan segala tipu daya yang dimiliki mampu merubah akal sehat orang lain.

Apalagi setan yang memang tugasnya menggoda manusia untuk jahat, tidak akan mempengaruhi manusia untuk jahat. Dekat dengan orang yang biasa berbuat jahat saja, kita akan ketularan jahat. Sebab, karakter manusia itu akan mencuri karakter manusia lainnya secara perlahan, kira-kira itu kaidah dalam Islam yang pernah saya dengar. Maka, dianjurkan bagi kita untuk mencari dan berteman dengan manusia-manusia yang baik, agar kita ketularan baik.

Kecenderungan orang yang tingkat kemampuannya lebih tinggi, mereka lebih mudah mempengaruhi orang yang ada di bawahnya. Selektif mencari teman adalah cara paling aman dan baik. Aman dari pengaruh jahat orang-orang yang ingin menggeser pemikiran kita, utamanya yang ingin menggeser kecintaan kita kepada negara, pemimpin negara dan ideologi negara yakni Pancasila.

Dalam konteks Indonesia, menjamurnya manusia apancasilais tidak lepas dari pergaulannnya. Orang ini senantiasa bergaul dengan orang-orang kanan yang sengaja menghadapkan agama dengan negara dan menjadikan negara sebagai musuh bersama, sehingga muncullah terorisme. Terorisme itu sengaja diciptakan oleh manusia ekstrim kanan untuk merubah ideologi negara, menjadi ideologi yang diinginkan.

Jadi ingat pesan Ali Imron, bahwa mendukung terorisme itu cukup dengan mengatakan, pengalihan isu dan konspirasi pemerintah. Itu sudah membuat teroris lebih tenang dan kipas-kipas. Namun, sayangnya masih banyak di antara kita yang kesadarannya sangat kecil akan ancaman terorisme ini, sehingga mengatakan bom Kampung Melayu adalah sebuah konspirasi pemerintah. Naif sekali!

Semoga Garuda masih mampu terbang tinggi dan mengamati musuh-musuhnya, dan Pancasila mampu mengikat kuat keberagaman bangsa Indonesia ini.

Selamat hari Pancasila.
Pamekasan, 01 Juni 2017

Senin, 28 Mei 2018

Tentang Kebaikan Semu

Tentang Kebaikan Semu

Suatu hari istriku menggurui saya dengan sebuah kalimat yang bijaksana. Setelah saya anggap selesai menyampaikan seluruh isinya, lantas saya balik menyampaikan sesuatu kepadanya. Saya katakan seperti ini, "Usahakan apa yang kamu sampaikan itu sesuai dengan keberadaan dirimu. Apa yang kamu katakan itu adalah cerminan dari dirimu, bukan hanya serangkaian kata-kata dan menjadi kalimat yang bagus. Seperti seseorang yang sedang makan, itu merupakan cerminan dari orang yang sedang lapar atau; seperti orang yang sedang minum, itu merupakan cerminan dari seseorang yang sedang haus".

Sebenarnya, hal itu merupakan sebuah refleksi dari banyaknya kata-kata bijak yang tidak terlaksana, atau sama dengan sebuah ilmu yang tidak diamalkan. Memang tidak semua ilmu menuntut pengamalan, jika ilmu itu jauh dari jangkauan akal manusia seperti ilmu yang menyangkut eksistensi ketuhanan. Ilmu yang hanya menuntut untuk diketahui saja, dan tidak ada unsur pengamalannya. Mengamalkan dalam artian melakukan sesuatu dalam bentuk pekerjaan, bukan dalam bentuk meyakini.

Ruang pembicaraan ini sebaiknya memang bukan masalah teologi (tauhid), tapi mungkin yang lebih bersifat teknis seperti syariat dan tasawwuf. Sebab, konsekuensi masalah tauhid itu adalah "keluar atau tidak keluar dari kepercayaannya" sedang konsekuensi masalah syariat itu adalah "dosa atau tidak dosa" dan konsekuensi masalah tasawwuf itu adalah "baik dan tidak baik".

Syariat memang identik dengan perbuatan dhahiriah. Selain pencitraan, orang yang secara dhahir perilakunya baik, dapat dipastikan isi hatinya baik. Namun, belum tentu orang yang kata-katanya baik mempunyai sifat yang baik pula. Karena dalam kondisi tertentu kata-kata dijadikan sebagai alat kamuflase untuk mengelabui orang lain.

Memperbaiki diri dengan cara menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan itu penting diupayakan. Karena demikian itu menjadi cara untuk menjadi lebih baik. Jangan sampai kita selalu berbicara atas nama agama, tiba-tiba terbukti korupsi atau terlibat menggunakan obat-obatan terlarang.

Untuk masalah yang bersifat filosofis yang seringkali saya bicarakan, tidak berarti saya seorang filsuf. Atas dasar ketidakselarasan itu, "Saya mohon maaf!"

Wallahu a'lam!

Sampang, 29 Mei 2017

Minggu, 27 Mei 2018

Keanekaragaman adalah Rahmat bukan Kutukan

Keanekaragaman adalah Rahmat bukan Kutukan

Segala sesuatu di muka bumi ini, Allah ciptakan berbeda termasuk dengan karakter masing-masing. Jangankan berbeda jenis, yang sama jenis saja dengan bentuk yang berbeda, akan melahirkan karakter yang berbeda. Bisa dilihat, bagaimana logam (baca: besi) bisa menimbulkan bunyi yang beraneka ragam, bergantung bentuk dan di mana logam itu ditempa.

Taruh saja gamelan jawa, mulai dari gong, bonang, demung, saron, peking, kenung, gender, gambang dan lain-lain. Semua itu terbuat dari besi. Namun, karena bentuknya berbeda, maka ia melahirkan karakter suara yang berbeda pula. Bagaimana kalau besi dibandingkan dengan emas yang sama-sama logam? Ah, itu lain cerita.

Sejenis saja bisa bermacam karakter muncul, apalagi beda jenis. Bandingkan saja karakter bunyi alat musik yang terbuat dari pohon bambu (seruling) dengan alat musik yang terbuat dari logam tadi; atau bandingkan karakter bunyi keduanya dengan alat musik yang terbuat dari kulit lembu (gendang). Belum lagi, kalau kita mau bandingkan alat musik dengan binatang; binatang sesama binatang; gunung dengan pepohonan; atau manusia dengan air. Kita akan menemukan perbedaan karakter yang sangat jauh.

Bahkan manusia dengan manusia sekalipun, tidak ada yang mempunyai karakter yang sama. Termasuk yang keluar dari satu rahim, diasuh oleh orang tua yang sama, dan dibesarkan dalam lingkungan yang sama pula. Apalagi mau dibandingkan dengan keluarga yang lain dengan latar belakang yang berbeda. Misalnya, seorang anak yang lahir lingkungan perkotaan dengan anak yang lahir di pedalaman. Perkotaan dengan tingkat peradaban yang tinggi akan melahirkan anak dengan pemikiran lebih terbuka. Sedang anak yang lahir di pedalaman akan cenderung tertutup, karena keterbatasan banyak hal, termasuk akses pendidikan.

Betul sekali, bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi terhadap karakter seseorang. Seperti yang disampaikan oleh seorang tokoh aliran Empirisme, John Lock-filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Aliran Empirisme berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya.

Terlepas perdebatan antara aliran Empirisme dan Aliran Nativisme yang manyatakan bahwa perkembangan karakter manusia itu dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan. William Stem, seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939, menyampaikan penemuannya yang disebut dengan teori Konvergensi. Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti penyatuan hasil atau kerja sama untuk mencapai suatu hasil.

Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan, dan kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang permainan. Dalam ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam arti yang sangat luas.

Atas dasar itu, yang paling penting adalah kesadaran memahami makhluk lain dari ciptaan Tuhan termasuk kita sesama manusia. Perbedaan pemikiran yang terjadi di antara kita tidak lepas dari latar belakang lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing, dan itu merupakan sebuah keniscayaan. Kalau hal itu harus dipaksakan sama, rasanya tidak mungkin, karena dia hidup di mana dan kamu di mana. Memaksa harus sama, sama halnya memindahkan ikan air asin ke air tawar, pasti tidak akan hidup.

Sengaja Tuhan menciptakan perbedaan karakter untuk saling melengkapi, bukan saling menjauhi satu sama lain. Menyadari adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lain, adalah hal yang harus dipelajari; dan bagaimana harus mampu menerimanya. Bukan menolaknya.

Wallahu a'lam!
Sampang, 28 Mei 2017

Gerakan Masyarakat Perangi Politik Uang

Gerakan Masyarakat Perangi Politik Uang

Saya setuju kalau masing-masing calon—melalui timnya—dalam kontestasi Pilkada Pamekasan ini sama-sama meneriakkan katakan "tidak" pada politik uang. Setidaknya, dengan begitu kita melihat sebuah kewarasan yang diperlihatkan oleh masyarakat (baca: tim). Terlepas dari persoalan siapa yang memulai dan mengajak akan hal itu, mau tim atau masyarakat umum, pokoknya hal itu waras. Bagi gue itu penting binggow sebagai sebuah cara memutus mata rantai korupsi.

Kalau mau ditelusuri jejaknya, "Memangnya maling ada jejaknya!" memang ada hubungan kausalitas antara money politik dengan korupsi. Sebab akhirnya, berapa banyak jumlah materi yang keluar waktu kampanye harus berbanding lurus dan bahkan berbanding lebih dengan jumlah materi yang harus masuk kantong setelah terpilih. Maka saya sepakat jika ada ajakan, "ambil uangnya dan pilih orangnya". Ups, maksudnya jangan pilih orangnya.

Dari itu, kewarasan semacam ini harusnya diapresiasi. Jika ada sepasang calon yang bertekad dan beritikad untuk memerangi korupsi, harusnya langkah yang waras bagi kita adalah menghindari nada-nada nyinyir agar tidak terbangun sebuah asumsi kelaziman pada politik uang. Meski tidak menutup kemungkinan yang terpilih tanpa modal sekalipun akan jual beli jabatan di birokrasi. Hal semacam itu bergantung integritas seseorang, bukan pengalaman kerja. Manusia kalau sudah sampai, cenderung lupa pada yang mengantarkan.

Korupsi itu penyakit yang menjangkiti hampir setiap lini masyarakat. Maka dari itu korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa yang membahayakan terhadap masa depan anak bangsa. Kenapa demikian? Karena korupsi menghilangkan kesempatan bagi orang lain untuk hidup lebih baik, yang seharusnya masyarakat mampu menyekolahkan anaknya menjadi tidak mampu. Belum lagi misalnya tidak ada kebijakan subsidi dari pemerintah seperti beasiswa bagi masyarakat kecil, dari itu ketimpangan sosial akan terlampau jauh. Kata, Bang Roma, "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin".

Korupsi juga bukan satu-satunya disebabkan oleh politik uang. Gaya hidup yang kurang baik juga bisa melahirkan korupsi bagi seorang pejabat. Gaya hidup seperti menumpuk harta kekayaan atau menumpuk benda-benda istimewa lainnya. Yang termasuk dalam golongan istimewa dalam pada ini adalah harta, tahta, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Ingat, diulang dua kali agar lebih mantap. Dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Kalau boleh meniru perkataan mantan Presiden kita bapak Sby, "saya prihatin" melihat kondisi ini. Dimana kebenaran memperjuangkan kebaikan dianggap sebagai bahan candaan. Melihat cita-cita besar aksi tanggap darurat korupsi ini saya jadi optimis bahwa keadaan akan lebih baik. Insyaallah, maalyakin. Tentu, harus didukung bersama oleh segenap elemen masyarakat, tidak membangun jarak antara pejabat dan masyarakat, dengan bahasa lain harus mampu adaptasi dan berbaur. Buang rasa gengsi di antara kita.

Harapan saya, semoga ke depan kita terhindar dari godaan politik uang yang terkutuk. Ibarat permainan catur, salah satu langkah akan melahirkan kesalahan pada langkah-langkah berikutnya. Salah memberikan suara, maka kerugian pada lima tahun ke depan sudah mengintip di balik tirai jendela. Anda mau tirai satu atau tirai dua? Silahkan pilih dan jangan sampai memilih 'zonk' agar tidak menyesal kemudian.

Kita adalah sahabat apapun pilihannya, jangan lupa untuk senantiasa berbaur.

Pamekasan, 25 Mei 2018

Senin, 21 Mei 2018

Irwan di Antara Para Pembunuhnya

Irwan di Antara Para Pembunuhnya

Bagi para penggemar Irwan, jangan bunuh karakternya dengan cara terlalu mengagungkannya. Kalian telah memberi beban moral yang berat di pundaknya dengan cara seperti itu. Saat ini dia masih dalam tahap perjuangan antara berhasil dan tidak berhasil, kalau dia tidak berhasil dia akan kembali pada sediakala --profesi semula sebagai apapun-- meski tidak dalam waktu dekat.

Sepertinya banyak penggemar Irwan menuntutnya untuk menjauh dari kehidupan biasanya termasuk gaya hidupnya yang dulu. Inilah yang akan menjadi bumerang bagi dirinya. Siapa pun support dia sampai puncak tertinggi, tapi dengan cara yang positif dan tetap ada yang mengingatkan tentang latar belakang kehidupan Irwan agar Irwan tidak tergiring oleh keadaan yang membawa dia pada glamoritas artis ibu kota kekinian.

Pada saat dia sudah merasa menjadi orang penting dan masyarakat sudah mulai jenuh dengan dia yang membuatnya mulai ditinggalkan, kita bisa bayangkan bagaimana dia mau menghadapi kehidupan ini. Gaya hidupnya sudah dia ubah dan materi semakin menipis, sisi lain tertuntut mempertahankan prestisenya. Pertanyaannya, apakah anda tidak kasihan kepadanya?

Saya himbau, jangan bunuh dia secara perlahan, selain kondisi tenar yang dia nikmati dia harus diingatkan pula bagaimana dia tetap mampu membawa dirinya agar tidak jumawa dalam kondisi itu, saya melihatnya masih polos yang cenderung bisa dibawa kemana saja termasuk kepentingan kelompok yang mulai mendekatinya.

Kalau di antara pembaca ada keluarga dia, ingatkanlah.

Intermizo dengan segelas kopi.
Pamekasan, 11 Mei 2015

20 Mei 2015 Sebagai Gerakan Sporadis Mahasiswa

20 Mei 2015 Sebagai Gerakan Sporadis Mahasiswa

Selama ini mahasiswa bergerak di atas pemikiran–kesejahteraan rakyat—yang sama dan merespon setiap kebijakan pemerintah dengan cara yang sama pula, baik itu gerakan persuasive atau gerakan turun jalan. Kali ini publik dikejutkan dengan tontonan yang kontras dalam gerakan mahasiswa, ketika melihat gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa itu tidak sama antara yang satu dengan lainnya yaitu berjalan sendiri-sendiri. Ada yang memilih makan malam bersama Bapak Presiden ada pula yang memilih mengepung istana. Hal ini akan dibaca sebagai sebuah bentuk kelemahan mahasiswa dalam mengawal kebijakan pemerintah.

Adanya beberapa gerakan yang dilakukan oleh bapak Presiden untuk menggembosi gerakan mahasiswa seperti melakukan pertemuan dengan aktivis lintas generasi, bukan sebuah bentuk kecerdasan bapak Presiden dalam merespon gerakan yang akan dilakukan oleh mahasiswa, tetapi ini merupakan bentuk kebodohan dari mahasiswa. Presiden telah menyelamatkan diri dengan cara membaca kebutuhan mahasiswa disebabkan kecenderungan pragmatisme yang terjadi di kalangan mahasiswa.

Adanya beberapa mahasiswa yang mendekat kepada kekuasaan dengan tujuan keuntungan pribadi mampu ditangkap dengan baik oleh presiden.
Atas nama ketidakkompakan yang terjadi pada gerakan mahasiswa mengakibatkan antara yang satu dengan yang lain saling menggiring opini pembenaran terhadap langkah yang dilakukan. Seperti yang terjadi antara Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Bung Karno dengan BEM se-UI.

Statement pembenaran yang disampaikan oleh koordinator  BEM se-UI kenapa mereka menerima untuk makan malam bersama presiden, ”Bagi saya, aksi dan perlawanan itu tidak boleh dibatasi hanya dengan turun ke jalan. Hadirnya saya ke forum dengan presiden juga saya niatkan sebagai bagian dari aksi dan advokasi mahasiswa untuk menyampaikan langsung apa yang menjadi keresahan masyarakat. Saya pastikan bahwa apa yang saya lakukan adalah tetap dalam koridor gerakan moral dan intelektual. Ini hanya masalah pilihan gerakan (choice of movement) apa yang mau kita gunakan. Bertemu langsung kah? Atau terus menerus berada di jalanan?”.

Ada pernyataan lain yang disampaikan oleh Koordinator BEM se-UI yaitu “Besok, Kamis, 21 Mei 2015 (hari ini-ed), Pukul 10.00 BEM UI akan bergabung dengan ribuan massa mahasiswa di depan Istana Negara. Saya sudah mendapatkan konfirmasi dari Kordinator Pusat BEM SI akan hadirnya ribuan massa di depan Istana esok. Saya undang seluruh rakyat yang masih peduli akan hadirnya kesejahteraan yang lebih baik, untuk hadir bersama kami mahasiswa.” Inilah bagian tidak cerdas dari BEM UI, pada moment yang sama dia mengambil dua sikap dan pernyataan yang tidak konsisten.

Ada dua pernyataan yang bertentangan sebenarnya apa yang disampaikan BEM UI itu, yang pertama menyampaikan bahwa mereka menggunakan pendekatan yang berbeda karena substansinya adalah gerakan perjuangan, tapi sisi lain masih menyampaikan mau turun bersama tanggal 21 mei 2015. Pertanyaannya buat apa mereka turun kalau sudah bertemu dengan pemilik kebijakan, bukankah aspirasi mereka sudah disampaikan.

Belum lagi hujatan yang dilayangkan oleh Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Universitas Bung Karno (UBK), mereka mengecam kehadiran para mahasiswa yang diundang Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu tersebut, mereka menuding bahwa apa yang dilakukan oleh BEM UI sebagai “pelacur Intelektual”. Beberapa mahasiswa yang mengambil sikap turun jalan adalah Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Universitas Bung Karno dan banyak dari elemen mahasiswa lainnya.

Adanya keberagaman gerakan di antara mahasiswa ini sah-sah saja, yang terpenting dalam gerakan yang diambil mempunyai orientasi yang jelas dan tidak tendensius. Meski sebenarnya gerakan sporadis yang terjadi ini akan membangun kesan bahwa nilai tawar dan sakralitas gerakan yang selama ini ditakuti oleh penguasa sudah tidak ada lagi.

Evaluasi gerakan harus tetap dilakukan oleh para mahasiswa selama Negari ini ada. Baik gerakan pemikiran atau pun gerakan jalanan. Perubahan yang lebih baik masih menjadi cita-cita bangsa Indonesia, mahasiswa harus hati-hati mengambil sikap karena kelak beban bangsa ini ada di pundak kita sekalian. Kepentingan pribadi harus dikesampingkan dan lebih mengedepankan kepentingan rakyat. Selama ini kekuatan mahasiswa sudah mampu menumbangkan rezim, jangan lupa itu.

Pamekasan, 22 Mei 2015

Minggu, 13 Mei 2018

Ketika Sang Wali Butuh Pendapat (?)

Ketika Sang Wali Butuh Pendapat (?)

Seorang wali yang mendapat bocoran tentang musibah yang akan terjadi-di sebuah desa-sedang bingung. Sebagai seorang wali, ia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menyelamatkan penduduk desa dari musibah itu. Untuk menyelamatkan penduduk desa, seperti tidak ada cara lain selain dengan cara mengevakuasi penduduk desa itu ke tempat yang aman. Namun yang menjadi persoalan adalah cara bagaimana meyakinkan penduduk desa bahwa di desa itu akan terjadi musibah. Namanya penduduk desa, aneka macam karakter yang ada sulit untuk diajak kerja sama, apa lagi perihal sesuatu yang belum jelas.

Namanya penduduk desa, tidak hanya satu atau dua orang saja, tapi ratusan atau bahkan ribuan. Bisa kita bayangkan dalam kondisi itu. Jika ada orang menyampaikan suatu hal yang besar dan tidak betul-betul terjadi, kira-kira apa yang akan dilakukan kepada orang itu selain dicincang habis-habisan. Dengan jumlah penduduk yang banyak itu harus dievakuasi, maka sulit sekali untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Di sisi yang berbeda, Sang Wali juga harus menyembunyikan identitas diri tentang kewaliannya. Sebagai seorang wali yang menyembunyikan statusnya, otomatis orang hanya melihat profesi yang digeluti selama ini, bukan sebagai seorang wali. Pekerjaan sebagai petani, yang menurut sebagian orang sebagai pekerjaan kelas dua atau dalam kacamata sosial identik dengan pekerjaan masyarakat menengah ke bawah semakin mengurangi kepercayaan masyarakat atas apa yang akan disampaikan.

Memberikan pemahaman dan meyakinkan penduduk tentang hal itu rasanya sulit, karena selain status sebagai seorang wali yang dirahasiakan, beliau adalah seorang petani. Mana bisa seorang petani tiba-tiba berfatwa bahwa di desa itu akan terjadi musibah, kecuali dia akan menjadi bulan-bulanan masyarakat desa karena dianggap tidak waras. Tidak, rasanya itu bukanlah jalan yang baik. Harus berpikir ekstra keras dengan langkah-langkah yang cerdas.

Sang Wali pun bingung. Ia harus berpikir keras untuk memecahkan masalah itu; dan harus pandai memanfaatkan satu jatah doa yang akan dikabulkan oleh Tuhan dalam masalah itu. Kira-kira doa apa yang akan dipanjatkan untuk menyelamatkan penduduk desa. Apakah akan berdoa agar musibah itu digagalkan. Tidak, rasanya itu tidak mungkin, karena persoalan itu merupakan hak prerogatif Tuhan, manusia hanya punya upaya dan ihtiar untuk menghindari itu.

Atau, berdoa memohon uang sebanyak-banyaknya untuk membuat rumah di tempat yang berbeda. Kemudian penduduk dievakuasi ke tempat itu. Tapi ini mencurigakan sekali. Bagaimana mungkin seorang petani mempunyai banyak uang untuk membeli tanah dan membuat rumah untuk penduduk desa. Sungguh di luar nalar akal sehat. Sang Wali, semakin bingung tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan penduduk desa, dengan satu jatah doa itu.

***
Seandainya, Anda adalah Wali itu. Apa yang akan anda lakukan untuk menyelamatkan penduduk desa? Sedangkan anda tidak boleh membocorkan rahasia tentang kewalian anda yang memungkinkan orang percaya terhadap apa yang anda sampaikan, termasuk tentang musibah yang akan terjadi, dengan tujuan agar masyarakat perpindah dengan sukarela.

Berikutnya, bila Tuhan berkenan memberikan satu permintaan yang akan dikabulkan olehNya. Kira-kira, doa apa yang akan dipanjatkan untuk menyelamatkan penduduk desa itu, selain gagalnya musibah di desa itu.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 13 Mei 2017

Sabtu, 12 Mei 2018

Pergeseran Paradigma Perguruan Tinggi

Pergeseran Paradigma Perguruan Tinggi 
Perguruan tinggi merupakan salah satu subsistem pendidikan nasional. Keberadaannya dalam kehidupan bangsa dan negara berperan penting melalui penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 20 Ayat 2).

Dasar itulah yang mengantarkan perguruan tinggi pada puncak paling tinggi dalam kontribusinya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kontribusi itu sudah digambarkan dalam kehidupan sehari-hari dari segala bidang kehidupan yang hampir semua elemen masyarakat dimotori oleh mahasiswa–mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan di pergruan tinggi—baik bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum, pemerintahan, sosial dan budaya, serta pemberdayaan dan lain-lain. Prestasi perguruan tinggi yang ikut andil dalam pencerdasan bangsa ini secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan kehidupan bangsa.

Tetapi naif sekali ketika perguruan tinggi yang dipercaya sebagai pencerah bagi bangsa melakukan praktik-praktik yang keluar dari fungsinya dan mengabaikan nilai Tri Dharma Perguruan tinggi. Seperti yang banyak terjadi belakangan ini, yang semestinya perguruan tinggi memberikan motivasi secara maksimal kepada mahasiswa dalam melakukan penelitian dengan segala bentuk bimbingannya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, karena beberapa oknum perguruan tinggi malah memanfaatkan hal itu sebagai perluasan penghasilan dengan cara mengambil alih tugas akhir (skripsi) mahasiswa untuk mendapat penghasilan lebih.

Pembodohan terhadap mahasiswa itu sesungguhnya telah menciderai Tri Dharma perguruan tinggi, yang seyogyanya dalam proses pendidikannya melakukan penelitian sebagai bekal pengalaman hidupnya, ternyata hal itu tidak terjadi. Hal ini akan menggeser posisi mahasiswa sebagai orang yang dianggap paling mampu memberikan penyelesaian terhadap segala bentuk fenomena dan problematika sosial.

Point penting dalam Tri Dharma perguruan tinggi seperti penelitian sebagai pengembangan keilmuan bagi mahasiswa sudah dipotong prosesnya oleh pihak perguruan tinggi yang tidak bertanggungjawab. Hal inilah yang mengakibatkan degradasi pemikiran dan keilmuan di kalangan mahasiswa, yang akhirnya mengakibatkan menurunnya militansi dan keterpurukan hidup. Paling ironis bagi sebagian mahasiswa yang selama ini getol melakukan pembelaan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat akar rumput dengan cara melakukan penekanan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, kini mereka tidak mampu membela teman sekampusnya dari pembodohan terstruktur.

Bagi para mahasiswa yang selama ini melabelkan dirinya sebagai aktivis lihatlah hal ini sebagai bentuk kejahatan yang harus dicarikan solusi. Harus ada langkah-langkah kongkrit yang dilakukan oleh para pemikir ini, karena saat ini perguruan tinggi sudah tidak mampu memberikan pendidikan bagi mahasiswa untuk meneliti dan menulis. Mata kuliah penulisan karya ilmah di perguruan tinggi yang tidak produktif itu hasrus disikapi oleh segenap mahasiswa dengan cara sesering mungkin melakukan kajian-kajian yang bisa memberikan jawaban terhadap kegelisahan mahasiswa lainnya dalam hal penulisan karya ilmiah yang dimaksud.

Hentikan kejahatan struktural dan jual beli tugas akhir (skripsi) bagi mahasiswa. Hentikan segala bentuk pembodohan bagi mereka sebagai generasi penerus bangsa.

Mari, berpikir sambil menikmati secangkir kopi dengan sebatang rokok.

Pamekasan, 13 Mei 2015

Kamis, 10 Mei 2018

Lantas, Siapa Yang Benar?

Lantas, Siapa Yang Benar?

Saat ini umat Islam dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang sangat meresahkan. Munculnya banyak organisasi keislaman yang mempunyai pendekatan yang berbeda dalam menyikapi persoalan sosial, politik, hukum di Indonesia telah membuat umat Islam bingung. Konstruksi berpikir para cendekiawan yang disandarkan pada nilai-nilai agama justru menjadi penyebabnya. Taruh saja, bagaimana dari kalangan umat Islam memberikan penilaian terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Bapak Basuki Tjahya Purnomo (Ahok) ketika melakukan penggusuran terhadap rumah warga yang tinggal di atas lahan milik pemerintah. Di antara mereka ada yang membenarkan ada pula yang menyalahkan.

Parahnya lagi, tidak hanya persoalan kebijakan yang menjadi sorotan, agama sang gubernur juga menjadi sorotan. Sehingga muncul sebagian kalangan orang-orang yang mengatasnamakan agama, larangan-larangan untuk memilih gubernur dari nonmuslim; meski di sisi lain banyak juga organisasi kemasyarakatan--termasuk orang di dalamnya--membolehkan nonmuslim sebagai gubernur, dan hal itu juga atas nama agama.

Belum lagi, fenomena adanya organisasi yang mengatasnamakan Islam mendeklarasikan penerapan hukum Islam di Indonesia. Tidak ayal, hal ini menuai kontroversi dan bahkan kecaman dari organisasi keislaman lainnya, dengan alasan NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dan tidak perlu diotak-atik kembali. Argumentasi-argumentasi pembenaran bertebaran di mana-mana, baik melalui selebaran atau media sosial. Semuanya saling menguatkan ideologi yang mengusung nilai yang dianggap sebagai kebenaran dimaksud. Para tokoh baru bermunculan dengan hujjah-hujjah pembenaran terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan, sekaligus sebagai pembendung serangan pihak lain yang tidak sejalan dengan pemikirannya.

Selain itu, muncul lagi sebuah aliran (faham) yang dengan sengaja mengganggu konsentrasi kelompok lain dalam ibadah. Ibadah dengan nilai-nilai tradisi di dalamnya diserang tanpa ampun. Baik dengan menyebut kelompok itu syirik, kafir, dan penganut bid'ah. Bagaimana mungkin akan tercipta kenyamanan dalam beribadah apabila sesama umat Islam saling menyalahkan dan menjatuhkan antara yang satu dengan lainnya. Dan kelompok yang disudutkan juga tidak tinggal diam, sehingga perang ayat dan haditspun tidak bisa dihindarkan terjadi di mana-mana, baik melalui selebaran, media sosial dan majelis-majelis.

Sampai saat ini umat islam masih sibuk dengan persoalan perbedaan di dalam agama itu sendiri. Sehingga konsentrasi umat Islam banyak tersita merampungkan argumentasi-argumentasi untuk menghantam saudaranya sendiri. Sisi lain, orang di luar kita sudah berpikir bagaimana mampu meningkatkan taraf hidup dengan banyak melakukan penelitian dan penemuan. Sehingga, untuk saat ini dominasi pengetahuan di bidang teknologi dikendalikan oleh orang-orang di luar Islam. Sedang argumentasi-argumentasi umat islam belum rampung. Jika demikian adanya, akhirnya kita menjadi bagian orang yang menurunkan harkat dan martabat Islam itu sendiri dengan mengatasnamakan Islam. Umat Islam hari ini masih sibuk berdebat tentang nilai-nilai keagamaan dalam Islam yang sesungguhnya sudah finish, padahal hari ini tinggal bagaimana kita mengimplementasikannya.

Coba sebentar saja kita melihat sejarah bagaimana rekam jejak ulama terdahulu menjaga wibawa agama Islam. Agar umat Islam tidak dinyatakan sebagai umat yang tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, para ulama terdahulu mampu menyaingi para ilmuwan, termasuk ilmuwan Eropa sekalipun. Seperti Al-Khawarizmi yang hidup (780-850 M.) telah berkontribusi dalam bidang astronomi; Ibnu Haitham yang menggeluti ilmu sains dan optik; Ar-Razi (864-930 M.) yang ahli di bidang kedokteran selain itu juga menekuni bidang yang lain seperti kimia, filsafat, logika dan fisika; Ibnu Sina ahli di bidang filsafat dan kedokteran; Al-Fàràbi ahli terapi musik dan ahli hukum; Al-Khazini merupakan ilmuwan Astronomi yang mencetuskan beragam teori penting dalam sains seperti: metode ilmiah eksperimental dalam mekanik, energi potensial gravitasi, perbedaan daya, masa dan berat, teori keseimbangan hedrostatis; Al-Kindi yang ahli di bidang kedokteran, filsafat, dan terapi musik; Al-Biruni adalah seorang Fisikawan dan teori gravitasi bumi; Ibnu Khaldun adalah seorang yang ahli dalam bidang sosiologi dan Ekonomi; Al-Zahrawi ahli bedah dan kedokteran; Jabir Ibnu Hayyan adalah seorang yang ahli di bidang kimia; dan kita masih belum selesai berbicara tentang furuiyah dan khilafiyah.

Untuk saat ini dibutuhkan para pembaharu pemikir Islam yang tidak terkontaminasi oleh gesekan antar golongan yang menghambat terhadap Ide-ide cerdas. Sehingga lahir generasi brilian yang mampu mengembalikan masa kejayaan Islam di masa depan, tidak hanya yang bersifat keagamaan tetapi juga yang mampu bersaing di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Entah, kapan hal itu akan menjadi kenyataan, tapi ini adalah harapan.

Wallahu a'lam.

Pamekasan, 11 Mei 2016