Minggu, 27 Mei 2018

Keanekaragaman adalah Rahmat bukan Kutukan

Keanekaragaman adalah Rahmat bukan Kutukan

Segala sesuatu di muka bumi ini, Allah ciptakan berbeda termasuk dengan karakter masing-masing. Jangankan berbeda jenis, yang sama jenis saja dengan bentuk yang berbeda, akan melahirkan karakter yang berbeda. Bisa dilihat, bagaimana logam (baca: besi) bisa menimbulkan bunyi yang beraneka ragam, bergantung bentuk dan di mana logam itu ditempa.

Taruh saja gamelan jawa, mulai dari gong, bonang, demung, saron, peking, kenung, gender, gambang dan lain-lain. Semua itu terbuat dari besi. Namun, karena bentuknya berbeda, maka ia melahirkan karakter suara yang berbeda pula. Bagaimana kalau besi dibandingkan dengan emas yang sama-sama logam? Ah, itu lain cerita.

Sejenis saja bisa bermacam karakter muncul, apalagi beda jenis. Bandingkan saja karakter bunyi alat musik yang terbuat dari pohon bambu (seruling) dengan alat musik yang terbuat dari logam tadi; atau bandingkan karakter bunyi keduanya dengan alat musik yang terbuat dari kulit lembu (gendang). Belum lagi, kalau kita mau bandingkan alat musik dengan binatang; binatang sesama binatang; gunung dengan pepohonan; atau manusia dengan air. Kita akan menemukan perbedaan karakter yang sangat jauh.

Bahkan manusia dengan manusia sekalipun, tidak ada yang mempunyai karakter yang sama. Termasuk yang keluar dari satu rahim, diasuh oleh orang tua yang sama, dan dibesarkan dalam lingkungan yang sama pula. Apalagi mau dibandingkan dengan keluarga yang lain dengan latar belakang yang berbeda. Misalnya, seorang anak yang lahir lingkungan perkotaan dengan anak yang lahir di pedalaman. Perkotaan dengan tingkat peradaban yang tinggi akan melahirkan anak dengan pemikiran lebih terbuka. Sedang anak yang lahir di pedalaman akan cenderung tertutup, karena keterbatasan banyak hal, termasuk akses pendidikan.

Betul sekali, bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi terhadap karakter seseorang. Seperti yang disampaikan oleh seorang tokoh aliran Empirisme, John Lock-filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Aliran Empirisme berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya.

Terlepas perdebatan antara aliran Empirisme dan Aliran Nativisme yang manyatakan bahwa perkembangan karakter manusia itu dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan. William Stem, seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939, menyampaikan penemuannya yang disebut dengan teori Konvergensi. Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti penyatuan hasil atau kerja sama untuk mencapai suatu hasil.

Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan, dan kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang permainan. Dalam ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam arti yang sangat luas.

Atas dasar itu, yang paling penting adalah kesadaran memahami makhluk lain dari ciptaan Tuhan termasuk kita sesama manusia. Perbedaan pemikiran yang terjadi di antara kita tidak lepas dari latar belakang lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing, dan itu merupakan sebuah keniscayaan. Kalau hal itu harus dipaksakan sama, rasanya tidak mungkin, karena dia hidup di mana dan kamu di mana. Memaksa harus sama, sama halnya memindahkan ikan air asin ke air tawar, pasti tidak akan hidup.

Sengaja Tuhan menciptakan perbedaan karakter untuk saling melengkapi, bukan saling menjauhi satu sama lain. Menyadari adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lain, adalah hal yang harus dipelajari; dan bagaimana harus mampu menerimanya. Bukan menolaknya.

Wallahu a'lam!
Sampang, 28 Mei 2017

0 komentar:

Posting Komentar