This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 27 Februari 2018

Mengukur Keimanan Dengan Teks Al-Qur’an

Mengukur Keimanan Dengan Teks Al-Qur’an

Sudah diketahui bersama bahwa rukun iman kita sebagai umat Islam ada enam. Dalam salah satu rukun iman yaitu rukun iman ketiga kita harus iman kepada kitab-kitab Allah. Secara terminologi, iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang. Artinya, dalam hal ini kita tidak hanya dituntut iman terhadap adanya kitab-kitab Allah yang dimaksud, tetapi juga harus percaya terhadap kandungan isi dari kitab-kitab itu sendiri yang sudah dirampungkan dalam al-qur’an, dan mengamalkannya.

Mengamalkan isi kandungan al-qur’an menjadi indikator seberapa jauh tingkat keimanan yang ada dalam diri seseorang kepada Allah, karena al-qur’an itu sendiri merupakan sekumpulan kalam Allah yang mengandung kebenaran, dan tidak satu teks pun yang mangandung kebohongan. Tetapi dalam hal tertentu, kita sebagai umat islam masih tidak cukup percaya untuk melaksanakan himbauan-himbauan teks al-qur’an yang sudah kita percaya sebagai lambang kebenaran itu. Seperti seumpamanya ayat-ayat seperti berikut ini “siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:245).

Teks berikutnya adalah “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang  menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunianya) lagi maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:261).

Ayat-ayat tersebut berisi himbaun yang sekaligus motivasi untuk berbuat baik dengan cara memberikan sebagian hartanya di jalan Allah, dan Allah siap mengganti harta yang dikeluarkan itu beberapa kali lipat. Bukankah yang menyampaikan itu Allah sendiri dalam firmannya yang kita percaya sebagai lambang kebenaran, tetapi sejauh mana kita menerima teks itu sebagai lambang kebenaran.

Sangat ironis ketika kita bandingkan antara himbauan Allah itu dengan situasi dan kondisi sosial saat ini. Karena masih terlihat banyak sekali orang yang membiarkan orang-orang di sekitarnya dalam keadaan kelaparab: itu artinya, bahwa kita tidak sungguh-sungguh yakin terhadap teks al-qur’an itu, andai kita betul-betul meyakini terhadap teks al-qur’an, niscaya kita akan berebut untuk bisa menyisihkan sebagian hartanya bagi orang lain, dengan harapan Allah akan menggantinya, karena Allah sendiri yang telah menggaransi hal itu.

Memahami garansi dari Allah itu secara sungguh-sungguh akan meningkatkan kadar keimanan seseorang. Secara otomatis kegiatan keagamaan yang dilakukan akan membuat para penganutnya semakin kuat seiring perjalanan waktu. Meski semula berangkat dari keinginan mengharapkan sesuatu di dunia, seiring pembuktian secara ilahiah yang bersangkutan akan menambah kadar keimanannya sedikit demi sedikit, disebabkan lambat laun Allah mulai membuktikan apa yang disampaikan melalui kitab suciNya al-qur’an.

Tentu, hal itu tidak berlangsung secara simultan karena bagaimanpun Allah memperhatikan proses dan keyakinan kita sebagai penganutNya.

Dua teks itu hanya sebagai alat ukur, bahwa kebanyakan dari kita sebagai penganut suatu agama dengan ketentuan yang sudah jelas, tidak mempercayai kandungan teks wahyu secara komprehensif.

Wallahu a'lam.

Pamekasan, 28 Pebruari 2015

Senin, 26 Februari 2018

Karena Sesungguhnya Berpolitik itu Pengabdian

Karena Sesungguhnya Berpolitik itu Pengabdian

Politik seringkali disanding dengan kata percaturan, yang kemudian sering diungkapkan dengan istilah 'percaturan politik'. Apa itu sebanarnya politik? Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) politik diartikan (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Sedangkan menurut Ramlan Surbakti (1999:1) Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Untuk menjadi bagian penentu kebijakan dalam sebuah pemerintahan, dibutuhkan amanah dari masyarakat. Amanah yang dimaksud adalah pendelegasian dari masyarakat tertentu melalui mesin politik yang sudah diatur melalui sebuah peraturan, seperti partai atau cara yang lain (independen). Sebab, tidak mungkin seluruh masyarakat yang ada pada wilayah tertentu bisa menjadi bagian dari penentu kebijakan atau; tidak mungkin seluruh rakyat Indonesia menjadi penentu dari sebuah kebijakan pemerintah pusat. Maka melalui perwakilan itu masyarakat menjadi bagian dari sebuah kebijakan.

Di dalam permainan catur, dibutuhkan strategi, kombinasi, dan analisa kalkulasi. Pun dalam politik dibutuhkan hal yang sama, untuk merebut amanah dan kepercayaan masyarakat. Segala cara dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan, mengatur barisan dan mengembangkan bidak dan perwira, menyerang dan bertahan untuk menyudutkan lawan politiknya.

Dalam konteks Pilkada kabupaten Pamekasan. Para praktisi politik ini sudah mulai menyiapkan strategi dengan menyiapkan bidak-bidak dan perwiranya untuk mengunci lawannya. Mesin-mesin partai dan semua sayap partai digerakkan untuk mendapatkan simpatisan dengan segala janji-janjinya, yang akhirnya ingin menjadi bagian dari penentu kebijakan dalam sebuah pemerintahan, dengan bahasa yang berbeda 'kekuasaan'.

Amanah yang sedianya adalah sebuah pengabdian kepada masyarakat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat, menjadi berubah gunung emas yang diperebutkan mati-matian, dengan modal yang tidak sedikit. Setelah mendapatkan kepercayaan, pengabdian pun terlupakan karena yang tergambar di otaknya adalah cara bagaimana kembali modal.

Harusnya amanah dikonotasikan secara positif. Yaitu memanfaatkan kesempatan untuk mengabdi lebih baik dan lebih luas kepada masyarakat, bukan sebagai ajang merebut kekuasaan dan mempertahankan trah politik. Kalau bukan sekarang, kapan lagi kita mendapatkan pahala yang besar sembari menikmati kekuasaan.

Kepercayaan yang sangat sulit didapatkan itu-untuk ukuran saat ini-harusnya dijadikan pelajaran untuk bekerja lebih baik. Selain, bekerja dengan cara yang baik dan mengabdi dengan setulus-tulusnya adalah strategi paling ampuh untuk mempertahankan trah politik, dengan bahasa lain, untuk tetap mendapatkan amanah dari masyarakat. Masyarakat hari ini tidak terlalu bodoh untuk selalu diiming-imingi dengan materi menjelang pemilihan saja. Kerja dan pengabdian selalu diamati setiap saat oleh masyarakat kita.

Penguasa, penguasa berilah hambamu uang. Beri hamba uang!
Wallahu a'lam!

Pamekasan, 27 Pebruari 2017

Minggu, 25 Februari 2018

Redefinisi Makna Kemerdekaan

Redefinisi Makna Kemerdekaan

Berbicara kemerdekaan terbersit di otak kita kepada 70 tahun yang silam bagaimana sang Proklamator Ir. Soekarno Presiden pertama memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus tahun 1945. Proklamasi itu menjadi angin segar bagi seluruh tumpah darah bangsa Indonesia.

Bagaimana tidak, yang semula kita dijajah, ditindas, diperkosa hak-haknya, dimiskinkan, dikuruskan, dibunuh, disiksa, sejak saat itu sudah tidak ada lagi. Penjajah yang bertahan selama 350 tahun itu –terlepas dari persoalan pro dan kontra yang terjadi di masyarakat— sudah kembali kepada habitatnya di mana mereka dilahirkan. Ia, kita sudah merdeka, mari, berteriak dulu “merdeka!”.

Tetapi kemerdekaan itu tidak selesai sampai di sana, ketika seringkali kita disodorkan dengan beberapa pernyataan-pernyataan sebagian orang bahwa “kita ini dijajah oleh bangsa sendiri”. Penjajahan yang mana? Bukankah penjajah dari Negara Belanda itu sudah pulang kampung. Terus, kenapa bahasa seperti itu harus muncul. Maka dari itulah, penting sekali kita mendefinisikan kembali makna dan substansi dari kemerdekaan itu sendiri.
Sudah diketahui bersama secara etimologis ”kemerdekaan” itu berasal dari kata dasar “merdeka” yang berimbuhan ke dan an, dalam gramatika Indonesia imbuhan tersebut disebut dengan konfiks, yang berpengaruh terhadap keberadaan makna. Merdeka mepunyai arti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa (KBBI).

Sehingga kemerdekaan mempunyai arti keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya). Dalam hal ini, kita tidak cukup memahami kemerdekaan itu secara terminologi atau pun etimologi, tetapi juga harus memahami substansi dari kemerdekaan itu sendiri.

Sebenarnya substansi dari kemerdekaan itu adalah menciptakan bangsa yang lebih bermartabat, bangsa yang bebas dari segala bentuk penindasan, menjadi Negara yang berdaulat, dan bangsa yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

Kemerdekaan itu tidak hanya sebatas sebuah kebebasan kosong yang disebabkan penjajah bangsa ini sudah kembali ke habitatnya, tetapi kita sebagai bangsa harus mempunyai harga diri, dan hal itu harus diimbangi dengan tingkat ekonomi yang memadai, untuk saat ini kemerdekaan secara financial itu yang menopang terhadap harkat dan martabat sebagai bangsa, yang sekaligus dianggap sebagai merdeka.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah merdeka? Ah, entahlah. Harus ada semacam alat ukur untuk mengidentifikasi apakah kita sekarang dalam keadaan merdeka. Kadang timbul sebuah kegelisahan dalam benak tentang pertanyaan yang lain, apa maksud dari para leluhur itu menginginkan kemerdekaan negera ini, toh hasilnya tidak pernah dinikamati oleh bangsa ini. Ia, itu dibuktikan oleh beberapa orang yang meninggalkan negeri ini ke negeri yang lain dikarenakan bangsa ini tidak mampu memberikan penghidupan yang layak, seperti TKI atau TKW. Kalau akhirnya negeri ini tidak ditempati oleh bangsanya, terus guna kemerdekaan itu di mana. Belum lagi, ketika kita mengamati orang-orang yang sampai saat ini masih tinggal di kolong jembatan. Apakah ini yang dimaksud dengan kemerdekaan, dan kemerdekaan yang dicita-citatakan.

Tidak perlu ada pernyataan kemiskinan itu disebabkan oleh  mereka sendiri, karena sampai saat ini tidak satu orang pun yang bercita-cita menjadi orang miskin. Kita tahu bahwa tanah dan air termasuk isinya yang ada di seluruh negeri ini adalah milik kita, yang dipercayakan pengelolaannya pada beberapa orang tertentu agar terjadi pemerataan hasil pengelolaannya. Orang yang dipercaya itu kita sebut dengan pemerintah.

Akhirnya, kami titip kemerdekaan kami, semoga kau tak tuli.

Merdeka!

Pamekasan, 25 Pebruari 2015

Narkoba sebagai Strategi Perang Modern

Narkoba sebagai Strategi Perang Modern

Hanya berselang tiga hari penggagalan upaya penyelundupan sabu seberat 1,6 ton. Kini, 3 ton sabu kembali digagalkan di Selat Philips, sekitar Pulau Nipah, Jumat (23/2/2018) siang. Jumlah total dalam waktu yang sangat dekat sekali sabu yang hampir terselundupkan ke Indonesia mencapai 4,6 ton (4.600 kg).

Hanya berandai-andai saja. Seandainya, sabu seberat 4,6 ton itu berhasil diselundupkan ke Indonesia, kira-kira berapa banyak generasi bangsa Indonesia ini yang akan teler. Sementara, data Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait pengguna narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) di 2014 menyebutkan, 22 persen pengguna narkoba di Indonesia merupakan pelajar dan mahasiswa.

Pada tahun 2016, penelitian Puslitkes Universitas Indonesia (UI) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan (Hasil penelitian menyebutkan) pengguna narkoba pelajar dan mahasiswa mencapai 27,32 persen. Artinya dalam kurun waktu dua tahun ada peningkatan pengguna di tataran pelajar dan mahasiswa sebesar 5 persen. Dengan persentase ini, jika tidak segera diatasi persoalan narkoba ini, bisa kita bayangkan generasi bangsa masa depan seperti apa.

Apakah masyarakat kita tidak tahu dengan jenis dan bahaya narkoba? Tidak. Karena menurut, Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) Ali Djohardi menyebut 80 persen masyarakat Indonesia mengetahui jenis dan bahaya narkoba. Bisa dibayangkan, di antara pengetahuan masyarakat yang besar tentang narkoba, narkoba di Indonesia kian marak, bagaimana kalau seandainya masyarakat tidak tahu.

Nah, yang paling naif sekali adalah, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso mengatakan sebesar 50 persen dari seluruh praktik peredaran narkoba yang ada di Indonesia dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan. Kalau sebuah lembaga yang dipercaya sebagai alat negara untuk memperbaiki karakter manusia (menjadi lebih baik) saja justeru manjadi pusat pengendali pengedaran narkoba. Lalu, siapa yang yang akan menjawab kebingungan ini, kasih?

Deskripsi di atas menunjukkan keberhasilan yang dilakukan oleh BNN kita. Namun, melihat maraknya pemberitaan peredaran narkoba media kita, sangat mungkin bahwa ada banyak juga narkoba yang berhasil mampu diselundupkan di Indonesia. Tugas kita sebagai warga negara belum sepenuhnya selesai, antisipasi kemungkinan narkoba yang sudah di dalam Indonesia ini perlu dilakukan. Entah, bagaimana caranya, lakukan yang mampu kita bisa.

Lantas, kenapa juga menjadi bagian tugas kita? Iya, karena kita tidak hidup sendiri. Ada saudara kita, dan bahkan ada anak dan cucu kita. Jika hari ini kita kalah melawan narkoba, korbannya adalah orang-orang yang hidup setelah kita, dan; jika kita menang melawan narkoba, maka kemenangan itu adalah milik kita dan anak cucu kita. Jangan lupa, bahwa setiap negara adalah saingan bagi negara lainnya, termasuk Indonesia.

Hari ini strategi perang modern telah dilancarkan. Waspadalah, waspadalah!

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 24 Pebruari 2018

Kamis, 22 Februari 2018

Di Bawah Jendela Coklat

Di Bawah Jendela Coklat

Lagi-lagi,
aku ingin sekali bermesraan denganmu
sebelum rintik hujan ini reda
di bawah jendela coklat ini
menjadi satu tubuh dengan irama yang sama
geliat dan desah yang sama pula

Kekasihku,
bawalah anganku terbang pada sudut langit
supaya aku bisa menikmati setiap lekuk tubuhmu
jengkal demi jengkal kulitmu
dari ujung kaki sampai rambutmu

biarkan saja desah nafasmu dan nafasku
berlompatan pada dinding ruangan ini
menyerbu ruang senyap; dan
menjadi gaduh yang berkepanjangan

kau sudah semakin lihai kekasihku
meliuk-liuk seperti ular
di bawah lampu temaram
berakrobat seperti sirkus di tengah pasar
tapi tidak ada tepuk tangan untukmu

Mari,
bersulang dengan segelas air ini
sebelum menjemput mimpi
agar menjelang matahari menyapa
tubuh kita masih bertenaga kuda

Ah, sudahlah
tak perlu kau pikir gaduh di seberang sana
sebab, mereka tidak tahu
bagaimana cara bercinta seperti kita

Pamekasan, 23 Pebruari 2017

Rabu, 21 Februari 2018

Politik dan Interaksi yang Tidak Menguntungkan

Politik dan Interaksi yang Tidak Menguntungkan

Simbiosis Mutualisme adalah hubungan antara dua jenis makhluk hidup yang berbeda dan saling menguntungkan. Misalnya hubungan antara lebah dengan bunga, lebah diuntungkan mendapat nektar dan bunga diuntungkan dalam proses penyerbukan. Sebuah teori yang layak dijadikan sebagai analogi dalam kehidupan sosial dan politik.

Dalam konteks sosial, pola interaksi seperti ini memungkinkan terciptanya hubungan yang baik antara yang satu dengan lainnya karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Di dalam keanekaragaman karakter manusia, pola ini akan saling melengkapi dan menciptakan kesempurnaan dan harmonisasi sosial.

Pola hubungan yang saling menguntungkan ini akan membuat satu sama lain merasa betah dan nyaman. Sebagai manusia normal, hubungan seperti ini yang banyak diinginkan, sehingga penting untuk diciptakan, dikembangkan dan dilestarikan. Sebaliknya, pola hubungan timbal balik yang dapat merugikan pihak lain (simbiosis parasitisme) harus ditinggalkan karena hanya dapat merusak tatanan sosial.

Apabila ada sebagian manusia yang selalu gagal dalam berinteraksi dan cenderung ditinggalkan, maka penting introspeksi diri terhadap pola yang digunakan dalam berinteraksi. Apakah pola yang digunakan itu merupakan pola yang kurang relevan dengan karakter kebanyakan orang dan keluar dari keumuman interaksi yang disukai banyak orang. Selamat bertanya kepada diri sendiri.

Dalam hal Pilkada misalnya, atau pemilihan-pemilihan lainnya. Memilih merupakan suatu hal yang menguntungkan bagi terpilih. Tetapi apakah pemilih akan sama untung sebab memilih? Persoalan ini masih bergantung kepada situasi dan kondisi dikemudian hari. Apabila keinginan pemilih terpenuhi sebab memilih--seperti kesejahteraan dan keadilan sosial, maka di sini terjadi hubungan yang saling menguntungkan; apabila tidak terpenuhi dengan memilih, maka akan menjadi pihak yang dirugikan.

Siapa pun manusianya, pasti tidak suka dengan sebuah hubungan yang akan merugikan itu. Jika misalnya, hal itu terjadi di masa lalu, maka yang paling rasional adalah tidak mengulang untuk yang kesekian kalinya. Dirugikan atau tidak dirugikan, kita bisa melihat seberapa jauh terpenuhinya keinginan kita dengan keterpilihan itu. Karena hal ini, akhirnya akan berkaitan dengan persoalan amanah.

Simbiosis Parasitisme--hubungan antara dua jenis makhluk hidup di mana yang satu mendapat keuntungan sedangkan yang satunya lagi dirugikan--tidak perlu menimpa secara berulang. Seperti pepatah yang mengatakan, "Tidak perlu jatuh di tempat yang sama untuk yang kedua kalinya." Yang berlalu biarlah berlalu, dan perbaiki untuk masa yang akan datang; yang sudah pernah diketahui polanya dalam melaksanakan amanah, jika tidak sesuai dengan harapan, tinggalkan saja. Kita tidak butuh benalu dalam hidup karena hanya merusak pohon yang akan berbuah. Karakter yang sudah baik direcoki dengan ketidakpuasan pilihan.

Hidup memang sering mengajari kita dengan siapa kita layak hidup. Kalau tidak selamanya bisa saling menguntungkan, tetapi tidak sampai saling merugikan. Yang penting kita tidak menjadi pihak yang selalu dimanfaatkan, kemudian ditinggalkan. Jika itu pernah terjadi, maka jadikan sebagai pelajaran dan bekal hidup di masa yang akan datang. Kita akan sungguh tahu mana manusia dan mana yang tidak manusia.

Mari, pandai-pandailah mencari teman, mencari figur, mencari kelompok, mencari pemimpin. Jangan mau dibohongi pakai baleho yang dipampang besar di mana-mana dengan janji yang mengharu biru. Bekalilah diri kita dengan analisa yang memadai, jangan terbuai dengan janji-janji yang berbusa-busa. Menjelang pemilihan, pandai-pandailah mencari figur yang baik.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 22 Pebruari 2017

Selasa, 20 Februari 2018

Kejadian dan Tanda-tanda dari Tuhan

Kejadian dan Tanda-tanda dari Tuhan

Di dunia ini, Tuhan tidak hentinya untuk selalu memberikan tanda-tandanya bagi umat manusia. Tanda itu diberikan untuk dijadikan bahan perenungan dan pemikiran bagi umat manusia agar senantiasa lebih dekat dengan Tuhan. Oleh sebab keingkarannya kepada Tuhan, banyak manusia semakin jauh dariNya, meski tanda-tanda dari Tuhan ada di depan mata, bahkan setiap saat.

Dalam tulisan ini, ada sebuah kutipan perbincangan antara Sumanto (sang kanibal) dengan mantan Menag yang mungkin dapat kita jadikan sebagai bahan perenungan. Saat sedang mengobrol, mantan Menag itu berceletuk menanyakan hal yang ada sangkut pautnya dengan masa lalu Sumanto.

Pak menteri tanya, "Daging yang menurut Sumanto enak itu yang bagaimana," katanya. Lantas, Sumanto pun menjawab. Menurutnya, daging mayat orang yang banyak dosa terasa pahit dan tidak enak. Sedangkan daging yang enak menurut Sumanto adalah daging orang yang selama hidupnya baik dan beramal saleh.

Secara lahiriyah, daging manusia itu berasal dari makanan yang dimakan setiap hari. Secara lahiriyah pula, makanan yang dimakan, baik berasal dari kebun sendiri atau kebun orang lain, hasil membeli atau hasil mencuri efek yang ditimbulkan pada tubuh itu sama. Lantas, kenapa ada daging yang pahit dan daging mayat yang nikmat? Lalu, kenapa tiba-tiba ada testimoni daging mayat manusia? Oh, Tuhan, Engkau yang Maha Memberi Petunjuk!

Tentu, hidup itu adalah lahir dan batin. Kalau secara lahir daging manusia itu sama, tetapi secara batin tidak sama. Daging manusia secara batin bergantung nilai makanan yang dimakan oleh manusia itu. Jangan salah, bukan harga, tapi nilai. Nilai yang baik dan buruknya disandarkan kepada ketentuan Tuhan. Kalaupun kandungan makanannya serba protein, nutrisi, vitamin a-z, bila yang digunakan hasil korupsi atau sejenisnya, maka dapat dipastikan dagingnya pasti pahit.

Nah, kelak daging yang pahit inilah yang barangkali diminati oleh jilatan api neraka. Kalau jilatan api neraka itu untuk menghilangkan rasa pahit pada daging manusia pendosa, berarti tubuh manusia tidak bersisa daging sama sekali. Ya, Allah! Menulis saja berasa panas. Kalau setiap jilatan api neraka daging yang terkelupas kembali lagi, dan pada saat yang bersamaan jilatan api juga kembali lagi, butuh berapa lama dan jumlah jilatan agar daging kita menjadi nikmat; senikmat daging orang shaleh. Semakin pahit, semakin lama membersihkannya.

Bagaimana pula kisah seorang ulama nusantara, Syaikh Nawawi Al-Bantani. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, petugas dari pemerintah Arab Saudi menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur; bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikit pun. Tidak cukupkah ini sebagai tanda? Ah, terlalu!

Itulah tanda-tanda dari Tuhan bagi orang yang mau berpikir. Di dunia ini, Tuhan berinteraksi dengan umat manusia melalui kejadian yang bisa dijadikan sebagai perenungan. Tidak ada yang kebetulan, semuanya by design yang diproyeksikan sebagai pelajaran bagi umat manusia.

Wallahu a'lam!

Sampang, 17 Pebruari 2018

Urut Satu Sebagai Tanda Baik

Urut Satu Sebagai Tanda Baik

Sejak munculnya nomor urut bagi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, dunia persilatan di Kabupaten Pamekasan langsung ramai. Semula saya tidak mau ikutan urusan "satu" dan "dua" ini. Tetapi karena dunia persilatan ramai dengan angka itu, terpaksa saya juga harus ikutan. Setidaknya ikut serta meramaikan, semumpung masih hangat.

Angka yang sedianya hanya sebagai media penentu posisi dalam baris lembaran surat suara pencoblosan, kini menjadi sesuatu yang bernilai magis bagi paranormal; bernilai seni bagi kaum kreatif, dan; bernilai petunjuk bagi kaum pemikir, kemudian menyeret pada banyak spekulasi para cendikia. Meski tidak ada korelasi khusus secara ilmiah, beberapa para akademisi-dalam status facebooknya-berusaha mengaitkan antara nomor yang didapatkan dengan faktor lain; seperti faktor keberuntungan.

Dalam banyak tinjauan ilmu pengetahuan nomor urut tidak mendapatkan bagian dalam upaya menyukseskan seseorang, tetapi berbeda dalam kacamata numerologi. Misalnya, dalam numeurologi: orang dengan angka kehidupan 1 (satu) adalah tipe orang yang senang mengungkapkan penemuan dan cara-cara baru untuk menyelesaikan hal-hal dalam hidup. Ide-ide brilian cenderung mudah menghinggapi benak mereka.

Kelebihan lain dari angka satu, atau angka yang sering kita sebut sebagai angka ganjil ini adalah disukai oleh Allah SWT. Seperti dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya Allah itu witir (esa/ganjil) dan suka pada yang ganjil” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmudzi). Dalam surat al-ikhlas ditegaskan bahwa Allah itu satu (ganjil), "Katakanlah (Muhammad) Allah itu satu". Sebab Allah ganjil, maka Dia suka dengan sesuatu yang ganjil.

Satu merupakan sebuah angka yang dari situlah semua angka bermula. Adanya angka 2 (dua) misalnya dihasilkan oleh pertambahan angka 1 (satu) dengan angka 1 (satu); angka 3 (tiga) dihasilkan dari angka 2 (dua) ditambah angka 1 (satu). Artinya bahwa tidak mungkin ada angka apapun tanpa adanya satu, karena satu adalah dasar dan lainnnya adalah turunan. Segala sesuatu memang berasal dari yang satu, yaitu Allah SWT.

Penulis hanya meyakini satu hal, kalau ada sebagian orang berusaha mengingkari kebaikan angka satu, pasti dalam keadaan terpaksa. Karena siapapun orangnya, selalu ingin menjadi orang nomor satu, dapat juara kesatu, dan dinomorsatukan. Tidak mungkin jika ada orang menginginkan menjadi orang nomor dua, dapat juara kedua, dan dinomorduakan. Jika ada, pasti akan berat menjalani hari-harinya.

Jadi begini, dalam tinjauan apapun nomor 1 (satu) itu pasti yang terbaik.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 13 Pebruari 2018

Istriku

Istriku

Istriku,
kau jangan terlalu percaya padaku
curigai aku sebagai lelaki mata keranjang
agar aku bisa menjaga hatiku
dan kemudian menjadi sepenuhnya milikmu

Istriku,
bila aku kau lepas begitu saja
seperti burung terbang yang tak berbatas
maka kau harus khawatir
karena mungkin aku bisa hinggap
di hampir semua reranting pohon
reranting pohon yang teduh dengan bau kasturi sepanjang malam

Istriku,
aku tak ingin desahku menyakitimu
aku hanya ingin desahku-desahmu menjadi satu
mengisi malam-malam panjang
dan mungkin siang hari yang hujan

Istriku,
tidak usah kau usir prasangka
yang mungkin tumbuh di hatimu
itu Tuhan ciptakan sebagai rem buatku
agar terhindar dari bahaya laten yang mengintip di celah waktu

Istriku,
kau harus tahu
aku melihat istri-istri orang lain itu sebagai istriku
dan perempuan-perempuan itu pula
sebab, pikiranku setiap saat menyelinap di balik gaunnya
seketika mataku berselingkuh dengan sekujur tubuhnya

Istriku,
sebelum kau mengajakku
izinkan aku menghabiskan sebatang rokok
kemudian kita mendesah bersama tanpa menunggu hujan
aw aw aw...

Pamekasan, 14 Pebruari 2017

Baiklah kekasihku

Baiklah kekasihku

Kau bisa menyumpahku atas nama Tuhan
atau mengutuk sekalian
bila di mataku
kau melihat tanda pudarnya kesetiaan
biarkan saja
debu yang berhamburan dari arah gunung itu menutup jalan hidupku

saat ini,
semerbak wangi tubuhmu masih seperti dulu
bagaimana mungkin
aku menyekutukanmu dengan ilusi dan halusinasi
sebab itu adalah nisbi

meski tidak seperti tumpahan air dari langit
atau genangan air di laut
cintamu seperti segelas air di tengah padang gersang
yang memadamkan haus bagi musafir

kekasihku,
ada genangan darahku di rahimmu
seperti tali yang mengikat kencang seisi otakku
mengurung fantasi fantasi liar di kepalaku
bagaimana mungkin aku menduamu

aku tidak bisa
atas nama ayat-ayat Tuhan menyakitimu
satu saja cukup
dan itu adalah dirimu

Pamekasan, 21 Pebruari 2017

Jumat, 16 Februari 2018

Perbuatan Baik Menjelang Pilkada

Perbuatan Baik Menjelang Pilkada

Alih-alih menghindari riya, seorang pemuda membungkus uangnya dengan amplop yang hendak dimasukkan ke kotak Masjid--pada saat shalat Jum'at. Terang saja, ketika kotak amal dibuka, sumbangan pemuda itu berbeda sama sekali dengan sumbangan orang kebanyakan. Sebab, sumbangan orang kebanyakan tidak menyisakan perbedaan sama sekali antara yang satu dengan lainnya. Sama-sama tanpa amplop. Tentu akhirnya, pemilik amplop pun mudah ditebak karena satu-satunya.

Di tempat yang berbeda. Ada seorang dai dengan intonasi yang rendah, dan berkesan santun dengan ekspresi wajah yang memuncak bersumpah. Dia menyampaikan tidak terima apabila seorang ulama dilecehkan, meski ulama yang dilecehkan sudah memaafkan karena tingkat kesabarannya yang luar biasa. Sebenarnya saya juga sama, tapi beda ekspresi saja barangkali. Alih-alih menunjukkan perhatiannya kepada ulama, tapi ia telah mengajak orang dan memicu kebencian bagi sebagian orang. Memantik dan membakar dengan cara yang samar. Ini sesungguhnya yang paling membahayakan. Peduli yang berkepentingan.

Beberapa orang selalu suka dengan perbuatan dhahiriah yang tampak baik, meski seperti kehilangan nilai. Mengabaikan nilai substansial ketuhanan dan mengedepankan penilaian manusia. Sepertinya memang kurang afdhal manakala setiap perbuatan yang dilakukan hanya diketahui oleh Tuhan tanpa melibatkan pengetahuan manusia. Benar sekali, di dunia ini kalau tidak mendapat pengakuan baik dari manusia tidak akan mendapat tempat. Belum lagi momen pemilihan-pemilihan seperti saat ini. Tiba-tiba menjelma sosok yang baik kepada semua orang.

Hati-hati, jika kita bertemu dengan orang baik tahunan yang setiap kegiatannya diekspos besar-besar. Orang semacam ini pasti ada maunya. Mau dipilih saat mencalonkan diri. Orang baik itu, ya baik. Tidak menunggu keinginan untuk mencalonkan diri. Apalagi akhirnya berkampanye juga. Nah, kan. Tinggalkan saja, seperti kalau sudah terpilih meninggalkan kita. Bertahun-tahun berinteraksi tahunan orang macam ini harusnya jadi pelajaran. Pelajaran yang mengantarkan pada sebuah pengetahuan bahwa ketika selesai pemilihan pasti ditinggalkan. Tinggalkan duluan saja, agar bila kelak ditinggalkan pun tidak sakit hati. Ingat, jangan mudah percaya, karena mudah percaya itu adalah kelemahan.

Apalagi sampai menjadi pendukung, relawan, atau apapun namanya dengan sikap berlebihan. Seperti salah satu pendukung yang bawa-bawa nama tentara saking emosinya. Padahal tidak perlu seemosi itu. Bawa santai saja. Akhirnya, jadi tahu kekuatan tentara kita yang membanggakan. Banyak tentara kita yang menunjukkan kehebatannya kebal belati. Pokoknya, tentara kita top deh. Dan siapa pun kamu dan dukungannya, jangan sampai nantangin tentara, biar tidak kena tendang sepatu rekab.

Kembali ke topik di atas. Bila ada orang berbuat baik diekspos besar-besar, pasti ada maunya. Jangan tertipu. Bila yang mengekspos itu adalah orang yang sedang menjabat, taruhlah Kepala Daerah misalkan. Kita tinggal lihat seperti apa kinerjanya selama memimpin, kalau tidak becus abaikan saja. Penilaian kepada orang yang pernah menjabat itu relatif lebih mudah, tinggal melihat ke belakang. Apabila kinerjanya memuaskan bisa dilanjutkan, kalau sudah tidak bisa melanjutkan dan dilanjutkan oleh orang dekatnya, pilih saja. Namun bila kinerjanya tidak baik selama memimpin, dilanjutkan oleh siapapun yang masih punya ikatan darah dengannya, tidak usah dipilih karena pasti tidak jauh beda cara memimpinnya.

Jangan ditukar, dengan apa pun harga diri ini (sebuah lagu).

Wallahu a'lam!

Sampang, 17 Pebruari 2017

Kamis, 15 Februari 2018

Pembuktian Cinta di DKI Jakarta

Pembuktian Cinta di DKI Jakarta
Belajar memperbaiki kesalahan dari sebuah kejadian, introspeksi diri dan berikhtiar untuk menjadi lebih baik

Kalau kemarin ada yang mengaku cinta atau sebaliknya kapada Gubernur DKI Jakarta, Bhasuki Tjahaya Purnama (Ahok), maka hari inilah pembuktiannya. Hari ini pesta demokrasi--untuk menentukan arah DKI Jakarta ke depan--sedang berlangsung sebagai bentuk pembuktian sikap warga Jakarta atas kecintaannya kepada salah satu putra terbaiknya. Kita tidak bisa berapologi lagi setelah ini, semua akan terang benderang. Tidak bisa berspekulasi lagi, siapa yang lebih dicintai oleh warga Jakarta. Kita bisa lihat, warga Jakarta cinta atau sebaliknya kepada siapa, setelah penghitungan suara selesai.

Pemilihnya adalah warga Jakarta. Bukan orang di luar Jakarta. Maka kampanye yang melibatkan massa besar dengan segala bentuk kemasan, baik kemasan sosial, hiburan, kegiatan keagamaan, termasuk debat yang dimaksudkan untuk melihat kualitas pemimpin itu, akan sia-sia jika bukan warga Jakarta yang terlibat di dalamnya. Kita juga bisa melihat. Apakah kecintaan itu mengalir dari dalam (penduduk) Jakarta atau di luar Jakarta.

Saya kadang memilih diam, ketika kontestasi DKI Jakarta ini dianggap sebagai sebuah kontestasi agama, antara kaum yang satu dengan kaum lainnya. Tapi, saya sedikit pun tidak melihat itu. Saya melihat sebuah kepentingan besar yang menunggangi itu atas nama agama. Kepentingan itu bisa dilihat pasca pemilihan gubernur hari ini. Apakah konsistensi perjuangan itu masih tetap dilakukan dalam keadaan salah satu kontestan keluar sebagai pemenang. Kita tunggu saja!

Bukan tanpa alasan kenapa saya mengatakan bukan persoalan agama. Sebab, jika kontestasi hari ini bagian dari sebuah perjuangan atas nama agama, tentu salah satu agama dalam kontestasi yang dibawa-bawa dalam kampanye politik ini--agama islam--tidak akan mengusung dua kandidat. Apakah ini yang disebut kompak? Ini yang disebut kepentingan agama? Tidak, sama sekali bukan. Jika, untuk kepentingan agama, ada cara duduk bersama yang sangat mungkin mempermudah kemenangan dalam kontestasi ini.

Suara umat Islam sedang dipecah oleh umat Islam sendiri. Kalau seandainya, di DKI Jakarta ada pemilih murni yang demi agama 60% maka dibagi dua akan menjadi 30%-30%. Sebab, ada dua kandidat Islam dalam kontestasi ini. Lantas, 40% sisanya itu untuk siapa. Tentu, jawabannya untuk rivalnya. Atas dasar itulah saya katakan, bahwa kontestasi hari ini bukan persoalan agama.

Saya sepakat saja apa yang disampaikan oleh Ketum PP. Muhammadiyah tahun 2000-2005, Buya Syafi'i Ma'arif, bahwa "Gejala Ahok adalah gejala kegagalan parpol muslim melahirkan pemimpin, tetapi tidak mau mengakui kegagalan ini. Selama ini tidak jujur dalam bersikap, jangan harap kita bisa menang. Saya tidak membela Ahok. Yang saya prihatinkan, gara-gara seorang Ahok, energi bangsa ini terkuras habis. Anda harus mampu membaca masalah bangsa ini secara jernih tidak dengan emosi. Selamat berpikir!"

Akhirnya, bagi umat Islam Indonesia, harus menyadari tentang kegagalan proses kaderisasi kepemimpinan yang ada dalam tubuh partai, khususnya partai politik yang berasas Islam. Jalan keluar yang sederhana menjadi rumit jika persoalannya sudah tumpang tindih. Persoalannya hanya persoalan integritas; kekompakan dan kejujuran. Dan itu tidak bisa dilakukan untuk saat ini, tapi mungkin untuk yang akan datang. Partai Islam harus memroduksi kader Islam yang bertanggung jawab untuk dibawa dalam kontestasi ke depan. Sekarang sudah terlambat.

Wallahu a'lam!

Sampang, 15 Pebruari 2017

Selasa, 13 Februari 2018

Muda dan Ganteng, Itu Saja

Muda dan Ganteng, Itu Saja

Pilkada itu adalah sebuah proses mencari pemimpin. Dalam proses ini saya juga menjadi bagian untuk mengarahkan kepada pasangan calon tertentu pilihan yang saya anggap baik. Tentu, baik menurut saya, dan ini subjektif. Menentukan kebaikan, saya punya indikator sendiri untuk menilai baik dan tidak yang tentu tidak sama dengan indikator yang orang lain gunakan sebagai alat ukur kebaikan.

Kalau dalam sebuah kontestasi, penilaian itu tidak akan berjalan searah. Artinya, tidak hanya memberikan penilaian kepada satu pasangan, tetapi juga kepada semua pasangan yang mengikuti kontestasi itu. Untuk menilai yang satu lebih baik daripada yang lain, mau atau tidak mau pendekatan melalui perbandingan harus dilakukan. Dalam perbandingan ini keterbatasan pengetahuan seseorang bisa berlaku, seperti perbandingan yang saya lakukan dan perbandingan yang orang lakukan. Makanya dari awal dikatakan bahwa ini adalah subjektif. Jadi, apabila nanti ada yang mengatakan bahwa penilaian yang saya lakukan adalah subjektif, begitulah adanya.

Jika subyektivitas yang saya lakukan akhirnya melahirkan sebuah penilaian, dan menyeret orang untuk bersepaham dengan saya itu artinya seseorang itu mempunyai kesamaan dengan saya, atau percaya terhadap cara saya menilai, memandang dan berpihak. Bersandar kepada cara pandang orang itu disebut dengan percaya, bahwa apa yang diputuskan orang itu mengandung kebaikan tanpa ada perdebatan alot dan panjang.

Dalam kontestasi Pilkada Pamekasan, saya sebagai warga negara yang baik harus menentukan pilihan. Seperti yang disampaikan diawal. Berdasarkan keterbatasan penilaian, saya melihat pasangan "Berbaur" lebih baik dari pasangan lainnya. Kenapa sebab? Karena pasangan Berbaur itu muda dan ganteng. Ia, pokoknya saya suka itunya. Kalau masalah pengalaman, visi misinya, dan tetek bengeknya, kedua pasangan tidak jauh beda. Namanya mau jualan, pasti promosinya yang terbaik.

Buat saya muda dan ganteng itu adalah modal untuk memimpin. Ingat, ini buat saya. Kalau ditanyakan hasil penelitian secara ilmiah, apakah ada hubungan antara ganteng dan muda terhadap kepemimpinan seseorang, saya tidak bisa jawab. Namanya, juga subjektif. Pokoknya begini, saya pribadi sangat suka kalau punya pemimpin muda dan ganteng. Urusan visioner, progresif, inovatif, kreatif, dan tetek bengek lainnya, tidak tahulah. Muda, ganteng, titik!

Memang bicara kepemimpinan saya tidak terlalu paham, apalagi pemerintahan. Maka dari itu, sesederhana itu penilaian saya. Mau berdebat panjang lebar tentang program, sementara ini saya tidak tahu program yang konkret masing-masing calon, yang saya tahu programnya pemasangan baleho dan bagi-bagi kalender. Sejauh ini samalah.

Melemah apapun saya, juga boleh mengajak orang untuk sama pilihannya dengan saya. Meski kelihatannya lucu, karena saya bukan siapa-siapa. Sebab, patron kita selama ini dalam konteks pilkada Pamekasan itu cenderung kepada ulama dan tokoh masyarakat setempat. Tetapi dapat dipastikan dua figur ini sama-sama didukung oleh para ulama, selebihnya tinggal menentukan sikap berdasarkan hati nurani.

Wallahu alam!

Pamekasan, 11 Pebruari 2018

Rasional, Bijaksana dan Taat (RBT) Bagian: 2

Rasional, Bijaksana dan Taat (RBT)
Bagian: 2

Dulu, ada seorang kader partai yang hanya diperbolehkan untuk maju sebagai calon legislatif, tetapi tidak didukung secara struktural oleh partai. Dalam artian, kader tersebut memang tidak diinginkan kemenangannya untuk duduk di kursi legislatif, karena ada kader lainnnya yang diproyeksikan untuk menempati posisi (baca: jabatan) itu. Sehingga untuk kemenangannya, dengan kecerdasan yang dimiliki ia membuat sayap partai independen untuk menguatkan suaranya di masyarakat.

Maka langkah yang ditempuh seorang kader itu disebut sebagai langkah yang "rasional". Sebab, logika sederhananya, jika partai sebagai organisasi yang mempunyai kepanjangan tangan hingga lapisan paling bawah itu tidak mendukung, lantas siapa yang akan mengkomunikasikan kepentingan dirinya dengan masyarakat, sementara yang mempunyai polese sebagai kepanjangan tangan kepada masyarakat adalah partai. Itu artinya, bila tidak didukung oleh segenap struktural partai, berarti ia tidak punya kepanjangan tangan di bawah.

Sehingga jika ada kader partai yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif dan tidak didukung oleh partai, maka mau atau tidak mau ia harus mempunyai kepanjangan tangan yang lain yang dibentuk secara mandiri dan personal oleh calon legislatif dimaksud sebagai kepanjangan tangannya. Sebab, jika tidak mempunyai kepanjangan tangan di bawah, maka tidak ada yang akan mengkomunikasikan kepentingan dirinya dengan masyarakat. Dengan artian, ia tidak akan mempunyai pemilih.

Tetapi jangan lupa, boleh jadi segenap struktural mendukung kepada salah satu calon untuk menjadi legislator, tetapi tidak semua masyarakat masuk kepada struktur partai. Maka, "berbaur" kemudian lahir sebagai sebuah inisiatif penguatan basis yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dan melakukan pendekatan secara langsung dengan masyarakat nonstruktural. Sebelum akhirnya dijadikan sebagai sayap partai. Sungguh ide cerdas.

Kalaupun struktur partai hanya memberikan dukungan (waktu itu) pada hanya salah satu calon legislatif saja, tetapi kader lain yang juga mendapatkan rekomendasi tidak melakukan komplain, maka sikap kader itu disebut dengan "bijaksana". Memilih cara lain untuk mendapatkan dukungan, dan tidak mempermasalahkan keberpihakan partai pada salah satu calon legislatif. Langkah bijaksana itu ditempuh untuk menghindari gejolak yang akan terjadi di tubuh partai, karena lebih baik mengatur strategi daripada ribut. Kasus ini beda sama sekali dengan yang sama sekali tidak dapat rekomendasi partai.

Dengan hasil kerja keras yang baik, akhirnya partai harus mengakui kecerdasan, keuletan dan kemampuan bagaimana ia memimpin organisasi. Pada akhirnya ia terpilih sebagai anggota DPRD Jawa Timur. Selain itu, ia mendapatkan posisi strategis sebagai sekretaris dewan pengurus wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bagi penulis, itu semacam jabatan kehormatan sebuah prestasi.

Menjelang kontestastasi pilkada Pamekasan ia juga dipercaya untuk berangkat sebagai calon bupati dengan rekomendasi partainya. Ketika partai memberi perintah untuk mencalonkan diri sebagai calon bupati, ia tidak menolak akan hal itu. Karena setiap perintah atasan adalah harga mati yang harus dipatuhi, dan ini sebagai ciri orang yang istikomah berada di jalur organisasi. Nah, ini yang kemudian disebut dengan "taat". Bukan karena ambisi tetapi partai menginginkan kebaikan lebih lanjut.

Tidak ada yang instan, semuanya terencana dengan baik dengan kerja keras. Berkat kerja kerasnya, nama baiknya jian hari semakin melambung tinggi. Akhirnya, RBT dan Berbaur menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Lebih lanjut, kita bisa lihat hasil kerja keras beliau dalam menata masyarakat pada kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Pamekasan periode tahun 2018-2023 ini. Butuh kerja lebih cerdas lagi, atau sudah cukup; tidak hanya bicara tapi nyata.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 03 Pebruari 2018

Pendidikan Kita dan Tragedi Kemanusiaan

Pendidikan Kita dan Tragedi Kemanusiaan

Pertama, saya ucapkan bela sungkawa atas meninggalnya seorang guru di SMA Torjun Sampang, yang meninggal akibat berkelahi dengan siswanya sendiri. Ini adalah musibah bagi Pendidikan kita. Kenapa sebab? Iya, sebab beliau mati di tangan siswanya sendiri. Apakah pendidikan kita tercoreng? Tentu, pasti tercoreng sekali. Yang semula pendidikan diharapkan mampu merubah sikap seseorang menjadi lebih baik, malah sebaliknya.

Dunia pendidikan saat ini sedang panas akibat kejadian itu. Dan panasnya mengkontaminasi otak banyak orang. Sehingga hujat dan caci maki berseleweran di beranda facebook. Apakah dengan hujat dan caci maki persoalan yang terjadi pada dunia pendidikan akan selesai? Jawabannya adalah "tidak", malah ini akan memperparah situasi sosial; aksi kutuk akan semakin marak.

Bukan hanya pelaku pendidikan yang geram dengan kejadian itu, pun orang yang pernah mengenyam dunia pendidikan. Untungnya pendidikan bukan dunia politik yang sengaja didesain selalu panas. Di dalam dunia pendidikan dipenuhi dengan orang terdidik yang paham dengan hakikat pendidikan. Dunia pendidikan adalah dunia perbaikan. Kalau tidak mampu memperbaiki, lantas siapa yang salah.

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Dalam proses belajar mengajar di dalamnya ada dua unsur penting yaitu pendidik dan terdidik. Guru adalah subjek untuk mendidik, dan siswa adalah objek yang harus dididik. Siswa sebagai objek pendidikan tidak langsung menjadi terdidik, memerlukan didikan dari pendidik agar menjadi terdidik.

Bagaimana pun dengan banyaknya aksi hujat, ini akan memengaruhi terhadap kebijakan pelaku pendidikan, terutama terhadap masa depan siswa yang bermasalah itu. Semisal ada kebijakan untuk tidak menerima siswa bermasalah itu untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Jika hal itu terjadi, ini justru melahirkan masalah baru bagi pendidikan. Kalau pendidikan saja tidak mampu merubah sikap seseorang menjadi lebih baik, bagaimana kemudian jika yang bersangkutan dibiarkan berkeliaran.

Pendidikan itu memang didesain untuk mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik. Saatnya pelaku pendidikan membuktikan bahwa pendidikan merupakan satu-satunya bengkel mampu menciptakan manusia menjadi lebih baik, baik secara intelektual, emosional, dan spiritual. Pendidikan tidak harus bersandar pada baiknya siswa yang dibawa dari rumah masing-masing. Tenaga pendidik juga harus siap berhadapan dengan siswa yang memungkinkan membawa sifat tidak baik dari rumahnya. Dengan tugasnya, rubahlah menjadi lebih baik.

Kasus yang terjadi di Sampang, merupakan kegagalan pendidikan kita. Gagal mendidik siswa. Kita terlena dengan siswa yang baik dengan karakter yang dibawa dari rumahnya, sampai lupa dengan siswa yang dititipkan ke sekolah untuk diperbaiki. Harusnya kita berpikir semua siswa itu disekolahkan untuk diperbaiki, persoalan ada siswa yang baik dari rumah, itu bonus buat kita.

Mari, para pendidik jangan berhenti belajar cara mendidik. Kata Mbah Yai Maimun Zubair, tugas kita hanya mengajari, kalau tidak kunjung mengerti itu urusan Tuhan. Doakan selalu siswa kita. Selamatkan dunia pendidikan kita.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 02 Pebruari 2018

Senin, 12 Februari 2018

Pengagum Hoax yang Gagal Paham

Pengagum Hoax yang Gagal Paham

Hoax itu sama dengan berita bohong. Jika hoax dialamatkan pada perseorangan, maka itu disebut dengan fitnah. Dan tidak perlu ingkari bahwa fitnah itu merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan bagi orang lain, dengan konsekuensi dalam perspektif agama itu adalah dosa. Entah, itu masuk dosa besar atau dosa kecil, saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan.

Dalam al-Qur'an, ada sebuah analogi yang disampaikan tentang membicarakan orang lain. Sudah jelas sekali bahwa perbuatan seperti itu dianggap sebagai memakan daging saudaranya yang telah mati (bangkai). Apa lagi kebohongan itu dialamatkan kepada para ulama yang dagingnya beracun. Yang artinya, bila seseorang dengan sengaja memfitnah, menyebarkan berita bohong penuh kebencian kepada ulama tanpa klarifikasi, maka tunggulah musibah yang akan menimpa dirinya, dan bahkan kepada keluarganya.

Tahun ini sepertinya tahun fitnah. Di mana semua orang lebih suka dan senang membaca dan membagikan berita bohong. Lebih suka mencari keburukan orang, agar tiba-tiba kita tampak menjadi orang baik; lebih suka mencari keburukan para tokoh yang satu, agar tampak tokoh--idolanya--yang lain lebih baik. Sudah jelas, sampai di sini saja kita sudah bisa mengukur bahwa perbuatan ini tidak baik.

Sudah demikian burukkah keadaan ini? Orang yang selama ini dipercaya sebagai cikal bakal bengkel moral, untuk memperbaiki karakter manusia yang rusak, malah terlibat merusakkan diri bersama orang awam yang seharusnya diberikan penyadaran. Tidak sedikit dari para santri yang bekal keilmuan dalam bidang agamanya sangat mumpuni terlibat dalam perang fitnah. Bahkan yang diserang adalah para ulama. Lantas, kalau santri saja sudah tidak percaya dengan ulama, bagaimana dengan orang awam. Terus tempat curhat yang awam ini kepada siapa akhirnya.

Memahami bahaya kabar fitnah (hoax) itu penting. Sepenting memahami peristiwa sejarah yang meluluhlantakkan peradaban akibat berita bohong. Semisal, berita bohong yang memicu perang dunia II. Yang disebabkan oleh Adolf Hitler mengabarkan kepada parlemen Jerman bahwa militer Polandia telah menembak tentara Jerman pada pukul 05:45. Lalu disusul dengan aksi balas dendam, yang mengakibatkan pecah perang dunia II, yang belakangan diketahui ternyata tentera Jerman sendiri yang membunuh.

Dan banyak lagi berita bohong yang sengaja dihembuskan untuk kepentingan menaikkan penghasilan oleh media tertentu. Dengan maraknya berita bohong beberapa bulan terakhir, terasa sekali aroma pembaca surat kabar, baik cetak atau pun online semakin bertambah. Itu akan otomatis akan menambah penghasilan dari banyaknya jumlah pembaca dan menarik minat iklan. Hal ini kemudian melahirkan pembaca dadakan.

Para pembaca dadakan ini memang sangat menyukai berita bohong untuk melukai orang lain. Karena ketika ada pemberitaan yang sesuai dengan seleranya, maka ia akan langsung membagikan, tanpa pertimbangan apapun, apakah berita itu benar atau bohong.

Namanya dadakan (pemula) perlu dimaklumi apabila belum selektif membaca berita. Tentu para pemula ini belum selektif dalam melihat berita, belum bisa membedakan mana berita yang baik dan tidak baik; mana berita yang benar dan bohong. Belum lagi ditambah banyak media dadakan juga yang warnanya masih abu-abu.

Semoga kita semua terhindar dari maraknya berita bohong. Amin!

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 13 Pebruari 2017

Jumat, 09 Februari 2018

Kebijakan Lokal dan Akselerasi Pendidikan

Kebijakan Lokal dan Akselerasi Pendidikan

Barangkali sudah familiar pada pendengaran kita, ketika berbicara tentang pentingnya pendidikan ada fakta sejarah yang secara tidak langsung kita ungkap sebagai pengantar awal, bagaimana ketika terjadi pengeboman di dua kota di Jepang yaitu Herosima dan Nagasaki pada perang ketiga. Pengeboman yang dilakukan oleh AS dan sekutunya itu mampu meluluhlantakkan dua kota dan nyaris tidak menyisakan apa-apa. Yang paling menarik dalam hal ini sebenarnya adalah pernyataan Kaisar Jepang pada saat itu yang mengatakan, "Ada berapa guru yang masih hidup?".

Pernyataan sederhana ini barangkali yang menurut penulis anggap telah menyeret Jepang pada peradaban kedua. Pada saat harus memulai kehidupan untuk yang kedua kalinya kecerdasan Kaisar Jepang mengisyaratkan bahwa pendidikanlah yang harus direbut pertama kali. Maknanya adalah bahwa untuk membangun dan memajukan segala hal termasuk teknologi--teknologi diasumsikan sebagai simbol kemajuan dan modernitas suatu peradaban--harus dimulai dari pendidikan. Dan untuk saat ini hal itu terbukti berhasil, bahwa hampir hasil produksi Jepang menguasai seluruh dunia baik negara yang sudah maju atau negara berkembang seperti Indonesia.

Pendidikan luar Negeri memang cenderung lebih maju daripada pendidikan di Indonesia. Atas dasar itu kemudian kecenderungan adaptasi model pendidikan dari luar seringkali dilakukan, seperti beberapa kurikulum terakhir yang diterapkan di Indonesia. Tetapi, hal itu bukan satu-satunya cara bagaimana pendidikan bisa lebih maju. Maksimalitas konsep pendidikan yang sudah ada juga menjadi bagian bagaimana meningkatkan nilai pendidikan kita.

Adanya otonomi daerah menjadi bagian untuk memotivasi percepatan pendidikan. Kebijakan lokal (Pemerintah Daerah) menjadi indikator maju mundurnya pendidikan, seperti kebijakan dalam menunjang sarana dan prasarana bagi pendidikan, mutasi tenaga pendidik, kesejahteraan tenaga pendidik. Sarana dan prasarana pendidikan cenderung tidak merata, sehingga nilai akhir hasil dari proses pendidikan (anak didik) juga tidak sama antara di pedesaan dan perkotaan.

Mutasi juga berdampak tidak baik pada pendidikan apabila dilakukan dengan tidak benar. Sebagai contoh, tenaga pendidik yang penempatannya jauh dari tempat domisili pasti tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugasnya, disebabkan jarak tempuh yang jauh lebih banyak membutuhkan waktu, tenaga dan materi, sehingga hal ini akan menguras tenaga.

Kesejahteraan juga tidak kalah penting (hal ini biasanya berlaku bagi tenaga honorer). Karena apabila kesejahteraan itu luput dari perhatian, tenaga pendidik cenderung mencari tambahan di luar, sehingga hal ini mengurangi maksimalitas pengabdian.
Hal paling sederhana yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka mempercepat majunya pendidikan adalah berusaha menempatkan tenaga pendidik sesuai dengan domisili, memperhatikan sarana dan prasarana bagi pendidikan di pedesaan baik Negeri atau nonnegeri, memperhatikan kesejahteraan tenaga honorer.

Wallahu a'lam dan salam hormat.

Pamekasan, 10 Pebruari 2016

Kamis, 01 Februari 2018

Mengimplementasikan Iman dengan Kedermawanan

Mengimplementasikan Iman dengan Kedermawanan

Pada hakekatnya keimanan itu dekat sekali dengan kedermawanan. Iman merupakan ketetapan hati, meyakini, percaya kepada Allah dan semua yang disampaikan oleh Allah melalui Rasul-Nya dan dituliskan dalam kitab-kitabNya. Kedermawanan dapat dimaknai sebagai orang yang mempunyai sifat murah hati dan suka menolong terhadap sesama.

Salah satu kitab yang kita yakini kebenarannya sampai saat ini dan masih belum terkontaminasi oleh pemikiran manusia yang mempunyai kecenderungan melibatkan kepentingan pribadi adalah alqur'an. Sehingga kebenaran alqur'an masih dapat dipertanggung jawabkan secara history atau ilmiah sampai saat ini.

Di dalam kebenarannya, alqur'an banyak menyampaikan motivasi dan keistimewaan bagi orang-orang yang dermawan. Bila kita meyakini sepenuh hati terhadap kebenaran alqur'an, maka kita akan berlaku dermawan, dan bila kita tidak percaya, maka kita akan berlaku sebaliknya (kikir).

Inilah beberapa ayat alqur'an yang akan memotivasi kita untuk berlaku dermawan:
Sapi Betina (Al-Baqarah):245 - Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Sapi Betina (Al-Baqarah):261 - Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Sapi Betina (Al-Baqarah):262 - Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Sapi Betina (Al-Baqarah):264 - Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Sapi Betina (Al-Baqarah):267 - Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Sapi Betina (Al-Baqarah):274 - Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Keluarga 'Imran ('Āli `Imrān):92 - Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Keluarga 'Imran ('Āli `Imrān):134 - (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Wanita (An-Nisā'):39 - Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.
Pengampunan (At-Tawbah):34 - Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
Pengampunan (At-Tawbah):35 - pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".
Guruh (Ar-Ra`d):22 - Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
Nabi Ibrahim ('Ibrāhīm):31 - Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.
Muĥammad:38 - Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.
Besi (Al-Ĥadīd):10 - Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Jika kita yakin terhadap isi dari kitab Allah itu, maka pasti kita akan berupaya sekuat mungkin untuk berlaku dermawan. Terlepas dari Tuhan mau menggantikan atau tidak. Namun Tuhan tidak akan pernah menutup mata terhadap apa yang dilakukannya oleh umatnya dengan ikhlas.
Semoga bermanfaat

Wallahu a'lam bisshiwab.

Pamekasan, Pebruari 2014

Memahami Rupa Sebagai Cobaan

Memahami Rupa Sebagai Cobaan

Seorang ulama shaleh, Syekh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba'alawi dalam kitabnya Sullamut Taufiq, menjelaskan bahwa salah satu dari sebagian maksiat hati adalah takabur. Yaitu, "menolak kebenaran dan menghina orang lain, serta memperlihatkan diri bahwa dirinya lebih baik dari orang lain."

Kalau melihat petikan karya tersebut, memang benar adanya, karena salah satu dari sekian banyak kecenderungan yang terjadi pada manusia adalah membanggakan diri. Membanggakan diri dari setiap kelebihan yang dimiliki, karena tidak mungkin membanggakan kekurangan.

Salah satu kelebihan yang sering dibanggakan adalah mempunyai rupa elok. Rupa elok menjadi bagian yang mengakibatkan orang berfikir lebih dari orang lain. Kecenderungan tersebut, tanpa disadari telah menyeret kepada persoalan yang sesungguhnya melahirkan maksiat hati.

Jika demikian, hal itu bisa difahami bahwa rupa yang elok menjadi bagian dari cobaan yang diturunkan oleh Allah, karena kecenderungannya yang bisa membawa orang untuk membanggakan diri. Allah dengan tegas menyampaikan ketidak sukaan-Nya terhadap orang yang demikian, seperti yang difirmankan Allah dalam alqur'an yang artinya, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." QS. (Luqman:18).

Sebenarnya ada hal yang lebih membahayakan dari sekedar membanggakan diri. Yaitu apabila sampai kepada tahap memanfaatkan keelokan rupa untuk menjual diri. Hal akan mengakibatkan rentetan persoalan yang semakin panjang.

Bila kita tidak pandai memanfaatkan dengan baik karunia dari Allah ini, kita akan terjebak pada kubangan dosa yang sangat dalam. Pembersihan hati dari sifat-sifat seperti itu harus senantiasa kita minta kepada Allah, agar kita terlindung dari kobaran api yang sangat panas, karena bagaimanapun akhir dari kehidupan ini kita akan dibenturkan oleh sebuah konsekuensi perbuatan selama ada di dunia.
Semoga bermanfaat!

Wallahu a'lam bisshowab.

Pamekasan, 01 Januari 2014

Sebuah Kisah Masa Kecil

Sebuah Kisah Masa Kecil

Saya lahir dari seorang ibu yang buta huruf. Beliau tidak bisa baca huruf latin, tetapi bisa baca huruf (baca: kalimat) Arab. Kalau ngaji, tajwid dan makhrajul hurufnya cukup fasih; bahkan masih hafal, hafalan ketika masih belajar di Madrasah Diniyah. Hafalan itu dibuktikan ketika sedang mengamati (néténih: Madura) ketika anaknya hafalan untuk kepentingan lomba di madrasah.

Bapak saya pun demikian, tidak bisa membaca huruf latin, tetapi baca kalimat Arab bisa. Itulah sebab kenapa bapak tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS), karena menjadi PNS sekurang-kurangnya bisa baca huruf latin, sehingga mau atau tidak mau bapak harus menjadi pekerja kasar. Iya, waktu saya kecil, bapak saya adalah tukang becak. Berangkat pagi dan pulang sore hari.

Kebiasaan bapak ketika mau berangkat bekerja, bapak saya selalu sisiran dan membawa sarung. Entahlah, orang mau narik becak mesti rapi dulu, saya tidak mengerti. Yang unik, sebelum sarung dilipat dan digulung, di dalamnya diletakkan senjata sejenis keris tetapi kecil (guluk: Madura), lalu digulung lagi dengan koran bekas. Tetapi saya tidak tahu manfaat dari pusaka itu.

Sepulang bekerja, bapak hampir selalu membelikan saya biskuit dengan bentuk bulat pipih (dengan kemasan bulat memanjang), orang kampung menyebutnya, "mari". Kalau saya ingat saat ini sepertinya biskuit itu sama dengan merk rom*. Sisa dari buat beli biskuit itu buat beli rokok dan belanja atau mungkin sebaliknya. Namanya juga narik becak, biasanya hanya cukup beli ikan saja, dan nasinya pakai singkong di kebun sendiri, jika masih ada.

Berbeda dengan bapak, hari-hari ibu gunakan untuk nyabit rumput. Seperti biasa, kebiasaan masyarakat kampung itu selain bertani biasanya juga beternak. Saat itu orang tua kami beternak sapi. Peternak yang tidak pernah berhasil, karena sapi ternak hanya gemuk di perut, sementara tubuhnya masih kelihatan tulang.

Menurut sumber yang dipercaya, yaitu ibu saya sendiri. Ketika sedang nyabit dan menemukan sisa singkong (biasanya singkong yang sudah tidak dianggap, karena terlalu kecil yang melekat pada pangkal batang) dan ditinggalkan orangnya, ibu selalu masukkan ke dalam tempat rumputnya. Tentu, sebelum dimasukkan masih menoleh kanan-kiri takut ada yang melihat, karena perbuatan seperti itu seperti sangat memalukan. Menurunkan harkat dan martabat, bahkan bukan hanya turun biasa tetapi terjun bebas.

Sisa singkong kecil seperti itu sulit dikupas. Jadi kalau mau dimasak, singkong dimaksud tidak bisa dikupas karena kulitnya terlalu tipis, sehingga hanya dikerik kulit luarnya lalu dicacah. Nasi dari singkong semacam itu tidak tahan satu hari, kalau mau makan nasi siang harinya sudah berhadapan dengan nasi yang basi. Kalau sudah basi, nasi sudah mulai lunak, bau dan kalau diambil mengeluarkan benang dan melekat ke tangan. Tapi tetap saja harus dimakan, karena itulah satu-satunya makanan yang bisa dinikmati.

Selain itu ada lagi semacam pekerjaan ibu saya untuk menambah uang belanja. Di rumah, beliau menjual jajanan anak kecil, jika pagi menjelang, ibu menyiapkan jualannya untuk dibawa ke sekolah dasar (terdekat). Bermanfaat untuk dijual sekaligus meringankan uang jajan buat saya. Tapi entah berapa lama bertahan, karena seingat saya pernah dikasih uang jajan dengan hitungan Rp. 25 dengan lima keping lima rupiah-an. Itu artinya, ibu saya berhenti berjualan.

Hal lain, yang pernah saya ingat pada masa kecil dulu, pada saat saya menjelang tidur. Agar cepat lelap tidur, saya selalu ditakuti-takuti dengan (gugur: Madura) sebangsa manusia jadi-jadian yang konon ceritanya kalau ada orang meninggal selalu diambil jasadnya untuk disembelih dan dijual dagingnya. Dengan ilmunya, daging mayat pun serupa daging sapi. Terutama jika seseorang yang meninggal dalam keadaan mengandung.

***
Ada banyak lagi cerita masa kecil yang akan dilanjutkan pada cerita berikutnya.

Pamekasan, 01 Pebruari 2018