Kamis, 15 Februari 2018

Pembuktian Cinta di DKI Jakarta

Pembuktian Cinta di DKI Jakarta
Belajar memperbaiki kesalahan dari sebuah kejadian, introspeksi diri dan berikhtiar untuk menjadi lebih baik

Kalau kemarin ada yang mengaku cinta atau sebaliknya kapada Gubernur DKI Jakarta, Bhasuki Tjahaya Purnama (Ahok), maka hari inilah pembuktiannya. Hari ini pesta demokrasi--untuk menentukan arah DKI Jakarta ke depan--sedang berlangsung sebagai bentuk pembuktian sikap warga Jakarta atas kecintaannya kepada salah satu putra terbaiknya. Kita tidak bisa berapologi lagi setelah ini, semua akan terang benderang. Tidak bisa berspekulasi lagi, siapa yang lebih dicintai oleh warga Jakarta. Kita bisa lihat, warga Jakarta cinta atau sebaliknya kepada siapa, setelah penghitungan suara selesai.

Pemilihnya adalah warga Jakarta. Bukan orang di luar Jakarta. Maka kampanye yang melibatkan massa besar dengan segala bentuk kemasan, baik kemasan sosial, hiburan, kegiatan keagamaan, termasuk debat yang dimaksudkan untuk melihat kualitas pemimpin itu, akan sia-sia jika bukan warga Jakarta yang terlibat di dalamnya. Kita juga bisa melihat. Apakah kecintaan itu mengalir dari dalam (penduduk) Jakarta atau di luar Jakarta.

Saya kadang memilih diam, ketika kontestasi DKI Jakarta ini dianggap sebagai sebuah kontestasi agama, antara kaum yang satu dengan kaum lainnya. Tapi, saya sedikit pun tidak melihat itu. Saya melihat sebuah kepentingan besar yang menunggangi itu atas nama agama. Kepentingan itu bisa dilihat pasca pemilihan gubernur hari ini. Apakah konsistensi perjuangan itu masih tetap dilakukan dalam keadaan salah satu kontestan keluar sebagai pemenang. Kita tunggu saja!

Bukan tanpa alasan kenapa saya mengatakan bukan persoalan agama. Sebab, jika kontestasi hari ini bagian dari sebuah perjuangan atas nama agama, tentu salah satu agama dalam kontestasi yang dibawa-bawa dalam kampanye politik ini--agama islam--tidak akan mengusung dua kandidat. Apakah ini yang disebut kompak? Ini yang disebut kepentingan agama? Tidak, sama sekali bukan. Jika, untuk kepentingan agama, ada cara duduk bersama yang sangat mungkin mempermudah kemenangan dalam kontestasi ini.

Suara umat Islam sedang dipecah oleh umat Islam sendiri. Kalau seandainya, di DKI Jakarta ada pemilih murni yang demi agama 60% maka dibagi dua akan menjadi 30%-30%. Sebab, ada dua kandidat Islam dalam kontestasi ini. Lantas, 40% sisanya itu untuk siapa. Tentu, jawabannya untuk rivalnya. Atas dasar itulah saya katakan, bahwa kontestasi hari ini bukan persoalan agama.

Saya sepakat saja apa yang disampaikan oleh Ketum PP. Muhammadiyah tahun 2000-2005, Buya Syafi'i Ma'arif, bahwa "Gejala Ahok adalah gejala kegagalan parpol muslim melahirkan pemimpin, tetapi tidak mau mengakui kegagalan ini. Selama ini tidak jujur dalam bersikap, jangan harap kita bisa menang. Saya tidak membela Ahok. Yang saya prihatinkan, gara-gara seorang Ahok, energi bangsa ini terkuras habis. Anda harus mampu membaca masalah bangsa ini secara jernih tidak dengan emosi. Selamat berpikir!"

Akhirnya, bagi umat Islam Indonesia, harus menyadari tentang kegagalan proses kaderisasi kepemimpinan yang ada dalam tubuh partai, khususnya partai politik yang berasas Islam. Jalan keluar yang sederhana menjadi rumit jika persoalannya sudah tumpang tindih. Persoalannya hanya persoalan integritas; kekompakan dan kejujuran. Dan itu tidak bisa dilakukan untuk saat ini, tapi mungkin untuk yang akan datang. Partai Islam harus memroduksi kader Islam yang bertanggung jawab untuk dibawa dalam kontestasi ke depan. Sekarang sudah terlambat.

Wallahu a'lam!

Sampang, 15 Pebruari 2017

0 komentar:

Posting Komentar