Minggu, 25 Februari 2018

Redefinisi Makna Kemerdekaan

Redefinisi Makna Kemerdekaan

Berbicara kemerdekaan terbersit di otak kita kepada 70 tahun yang silam bagaimana sang Proklamator Ir. Soekarno Presiden pertama memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus tahun 1945. Proklamasi itu menjadi angin segar bagi seluruh tumpah darah bangsa Indonesia.

Bagaimana tidak, yang semula kita dijajah, ditindas, diperkosa hak-haknya, dimiskinkan, dikuruskan, dibunuh, disiksa, sejak saat itu sudah tidak ada lagi. Penjajah yang bertahan selama 350 tahun itu –terlepas dari persoalan pro dan kontra yang terjadi di masyarakat— sudah kembali kepada habitatnya di mana mereka dilahirkan. Ia, kita sudah merdeka, mari, berteriak dulu “merdeka!”.

Tetapi kemerdekaan itu tidak selesai sampai di sana, ketika seringkali kita disodorkan dengan beberapa pernyataan-pernyataan sebagian orang bahwa “kita ini dijajah oleh bangsa sendiri”. Penjajahan yang mana? Bukankah penjajah dari Negara Belanda itu sudah pulang kampung. Terus, kenapa bahasa seperti itu harus muncul. Maka dari itulah, penting sekali kita mendefinisikan kembali makna dan substansi dari kemerdekaan itu sendiri.
Sudah diketahui bersama secara etimologis ”kemerdekaan” itu berasal dari kata dasar “merdeka” yang berimbuhan ke dan an, dalam gramatika Indonesia imbuhan tersebut disebut dengan konfiks, yang berpengaruh terhadap keberadaan makna. Merdeka mepunyai arti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa (KBBI).

Sehingga kemerdekaan mempunyai arti keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya). Dalam hal ini, kita tidak cukup memahami kemerdekaan itu secara terminologi atau pun etimologi, tetapi juga harus memahami substansi dari kemerdekaan itu sendiri.

Sebenarnya substansi dari kemerdekaan itu adalah menciptakan bangsa yang lebih bermartabat, bangsa yang bebas dari segala bentuk penindasan, menjadi Negara yang berdaulat, dan bangsa yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

Kemerdekaan itu tidak hanya sebatas sebuah kebebasan kosong yang disebabkan penjajah bangsa ini sudah kembali ke habitatnya, tetapi kita sebagai bangsa harus mempunyai harga diri, dan hal itu harus diimbangi dengan tingkat ekonomi yang memadai, untuk saat ini kemerdekaan secara financial itu yang menopang terhadap harkat dan martabat sebagai bangsa, yang sekaligus dianggap sebagai merdeka.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah merdeka? Ah, entahlah. Harus ada semacam alat ukur untuk mengidentifikasi apakah kita sekarang dalam keadaan merdeka. Kadang timbul sebuah kegelisahan dalam benak tentang pertanyaan yang lain, apa maksud dari para leluhur itu menginginkan kemerdekaan negera ini, toh hasilnya tidak pernah dinikamati oleh bangsa ini. Ia, itu dibuktikan oleh beberapa orang yang meninggalkan negeri ini ke negeri yang lain dikarenakan bangsa ini tidak mampu memberikan penghidupan yang layak, seperti TKI atau TKW. Kalau akhirnya negeri ini tidak ditempati oleh bangsanya, terus guna kemerdekaan itu di mana. Belum lagi, ketika kita mengamati orang-orang yang sampai saat ini masih tinggal di kolong jembatan. Apakah ini yang dimaksud dengan kemerdekaan, dan kemerdekaan yang dicita-citatakan.

Tidak perlu ada pernyataan kemiskinan itu disebabkan oleh  mereka sendiri, karena sampai saat ini tidak satu orang pun yang bercita-cita menjadi orang miskin. Kita tahu bahwa tanah dan air termasuk isinya yang ada di seluruh negeri ini adalah milik kita, yang dipercayakan pengelolaannya pada beberapa orang tertentu agar terjadi pemerataan hasil pengelolaannya. Orang yang dipercaya itu kita sebut dengan pemerintah.

Akhirnya, kami titip kemerdekaan kami, semoga kau tak tuli.

Merdeka!

Pamekasan, 25 Pebruari 2015

0 komentar:

Posting Komentar