This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 30 Januari 2018

Perbedaan dan Persahabatan yang Hilang

Perbedaan dan Persahabatan yang Hilang

Kemarin-kemarin kita masih sering bersama dalam satu ruang untuk membincang kepentingan bersama. Tidak ada kealotan yang berlebihan manakala kita berbincang tentang bagaimana memanusiakan manusia. Dan hari ini, kita sepertinya sedang berdiri di ruang yang berbeda, dan membincang tentang kepentingan masing-masing. Ada banyak kealotan yang sepertinya tidak bisa dipertemukan karena perbedaan sudut pandang.

Dulu dan kini berbeda sekali. Dulu dirimu adalah saudara sepenanggungan, dan kini dirimu menjadi musuh bebuyutan. Saling menghujat dari jarak jauh, karena dari jarak dekat tidak mungkin, sebab saling menatap saja mata ini sudah tidak sanggup. Kopi kita sudah bukan milik bersama. Meski merk gelas kopinya sama, tapi tidak ada jejak bibir dalam gelas yang sama.

Seperti ini mau disebut sebagai kemajuan, rasanya tidak mungkin. Jahiliyah kontemporer sedang menggerogoti sendi-sendi keberagaman. Atas nama perbedaan, mereka yang senior dan mereka yang yunior berhadapan di mimbar bebas tanpa ada perhitungan pantas dan tidak pantas.

Keniscayaan sebuah perbedaan kini terabaikan. Konsepnya, semua harus sama, jangan ada yang berbeda karena perbedaan adalah perpecahan. Ironi sekali, kita dituntut harus lahir di tempat dan tanggal yang sama oleh orang tua yang sama pula; diperlakukan secara sama agar tercipta karakter yang sama. Tapi apakah dengan demikian, semua akan sama.

Anak kembar yang lahir dari rahim yang sama dalam waktu yang bersamaan sulit untuk mempunyai karakter yang sama. Jika satunya setiap berkendara menjadi sopir dan lainnya berbonceng, maka yang terjadi adalah yang satu cenderung fokus/konsentrasi karena selalu melihat ke depan dengan antisipasi yang tinggi; sementara lainnya akan lebih terbuka dan luas pandangan, karena dalam perjalanan banyak hal ditemui. Cikal bakal perbedaan sudut pandang yang tak terelekan.

Kalau perbedaan itu adalah rahmat, itu artinya Tuhan ingin menunjukkan bahwa banyak manfaat yang akan didapat dari perbedaan itu. Terlalu antipati terhadap perbedaan akan melahirkan perseteruan yang tidak berkesudahan. Bukankah keindahan pelangi itu terletak dalam perbedaannya, pun gambar yang tertempel pada dinding rumah tidak pernah indah dengan hanya hitam dan putih, apalagi hanya satu warna, akan tidak jelas mana gusi dan mana rambut.

Sederhananya, jika dikaitkan dengan pilkada Pamekasan. Pilkada hanya sebagai ujian bersahabatan, semacam testimoni seberapa kuat kita mempertahankan persaudaraan yang lebih lama dibangun. Saling hujat karena sebuah perbedaan, rasanya tidak sebanding dengan apa yang akan hilang setelah semuanya usai.

Meski penulis menyadari akan hal itu, sungguh sulit rasanya untuk tetap bersikap sama seperti dulu. Jadi, bagi penulis tetap saja, yang berbeda pandang adalah musuh. Tetap tidak ada secangkir kopi untuk bersama, tidak ada diskusi dialektika dan candatawa di trotoar jalan. Setelah ini, perbedaan akan mengakhiri persahabatan: akun provokatif akan segera hilang.

Terutama akun yang pernah memublikasikan photo saya dengan uang dollar yang dikaitkan dengan pilkada. Uang titipan orang Pegantenan yang dititipkan pada adik ipar untuk diberikan pada temannya di Arab Saudi. Sungguh fitnah yang keji. Sampai saat ini sama sekali tidak ada itikad baik; tanpa tabayyun untuk mencari tahu.

Wallahu a'lam!

Sampang, 29 Januari 2018

Mari, Berpolitik dengan Baik

Mari, Berpolitik dengan Baik

Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah 'gemah ripah loh jinawi'. Ingat, bukan "lemah rupiah e-loh gakjadi". Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai 'en dam onio atau the good life'.
 
Dalam politik, semua pengamat sepakat bahwa politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).

Lima (5) poin tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lain; termasuk negara sebagai sebuah kedudukan. Setiap pemimpin dalam suatu pemerintahan akan sangat berbeda dalam penerapan empat poin sebagai langkah taktis, bergantung tipikal orangnya. Bila orangnya baik, maka akan baik dalam menjalankan roda pemerintahan; dan ini juga berlaku sebaliknya.

Kalau berbicara tentang kebijakan yang bersifat publik, alokasi dan distribusi, itu bersandar kepada kemampuan kepala negara atau daerah yang memimpin. Dengan power yang dimilikinya oleh seorang kepala negara atau daerah, maka ia mempunyai kesempatan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik; atau bisa sebaliknya.

Sehingga apabila power (kepercayaan) diberikan kepada seseorang yang mempunyai tingkat integritas yang rendah, maka signifikansi perubahan juga rendah. Dalam konteks pilkada hari ini, masyarakat harus lebih hati-hati dalam menentukan sikap (baca: pilihan), karena pilihan kita menentukan maju mundurnya daerah yang kita tempati.

Masyarakat harus pandai menggali rekam jejak kontestan yang sedang bertarung dalam bursa pilkada ini. Sebab, salah memilih pertaruhannya adalah lima (5) tahun ke depan. Yang perlu dipahami bahwa aksi propaganda di media sosial sama sekali tidak memenuhi representasi dari figur manapun. Mereka hanya menginginkan tatanan masyarakat menjadi kacau balau, tidak lebih dari itu.

Tentu, setiap figur mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan jangan sampai kekurangan itu dijadikan sebagai sebuah celah untuk mencaci maki seseorang. Kita harus yakin bahwa sopan santun masih mempunyai posisi tingkat paling tinggi dalam bersikap. Mari, selamatkan Pilkada Pamekasan 2018 untuk mencapai tata pemerintahan yang lebih baik.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 28 Januari 2018

Jumat, 26 Januari 2018

Menjebak Diri dengan Tua dan Muda

Menjebak Diri dengan Tua dan Muda

Kalau dalam kontestasi Pamekasan sibuk dengan tua-muda, maka tidak usah ada strategi politik. Cukup, Pan Bihah yang sudah usia delapan puluh sembilan (89) tahun ikutkan dalam kontestasi pilkada, dijamin menang. Kalau masih ada, cari stok yang lebih tua lagi. Karena semakin tua, kemungkinan menang akan semakin besar.

Kalau semua orang mengukur tua sebagai simbol dari kesempurnaan, baik otak dan otot, mari, pada kontestasi yang akan datang semua partai mencalonkan kandidat yang paling tua. Semacam kontestasi para orang tua. Kalau perlu dalam proses seleksi kandidat yang akan diusung, sertakan syarat usia minimal sembilan puluh (90) tahun.

Paling penting tua. Hal lain dari usia seperti karakter dan kemampuan intelegensi bungkus rapi masukkan karung, kalau sudah matang, baru keluarkan. Abaikan hal apapun yang akan membuat tua menjadi tidak berarti dan berguna.

Semakin memasuki era post modernisme, hal hal rasional sebaiknya harus ditinggalkan. Kecakapan dan hal lainnnya tidak dapat bagian dalam kontestasi pilkada. Selebihnya, yang muda harus sopan selama masih ada yang tua. Lalu, rubah slogan Bung Karno menjadi, "Beri saya sepuluh orang tua". Jadi, dengan hormat bagi yang muda, kalau masih ada yang tua, silakan mundur teratur.

Dalam konteks ini, tua sebaiknya bukan hanya persoalan kepemimpinan di daerah. Pun dalam segala bidang, harusnya demikian. Tua harus prioritas utama. Baik urusan pemimpin dalam partai, dalam pemerintahan, dan dalam organisasi apapun. Pokoknya yang berbau kepemimpinan, harus diisi oleh para orang tua.

Kalau masih ada yang lebih tua, jangan sekali-kali yang muda berambisi berada di pucuk pimpinan. Itu artinya kurang sopan, tidak berakhlak.

Pemikiran kok ya aneh-aneh. Bukannya mau berpikir inovatif dengan varian visi misi. Hari gini masih sibuk mengukur tingkat kualitas seseorang dengan usia. Atau barangkali sudah menemukan jurnal ilmiah yang berjudul, "Peran Pemimpin Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Daerah" yang mengupas perbandingan keberhasilan kepemimpinan tua dan muda.

Kalau bagi saya, jangan menciptakan bumerang dengan terjebak berbicara tua dan muda. Sebab, berbicara orientasi pembangunan dalam kurun waktu ke depan itu lebih penting. Tunjukkan dalam visi misi yang konkret, dan sangat mungkin untuk bisa direalisasikan.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 24 Januari 2018

Lebih Baik Mati Melawan Daripada Mati Diam

Lebih Baik Mati Melawan Daripada Mati Diam

Sebagai warga yang hidup bernegara, pasti akan berhadapan dengan kebijakan pemerintah. Setiap kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah belum tentu akan memuaskan semua pihak. Karena setiap orang berbeda kepentingan dan kebutuhan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, ada kebijakan yang menguntungkan masyarakat bagian tertentu tetapi tidak menguntungkan bagi lainnnya; ada yang menguntungkan golongan tertentu dan merugikan masyarakat.

Untuk kebijakan yang masih bersifat tidak menguntungkan, tetapi tidak sampai merugikan masyarakat yang mengarah pada penindasan, hal itu bisa digunakan pendekatan secara persuasif. Namun, jika sudah mengarah pada penindasan, hal itu tidak boleh dibiarkan. Karena seharusnya, setiap kebijakan pemerintah itu harus menguntungkan masyarakat dan untuk sebesar besar kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya.

Jika sampai terjadi penindasan, maka segala bentuk penindasan harus diimbangi dengan perlawanan. Dalam dunia gerakan ada prosedur yang harus dilakukan untuk memecahkan sebuah persoalan sebagai bentuk aspirasi. Mulai dari mengirimkan surat, audiensi, dan demonstrasi. Substansi dari gerakan tersebut adalah menyampaikan aspirasi publik dan mengawal setiap kebijakan yang non regulatif agar mencapai kemaslahatan bersama dan tidak hanya sebagian orang.

Persedur itu tergantung tingkat emergency yang terjadi. Dalam kondisi bagaimanapun, gerakan yang dilakukan harus disesuaikan dengan tingkat emergency yang ada, supaya gerakan tersebut tidak terkesan lebay atau dibesar-besarkan. Kalau efek regulasi tidak berdampak signifikan, maka pendekatan yang digunakan lebih sederhana.

Gerakan itu dapat dianalogikan seperti orang yang hendak membawa beban, semakin besar dan banyak beban yang akan dibawa, semakin banyak pula kebutuhan materi --orang yang membantu-- yang dibutuhkan. Massa bergantung kebijakan.

Upaya efisiensi harus dilakukan agar gerakan itu tidak menjadi bumerang.  Segala bentuk gerakan harus betul-betul diperhitungkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Keterbatasan anggaran juga harus diperhatikan agar gerakan tidak mati di tengah jalan karena kehabisan amunisi. Sebagai antisipasi gerakan, maka prosedur gerakan dilakukan dari mulai yang paling sederhana.

Tetapi substansi dari tulisan ini bukan persoalan prosedur atau efisiensi anggaran gerakan, lebih dari itu yang mau disampaikan adalah bahwa setiap bentuk kebijakan non regulatif dan penindasan harus dibumihanguskan dari bumi pertiwi ini. Akhirnya apapun yang menjadi halangan hancurkanlah.

Wallahu alam!

Pamekasan, 24 Januari 2015

Minggu, 21 Januari 2018

Belajar Kepada Tokoh

Belajar Kepada Tokoh

Untuk mengetahui bahwa seseorang yang jatuh dari pohon atau kecelakaan dalam berkendara—tertabrak mobil, jatuh dari motor—itu bisa mengalami patah tulang atau kematian, ia tidak harus mengalami sendiri. Kalau sesuatu yang akan menjadi ilmu pengetahuan bagi seseorang dituntut untuk dialami sendiri, berapa banyak hidup tersita untuk selalu melakukan riset ilmiah, bereksperimen sebelum mengungkapkan sesuatu.

Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang banyak untuk saat ini, cukup dengan cara belajar kepada orang lain yang sudah dianggap punya pengalaman dan pengetahuan ilmiah, baik itu secara langsung atau tidak langsung—seperti belajar karya-karya yang dimuat oleh para tokoh—meskipun itu tidak sepenuhnya mewakili terhadap perkembangan zaman. Paling tidak, pengetahuan para tokoh itu akan menginspirasi dan dijadikan sebagai pijakan awal dalam pemikiran.

Banyak para tokoh yang sudah melakukan riset ilmiah—dengan eksperimen atau dengan pemikiran seperti kontemplasi, imajinasi—dalam banyak bidang ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu filsafat, fisika, kimia,matematika, astronomi, biologi dan ilmu kesehatan, teknologi serta lainnya.

Para tokoh bidang pemikiran yang sampai saat ini statemen-statemennya masih menjadi rujukan dalam pemikiran seperti Sokrates filsuf kelahiran Athena,Yunani 469 SM., dan juga muridnya yaitu Plato yang pemikirannya juga tidak kalah brilian, Plato juga mempunyai murid bernama Aristoteles, begitu juga Aristoteles mempunyai murid bernama Aleksander Agung yang kesemuanya ini mempunyai andil besar dalam bidang pengetahuan.

Tetapi selain tokoh itu masih banyak tokoh lainnya, yang pemikirannya juga dijadikan sebagai pengetahuan dalam bidang pemikiran seperti Mao Tse Thung, Meng-Tse, Lau tse, Nitche, Lenin, Stalin, Karlmaks, Sigmund Freud, Al-Farabi, Aristarchus, Al-Kindi, Bertrand Rusel, Democritus, Descartes, Ibnu Haitam, Immanual Kant, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, John Locke, Leonardo Da Vinci, Thales, William James serta tokoh lainnya. Para tokoh ini telah berhasil memberikan dasar pengetahuan yang dilanjutkan oleh banyak generasi berikutnya.

Tokoh lain yang telah mampu membangun peradaban di bidang teknologi, seperti Alexander Graham Bell, Bessemer, Browning, Burroughs, Carl Benz, James Watt, Orville Wright, William Sturgeon serta banyak yang lainnya, telah mampu memberikan pengantar ilmu pengetahuan teknologi saat ini. Meskipun harus kita pahami bahwa pemikiran mereka masih terbatas pada zamannya. Pengetahuan mereka tidak menutup sepenuhnya terhadap pemikiran yang baru karena pengetahuan mereka hanya mewakili zamannya. Perkembangan zaman menuntut bahwa pengetahuan tidak cukup dibatasi oleh pengetahuan para tokoh yang dimaksud.

Sebuah keniscayaan bahwa perkembangan zaman ini pasti akan diimbangi dengan tingkat pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Kenapa tidak, dasar-dasar pengetahuan sudah ditanam oleh para pemikir terdahulu, sebagai generasi kita hanya dituntut belajar dan menampung banyak informasi pengetahan yang sudah dituangkan dalam bentuk karya ilmiah oleh para tokoh terdahulu. Internalisasi pengetahan harus tetap dilakukan sebagai upaya mengantisipasi degradasi dan stagnasi pengetahuan itu sendiri. Tetapi hal itu terjadi jika diimbangi dengan ghiroh belajar yang kuat dari para generasi berikutnya.

Artinya adalah bahwa kemajuan sebuah Negara itu bergantung seberapa jauh semangat belajar dari para generasinya dengan segala keterbatasannya. Bercermin dari para tokoh, tidak satu orang tokohpun yang dikaruniai kemampuan yang instan. Mereka belajar pantang menyerah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Semoga manfaat!

Pamekasan, 08 Oktober 2015

Mempertegas Kembali Posisi NU Sebagai Gersosag

Mempertegas Kembali Posisi NU Sebagai Gersosag
Refleksi KONFERCAB, Sebagai Media Berbenah dan Menciptakan Masa Depan NU Lebih Baik

Teks “Khittah Nahdhatul Ulama” hasil Muktamar di Situbondo tahun 1984, menjelaskan posisi NU sebagai Gersosag, atau organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Sebagai organisasi keagamaan jelas dijelaskan dalam bagian “Mukaddimah”, salah satunya disebutkan: “NU sebagai jam’iyah diniyah” di paragraf kedua. Ini juga ditambah dengan yang ada dalam bagian “Dasar-dasar Paham Keagamaan NU”, yang menyebut dasar-dasar paham keagamaan yang dianut dan digumuli NU sebagai organisasi keagamaan. (Nurhasim & Ridwan, 2004: 24-25).

Sedangkan NU sebagai organisasi sosial (kemasyarakatan) tampak jelas dalam bagian “Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU”, terutama di item c-d: membangun pelayanan sosial; dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yang kemudian merujuk kepada statoeten NU 1926, yaitu “mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan”. (Nurhasim & Ridwan, 2004: 25).

Melihat fenomena NU kekinian yang cenderung hanya mengedepankan nilai keagamaan saja telah menjauhkan NU itu sendiri dari tujuan awal terbentuknya organisasi ini. Dan ketimpangan ini membuat warga NU tidak merasakan kehadiran NU di tengah-tengah mereka. Karena selama ini bagi kaum akar rumput, yang dianggap jelas kontribusinya apabila kegiatan itu berdampak langsung terhadap kesejahteraan. Selain memang, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan, sudah didapatkan oleh masyarakat dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada di sekitarnya. Sesungguhnya, pemahaman nilai keagamaan dalam tubuh dan warga NU sudah finish. Sehingga warga NU itu sendiri sudah tinggal merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, selebihnya menyikapi persoalan-persoalan keagamaan yang bersifat kekinian.

Penting sekali para tokoh NU merenung dan merumuskan kembali strategi bagaimana konsepsi dasar yang dibangun oleh para tokoh NU teralisasi dengan baik, agar NU mendapatkan kembali posisinya di hati masyarakat; penting, memperbanyak kegiatan kemasyarakatan yang berorientasi pada pencerdasan masyarakat, baik secara intelektual dan finansial. Tetapi tidak berarti kegiatan keagamaan dalam tubuh NU tidak penting, tetapi bahwa kegiatan keagamaan saja tidak cukup, karena harus diimbangi dengan kegiatan yang berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.

Keputusan menjadikan NU sebagai Gersosag diobsesikan untuk memperkuat posisi warga Negara yang banyak dieksploitasi negara dan dihegemoni negara. Untuk itu, masyarakat harus meningkat pengetahuannya, berdaya dalam ekonomi dan sosial, sehingga posisi masyarakat memiliki daya tawar yang kuat di depan negara. Jadi, keputusan NU sebagai Gersosag, diobsesikan untuk memperbaiki warga masyarakat dari dalam dirinya sendiri, bukan mengandalkan dari negara; dan di saat yang sama bisa memiliki daya tawar yang kuat dengan negara untuk kepentingan-kepentingan yang melibatkan unsur negara. (Nurhasim & Ridwan, 2004: 26).

Hal demikian hanya bisa terjadi bila NU dipimpin oleh orang yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin organisasi. Pemimpin yang mempunyai cita-cita untuk mewujudkan amanah AD/ART dan mampu berpikir jauh ke depan. Kontestasi tidak sehat dalam memilih pimpinan organisasi juga ikut andil dalam keterpurukan organisasi. Bila jatuh ke tangan yang salah, maka tidak akan pernah ada perbedaan yang signifikan dalam tubuh organisasi antara masa lalu dan masa yang akan datang. Perkembangan organisasi akan terhambat oleh pemikiran-pemikiran konvensional yang tidak membangun. Jiwa muda dengan ghairah dan idealisme yang masih kental harus menjadi prioritas dalam memimpin organisasi. Kalau tidak, maka organisasi akan mengalami nasib serupa seperti sebelum-sebelumnya.

Siapa yang salah bila NU tetap berjalan di tempat atau semakin mengalami kemunduran. Tentu, jawabannya sudah jelas, bahwa pemilik suara dalam kontestasi itu yang paling bersalah. Bahwa pemilik suara itu adalah PC, MWC, dan ranting, maka mereka ini yang harus bertanggung jawab kepada warga NU jika NU tidak mengalami perubahan yang signifikan pasca terpilihnya pimpinan orgnisasi.

Ada statemen seorang ulama yang menyampaikan bahwa NU adalah pondok besar yang santrinya adalah warga NU, dan pondok pesantren adalah pondok-pondok kecil. Bila NU selama ini dianggap sebagai pondok besar, tentu NU sudah saatnya dirasakan kehadirannya di masyarakat. Kenapa sebab, karena pondok-pondok pesantren yang dianggap sebagai pondok kecil saja sudah mampu berkembang dengan pesat dalam bidang perekonomian. Ambil contoh pondok pesantren yang ada di Jawa seumpanya, seperti Pondok Pesantren Sidogiri yang sudah mempunyai BMT (koperasi), swalayan (toko besar), beberapa perusahaan seperti air mineral, sarung, percetakan dan lain-lain—hanya sebagian contoh--dimana-mana.

Bisa dibayangkan, seandainya pondok besar ini jatuh ke tangan orang yang tepat, dan dikelola dengan benar. Sudah dapat dipastikan bahwa NU akan menjadi tumpuan masyarakat dalam banyak hal termasuk dalam hal memperbaiki tingkat ekonomi masyarakat. Tentu dalam keterpilihannya harus mampu meracik orang-orang yang kompeten dan masih mempunyai ghirah yang kuat untuk memperbaiki dan memajukan organisasi di masa yang akan datang.

Wallahua’lam…

Pamekasan, 18 Maret 2016

Jumat, 19 Januari 2018

Biarkan Orang Bicara

Biarkan Orang Bicara

Biarkan orang bicara. Kira-kira itu kalimat yang tertancap kuat--hampir menyamai kekuatan, Ade Rai sang binaragawan--di bak truk bagian belakang itu. Selepas membaca, kalimat itu masih saja tercetak tebal dalam pikiran. Entah, ada makna apa tersirat di balik kalimat itu.

Memang iya, kalau kita dituntut untuk selalu menanggapi pembicaraan orang, rasanya akan sangat melelahkan. Setiap orang mempunyai alur berpikir masing-masing. Ada yang dapat dijangkau oleh akal manusia lain, pun ada yang tidak dapat dipahami oleh manusia lainnya.

Yang dapat dijangkau oleh akal manusia pun beranekaragam. Nah, untuk hal yang tidak dapat kita pahami maksud dari pembicaraan seseorang, tentu tidak harus kita tanggapi. Jangan-jangan mereka memang bukan kelas kita. Tetapi ada hal yang memang juga tidak penting ditanggapi meskipun kita mengerti tentang apa yang dibicarakan.

Hal yang mungkin dianggap tidak penting untuk ditanggapi meski dimengerti, seperti: pembicaraan yang mengarah pada menggunjing, fitnah, cacimaki, adu domba, dan hal lainnya yang tidak penting. Apalagi momen Pilkada seperti saat ini, banyak pembicaraan yang mengarah pada provokasi bertebaran di mana-mana. Tidak kontributif dan tidak membangun.

Kadang kontestasi Pilkada ini menjebak orang-orang, bahkan yang berpendidikan sekalipun berperilaku seperti anak kecil. Memancing suasana yang damai menjadi keruh. Menghadapi manusia seperti ini butuh kesabaran tingkat dewa: kesabaran bersikap bijaksana menyikapi dan kesabaran untuk tidak menanggapi.

Kembali kepada bak truk, "Biarkan orang bicara". Toh, yang capai mereka sendiri, yang terpahami karakternya juga dia. Yang penting menjelang panasnya suasana ini, yang waras ngalah. Jangan semuanya menjadi api, sesekali menjadi bensin biar panasnya tambah terasa. Maksudnya, bensin yang bercampur air. Kalau ada yang memantik segera padamkan.

Bagaimana pun, marwah Pilkada Pamekasan ini harus dijaga, kalau perlu  buat Pos Kamling (dijaga siang malam). Sebab, marwah akan semakin tinggi jika kontestasi ini kita jalani dengan penuh kedamaian, ketentraman, dan kehikmatan. Ingat, bukan, Marwah famili sebelah barat rumah saya! Hilangkan rasa dengki dalam diri, apalagi kita ini masih satu famili. Famili dari Nabi Adam dan Siti Hawa, maksudnya! Kalau kandidatnya jelas masih famili, mempunyai darah yang sama dari sananya.

Meski berbeda pilihan, kita tidak boleh bermusuhan apalagi sampai bertengkar. Siapapun pilihanmu, mari tetap "Berbaur". Anda bisa memilih siapa saja dalam proses demokrasi ini tanpa paksaan sedikit pun. Dan, jika anda bingung harus memilih siapa dalam kontestasi (Pilkada Pamekasan) ini, saya bisa memberi petunjuk. Pilihlah Berbaur! Itu saja.

Wallahu a'lam!

Sampang, 18 Januari 2018

Politik; Mewaspadai Permainan Isu

Politik; Mewaspadai Permainan Isu

Sederhananya seperti ini. Anggap semua yang beredar seputar politik itu adalah isu. Sebab, hampir setiap kabar yang beredar seputar politik saat ini, penuh dengan propaganda, kepalsuan, dan sama sekali tidak lepas dari kepentingan. Tujuannya hanya satu, ingin memengaruhi orang untuk menjadi bagian (pendukung figurnya) daripada dirinya.

Intinya, kabar yang berkembang saat ini lebih pertikularistik; tidak universal. Kalau misal, ada seseorang mengabarkan tentang kecelakaan: mau tahun gajah, tahun saka atau lebaran kuda sekalipun, pasti nilainya sama. Karena berita kecelakaan itu tidak pernah tendensius dan mempunyai kepentingan kelompok manapun, selain mau menginformasikan berita secara utuh tentang sebuah kejadian. Itulah universal.

Tapi, jika menyangkut urusan politik, kabar yang disampaikan saat ini, menjadi tidak menarik jika disampaikan tahun depan dan tidak lagi relevan dengan situasi dan kondisi saat itu. Isu yang beredar hanya bersifat momentum saja. Sehingga dengan begitu, jangan mudah terbawa oleh hal yang bersifat partikularisme ini. Sebab di dalamnya syarat dengan kepentingan, dan kebusukan.

Jika otak kita dijejali dengan perkara yang berkaitan dengan isu politik (baca: Pilkada) anggap saja angin lalu. Ingat, visi-misi tidak termasuk isu politik. Yang cenderung isu itu, jika sudah mengarah kepada merugikan pihak (baca: rival politik) lain dan bersifat opini; disampaikan secara berbusa-busa dengan intensitas yang tinggi.

Jaga baik-baik pikiran kita, jangan mau diombang-ambing oleh manusia penyebar isu. Kadang keterbatasan kita sebagai orang kampung, seringkali dimanfaatkan sebagai objek opini, dan bahkan dalam kondisi tertentu (saking mantapnya opini yang berkembang) kita bahkan menjadi subjek opini (tukang sebar isu juga). Semoga Allah menjauhkan kita dari penyebar isu. Amin!

Percayalah, bahwa semakin dekat dengan pemungutan suara maka semakin dekat pula isu yang beredar itu dengan kepalsuan. Sehingga bagi siapapun orang yang sama sekali tidak punya keahlian dalam ilmu politik, jangan menjebakkan diri untuk ikut dan melebur di dalamnya untuk menghindari kesalahan langkah yang akan ditempuh. Tetap tenang, sedot rokoknya, lalu seruput kopinya.

Jadi, biarkan saja urusan politik menjadi urusan mereka yang mau dan berkecimpung di dunia politik. Urusan kita adalah "Berbaur" dengan masyarakat, menjaga kedamaian dan kenyamanan di tengah masyarakat. Tidak usah ikut-ikutan masalah politik, menjadi pengamat politik, apalagi menjadi paranormal politik yang di mana-mana selalu berkoar, "si A menang dan B kalah". Ah, ada-ada saja!

Saya sepakat dengan pidato, Presiden kita Bapak Jokowi yang mengatakan bahwa dalam memilih pemimpin itu harus memilih pemimpin yang baik. Itu saja!

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 14 Januari 2018

Politik Ormas bukan Agama

Politik Ormas bukan Agama

Melihat beberapa kejadian di republik ini, akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berpikir. Tentu, bukan pelajaran seperti Bapak Ustadz ketika ada di depan kelas dengan papan dan kapur tulis di tangan, yang menyebabkan bajunya putih-putih. Saya jelaskan, bukan putih abu-abu, karena putih abu-abu itu masa SMA, bukan Diniyah. Pelajaran yang bisa diambil adalah, bahwa suka mencari kesalahan orang lain itu sama dengan menyuruh orang lain untuk mencarikan kesalahan sendiri.

Kenapa tidak, ketika yang satu berhasil menemukan kesalahan orang lain dalam pencariannya, maka yang lain tidak tinggal diam untuk mendapatkan kesalahannya. Bila atas dasar kesalahan yang didapatkan itu menyebabkan orang lain dilaporkan, maka hal serupa akan dilakukan oleh orang lain, dan berujung saling melaporkan satu sama lain. Nah, di sini keadaan menjadi lucu. Akhirnya, bisa berkesimpulan bahwa diam itu lebih baik, jika bicara tidak membawa kebaikan. Apa lagi menambah banyak persoalan. Apa lagi saling malaporkan. "Apa lagi?" Sebuah pertanyaan.

Bukankah Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah mengatakan, “Jangan mengawasi orang lain, jangan mengintai geraknya, jangan membuka aibnya, jangan menyelidikinya. Sibuklah dengan diri kalian, perbaiki aibmu. Karena kamu akan ditanya Allah tentang dirimu, bukan tentang orang lain.” Tapi, masih saja sibuk sama urusan orang lain. Jika tidak percaya dengan manusia yang tingkat keilmuannya tidak diragukan lagi oleh Rosulullah sendiri, terus mau percaya sama siapa lagi. Bukannya percaya, malah menjadi-jadi. Terus, hasilnya sekarang apa? Keadaan juga tidak lebih baik, yang ada malah saling ingin memenjarakan. Seandainya dirubah saling memaafkan, bukannya keadaan akan menjadi lebih baik dan harmonis.

Ormas apa pun di Indonesia tidak identik dengan Islam; tidak pula berhak membawa-bawa kepentingannya sebagai kepentingan umat islam Indonesia. Sehingga apabila ada ormas--berlabel Islam--tertentu di Indonesia yang dinyatakan bersalah dan melanggar konstitusi, maka tidak berarti dianggap menyerang Islam. Ormas Islam hanya sebagai media, representasi, tauladan tentang Islam, tapi bukan Islam itu sendiri. Ormas tidak maksum, tapi Islam sebagai agama sudah mutlak benar. Maka, membawa-bawa agama dalam setiap kegiatan sebagai bentuk interpretasi keagamaan secara personal dan komunal tidak dibenarkan mengatasnamakan umat islam seluruhnya. Apa lagi pembenaran terhadap persoalan politik.

Dalam konteks DKI hari ini, terus terang saya bingung. Sebab, yang cenderung dijadikan serangan kepada salah satu kontestan adalah masalah agama. Sehingga terkesan yang dimunculkan ke permukaan bukan masalah politik tetapi masalah agama. Sampai muncul ayat Alqur’an yang dijadikan dasar untuk tidak memilih salah satu calon. Tetapi kemudian ada yang lebih membingungkan. Kalau orientasi dalam kontestasi politik itu adalah kemenangan dari pihak muslim, kejayaan daripada Islam, kenapa ada dua perwakilan yang dimajukan. Bukankah itu akan memecah soliditas suara dari umat islam itu sendiri yang mengakibatkan kekalahan.

Sepertinya warga DKI sudah tidak melihat latarbelakang agamanya dalam memilih. Sebab, kompleksitas persoalan yang dicerca saat ini juga merupakan buah karya dari beberapa gubernur sebelumnya yang notabene muslim. Tolong, kontestasi politik hari ini jangan bawa agama, karena jika tidak berhasil memecahkan persoalan ketika terpilih menjadi gubernur, maka agamanya yang akan dipersalahkan. Bukan oknum yang memimpin.

Akhirnya, saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Apakah itu masalah agama atau masalah kelompok tertentu yang membawa-bawa agama.

Wallahu a'lam!

Sampang, 19 Januari 2017

Mempertemukan Dua Kenyataan Beda

Mempertemukan Dua Kenyataan Beda

Seorang teman bercerita ketika dia sedang mondok. Dia melihat putra Kiai yang melintas berkendara dengan kecepatan yang sangat tinggi di area masuk pondok pesantren. Tiba-tiba santri yang kebetulan berada di sisi jalan langsung berdiri sebagai bentuk hormat pada sang Kiai. Bagi santri yang tidak berdiri, dianggap sebagai santri yang tidak beretika; dan jika hal itu sampai diketahui oleh pengurus, maka ia harus bersiap menghadapi kemarahan dari pengurus.

Sambil menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok (marlboro) yang ada di depannya, ia melanjutkan cerita sembari memberi komentar. "Kalau seorang ulama itu adalah pewaris Nabi, maka sikap yang harus ditampilkan seorang ulama itu harus menyerupai perilaku Nabi, agar bisa menjadi contoh. Saya tidak habis pikir dengan perilaku yang demikian itu, apakah benar menurut Nabi," Ia melanjutkan, "Jadi tidak jarang, kalau akhirnya santri itu menjadi seorang tokoh, ia akan juga akan bersikap demikian, seandainya Rosulullah SAW. masih hidup kita tinggal mencontoh perilaku beliau."

Perbincangan pun menjadi ke mana-mana. Maklum, tidak ada tema khusus yang sengaja kami angkat. Kita hanya sekedar silaturrahim kerena lama tidak berjumpa. Akhirnya, perbincangan berlanjut sampai pada persoalan kecenderungan adanya sekat antara para Kiai dengan masyarakat. Bagaimana mencekamnya ketika masyarakat hendak silaturrahim kepada Kiai, yang seakan dibatasi oleh status sosial yang berbeda. Sehingga untuk berkeluh kesah sulit sekali untuk disampaikan karena sungkan. Karena memang seorang Kiai dicitrakan sebagai figur yang dimuliakan. Ini kemudian menjadi asumsi masyarakat awam--cerita ini tidak berlaku umum.

Berbeda dengan zaman wali songo yang justru terbalik. Para wali mencari masyarakat sampai ke akar rumput untuk memberi tauladan yang baik melalui sikap dan perilaku, sekaligus menyebarkan agama Islam. Tentu, zaman wali songo berbeda dengan sekarang. Dulu, memang tertuntut demikian karena Indonesia tempo dulu pemeluk Islam sangat terbatas. Tetapi tidak berarti yang sudah Islam dibiarkan dengan kedangkalan pemahaman tentang keislamannya, termasuk bagaimana budaya sebagai media Islamisasi Indonesia.

Hal yang berbeda pernah disampaikan oleh seorang teman yang kebetulan beliau adalah Ustadz. Pada suatu majlis, kajian kitab kuning Syarhul Hikam, yang dikarang oleh Imam Atha'illah as-Sakandari. Beliau menyampaikan begini, kalau kepada seorang guru, kita tidak boleh berburuk sangka, termasuk dalam kondisi bersalah sekalipun. Karena cara kita bertaubat dengan beliau sangat berbeda sekali. Beliau kalau sudah bertaubat sudah tidak ingat dengan masalah harta benda, sedangkan kita...

Artinya, bahwa mengayomi umat dengan tauladan yang baik itu penting. Kalaupun kita akhirnya dihadapkan dengan hal yang dalam perspektif kita kurang baik dari perilaku sebagian tokoh, jadikan itu sebagai cara melatih untuk tidak berprasangka tidak baik kepada orang lain.

Dan saya sebagai bagian dari perbincangan itu hanya bisa mengiakan dengan sedikit membumbui perbincangan.

Wallahu a'lam!

Sampang, 16 Januari 2017

Senin, 08 Januari 2018

Pilkada dan Dinamika Politik Caci-maki

Pilkada dan Dinamika Politik Caci-maki

Dinamika politik Pamekasan sudah semakin tampak jelas. Antara pendukung yang satu dengan yang lain sudah mulai pasang badan dan mengatur strategi masing-masing untuk memengaruhi massa (baca: pemilih). Mendiskreditkan pasangan yang satu dengan yang lainnya sudah bukan barang tabu, saling mencaci-maki satu sama lain seperti menjadi bumbu, memfitnah sana-sini tanpa sedikit ragu-ragu. Kata Bang Iwan, "Tikam dari belakang, lawan lengah diterjang". Lanjut!

Memang demikian harusnya kontestasi Pilkada. Semula saya sempat menyampaikan bahwa kontestasi politik Pilkada Pamekasan bukan pemilihan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang harus berlalu begitu saja tanpa kesan-pesan dan persinggungan yang berarti antara satu sama lain. Sehingga penting adanya perseteruan di dalamnya, agar dinamika politik lebih hidup; satu sama lain saling berpikir untuk menjatuhkan. Nah, dengan berpikir itu akan menjadi kontribusi baik bagi perpolitikan ke depan. Semula terkesan negatif, lambat laun akan disadari di mana letak kesalahan kita.

Agenda besar itu memang harus menjadi arena konflik sosial yang besar, agar siapapun terpilih menyadari bahwa dalam proses keterpilihannya menghabiskan kos yang besar: baik kos secara materi dan psikologi (baca: perasaan). Dan akhirnya, efek politik ini harus berimbang dengan manfaatnya bagi masyarakat. Bukan tugas kita, tapi tugas pemimpin kita pada masa mendatang.

Hari ini, betapa untuk membela figurnya, seseorang rela berhadapan dengan temannya dan bahkan saudaranya. Tidak jarang hubungan persaudaraan berakhir dengan putusnya paralon air dan paralon cinta di antara mereka. Sehingga, untuk minum, mandi dan menjalin silaturrahim harus mencari saudara angkat, bahkan sampai tiga angkatan, mulai dari saudara angkatan pertama sampai angkatan ketiga. Lalu, ada alumni persaudaraan. Alhamdulillah, berkah politik bisa nambah saudara.

Dalam dunia politik, seperti ini menjadi sangat wajar. Entah, sejak kapan mendapatkan permakluman dari masyarakat. Apa mungkin karena hampir serupa dengan lagu, Bang Rhoma Irama, bahwa politik tanpa perseteruan bagai taman tanpa bunga. Kurang sedap. Penting sekali, bahwa caci maki hari ini dilihat sesuai dengan konteks, yaitu konteks politik. Sehingga caci maki dan fitnah dalam arena politik diharapkan tidak mampu mengganggu stabilitas persaudaraan. Anggap saja caci maki itu bumbu politik, agar politik menjadi lebih sedap.

Ada hal penting yang perlu disampaikan, bahwa bagaimanapun serunya dalam menikmati kapasitasnya sebagai pendukung, jangan pernah lupa bahwa kejahatan itu tetap jahat. Fitnah, caci-maki, hujat, dan makanan yang berbau busuk lainnya tetap harus disadari bersama bahwa hal itu memang tidak baik. Jangan sampai karena saking nikmatnya dalam dunia perseteruan, lantas melegitimasi sesuatu yang tidak baik menjadi baik.

Mari, sementara ini kita istikomah perang fitnah dan caci-maki sebagai cara mengabdi kepada figur yang kita dukung sampai batas waktu yang ditentukan. Buat bumi gerbang salam ini sedinamis mungkin, dengan perseteruan. Sebab, jika tidak demikian yang terjadi, maka kita akan menilai kontestasi ini sebagai barang murahan yang tidak perlu ditindaklanjuti secara serius. Kontestasi Pilkada Pamekasan ini akan tampak mahal manakala terlihat efek-efek sosial yang ditimbulkan.

Demikian itu merupakan sebuah cara yang bisa dijadikan pertimbangan kebijakan pada saatnya kegika salah satu figur memimpin. Pada saat memahami bahwa harga politik itu mahal, maka keinginan bermain-main dalam mengelola pemerintahan akan dihindari. Semoga begitu.

Apapun caci-makinya, yang penting Bupatinya: mampu "Berbaur" dengan masyarakat akar rumput.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 08 Januari 2018

Ternyata Presiden Kita Juga NU

Ternyata Presiden Kita Juga NU

Saya termasuk pendukung Jokowi, tapi saya berusaha belajar Objektif. Kalau semisal saya tidak setuju dengan kebijakan beliau menaikkan harga BBM, saya utarakan saja. Mungkin Anda akan bertanya, kenapa tidak diselatankan saja? Harusnya, pertanyaannya bukan itu. Tetapi kenapa saya tidak mendukung? Baik, saya akan menjawab dengan sangat gamblang, segamblang silet. Nah, lo, salah lagi kan?

Jadi begini, kalau biasanya saya isi BBM satu kali dengan harga tertentu, bisa beberapa kali pergi ke rumah mertua; setelah harga BBM naik, saya harus beli dua kali dengan ketentuan yang sama. Sudah nyata kan perbedaannya. Itu alasan saya tidak setuju, dan mungkin saudara sekalian. Tapi akhirnya setuju, atau setuju sama saja, BBM tetap naik. Kalau demikian adanya saya pasrah saja, yang penting Bapak Presiden punya Kartu Tanda Anggota NU (Karta-NU), itu sudah lebih dari cukup. Berarti bapak Jokowi sama dengan saya. Hidup NU!

Memang NU pilihan yang tepat pak. Anda akan mendapatkan kedamaian, kesejukan, ketenangan, ketenteraman dan lain-lain. Tapi saya curiga sama bapak, kenapa masuk NU, apa bapak punya modus, atau ikut-ikutan wakil bapak. Ah, itu urusan bapak, yang penting NU dululah. Orang sekelas Presiden tidak mungkin tanpa perhitungan yang matang. Seratus buat Bapak Presiden.

Lho, iya ya. Saya kok baru sadar kalau orang nomor satu dan nomor dua di Negara ini adalah orang NU. Atau mungkin beberapa Menterinya. Saya yakin juga kalau orang ketiganya juga NU. Ups, kok pakai orang ketiga. Maksudnya, adalah orang yang dekat-dekat Bapak Presiden. Biar tidak salah paham.

Lantas, siapa yang kemudian akan menyangsikan kebesaran NU. Kalau satu, dua, sampai tiga adalah NU. Dan kita-kita juga NU. Dengan demikian, semoga kita akan bersama para ulama, sampai hari kiamat Mr. Presiden.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 08 Januari 2017

Kamis, 04 Januari 2018

Kebijakan Pemerintah di Balik Jumlah Kartu Indonesia

Kebijakan Pemerintah di Balik Jumlah Kartu Indonesia

Meski tidak tahu efek domino yang akan ditimbulkan oleh kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang jelas ini tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Secara sederhana banyak hal yang bisa diprediksi akibat kenaikan tersebut. Meski tidak melalui analisis secara akademis dengan pendekatan yang ilmiah. Hipotesis secara kasar ini sudah bisa memprediksi.

Tidak harus berbicara dalam skala yang luas. Kita bisa melihat dampak yang akan terjadi pada kita sendiri dan lingkungan sekitar kita sejauh yang bisa kita amati. Secara langsung dampak yang akan didapatkan seperti naiknya tarif angkutan umum. Dari sini, akan berdampak terhadap kenaikan harga-harga yang lain, termasuk sembilan bahan pokok (sembako).

Ketika tarif angkutan umum naik, maka dapat dipastikan bahwa para pedagang yang selama ini memanfaatkan jasa angkutan umum akan menaikkan harga dagangannya. Secara langsung kita sebagai konsumen akan merasakan kenaikan itu, karena kenaikan BBM selama ini merupakan alasan yang sangat mematikan bagi konsumen yang dimanfaatkan oleh para pedagang.

Belum lagi, hal-hal yang akan ditimbulkan oleh profesi-profesi lain seperti tukang becak. Selama ini tukang becak memanfaatkan jasa angkutan umum untuk sampai ke tempat kerja (baca: kota), meski ada sebagian yang mengayuh becaknya dari rumahnya sampai ke tempat kerjanya dengan jarak yang sangat jauh--kurang lebih 15 km. Sedangkan tarif becak sulit untuk dinaikkan, karena banyaknya jumlah tukang becak.

Tidak hanya BBM yang naik. STNK dan BPKB pajaknya juga ikutan naik. Keduanya seperti sedang berada di arena sirkuit. Berpalapan dan berlomba saling mendahului antara yang satu dengan yang lain. Yang paling tinggi tarifnya, maka dia yang keluar sebagai pemenang.

Tentu, pemerintah bukan tanpa alasan menaikkan harga BBM dan pajak kendaraan bermotor. Apa pun alasannya, ada alasan yang paling masuk akal di antara alasan yang ada, yaitu membuat banyak tambahan kartu untuk Indonesia. Karena selama ini Indonesia terbukti hidup dengan kartu. Termasuk kartu kredit macet.

Kalau pemerintah punya alasan menaikkan untuk pembangunan infrastruktur yang mangkrak, pemerintah tidak bisa menjadikan rakyat sebagai objek pembantu pembangunan. Optimalisasi Sumber Daya Alam adalah jawaban paling baik untuk mengatasi masalah itu, bukan malah rakyat yang dikorbankan. Cukuplah beban keras ini saja yang bisa kami tanggung, jangan persoalan lain.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 05 Januari 2017

Banjir dan Kealpaan Manusia

Banjir dan Kealpaan Manusia

Rumah kita seperti lorong-lorong kecil, tempat di mana air melintas. Alternatif lintasan air yang meluber dari gorong-gorong yang menyempit adalah rumah kita. Iya, dirimu dan diriku. Inilah, akibat desain bagus di permukaan, di dalam penuh sampah dan kepalsuan. Penuh dengan "isi kepala" manusia yang tidak taat pada peraturan lingkungan hidup.

Hari ini bukan saatnya mengutuk keadaan, seperti apa pun gelapnya, tapi berusaha menyalakan lilin seberapa pun terangnya. Keberagaman pengetahuan ini harus dimaklumi dan dipandang sebagai keterbatasan. Tidak semua orang tahu tentang hukum kausalitas. Faktor alam memang menjadi penyebab terjadinya banjir, seperti adanya curah hujan berlebih dengan waktu yang sangat lama. Tetapi tidak berarti mengabaikan faktor lain dari kelalaian manusia.

Faktor-faktor partisipasi masyarakat dalam hal penyebab banjir tidak kalah banyak, meski tidak sampai harus dihitung dengan kalkulator. Cukup jari tangan saja. Penebangan pohon secara liar, yang mengakibatkan hilangnya salah satu fungsi penyerap air, yaitu akar pada pohon itu. Termasuk sampah yang dibuang sembarangan, menjadi penghambat iring-iringan air menuju hilir, sehingga air harus mencari jalan alternatif bebas hambatan. Kurang lebih seperti pengendara tak ber-SIM yang dihalau Polantas.

Kemudian, pembangunan yang dilakukan di bantaran sungai. Terus, kenapa? Masalah buat lho! Oh, tidak. Masalahnya buat kamu sendiri, bukan buat saya. Sungai semakin menyempit, karena sisi sungai yang harusnya menjadi lintasan air dimanfaatkan untuk bagian dari bangunan. Akhirnya air yang harusnya melintas, naik ke permukaan sungai dan jalan-jalan ke perkampungan masyarakat. Semacam rekreasi, begitulah! Melepas lelah setelah perjalanan berkilo-kilo dari hulu. Nah, lho, baru tahukan kalau air juga butuh rekreasi.

Musim libur telah usai bagi manusia, khususnya birokrasi, saatnya sekarang bekerja. Bekerja mengatasi banjir. BPBD mana BPBD? Sekali bekerja, yang banyak sekalian. Bukankah pekerjaannya menunggu bencana, sekaranglah saatnya bekerja. Tapi tenang saja pak, kami masyarakat siap membantu.

Ups, belum selesai sampai di sini ulah kita yang menyebabkan banjir. Drainase yang diubah tanpa memperhatikan amdal, terlebih di lingkungan perkotaan. Jangankan diperkotaan pak, yang nyaris semua halaman dipaving. Di pedesaan saja kalau drainase salah tempat, air tidak mau lewat. Kalau sudah tidak mau lewat jalan yang disediakan, repot kan.

Terakhir, salah sistem tata ruang. Penyebab banjir yang satu ini dapat mengakibatkan air sulit untuk menyerap serta alirannya lambat. Sementara air yang datang ke wilayah tersebut jumlahnya akan lebih banyak dari yang biasanya dialirkan sehingga dapat dengan cepat terjadi banjir. Serapan air diperkotaan yang sudah sangat kecil harus diimbangi dengan dengan tata ruang yang benar. Sekarang halaman rumah perkotaan sudah tidak bisa menyerap air, sudah serba beton. Penting juga seandainya halaman rumah diimbangi dengan pertamanan.

Turut berduka atas musibah (banjir) yang menimpa saudara-saudaraku di Pamekasan. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmatNya pada kalian semua. Amin

Wallahu a'lam!

Sampang, 04 Januari 2017

Selasa, 02 Januari 2018

LPM, dan Kepentingan Sosial

LPM, dan Kepentingan Sosial

Puluhan mahasiswi menghadiri dan mengikuti Pelantikan dan Diklat Jurnalistik Tingkat Dasar (DJTD) yang dilaksanakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Sekolah Tinggi Miftahul Ulum Pamekasan. Tentu, hari ini kegiatan itu digelar, selasa tanggal 03 Desember 2017--bukan kemarin dan juga bukan besok. Tepatnya di daerah Pondok Pesantren Kebun Baru Palengaan Pamekasan, yang diasuh oleh KH. Misbahol Munir.

Kegiatan itu dimaksudkan untuk berkontribusi pemahaman tentang pentingnya memahami sejarah media (baca: pers) dengan kecenderungan menciptakan arah berpikir bagi masyarakat. Selektivitas terhadap pemberitaan yang semakin tidak terbatas, mutlak dibutuhkan. Sebab tidak semua media, apa adanya. Apa lagi, insan akademis. Tidak boleh sampai tergiring dan terdekti oleh sebuah kepentingan di balik pemberitaan. Percaya boleh saja, sebagai sebuah informasi, tetapi sampai memosisikan diri untuk menjadi bagian dari kepentingan pemberita, tunggu dulu. Itu sedikit ulasan yang sempat disampaikan.

Sebagai langkah antisipasi, kegiatan semacam ini harus senantiasa digalakkan. Sebab, saat ini kita sudah sangat sulit membedakan, mana media yang sudah resmi mendapatkan legitimasi secara konstitusi, atau media yang abal-abal. Banyaknya media yang muncul hari ini sangat mengurangi objektivitas pemberitaan. Dan bahkan, ini mengurangi kepercayaan masyarakat kepada media yang resmi.

Media abal-abal saat ini sudah banyak yang merusak dan merasuk pola pikir masyarakat. Jangankan masyarrakat awam, yang terdidik pun banyak yang tergiring. Media yang dibuat di atas unsur kepentingan ini sengaja didesain untuk mempengaruhi masyarakat untuk menciptakan pro dan kontra bagi masyarakat, yang berakhir adu domba.

Kepentingan besar di balik semua ini harus dimaknai sebagai sebuah ancaman yang sangat membahayakan bagi keutuhan sebuah bangsa. Bangsa yang damai seperti Indonesia seperti sangat mudah dihancurkan oleh berita bohong (baca: hoax) yang bertebaran di mana-mana. Kecerdasan dengan menggunakan intuisi dan perenungan yang dalam sangat penting dalam keadaan bangsa yang genting seperti saat ini. Memaklumi perbedaan pilihan dan pemikiran tanpa memutus tali silaturrahim yang satu dengan yang lain.

Jika negara ini sudah betul-betul pecah-belah, pemenangnya bukan kita; bukan bangsa Indonesia. Tetapi kepentingan asing yang segera akan menjajah untuk kesekian kalinya.

Wallahu a'lam!

Sampang, 03 Januari 2017

Senin, 01 Januari 2018

Pamekasan dan Wajah Perpolitikan

Pamekasan dan Wajah Perpolitikan

Dan seperti inilah wajah perpolitikan di kabupaten ini pada hari ini; money politik. Hujan uang di mana-mana. Tidak tahu sumbernya dari mana. Apakah dari langit seperti air hujan atau seperti air laut tinggal ambil pakai ember. Atau, ah, entahlah!

Seorang calon Bupati bisa menghamburkan uang dari puluhan hingga ratusan miliyar agar bisa terpilih. Ada sponsor yang akan mendanai, cukup dengan selembar surat perjanjian konsesi jika ia terpilih. Atau sponsor tersebut mau mengamankan investasi yang sudah berjalan. Tetapi umumnya sponsor akan mengeluarkan dana besar jika ada surat perjanjian hutang. Itu pun jika sang calon mempunyai kans kuat terpilih. Maka banyak calon menyewa lembaga-lembaga survei yang sudah direkayasa untuk meyakinkan sponsor. Jika tidak, jangankan sponsor atau teman, setan saja pura tidak kenal.

Bisnis pencitraan laku keras. Banyak calon memajang poto besar-besar di sepanjang jalan, datang ke kampung-kampung untuk berjualan kecap. Orang-orang ini pandai sekali berjualan kecap, hingga semua orang percaya seolah mereka telah berbuat banyak untuk kabupaten kita ini melebihi para pahlawan perang di mana pun. Membuat stiker dan kaos, dibagi-bagikan dalam setiap kesempatan--dibagikan kepada orang yang satu kabupaten. Orang baik membatasi wilayah untuk memberikan sesuatu kepada orang lain. Haruskah ada tanda tanya (?).

Berbagai acara digelar di kampung-kampung. Setiap hari sibuk mengatur jadwal undangan, seolah ingin mengatakan bahwa mereka benar-benar peduli, siap meluangkan waktu pribadi, bersikap egaliter dan merakyat untuk kepentingan yang lebih besar, berjuang tanpa pamrih--Modus seperti ini yang sempat terjadi pada saudara tertua Lukman Hakim. Bukankah popularitas itu modal utama agar melanggeng sebagai pemimpin? Dan hasilnya cukup fantastis. Bukankah dalam kontes ini popularitas itu jauh lebih penting dari apapun? Kerja nyata hanya ada di media sosial selebihnya tidak pernah ada.

Satu tahun pertama si Bupati sibuk berpikir mengembalikan hutang dengan cara bagi-bagi proyek atau konsesi untuk para penyumbang dan pemberi pinjaman. Untuk itu, perlu dicari pejabat-pejabat eselon dibawahnya untuk diajak untuk menjamin loyalitas dan memudahkan kerja birokrasi alias bisa diajak kongkalikong--yang tidak bisa diajak seperti kakanda Akhmad Zaini dimutasi, Hihi. Tahun kedua, berbagai kontrak bisnis ditandatangani. Tahun ketiga berhitung keuntungan. Tahun keempat bersiap menuai masalah. Jika ia bisa lolos dari jebakan petugas korupsi, ia bisa mengumpulkan modal kembali untuk pemilihan berikutnya. Dan pada tahun kelima, ia sudah sibuk kampanye pencalonan ulang.

Kalau pun dia sudah dua kali terpilih, maka mempersiapkan pengganti yang kelak bisa meneruskan atau mengamankan kerajaan bisnisnya adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Lantas kapan waktu untuk memikirkan rakyat seperti saudara Muhammad Ali Wahdi, atau Jheey Iheey Novemb dan yang lainnya. Sungguh kasihan sekali orang-orang yang menjadi korban janji-janji itu.

Wallahu a'lam!

Sampang, 02 Januari 2017