Senin, 08 Januari 2018

Pilkada dan Dinamika Politik Caci-maki

Pilkada dan Dinamika Politik Caci-maki

Dinamika politik Pamekasan sudah semakin tampak jelas. Antara pendukung yang satu dengan yang lain sudah mulai pasang badan dan mengatur strategi masing-masing untuk memengaruhi massa (baca: pemilih). Mendiskreditkan pasangan yang satu dengan yang lainnya sudah bukan barang tabu, saling mencaci-maki satu sama lain seperti menjadi bumbu, memfitnah sana-sini tanpa sedikit ragu-ragu. Kata Bang Iwan, "Tikam dari belakang, lawan lengah diterjang". Lanjut!

Memang demikian harusnya kontestasi Pilkada. Semula saya sempat menyampaikan bahwa kontestasi politik Pilkada Pamekasan bukan pemilihan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang harus berlalu begitu saja tanpa kesan-pesan dan persinggungan yang berarti antara satu sama lain. Sehingga penting adanya perseteruan di dalamnya, agar dinamika politik lebih hidup; satu sama lain saling berpikir untuk menjatuhkan. Nah, dengan berpikir itu akan menjadi kontribusi baik bagi perpolitikan ke depan. Semula terkesan negatif, lambat laun akan disadari di mana letak kesalahan kita.

Agenda besar itu memang harus menjadi arena konflik sosial yang besar, agar siapapun terpilih menyadari bahwa dalam proses keterpilihannya menghabiskan kos yang besar: baik kos secara materi dan psikologi (baca: perasaan). Dan akhirnya, efek politik ini harus berimbang dengan manfaatnya bagi masyarakat. Bukan tugas kita, tapi tugas pemimpin kita pada masa mendatang.

Hari ini, betapa untuk membela figurnya, seseorang rela berhadapan dengan temannya dan bahkan saudaranya. Tidak jarang hubungan persaudaraan berakhir dengan putusnya paralon air dan paralon cinta di antara mereka. Sehingga, untuk minum, mandi dan menjalin silaturrahim harus mencari saudara angkat, bahkan sampai tiga angkatan, mulai dari saudara angkatan pertama sampai angkatan ketiga. Lalu, ada alumni persaudaraan. Alhamdulillah, berkah politik bisa nambah saudara.

Dalam dunia politik, seperti ini menjadi sangat wajar. Entah, sejak kapan mendapatkan permakluman dari masyarakat. Apa mungkin karena hampir serupa dengan lagu, Bang Rhoma Irama, bahwa politik tanpa perseteruan bagai taman tanpa bunga. Kurang sedap. Penting sekali, bahwa caci maki hari ini dilihat sesuai dengan konteks, yaitu konteks politik. Sehingga caci maki dan fitnah dalam arena politik diharapkan tidak mampu mengganggu stabilitas persaudaraan. Anggap saja caci maki itu bumbu politik, agar politik menjadi lebih sedap.

Ada hal penting yang perlu disampaikan, bahwa bagaimanapun serunya dalam menikmati kapasitasnya sebagai pendukung, jangan pernah lupa bahwa kejahatan itu tetap jahat. Fitnah, caci-maki, hujat, dan makanan yang berbau busuk lainnya tetap harus disadari bersama bahwa hal itu memang tidak baik. Jangan sampai karena saking nikmatnya dalam dunia perseteruan, lantas melegitimasi sesuatu yang tidak baik menjadi baik.

Mari, sementara ini kita istikomah perang fitnah dan caci-maki sebagai cara mengabdi kepada figur yang kita dukung sampai batas waktu yang ditentukan. Buat bumi gerbang salam ini sedinamis mungkin, dengan perseteruan. Sebab, jika tidak demikian yang terjadi, maka kita akan menilai kontestasi ini sebagai barang murahan yang tidak perlu ditindaklanjuti secara serius. Kontestasi Pilkada Pamekasan ini akan tampak mahal manakala terlihat efek-efek sosial yang ditimbulkan.

Demikian itu merupakan sebuah cara yang bisa dijadikan pertimbangan kebijakan pada saatnya kegika salah satu figur memimpin. Pada saat memahami bahwa harga politik itu mahal, maka keinginan bermain-main dalam mengelola pemerintahan akan dihindari. Semoga begitu.

Apapun caci-makinya, yang penting Bupatinya: mampu "Berbaur" dengan masyarakat akar rumput.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 08 Januari 2018

0 komentar:

Posting Komentar