Jumat, 19 Januari 2018

Politik Ormas bukan Agama

Politik Ormas bukan Agama

Melihat beberapa kejadian di republik ini, akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berpikir. Tentu, bukan pelajaran seperti Bapak Ustadz ketika ada di depan kelas dengan papan dan kapur tulis di tangan, yang menyebabkan bajunya putih-putih. Saya jelaskan, bukan putih abu-abu, karena putih abu-abu itu masa SMA, bukan Diniyah. Pelajaran yang bisa diambil adalah, bahwa suka mencari kesalahan orang lain itu sama dengan menyuruh orang lain untuk mencarikan kesalahan sendiri.

Kenapa tidak, ketika yang satu berhasil menemukan kesalahan orang lain dalam pencariannya, maka yang lain tidak tinggal diam untuk mendapatkan kesalahannya. Bila atas dasar kesalahan yang didapatkan itu menyebabkan orang lain dilaporkan, maka hal serupa akan dilakukan oleh orang lain, dan berujung saling melaporkan satu sama lain. Nah, di sini keadaan menjadi lucu. Akhirnya, bisa berkesimpulan bahwa diam itu lebih baik, jika bicara tidak membawa kebaikan. Apa lagi menambah banyak persoalan. Apa lagi saling malaporkan. "Apa lagi?" Sebuah pertanyaan.

Bukankah Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah mengatakan, “Jangan mengawasi orang lain, jangan mengintai geraknya, jangan membuka aibnya, jangan menyelidikinya. Sibuklah dengan diri kalian, perbaiki aibmu. Karena kamu akan ditanya Allah tentang dirimu, bukan tentang orang lain.” Tapi, masih saja sibuk sama urusan orang lain. Jika tidak percaya dengan manusia yang tingkat keilmuannya tidak diragukan lagi oleh Rosulullah sendiri, terus mau percaya sama siapa lagi. Bukannya percaya, malah menjadi-jadi. Terus, hasilnya sekarang apa? Keadaan juga tidak lebih baik, yang ada malah saling ingin memenjarakan. Seandainya dirubah saling memaafkan, bukannya keadaan akan menjadi lebih baik dan harmonis.

Ormas apa pun di Indonesia tidak identik dengan Islam; tidak pula berhak membawa-bawa kepentingannya sebagai kepentingan umat islam Indonesia. Sehingga apabila ada ormas--berlabel Islam--tertentu di Indonesia yang dinyatakan bersalah dan melanggar konstitusi, maka tidak berarti dianggap menyerang Islam. Ormas Islam hanya sebagai media, representasi, tauladan tentang Islam, tapi bukan Islam itu sendiri. Ormas tidak maksum, tapi Islam sebagai agama sudah mutlak benar. Maka, membawa-bawa agama dalam setiap kegiatan sebagai bentuk interpretasi keagamaan secara personal dan komunal tidak dibenarkan mengatasnamakan umat islam seluruhnya. Apa lagi pembenaran terhadap persoalan politik.

Dalam konteks DKI hari ini, terus terang saya bingung. Sebab, yang cenderung dijadikan serangan kepada salah satu kontestan adalah masalah agama. Sehingga terkesan yang dimunculkan ke permukaan bukan masalah politik tetapi masalah agama. Sampai muncul ayat Alqur’an yang dijadikan dasar untuk tidak memilih salah satu calon. Tetapi kemudian ada yang lebih membingungkan. Kalau orientasi dalam kontestasi politik itu adalah kemenangan dari pihak muslim, kejayaan daripada Islam, kenapa ada dua perwakilan yang dimajukan. Bukankah itu akan memecah soliditas suara dari umat islam itu sendiri yang mengakibatkan kekalahan.

Sepertinya warga DKI sudah tidak melihat latarbelakang agamanya dalam memilih. Sebab, kompleksitas persoalan yang dicerca saat ini juga merupakan buah karya dari beberapa gubernur sebelumnya yang notabene muslim. Tolong, kontestasi politik hari ini jangan bawa agama, karena jika tidak berhasil memecahkan persoalan ketika terpilih menjadi gubernur, maka agamanya yang akan dipersalahkan. Bukan oknum yang memimpin.

Akhirnya, saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Apakah itu masalah agama atau masalah kelompok tertentu yang membawa-bawa agama.

Wallahu a'lam!

Sampang, 19 Januari 2017

0 komentar:

Posting Komentar