Minggu, 21 Januari 2018

Mempertegas Kembali Posisi NU Sebagai Gersosag

Mempertegas Kembali Posisi NU Sebagai Gersosag
Refleksi KONFERCAB, Sebagai Media Berbenah dan Menciptakan Masa Depan NU Lebih Baik

Teks “Khittah Nahdhatul Ulama” hasil Muktamar di Situbondo tahun 1984, menjelaskan posisi NU sebagai Gersosag, atau organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Sebagai organisasi keagamaan jelas dijelaskan dalam bagian “Mukaddimah”, salah satunya disebutkan: “NU sebagai jam’iyah diniyah” di paragraf kedua. Ini juga ditambah dengan yang ada dalam bagian “Dasar-dasar Paham Keagamaan NU”, yang menyebut dasar-dasar paham keagamaan yang dianut dan digumuli NU sebagai organisasi keagamaan. (Nurhasim & Ridwan, 2004: 24-25).

Sedangkan NU sebagai organisasi sosial (kemasyarakatan) tampak jelas dalam bagian “Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU”, terutama di item c-d: membangun pelayanan sosial; dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yang kemudian merujuk kepada statoeten NU 1926, yaitu “mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan”. (Nurhasim & Ridwan, 2004: 25).

Melihat fenomena NU kekinian yang cenderung hanya mengedepankan nilai keagamaan saja telah menjauhkan NU itu sendiri dari tujuan awal terbentuknya organisasi ini. Dan ketimpangan ini membuat warga NU tidak merasakan kehadiran NU di tengah-tengah mereka. Karena selama ini bagi kaum akar rumput, yang dianggap jelas kontribusinya apabila kegiatan itu berdampak langsung terhadap kesejahteraan. Selain memang, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan, sudah didapatkan oleh masyarakat dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada di sekitarnya. Sesungguhnya, pemahaman nilai keagamaan dalam tubuh dan warga NU sudah finish. Sehingga warga NU itu sendiri sudah tinggal merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, selebihnya menyikapi persoalan-persoalan keagamaan yang bersifat kekinian.

Penting sekali para tokoh NU merenung dan merumuskan kembali strategi bagaimana konsepsi dasar yang dibangun oleh para tokoh NU teralisasi dengan baik, agar NU mendapatkan kembali posisinya di hati masyarakat; penting, memperbanyak kegiatan kemasyarakatan yang berorientasi pada pencerdasan masyarakat, baik secara intelektual dan finansial. Tetapi tidak berarti kegiatan keagamaan dalam tubuh NU tidak penting, tetapi bahwa kegiatan keagamaan saja tidak cukup, karena harus diimbangi dengan kegiatan yang berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.

Keputusan menjadikan NU sebagai Gersosag diobsesikan untuk memperkuat posisi warga Negara yang banyak dieksploitasi negara dan dihegemoni negara. Untuk itu, masyarakat harus meningkat pengetahuannya, berdaya dalam ekonomi dan sosial, sehingga posisi masyarakat memiliki daya tawar yang kuat di depan negara. Jadi, keputusan NU sebagai Gersosag, diobsesikan untuk memperbaiki warga masyarakat dari dalam dirinya sendiri, bukan mengandalkan dari negara; dan di saat yang sama bisa memiliki daya tawar yang kuat dengan negara untuk kepentingan-kepentingan yang melibatkan unsur negara. (Nurhasim & Ridwan, 2004: 26).

Hal demikian hanya bisa terjadi bila NU dipimpin oleh orang yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin organisasi. Pemimpin yang mempunyai cita-cita untuk mewujudkan amanah AD/ART dan mampu berpikir jauh ke depan. Kontestasi tidak sehat dalam memilih pimpinan organisasi juga ikut andil dalam keterpurukan organisasi. Bila jatuh ke tangan yang salah, maka tidak akan pernah ada perbedaan yang signifikan dalam tubuh organisasi antara masa lalu dan masa yang akan datang. Perkembangan organisasi akan terhambat oleh pemikiran-pemikiran konvensional yang tidak membangun. Jiwa muda dengan ghairah dan idealisme yang masih kental harus menjadi prioritas dalam memimpin organisasi. Kalau tidak, maka organisasi akan mengalami nasib serupa seperti sebelum-sebelumnya.

Siapa yang salah bila NU tetap berjalan di tempat atau semakin mengalami kemunduran. Tentu, jawabannya sudah jelas, bahwa pemilik suara dalam kontestasi itu yang paling bersalah. Bahwa pemilik suara itu adalah PC, MWC, dan ranting, maka mereka ini yang harus bertanggung jawab kepada warga NU jika NU tidak mengalami perubahan yang signifikan pasca terpilihnya pimpinan orgnisasi.

Ada statemen seorang ulama yang menyampaikan bahwa NU adalah pondok besar yang santrinya adalah warga NU, dan pondok pesantren adalah pondok-pondok kecil. Bila NU selama ini dianggap sebagai pondok besar, tentu NU sudah saatnya dirasakan kehadirannya di masyarakat. Kenapa sebab, karena pondok-pondok pesantren yang dianggap sebagai pondok kecil saja sudah mampu berkembang dengan pesat dalam bidang perekonomian. Ambil contoh pondok pesantren yang ada di Jawa seumpanya, seperti Pondok Pesantren Sidogiri yang sudah mempunyai BMT (koperasi), swalayan (toko besar), beberapa perusahaan seperti air mineral, sarung, percetakan dan lain-lain—hanya sebagian contoh--dimana-mana.

Bisa dibayangkan, seandainya pondok besar ini jatuh ke tangan orang yang tepat, dan dikelola dengan benar. Sudah dapat dipastikan bahwa NU akan menjadi tumpuan masyarakat dalam banyak hal termasuk dalam hal memperbaiki tingkat ekonomi masyarakat. Tentu dalam keterpilihannya harus mampu meracik orang-orang yang kompeten dan masih mempunyai ghirah yang kuat untuk memperbaiki dan memajukan organisasi di masa yang akan datang.

Wallahua’lam…

Pamekasan, 18 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar