This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 30 September 2017

Pemimpin Pekerja dan Menjadi Tauladan

Pemimpin Pekerja dan Menjadi Tauladan

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khatthab menyatakan, "Jika rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya". Pernyataan itu bukan hanya hisapan jempol belaka; tidak hanya menjadi symbol verbal tanpa realisasi yang konkret.

Amirul Mukminin, pernah ingin memastikan bahwa rakyatnya betul-betul dalam keadaan baik. Beliau berjalan di waktu malam menembus cuaca yang dingin dan masuk ke lorong-lorong untuk melihat apakah ada di antara rakyatnya yang mengalami kelaparan, yang sedang terlantar, kedinginan, dan yang sedang sakit. Hal itu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

Bagi seorang pemimpin, keteladanan manjadi hal utama yang disorot rakyat. Kepatuhan rakyat terhadap pemimpin berbanding lurus dengan kemampuan mereka memberikan keteladanan. Semakin Jauh pemimpin dari keteladanan semakin jauh rakyat dari kepatuhan. Seorang pemimpin tidak hanya menggunakan ujung jarinya untuk memerintah, tapi juga menggunakan segala upaya dan tenaga untuk memastikan bahwa rakyatnya dalam keadaan terpenuhi segala kebutuhannya. Tidak juga hanya sekedar turun ke bawah dengan program "bunga bangsa" yang tidak jelas arahnya.

Keteladanan tercipta atas dasar konstruksi masyarakat melalui interaksi yang dilakukan selama hidup di tengah masyarakat. Konstruksi masyarakat itu kemudian memunculkan opini masyarakat tentang pantas atau tidak pantasnya seseorang untuk dijadikan sebagai pemimpin. Karena pada dasarnya, menjadi seorang pemimpin itu bukan atas dasar kemauan sendiri, akan tetapi keinginan dari rakyat.

Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah engkau meminta kepemimpinan. Jika engkau menerima kepemimpinan atas dasar permintaan, niscaya akan membebanimu. Jika kepemimpinan itu diberikan bukan atas dasar ambisi, engkau akan ditolong (dalam melaksanakannya)," (HR. an-Nasa'i).

Seorang pemimpin harus besar dari pengalaman hidup yang memadai, karena ia harus berhadapan dengan problematika sosial yang tidak sederhana. Kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat menjadi tanggung jawab dari seorang pemimpin. Indikator minimal seorang pemimpin harus pernah mengabdikan dirinya di tengah masyarakat, bukan seseorang yang tanpa kompensasi dan pengalaman dan; tiba-tiba muncul menawarkan diri sebagai pemimpin. Naif sekali.

Ada sebuah realita, bahwa para Nabi dan pemimpin itu tidak langsung lahir sebagai pemimpin. Mereka lahir dan besar dalam kancah pergerakan. Mereka menjadi pemimpin melalui proses. Dengan demikian, tak bisa diterima kalau ada yang ujug-ujug datang menawarkan diri jadi pemimpin sementara selama ini tidak ada kiprah yang dilakukan.

Pemimpin itu jiwa, bukan hanya keinginan. Sehingga bila ada manusia-manusia yang menggebu-gebu untuk jadi pemimpin tanpa pengalaman yang memadai. Sebaiknya lewat.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 09 Juni 2017

Ironi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan

Ironi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan

Ada sebuah fenomena menarik di Pamekasan untuk diperbincangkan. Yaitu seputar datangnya, Lesti ke Pamekasan untuk melakukan buka puasa bersama. Tentu, tidak hanya sekedar buka bersama. Namun, dia masih berdangdut bersama para penggemarnya. Berdangdut tidak di ruang tertutup, tapi di ruang terbuka dan di depan umum. Karena kalau di tempat tertutup tidak ada urusan untuk diperbincangkan. Nah, di sini muncul masalah.

Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada, Lesti. Urusan yang bersangkutan mau berdangdut dan goyang maut pun sampai sehari-semalam tidak ada urusan. Tetapi dengan dibiarkannya, berdangdut di Pamekasan, saya melihat ada sebuah kebijakan timpang yang melahirkan kesenjangan sosial. Kenapa? Sebab, jauh sebelum, Lesti, berdangdut di kota yang katanya Gerbang Salam ini, Bupati Pamekasan dengan kebijakannya telah menggagalkan konser Irwan yang hendak digelar di Pamekasan. Meski memang pada saat itu tidak murni kebijakan Bupati.

Konon kabarnya, kegagalan konser Irwan itu disebab adanya aksi protes dan penolakan dari beberapa kalangan ulama. Tepatnya ulama yang tergabung dalam Aliansi Ulama Madura (AUMA), termasuk di dalamnya Forum Kiai Muda (FKM), (Harian Terbit, 20/04/16). Sehingga intervensi ini mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. Dan sejauh ini, aksi protes itu baik untuk mengurangi tingkat kenakalan remaja. Lebih baik lagi jika dilakukan secara istikomah, menembus ruang dan waktu. Kalau dianggap kemungkaran, sampai kapanpun harusnya dikawal.

Kalau kacamata yang mau digunakan adalah Gerakan Pembangunan Syariat Islam atau yang sering disingkat dengan "Gerbang Salam", maka kehadiran, Irwan lebih kecil mudharatnya. Irwan, akan melakukan pementasan pada siang hari, segala kemungkinan yang terjadi bisa diminimalisir dengan mudah, sedangkan Lesti, selain malam hari, pentasnya dilakukan pada bulan puasa pula dengan pakaian yang tidak memenuhi standar Islam (baca: kurang sopan). Kalau mau dibandingkan, Irwan masih dianggap lebih layak untuk ukuran gerbang salam.

Sebuah potret ironi dan paradoks sekali dengan munculnya dua kebijakan yang berbeda kepada dua kegiatan yang hampir sama oleh pemerintah kabupaten Pamekasan. Pertanyaannya, ada apa ini? Apakah dalam pada ini pemerintah dan segala elemen yang terlibat dalam aksi penggagalan konser Irwan masuk angin untuk saat ini, sehingga menyebabkan perut kembung dan tidak bisa berbuat apa-apa, untuk masalah, Lesti ini. Yang jelas, ini keluar dari asas keadilan. Ini sebuah indikasi bahwa pemerintah kabupaten Pamekasan dalam kondisi kurang baik.

Kalau pemerintah tidak baik, ini akan berpengaruh buruk terhadap pemerintahan. Dalam pada ini, pemerintah masih dianggap kurang bijaksana menyikapi sebuah persoalan-kalau dianggap sebagai persoalan. Sebagai indikator, elemen yang menjadi bagian dari kebijakan pemerintah kurang memenuhi standar kebaikan. Cenderung memihak, kurang istikomah dan kurang bijaksana menyikapi situasi. Padahal kata, Socrates, bahwa pemerintahan yang ideal harus melibatkan orang-orang bijak yang dipersiapkan dengan baik, serta mengatur kebaikan-kebaikan untuk masyarakat.

Sesungguhnya, persoalan utamanya tidak terletak pada konsernya. Tetapi, lebih kepada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memenuhi asas keadilan bagi masyarakat Pamekasan. Terkesan tebang pilih. Yang satu boleh, dan yang lain dilarang. Sepertinya, masyarakat Pamekasan, tidak sepenuhnya mempunyai hak yang sama atas kebijakan pemerintah kabupaten Pamekasan.

Wallahu a'lam!

Sampang, 17 Juni 2017

Kebijakan Salah, Harga Nyawa Murah

Kebijakan Salah, Harga Nyawa Murah

Saking kesalnya terhadap pencurian, beberapa hari lalu warga menghakimi pencuri hingga tewas. Peristiwa tersebut terjadi di Dusun Ginyang, Desa Taman Sare, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Madura. Pada saat tertangkap, sebenarnya terduga pencuri belum kedapatan memegang apapun, (Media Madura, 18/6). Akan tetapi, menurut hemat penulis, untuk objek pencurian di tingkat kampung, biasanya tidak lepas dari barang-barang yang masih harus diuangkan: seperti ternak, perhiasan, atau kendaraan bermotor (baca: sepeda motor). Kemungkinan mencuri uang sangat kecil, karena kebanyakan saat ini, jika uang dalam jumlah banyak disimpan di bank.

Untuk pencurian ternak, ini sangat beresiko ditemukan, sehingga pencuri biasanya cenderung kepada perhiasan dan kendaraan bermotor. Menjual dari keduanya, tidak akan sama dengan harga beli ketika masih di toko, karena biasanya barang curian itu tidak lengkap dengan surat-suratnya, sehingga harga jual akan jauh di bawah. Semisal sepeda motor yang dicuri, harga baru mencapai tujuh belas juta lengkap dengan surat-surat, ketika dijual tanpa surat-surat bisa ditaksir sekitar harga empat juta, karena dijual kosong.

Situasi seperti ini menjadi fenomena dan problematika sosial. Kita bayangkan saja, uang empat juta rupiah harus ditukar dengan nyawa manusia. Empat juta menghilangkan empati (rasa kemanusiaan) dan menutup jalan kebaikan bagi orang lain. Sebab, bisa mungkin seandainya tidak dibunuh, pada usia senja dia akan bertaubat dan akan memperbaiki jalan hidupnya. Hidup hanya satu kali, jika sudah demikian semuanya berakhir; dekat dengan neraka. Apa tidak kasihan? Saya tidak sedang membela, tetapi sanksi yang diterima terlampau berat.

Pembunuhan dan sanksi atas pembunuhan itu mempunyai garis yang berbeda. Pembunuh tidak berarti lepas sama sekali dari persoalan dosa, karena membunuh pencuri. Untuk pembunuh tidak ada hujjah yang membenarkan perbuatan itu, karena mencuri dan membunuh berbeda sanksi. Apalagi, di Indonesia ada hukum yang harus dijadikan sebagai dasar untuk memberikan sanksi terhadap pencuri, yang tidak harus dihakimi sendiri apalagi di bunuh. Setiap manusia mempunyai hak untuk menjadi benar. Hidup ini hanya satu kali, dan taubat itu hanya untuk hidup yang hanya sekali ini.

Pencurian tidak berdiri sendiri, erat kaitannya dengan persoalan ekonomi masyarakat. Seandainya masyarakat tercukupi, pencurian-di kampung-tidak perlu terjadi. Ini merupakan kesalahan pemerintah secara tidak langsung atas banyak kebijakan yang tidak pro masyarakat dan maraknya korupsi di tubuh pemerintahan. Seperti kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, misalnya yang mengeluarkan dana Tunjangan Hari Raya (THR) sampai sebesar Rp 26,6 miliar untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pejabat negara lainnya, (Media Madura, 20/6). Bisa dibayangkan, seandainya uang sebesar itu diperuntukkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, pasti  menambah ringan beban masyarakat, sekaligus mengurangi angka kriminal. Sudah bergaji, THR tinggi. Ah!

Yang terbaru, KPK menyita barang bukti sejumlah uang dalam pecahan seratus ribu rupiah dalam satu kardus ketika operasi tangkap tangan atau OTT istri Gubernur Bengkulu Lily Martiani Maddari, beserta empat orang lainnya di Bengkulu, (tempo, 20/6). Ditambah lagi, kasus e-KTP yang merugikan uang negara sebesar Rp. 2.314.904.234.275,39, (sengaja ditulis dengan angka agar tahu betapa panjangnya deret angka yang dibutuhkan) disederhanakan menjadi 2,3 triliun lebih. Sementara itu, nilai proyek tersebut mencapai hampir Rp 6 triliun, (detik news, 9/3). Waw!

Menurut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, kasus korupsi pengadaan e-KTP dampaknya tak hanya merugikan keuangan negara. Tindak pidana tersebut juga merenggut hak konstitusional masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi. Sebab, e-KTP menjadi salah satu syarat warga negara mendapatkan haknya dalam pemilu, ujar Titi dalam diskusi di Jakarta, Minggu (2/4/2017: KOMPAS.com). Lengkaplah penderitaannya.

Lantas, hukum apa yang sebanding bagi para pencuri uang rakyat ini, jika uang empat juta saja sebanding dengan harga nyawa bagi masyarakat desa.

http://mediamadura.com/massa-bantai-maling-bertitel-haji-di-sumenep-hingga-tewas/
http://mediamadura.com/pemkab-pamekasan-telan-rp-266-miliar-untuk-thr/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter
https://m.tempo.co/read/news/2017/06/20/063886093/ott-istri-gubernur-bengkulu-kpk-temukan-rp-1-miliar-dalam-kardus
https://m.detik.com/news/berita/d-3442179/jaksa-sebut-korupsi-e-ktp-rugikan-negara-rp-23-triliun
http://nasional.kompas.com/read/2017/04/02/16304531/tak.sekedar.rugikan.keuangan.negara.korupsi.e-ktp.dinilai.cederai.demokrasi

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 21 Juni 2017

Ketika Pejabat Potensi Menjahat (?)

Ketika Pejabat Potensi Menjahat (?)

Ada apa dengan kotaku? Setelah, Lesti berdendang di bulan Ramadan menuai kecaman dan memicu perdebatan; Tunjangan hari raya (THR) yang dianggap berlebihan hingga mencapai 26,6 M, dan; kini ada lagi pejabat kita yang secara sewenang-wenang memanfaatkan fasilitas negara.

Iya, tepatnya tadi malam, Polres Pamekasan menemukan adanya pengemudi kendaraan roda empat yang menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) palsu saat mengamankan arus mudik Lebaran 1438 Hijriah. Yang mengejutkan, ternyata mobil dinas tersebut adalah milik salah satu dinas di lingkungan Pemkab Pamekasan, (PENAWARTA.COM, 22/6). Lucu ya?

Dari beberapa kejadian tersebut, prestasi pemerintah kabupaten Pamekasan memuncak. Kota dengan ikon gerbang salam ini, betul-betul secara amanah melaksanakan ajaran agama islam (ironi). Betul-betul terjaga marwahnya dengan baik. Bahkan baik sekali. Entahlah, ini konspirasi atau bukan, tidak tahu. Yang jelas ini adegan yang membahayakan, jangan ditiru di rumah. Dan jika ini dianggap sebagai pelanggaran hukum, sehabis lebaran mari pertanyakan tindak lanjutnya ke Polres Pamekasan.  

Penulis tidak tahu secara pasti bagaimana hukum bagi orang yang menyalahgunakan wewenang atas sarana yang ada pada dirinya karena kedudukan atau jabatan. Namun, sekilas yang penulis pahami dari, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 3, sepertinya 'tidak boleh'. Berikut kutipan Undang-Undang yang dimaksud.

"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Pasal ini tidak menutup ruang tafsir yang bisa menyelamatkan orang yang mempunyai gengsi tingkat tinggi tersebut. Sudah pinjam maunya enak! Hihihi. Bagaimana pun juga, semua masih tergantung amal dan perbuatannya.

Wallahu a'lam!

Sampang, 23 Juni 2017

Sumber:
https://penawarta.com/2017/06/22/petugas-temukan-pengemudi-mobil-dinas-gunakan-tnkb-palsu/

Lebaran, dan Masa Kecil

Lebaran, dan Masa Kecil

Dulu, ketika masih kecil saya tidur di langgar, tempat di mana saya mengaji. Tidak hanya saya, termasuk teman-teman kecil sepermainan. Seperti biasa, ketika subuh dibangunkan untuk shalat jamaah kemudian dilanjutkan tadarus bersama sampai matahari terbit. Tidak hanya hari biasa kami tidur di langgar, pun pada malam lebaran.

Pada hari lebaran, sehabis shalat subuh, kami bersama teman-teman pergi ke sungai-yang berjarak kurang lebih 1,5 Kilometer-menyisir pematang sawah untuk mandi. Di jalan, hilir mudik orang-orang begitu banyak, di sungai orang-orang datang dan pergi mulai dari hilir ke hulu; dipenuhi dengan orang-orang yang mau mandi. Sebelum sampai di sungai, di tengah perjalanan-persisnya di pematang sawah-bersama teman-teman melihat awan di penghujung timur yang menyerupai aneka macam rupa, mulai dari perahu sampai unta.

Di perjalanan, kami biasa ambil daun wijen untuk dijadikan bahan keramas, dan sabun numpang punya orang yang bawa, biasanya sabun biasa kami minta warna hijau (cap kursi). Semerbak yang tak bisa dipungkiri dengan ciri khas yang tak lekang dimakan zaman, emmm.

Yang paling membahagiakan bagi kami, khususnya saya adalah ketika mau berpakaian baru dan makan nasi putih dengan daging ayam di langgar. Karena bagi saya, membeli baju baru itu hanya satu tahun sekali, itu pun kalau mampu membeli; dan makan enak itu hanya setahun sekali, cukup pada hari lebaran saja. Urusan makan enak itu pasti, tapi pakaian serba baru belum tentu.

Hingga sampai pada suatu titik, di mana orang tua saya tidak mampu sepenuhnya membelikan saya pakaian lebaran, persisnya kopiyah. Pada saat itu, orang tua saya berinisiatif untuk menyiasati songkok yang biasa saya pakai dengan cara dicerahkan warnanya dengan binter. Sejenis pewarna pakaian yang digunakan untuk mewarnai pakaian yang mulai kusam.

Sore hari itu-menjelang malam lebaran, ibu saya memasak air untuk merekayasa peci saya. Setelah dirasa air sudah cukup panas, kemudian dimasukkan peci saya ke dalam air yang sudah mendidih itu. Astagfirullaha al-'adzim! Setelah peci saya diangkat ternyata peci saya mengerut. Peci saya mengecil, karena memang terbuat dari karet krece yang dilapisi kain bagian luarnya, karet ini biasa dibuat untuk pemantulkan biji krambol bagian dalam. Pasti banyak yang tahu.

Melihat kejadian itu, air mata ibu tumpah tidak terbendung. Bisa kita bayangkan, satu-satunya cara untuk membahagiakan anaknya tidak terlaksana dengan baik, malah sebaliknya. Pupus sudah harapannya. Mungkin kita berpikir, kenapa malam harinya tidak berinisiatif membelikan pergi ke kota yang jaraknya hanya 15 Kilometer itu. Ada dua alasan, yang pertama pada saat itu tidak banyak orang punya kendaraan bermotor (sepeda motor) seperti sekarang; kedua, tidak cukup uang untuk membeli. Akhirnya, apa adanya harus saya pakai.

Tapi, justru hari itu adalah moment yang sangat membahagiakan bagi saya untuk saat ini. Ketika di penjuru dunia gema takbir berkumandang, pikiranku menerawang jauh menembus waktu yang entah itu. Air mata tumpah tidak terasa mengenangnya. Pakaian baru waktu itu, bukan formalitas seperti sekarang, tapi memang kebutuhan secara bersamaan, jika dibandingkan dengan saat ini yang bahkan bukan lebaran pun membeli pakaian baru.

Terima kasih untuk kasih sayang kalian, orang tua yang telah membesarkan kami. Nikmatilah hari tuamu dengan bahagia, amin.

Selamat Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H.
Mohon maaf lahir dan batin.

Sampang, 25 Juni 2017

Kami Juga Mau Dianggap Benar

Kami Juga Mau Dianggap Benar

Terang saja kami tersinggung, jika paham yang selama ini kami terima sebagai paham yang benar dan cocok dengan kultur Indonesia diobok-obok oleh paham transnasional. Apalagi, sebagai orang yang senantiasa menganut paham itu, kami menjalankan dengan penuh kepatuhan kepada pemuka agama-para ulama-yang telah lebih dulu memahami situasi sosial, budaya masyarakat, menyesuaikan serta menerapkannya di negeri ini.

Kami percaya, bahwa para pendahulu mempunyai tingkat keilmuan yang mumpuni dalam mengkombinasi nilai agama dengan budaya setempat, yakni budaya Indonesia. Sehingga agama Islam dengan paham-yang diterapkan para Wali-ini mudah diterima dengan baik oleh penganutnya tanpa merasa takut kehilangan budaya yang tertanam lebih dulu pada bangsa Indonesia. Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia memang tidak harus luntur dan bahkan lenyap dari negeri ini. Sebab, khasanah kekayaan bangsa terletak pada budayanya.

Apa bedanya budaya kita dengan facebook dan media sosial lainnya dalam konteks dijadikan sebagai media dakwah? Bedanya hanya karena facebook datang belakangan, sedangkan budaya lebih awal kehadirannya. Keduanya juga mengandung hiburan dan silaturrahmi bagi para penikmatnya. Lantas, bagaimana mungkin memanfaatkan budaya sebagai media dakwah menjadi salah, sedangkan facebook, tidak. Bagaimana mungkin budaya berkumpul yang diselingi dengan dzikir dan shalawat menjadi sesat. Ah, ada-ada saja!

Atas nama pemurnian akidah, tidak jarang kami terlecehkan, dihujat, dicaci-maki, sampai-sampai dianggap keluar dari Islam karena pemahaman tentang Islam yang berbeda. Bahwa yang selama ini kami pahami sebagai interpretasi produk hukum agama, dan dianggap mendekati kebenaran dalam melaksanakan ritual keagamaan dianggap menyimpang jauh dari induk hukum itu sendiri, yakni al-Qur'an dan al-Hadits.

Merasa paling benar, dan merasa paling sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Golongan ini merasa sumber yang digunakan dalam membangun hujjah-hujjah sangat dekat dengan kebenaran, karena sumbernya langsung al-Qur’an dan hadits (terjemahan).

Secara kasar, akan tampak sebuah penjelasan bahwa para ulama yang terlahir lebih dulu di negeri ini kurang memahami al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga lemah pemahamannya terhadap keutuhan dan kemurnian agama. "Yang benar aja lho tong, masak sama yang lebih tua begitu, Ellu!" Sudahlah, apapun alasannya, yang jelas sejarah tidak akan mengingkari bahwa pendekatan yang diterima oleh bangsa Indonesia ini bukan pendekatan 'merasa diri paling benar', yang lain kafir dan syirik.

Memang betul ada yang mengatakan, bahwa pertahanan paling baik itu adalah menyerang. Karena ketika pihak yang diserang diam, maka penyerang otomatis menang. "Qanun asasi" kami memang tidak pernah memberikan ruang kepada penganutnya untuk mudah menyalahkan orang lain, apalagi sampai menjustifikasi orang lain kafir. Ini adalah kelemahan yang dimanfaatkan oleh golongan lain, karena kami cenderung toleran terhadap keberadaan aliran-aliran yang muncul. Termasuk aliran takfiri ini.

Kami memahami, bahwa kebhinnekaan itu adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah negeri yang kita sebut Indonesia. Maka, siap atau tidak siap terhadap adanya keberagaman di lingkungan, harus siap. Dalam artian harus siap untuk tidak saling menaruh curiga antara kelompok yang satu dengan lainnya. Karena kecurigaan itu yang memotivasi perpecahan. Maka dari itu, tidak usah saling mengusik. Laksanakan saja keyakinan sesuai dengan pemahaman sendiri, tidak sampai mengganggu pemahaman golongan yang lain. "Begitu kan enak tong!"

Akan tetapi, dalam kondisi yang berlebihan, kami juga tidak bisa tinggal diam. Kami juga punya sesuatu yang harus dipertahankan sebagai sebuah kebenaran yang selama ini tertanam dalam jiwa kami melalui ajaran yang diwariskan turun-temurun. Anda jual, kami beli. Anda ngemis, kami beri.

Disunting dari status facebook, (27/07/16)

Wallahu a'lam!

Sampang, 28 Juni 207

Mencari Pemimpin Amanah

Mencari Pemimpin Amanah
(antara Lama dan Baru)

Sesaat setelah menghadiri pemakaman Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah ke-7... Umar berjalan bersama orang-orang menuju Masjid. Dari segala penjuru orang-orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan bershalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berpidato, "Wahai manusia, sesungguhnya saya mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah), dimana saya tanpa dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau bermusyawarah dulu dengan kaum muslimin. Sesungguhnya, saya telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai."

Mendengar ucapan itu, orang-orang pun berkata dengan satu suara, "Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah."

Banyak hal yang bisa kita teladani dari sikap hidup Umar bin Abdul Aziz. Selain sikap zuhud dan kesederhanaan, kita juga belajar wara' (menjauhi syubhat). Misalnya, kisah tentang memadamkan lampu minyak ketika menerima kedatangan anaknya, diabadikan oleh sejarah. Ia tak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarga, (Bastoni, 104-105).

Tetapi, itu Umar bin Abdul Aziz. Seorang pemimpin yang bisa membedakan antara harta pribadi dan harta rakyat. Bisa membedakan, kapan kepentingan harus dengan menggunakan mobil dinas dan kapan menggunakan mobil pribadi. Bukan malah mobil dinas dirubah dengan mobil pribadi, seperti yang terjadi di kota Pamekasan yang beraikon Gerbang Salam. Sungguh, kejadian yang memilukan sekaligus memalukan. Semoga tidak terulang, karena itu hak rakyat (umum).

Seorang pemimpin tidak harus bersimpati dengan THR menjelang hari Raya (saja) untuk mendulang dukungan rakyat. Menebar janji-janji dan sumpah serapah di setiap kesempatan. Menabur angpao sampai ke pelosok paling kampung. Tetapi yang mampu membuktikan dengan suara koor bahwa dirinya baik dan betul-betul dibutuhkan rakyat, istikomah berbuat. Seperti, Presiden Jokowi misalnya, kalau tidak sungguh baik, tidak mungkin karirnya akan melesat sedemikian cepat. Kebaikan yang terlihat oleh mata rakyat tanpa dibuat-buat, telah mengantarkannya pada puncak kekuasaan tertinggi di negeri ini.

Harusnya, kekuasaan hanya dijadikan sebagai ajang pengabdian kepada masyarakat. Tidak dengan kekuasaan membuatnya berkuasa seenak perutnya dan mengabaikan amanah rakyat. Apalagi, setelah berkuasa mempertahankan kekuasaan mati-matian dengan cara yang tidak berperikemanusiaan. Seorang tokoh bangsa, KH. Abdurrahman Wahid, pernah menyampaikan bahwa, "Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian." Apalagi mengorbankan rakyat. Tidak penting banget.

Namun, cara-cara bejat itu bukan tidak mungkin dilakukan oleh para penguasa. Seperti yang disampaikan oleh seorang filsuf Italia, Niccolo Machiavelli, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan kekejaman dan kekuatan, (Murtiningsih, 72-73).

Jika statement, Niccolo Machiavelli ini benar, maka menjelang kontestasi politik untuk merebut kekuasaan di Pamekasan ini sangat mungkin penuh dengan tipu muslihat. Sebab, rasanya sulit sekali melihat sifat Umar bin Abdul Aziz di era modern ini dengan segala kebijaksanaannya. Kalau sudah begitu, bersiaplah kita sebagai rakyat menjadi objek kedustaan.

Tetapi bagaimana pun caranya, sebuah negari sampai kampung tidak boleh dibiarkan kosong tanpa pemimpin. Karena akan berakibat stagnasi kekuasaan yang akan melahirkan penjajahan. Meski tidak menutup kemungkinan kita bisa dijajah oleh yang sebangsa dan setanah air.

Semoga kita bisa mendapatkan pemimpin yang bisa berjihad, seperti yang disampaikan, Prof. Abdul A'la bahwa jihad di era modern ini adalah melawan kemiskinan. Jadi, bila masih melihat banyak orang miskin di sekitar kita, itu artinya jihad pemimpin kita masih belum berhasil.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 04 Juli 2017

Karaoke Esek-esek, Legitimasi Terselubung

Karaoke Esek-esek, Legitimasi Terselubung

Mau mengamati persoalan bangsa dan negara Indonesia ini rasanya terlalu besar. Selain sudah banyak para pengamat yang sudah memberikan evaluasi dan apresiasi terhadap keberlangsungan negeri ini, rasanya tidak mempunyai kapasitas yang mumpuni untuk mengkajinya. "Lha, wong ditingkat lokal saja tidak kalah kompleks persoalannya. Tidak usah jauh-jauh".

Jangankan mengkaji persoalan Indonesia yang besar ini, mengkaji persoalan yang terjadi di tingkat lokal Pamekasan saja rasanya belum mampu. Maksudnya, belum mampu menganalisis maksud dan tujuan pemerintah dalam setiap kebijakannya. Karena pasti setiap kebijakan mengandung maksud yang akan dijadikan sebagai indikator gagal atau berhasilnya suatu pemerintahan. Selebihnya untuk meningkatkan Penghasilan Asli Daerah (PAD). Seperti kebijakan deposito tahun ini dan tahun sebelumnya.

Seperti kejadian yang telah mencoreng gerbang salam untuk kesekiankalinya ini. Setelah beberapa kejadian, mulai dari tarian erotis di arena lomba balap motor (tempat umum), dangdutan di bulan Ramadan, pejabat pemerintah kedapatan mengganti tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB), kini muncul lagi karaoke esek-esek. Karaoke esek-esek ini banyak menyita perhatian warga, hingga meluruk sampai kecamatan setempat dengan membawa alat bukti berupa gambar setengah telanjang dan video praktek. Praktek yang keluar dari norma agama tersebut pasti lebih seru dari sekedar gambar.

Sebelum dianggap menistakan agama, sebaiknya ikon Gerakan Pembangunan Syariat Islam (Gerbang Salam) yang melekat pada Kabupaten Pamekasan ini segera dicabut dan diganti dengan yang lainnya. Bisa dengan ikon: kota sejuta janji, atau kota seribu mimpi, kota gerakan pembangunan gedung karaoke, kota para pelupa, kota jalan berlubang, atau lubang berjalan, dan lain sebagainya. Yang penting bukan syariat Islam, biar tidak menciderai Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Madura.

Membawa-bawa agama dengan perilaku yang tidak sesuai dengan norma agama, itu sama saja dengan menciptakan citra buruk bagi agama itu sendiri. Menjaga agama cukup dengan menerapkan perda yang sudah dibuat dengan baik dan benar. Jangan hanya dibuat untuk menghabiskan anggaran dalam paripurna, tapi harus terukur apakah perda itu bisa direalisasikan atau tidak.

Kebobrokan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena setiap daerah itu adalah kompetitor bagi daerah lainnya. Menyandang citra buruk itu tidak senikmat makan di sawah ketika dikirim ibu diwaktu panen padi. Bayangkan saja, kalau orang luar daerah mengenal kota kita dengan kota karaoke esek-esek. Ah, sudahlah!

Yang jelas ketika ada kejadian di sebuah daerah, masyarakat pasti akan bertanya, siapa kepala daerahnya. Ketika maksiat merajalela, pasti akan berbicara tentang era kepemimpinan siapa. Ayo, siapa yang tahu kepala daerahnya?

Sumber:
http://portalmadura.com/tunjukkan-bukti-karaoke-esek-esek-di-pamekasan-warga-luruk-kantor-kecamatan-tlanakan-93011

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 08 Juli 2017

Kamis, 28 September 2017

Antara Halamanku dan Halaman Mereka

Antara Halamanku dan Halaman Mereka

Tertarik saya mengeja halaman demi halaman negeri ini. Lautan yang membentang luas dengan garam dapurnya, ikan dan mutiaranya, mungkin juga pasirnya yang sering dikeruk tak habis-habis. Daratan yang menyimpan berjuta kekayaan, mulai dari tambang batu bara sampai tambang emas yang berceceran di mana-mana; hutan yang dunia menyebutnya dengan paru dunia. Ladang-ladang yang subur tak terukur dan menyajikan beraneka ragam makanan, mulai dari sayur dan buah-buahan yang tidak habis-habis.

Lantas, nikmat Tuhan yang mana lagi yang hendak kamu dustakan? Kamu hidup di negeri yang aman dan damai meski kaya dengan perbedaan. Perbedaan suku, ras, etnis, agama, golongan, kelompok, warna kulit, warna gigi, dan warna celana dalam, serta warna darah (darah biru dan darah merah). Dan untuk perbedaan yang lain bisa anda tambah sendiri, karena rasanya tidak mungkin saya sebut satu persatu, atas dasar itu mohon maaf tanpa mengurangi rasa hormat bagi yang tidak bisa disebutkan.

Menurut saya, anda sudah cukup beruntung hidup di negeri ini. Negeri yang diungkapkan dengan “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo“ suatu kalimat yang menggambarkan keadaan bumi pertiwi  indonesia. Gemah ripah loh jinawi berarti (kekayaan alam yang berlimpah) sedangkan  toto tentrem karto raharjo (keadaan yang tenteram). Iya, tenteram dan damai negeri ini, tidak ada perang saudara dan tidak perlu gencatan senjata. Tidur nyenyak mulai lepas Isyak sampai menjelang subuh, dan bahkan bisa nambah. "Nambah nasi, Bu!"

Anda bisa lihat di belahan bumi yang lain. Seperti di negara-negara bagian timur tengah, yang hampir setiap saat tidak berhenti bergejolak selalu saja ada keributan, dan bahkan ada yang sampai tidak kunjung selesai. Bahkan menurut Global Peace Index, Timur Tengah harus bertanggung jawab atas berbagai konflik dan memburuknya situasi umum perdamaian dunia.

Lebih dari 100.000 orang terbunuh dalam berbagai konflik selama 2014. Hampir 67.000 diantaranya berasal dari Suriah. PBB mengklaim jumlah pengungsi tahun ini akan "jauh melebihi" rekor sebesar 60 juta orang yang tercatat selama tahun lalu. Menurut indeks tersebut, serangan teror paling banyak terjadi di lima negara, Suriah, Irak, NIgeria, Afghanistan dan Pakistan. Memang sebagian gejolak yang terjadi di beberapa negara diakibatkan oleh invasi Amerika Serikat, seperti yang terjadi pada Irak dan Afganistan, dengan dalih senjata pembunuh massal dan terorisme. Kemudian konflik yang sepertinya sulit diatasi adalah konflik antara Iran dengan Arab Saudi dan Israel dengan Palestina.

Kita tinggalkan dulu negara Timur Tengah. Toh, memang kita ada di Indonesia, kok. Kembali lagi ke Indonesia yang makmur. Akhir-akhir ini, sepertinya ada sebagian warga negara Indonesia yang sudah sangat terkontaminasi pemikirannya oleh pemikiran transnasional (Timur Tengah) dalam hal bernegara. Ada sebagian yang menginginkan Indonesia menggunakan pemikiran-pemikiran yang diproduksi di Timur Tengah, kalau melihat trennya sepertinya pemikiran jihad dan berperang melawan saudara sebangsa dan setanah air.

Memang bisanya di sana. Tidak ada yang mau berperang dengan orang luar negeri misalnya dalam bidang teknologi. Mencoba mengganti smartphone merk samsung dengan produk Indonesia; termasuk aplikasinya, tidak usah pakai facebook, WA dan sejenisnya. Nah, itu baru keren. Atau kalau tidak bisa, nikmati saja produk kafir itu tanpa rasa gaduh. Gaduh tidak menyelesaikan persoalan bangsa, karena bangsa ini hanya bisa diselesaikan dengan kerja, kerja, dan kerja.

Sudah Indonesia sesak dengan PKI masih ditambah dengan gaduh. Tambah ribet jadinya. Coba damaikan Indonesia dengan hoax, atau bantuan terhadap Rohingya, pasti Indonesia lebih hidup. Makmurkan juga dengan 5000 (lima ribu) senjata ilegal. Tulang itu putih Jenderal dan kedamaian itu indah.

Pamekasan, 29 September 2017

Presiden dan Panglima Bermain Peran

Presiden dan Panglima Bermain Peran

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan institusinya siap menghadapi gerakan organisasi masyarakat (ormas) yang radikal dan bertentangan dengan ideologi Pancasila. Hal itu disampaikannya di sela pelaksanaan Rapat Pimpinan TNI 2017 hari kedua. Peran TNI, ujarnya, adalah menciptakan suasana kondusif demi berlangsungnya pemerintahan yang sah. Gatot pun menegaskan lagi komitmen TNI menghadapi ormas non Pancasila dan radikalisme, yang berpotensi mengganggu pembangunan nasional. 

Pernyataan tersebut semacam komitmen awal antara sang Panglima dengan Presiden. Apakah sang Jenderal dianggap sudah lupa komitmen dan Presiden salah memilih Panglima? Saya rasa tidak.

Pada saatnya semua orang akan mengakui kecerdasan Presiden Joko Widodo, dan akan angkat topi setinggi-tingginya. Kenapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi panglima TNI pengganti Jenderal Moeldoko yang masuk masa pensiun. Bukan tanpa alasan dan bukan hanya sekedar alasan sederhana tanpa perhitungan yang ketat.

Presiden Jokowi adalah seorang presiden yang mampu memainkan buah catur dengan baik, mampu memosisikan menteri dan perwiranya secara baik pula, termasuk Panglimanya, yakni Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo-sang Jenderal yang sekarang sedang naik daun-sekarang sedang diposisikan pada bidak lawan untuk mencermati dan mengintai pergerakan lawan.

Apakah kita sedang berpikir Panglima TNI Gatot Nurmantyo tiba-tiba membelot dari Pemerintah? Tunggu dulu, jangan terlalu mudah menyimpulkan. Atau ini semacam skenario besar yang justru dimainkan oleh Bapak Presiden. Ah, entahlah. Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Coba tebak. Dalam kondisi seperti ini, nama siapa yang tenggelam? Ada banyak panggung yang tenggelam dan berganti panggung sang Panglima. Kalau difilmkan, ini akan berjudul "Panggung Yang Hilang".

Ini yang disebut dengan konspirasi elitis yang jauh dari jangkauan pemikiran manusia yang berpikir secara sederhana. Kita tahu, yang memilih Panglima TNI itu Bapak Presiden sendiri dan dia satu-satunya tanpa pesaing. Iya, bapak Presiden. Bukan yang lain, karena yang lain hanya menyetujui. Sang Jenderal bukan manusia yang tak pandai berterima kasih.

Sepertinya Bapak Presiden menginginkan Bapak Gatot menjadi orang besar dan akan segera memosisikannya setelah purna jabatan. Entah, sebagai wakil atau di pos menteri. Saat ini semacam uji kelayakan publik, apakah ada diantara orang yang melihat keberadaannya. Dan ternyata, waw.

Dan sudah sangat kelihatan bahwa Panglima Gatot berhasil memainkan perannya. Sebentar lagi akan diproyeksikan sebagai orang penting di negeri ini, tapi untuk beberapa saat belum bisa melampaui Bapak Jokowi.

Kita lihat atas segala hal yang dilakukan oleh Panglima Gatot. Apakah Bapak Jokowi berkomentar? Jawabannya, tidak. Sebab, hakikatnya persoalan kecil yang dimainkan oleh sang Jenderal sudah mampu meredam banyak persoalan negeri ini. Bapak Jokowi sedang berpikir, bahwa untuk membunuh popularitas seorang mantan militer maka harus disaingi dengan sesama militer.

Panglima Gatot sengaja didesain untuk memposisikan diri sebagai yang "kontra pemerintah" dalam rangka mengarahkan orang-orang yang selama ini memilih berseberangan dengan pemikiran pemerintah. Maksudnya apa? Dengan begitu orang-orang ini mudah dikendalikan dengan satu seruan seorang panglima.

Anda kena jebakan batman. Selamat!

Pamekasan, 28 Pamekasan 2017

Rabu, 27 September 2017

Teguh Pendirian Anakku Abdillah (Goan)

Teguh Pendirian Anakku Abdillah (Goan)
Go-One dengan filosofi menuju satu, bertauhid kepada Tuhan yang Maha Esa

Sembilan bulan sembilan hari, kamu di perut ibumu, sebelum akhirnya hadir untuk menatap warna dunia. Tepatnya, lepas adzan dzuhur, Rabu/12.00 WIB. (12 Juli 2017 M/17 Syawal 1438 H) kamu terlahir ke dunia. Saya tidak tahu makna dari deretan angka-angka itu. Jika itu semacam teka-teki, jangan berhenti belajar untuk memecahkannya suatu hari nanti.

Baiklah, sebelum yang lain-lain. Saya sebagai orang tuamu, akan mengucapkan, "Selamat datang 'Teguh Pendirian Anakku Abdillah' di muka bumi (Allah) yang keras ini." Melalui dunia ini, Tuhan hendak menyampaikan bahwa hidup di dunia ini tidak sepenuhnya gratis. Di sini, di negeri ini sudah tidak ada tanah perdikan, kalaupun masih ada kamu masih harus membajaknya. Itu artinya, tidak ada yang betul-betul gratis.

Dengan kehadiranmu, ini semacam cara Tuhan untuk menambah kebahagiaan dan kegairahan dalam mahligai rumah tangga orang tuamu. Semoga kehadiranmu, menjadi bagian dari penerang jagad raya ini. "Jadilah anak shaleh, Nak! Yang kelak akan melanjutkan orang tuamu dalam mengabdi". Mulai saat ini, kamu menjadi tumpuan harapan kami, melanjutkan masa depan bangsa dan negara.

Keras suara tangismu tidak sekeras persaingan ketat dalam kehidupan ini. Saling sikat dan sikut sudah bukan barang tabu. Maling berteriak maling, sudah lazim terjadi. Tapi kamu tidak usah takut, karena kelak ada banyak pamanmu yang akan mengajari bagaimana kamu bisa menghadapi dunia ini.

Anakku, bila kelak kamu berpikir akan membangkang pada ibumu, saya punya cerita untukmu. Bagaimana malam-malam ibumu tidak lelap tidur saat mengandungmu, karena sering sakit punggung dan perut yang kamu tendang setiap malam sejak kamu bisa menendang. Bayangkan saja, anak manusia ada di dalam perut manusia.

Suatu ketika, ibumu juga pernah panik karena dua hari kamu tidak bergerak dalam perutnya. Ia bersegera konsultasi ke bidan setempat. Konsultasi ini kemudian mengeluarkan prediksi bidan bahwa tanggal 03 Juli kamu akan lahir. Tapi pada tanggal yang ditentukan kamu tidak kunjung lahir. Oleh sebab itu, saya dengan ibumu menindaklanjuti kepada bidan, dan bidan memberikan prediksi tambahan satu minggu. Berdasarkan prediksi tambahan itu kamu diprediksi akan lahir tanggal 10 Juli.
Tanggal sepuluh pun tiba. Kamu tidak jua lahir. Untuk kesekiankalinya saya dan ibumu harus pergi ke bidan lagi untuk menyampaikan bahwa prediksinya meleset. Oleh sebab itu, akhirnya Ibu bidan menyarankan untuk di USG, agar ada kejelasan tentang dirimu di dalam perut ibumu. Pada hari yang sama, pagi itu saya dan ibumu ke dokter untuk memastikan keberadaan kamu.

Nomor antrian pun tiba di nomor urut 32. Saya dan ibumu menghadap ke dokter, dan dokter pun memeriksa kandungan ibumu dengan alat yang tembus kulit dengan media sinar laser  (kurang lebih seperti itulah). Dengan keputusan yang mengagetkan, ibu dokter menyampaikan, "Bayi dalam kandungannya letaknya sungsang, ini lihat! Ini harus dioperasi, nanti sampaikan pada bidan, Erna. Untuk jenis kelaminnya, ini laki-laki berdasarkan suaranya, karena ketutupan air ketuban. Air ketubannya masih bagus." Mendengar kata dokter, rasanya seperti disambar petir.

Pada siang harinya, kami masih belum putus asa bagaimana kamu bisa lahir normal. Informasi ditampung sebanyak-banyaknya dari teman-teman dan saudara dengan variasi saran antara lain: ada yang menyuruh sujud agak lama, ngepel jongkok, makan kakap merah, berhubungan dengan gaya (tertentu), dipijat pada dukun, dan lain-lain.

Kami tidak menyerah, sebagai langkah awal ibumu mulai mengepel, kemudian shalat dengan sujud yang agak lama, dan melakukan posisi sujud tanpa shalat, termasuk memijit kandungannya ke dukun, dengan harapan posisimu bisa berubah. Ada angin segar dari dukun, waktu itu, bahwa posisi kepalamu sebenarnya ada di bawah, tetapi tidak masuk poros karena air ketuban ibumu berlimpah. Seperti angin segar buat saya dan ibumu.

Berdasarkan surat rekomendasi yang diharapkan oleh bidan dari dokter, sore harinya saya mengantarkan ke rumahnya, dengan keinginan juga mau cek posisimu berdasarkan hasil pengamatan dukun anak. Ternyata bidannya tidak ada, yang ada hanya asistennya yang menyampaikan bahwa ibu bidannya pergi ke undangan. Pada saat yang bersamaan, ketika kami masih di rumah bidan, ternyata ketubannya pecah. Ketika menyampaikan kepada bidan pembantu praktik di tempat itu kami disuruh pulang dulu, ketemu besok pagi jam 6 katanya.

Kami pun pulang. Sesampai di rumah, ketuban ibumu pecah lagi dan semakin deras. Kebingungan pun melanda kami. Dengan perasaan was-was bercampur panik, kami kembali lagi dengan harapan bertemu bidan, yang ternyata belum juga datang. Waktu itu sudah jam 9 lebih, pintu sudah tertutup dan saya terpaksa pencet tombol bel. Bidan pembantu pun keluar, dia menyampaikan kalau ibu bidan belum datang, kemudian dia menyodorkan secarik kertas berisi nomor handphone untuk saya hubungi.

Saya bergegas pulang. Sesampainya di rumah saya langsung menghubungi ibu bidan, setelah 5 kali panggilan tidak diangkat saya SMS beliau, dan panggilan berikutnya diangkat. Berdasarkan panjang lebar perbincangan kami, intinya ibu bidan tetap bersandar pada rekomendasi dokter, dan ibumu harus dioperasi. Hihihi

Saya pergi ke seksi desa untuk mendapatkan bantuan tenaga dan pikiran, setelah mendapatkan solusi saya menghubungi pamanmu, Kanda Lukman Hakim untuk mengantarkan ibumu ke rumah sakit (larasati). Jam 24.00 kami tiba, dan langsung di UGD. Baru setelah dari UGD dibawa ke ruang rawat inap. Sebelum dibawa ke meja operasi pada jam 11 siang, semalam penuh saya dan ibumu tidak tidur, karena saya harus menjaga ibumu yang merasakan sakit yang luar biasa.

Detik-detik paling menegangkan tiba, ketika ibumu dibawa ke ruang operasi. Sebab, ketika ibumu masuk ruang operasi, setelah ibumu ada orang yang juga masuk ke ruang yang sama dengan kasus juga ingin melahirkan, yang ternyata selesai lebih dulu. Pikiran berkecamuk, ada apa gerangan. Saya tambah panik luar biasa.

Hingga saat yang ditunggu tiba. Suara tangismu memecah keadaan, kemudian kamu diadzani dan ditimang oleh tante Uswatun Hasanah Zubair. Dan kamu disambut oleh paman dan tante-tantemu: Paman Minhaji Ahmad, Ahmad Wiyono, Arief Hernandez, Muhammad Ali Wahdi, Hadiri Dearly, Rozi Baswedan, Jamaluddin, Sang Penyair, Fawaid Hasan, Aminullah; tante Ningsih Binti Had Al-mangkoni dan Om Sholehoddin, Lihen Aleh, Ujang Saja, tante Masrurotul Khofiyah, dan tante Khotieq Karou, Om Muksin Punya juga.

Pamekasan, 14 Juli 2017

Membangun Desa Tanpa Melompat (Desa)

Membangun Desa Tanpa Melompat (Desa)

Seseorang yang mencalonkan diri menjadi kepala desa tidak harus merupakan penduduk yang berdomisili di desa yang bersangkutan. Kira-kira begitu bunyi terakhir Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, setelah sebagian pasal dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang dimaksud adalah Pasal 33 huruf g Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Semula pasal tersebut berbunyi, “Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:... g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran". Berikut bunyi selengkapnya Pasal 33 UU Desa sebelum dibatalkan oleh MK:

“Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
k. berbadan sehat;
l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.

Keputusan Majelis MK bernomor 128/PUU-XIII/2015 ini sekilas nampak manusiawi, karena telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia untuk menjadi kepala desa di mana saja tanpa dibatasi wilayah tempat tinggal. Namun di sisi lain, ini menjadi tambahan persoalan bagi warga negara yang ingin melaksanakan pemilihan kepala desa di daerahnya. Sebab, kran kebebasan yang dibuka ini telah menarik banyak minat bagi orang yang ada di luar desa untuk berkompetisi di desa orang lain.

Keikutsertaan orang luar desa terhadap demokrasi desa ini berpotensi besar terjadi konflik, karena pasti ada keterlibatan banyak orang dari luar desa. Setidaknya sanak keluarga (calon yang diusung dari luar desa) itu akan keluar masuk desa untuk mengintervensi dan bahkan intimidasi terhadap warga desa untuk mendukung calonnya. Padahal, kebiasaan masyarakat desa, tujuh hari sebelum pemungutan suara dilakukan, semua jalur desa ditutup untuk menghindari intervensi orang dari luar. Nah, kalau seperti ini, jelas sekali akan terjadi keributan jika pendukung dari luar desa memaksa masuk ke dalam desa.

Adanya ruang bagi orang di luar desa untuk menjadi calon, ini seringkali dimanfaatkan sebagai upaya untuk menghambat calon lain (putra desa) oleh lawan politiknya, sehingga tidak jarang masing-masing calon dari putra desa mengundang orang luar untuk mendaftar calon kepala desa di tempat itu dengan tujuan saling menghambat dalam proses verifikasi. Biasanya, kompetitor ini mengundang orang-orang yang mempunyai persyaratan yang lebih baik, semisal ijazahnya yang sudah lebih tinggi, bahkan dari pengundang yang juga ingin berkompetisi sekalipun.

Orang dari luar ini ada yang serius (ambisi) untuk menjadi kepala desa-di daerah orang lain-ada yang hanya memenuhi undangan kompetitor putra desa. Dalam hal orang yang serius berkompetisi, kalaupun ia terpilih sebagai kepala desa, akan mengalami hambatan yang luar biasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebab, masih harus memahami masyarakat desa yang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai orang yang bisa membantu segala urusannya. Dan orang baru tidak akan pernah tahu terhadap sumber daya manusia yang ada di daerah itu. Untuk memahami potensi yang kemudian ditarik dalam formasi struktural desa memerlukan waktu yang relatif lama karena sinergitas antara pemimpin dengan masyarakat belum terbangun.

Sisi lain, bagaimana mungkin ada warga suatu daerah tertentu lebih percaya dipimpin oleh orang luar dari desa itu. Bagi penulis, ini sangat naif sekali. Hal seperti ini hampir sama dengan penjajahan Belanda tempo dulu. Perbedaannya, penjajah Belanda dilakukan antar negara dan hal ini dilakukan antar desa. Sama-sama ingin menguasai wilayah orang lain meski dengan skala yang lebih sempit. Yang jelas, namanya bukan putra desa tidak akan secara maksimal berbuat untuk desa itu, karena ikatan emosional dan rasa memiliki terhadap tanah dan air itu kecil.

Hal seperti ini sebenarnya kurang etis, meski dilegitimasi oleh Undang-Undang. Kalau boleh disuarakan, seperti sedang meremehkan potensi sumber daya manusia yang ada di daerah orang lain. Sekali gus, kalau ini mau disadari adalah bentuk penghinaan bagi warga desa orang lain. Bagi orang Madura, yang notabene kuat memegang nilai-nilai etika, semoga tidak pernah terjadi. Mari, bangun desa masing-masing, tanpa harus melompat pagar masuk desa orang lain.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 27 Juli 2017

Skak Mati KPK untuk Pamekasan

Skak Mati KPK untuk Pamekasan
(Rajanya Jatuh)

Tiba-tiba badai menggemuruh di kota Gerbang Salam. Seketika, ia seperti banyak meluluhlantakkan kelaziman yang selama ini mungkin berlalu lalang tanpa pengendali. Atau mungkin karena pengendalinya terkendalikan. Untuk saat ini, semuanya sudah berlalu dan sudah tidak bisa dikendalikan. Kalau sudah demikian, ini seperti yang orang jawa bilang, "Mudar kue!" Yang masih berharap mau menyuap KPK seperti yang telah dilakukan kepada Kajari coba saja sekali lagi. Siapa tahu, Anda beruntung.

Apakah mungkin ini yang disebut dengan maling berjemaah? Hi. Seperti orang salat saja berjemaah. Lagian, mana mau disebut maling, orang tidak kedapatan masuk kandang mencuri ayam, atau sapi. Kalau mencuri uang kantoran itu bukan maling namanya, tapi koruptor. Memang ada bedanya maling sama koruptor? Ada-lah. Yang satunya digebugi, dibakar hingga tewas, satunya lagi cukup dipenjarakan.

Pada saat KPK kapan hari ada di Sumenep, ternyata mereka sedang meletakkan bom waktu di Pamekasan yang meledak hari ini. Sungguh ledakan yang tidak terperikan: eksekutif (tingkat daerah dan tingkat desa) sampai yudikatif (kajari Pamekasan) terkena bias dari ledakan itu, dan bahkan sampai melukai. Atas dasar kejadian ini, muncul pernyataan, "Pamekasan malang, Sampang bahagia". Kurang lebih samalah seperti senandung lagu dari Pamekasan pada saat KPK berkunjung ke Sumenep. Terus, Sampang bagaimana? Ini rusan nunggu giliran saja, kok. Sampang, siap-siap saja kedatangan tamu, besok atau lusa. Waw, atut!

Seperti pernyataan yang sering telinga dengar: bahwa setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Mungkin untuk saat ini, Tuhan berkehendak bahwa masa mereka sampai di sini. Perlu disiapkan generasi untuk melanjutkan masanya, agar tidak terjadi kekosongan, termasuk melanjutkannya masuk bui kalau mau main-main.

Kalau operasi tali temali (OTT) ini berhasil mengamankan (baca: memenjara) beberapa pihak tersebut. Tersebut di mana? Iya di media-media itu. Itu sudah cukup sebagai bukti, bahwa bagian perangkat pemerintahan selama ini sebenarnya tidak sehat. Tidak sehat secara ruhani. Nah, orang kurang sehat ruhani yang telah mencabik gerbang salam ini selama ini. Sehingga hukum tidak pernah terlaksana dengan baik.

Kepala eksekutif (kabupaten Pamekasan), sudah. Bagian yudikatif, sudah. Legislatif? Belum. Dan semoga tidak. Kalau tidak, berarti tidak maling. Iya, toh? Kalau maling, siap-siap saja digulung seperti tikar. Selamat kepada legislatif Pamekasan yang berhasil sebagai pemenang.

Cukuplah, segel sebagai tanda cintaku, dan borgol sebagai kasih sayangku padamu. Hadiah utama kabupaten Pamekasan di hari ke-dua bulan kemerdekaan ini.

Merdeka!

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 02 Agustus 2017

Warisan (Sangkolan) dan Cinta

Warisan (Sangkolan) dan Cinta

Warisan berasal dari kata dasar waris yang sudah mengalami afiksasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia waris bermakna orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal, dan; warisan bermakna sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik; harta pusaka, sedangkan pewaris adalah orang yang mewariskan.

Umumnya, warisan diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Di kampung pembagian warisan kepada anak-anaknya dilakukan semasa orang tuanya masih hidup, untuk menghindari perselisihan di antara saudara. Warisan bisa berupa apa saja, yang lebih dominan biasanya dalam bentuk harta benda, seperti tanah, tanaman, perkebunan, rumah, emas permata dan lain-lain.

Ketika pewaris sudah meninggal, maka secara mutlak harta benda sudah dikuasai oleh ahli waris. Nah, disinilah warisan berposisi sebagai pengingat dari orang yang masih hidup kepada orang yang telah meninggal. Warisan semacam pertemuan antara yang hidup dengan yang mati. Interaksi transendental yang terjadi dua alam dengan media warisan (sangkolan: Madura) ini sebagai cara mengenang kebaikan pewaris semasa ia hidup.

Oleh sebab itu, jangan putus interaksi dua alam ini dengan cara menghilangkan warisan (dijual) yang diberikan oleh para orang tua dan leluhur. Apa lagi dilepas kepada orang asing yang kemungkinan orientasinya adalah penguasaan terhadap wilayah yang sama sekali tidak menguntungkan bagi warga sekitar di kemudian hari. Semisal, dilepas kepada pengusaha asing yang hanya mengedepankan kepentingan korporasinya tanpa melihat masyarakat setempat.

Di kampung, ada sebuah kepercayaan, bagi ahli waris yang menjual warisan dari orang tuanya, maka ia akan mendapatkan tulah, ia akan menjadi orang yang miskin. Taruhlah, itu adalah mitos. Tetapi, hal itu bisa jadi benar. Ketika warisan sudah habis dan kita melupakan orang tua sebagai pewaris, maka doa keburukan akan mengalir dari alam lain kepada kita. Lupa mendoakan orang tua, akan membuat mereka sengsara di alam lain, atas nama kesengsaraan itu, doa sengsara itu akan dihadiahkan kepada kita juga.

Mempertahankan warisan merupakan cara lain sebagai bentuk kecintaan kita kepada para leluhur. Sebab, melihat benda-benda warisan yang kita dapatkan, pada saat bersamaan benda itu menjelma orang yang telah mewariskan. Dari itu, mencintai harta waris itu sama dengan mencintai pewarisnya.

Dalam lingkup yang lebih luas, seperti negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah warisan dari para leluhur yang harus kita jaga dengan baik. Mulai dari, pusat (DKI Jakarta) sebagai pusat pemerintahan negara, propinsi, kabupaten,kecamatan, desa, dan sampai ke kampung, tidak boleh ada yang digadaikan, apalagi sampai dijual. Kita harus mempertahankannya satu jengkal sekalipun. Bagi manusia-manusia serakah yang seringkali memperjualbelikan harta kekayaan negara ini, mari, kita doakan sadar bahwa warisan yang saat ini dinikmati hasil dari kerja keras melalui peperangan yang menghabiskan banyak darah dan nyawa.

Sampai saat ini, penulis melihat bahwa yang getol memperjuangkan NKRI ini hanya NU. Itu pun masih dibuli dengan jargon "NKRI harga mati"nya itu. Tapi apapun itu, biarkan anjing menggonggong kafilah berlalu.

Selamat hari ulang tahun Indonesia.

Pamekasan, 01 Agustus 2017

KPK Membidik Desa

KPK Membidik Desa

Melihat adanya dana desa melalui DD dan ADD yang mencapai lebih Rp. 1.000.000.000,00 (satu  miliar rupiah) dari Pemerintah, ini semacam jebakan batman yang disediakan oleh pemerintah untuk desa. Kenapa tidak, sebab jika terjadi penyelewengan dengan dana sejumlah itu, maka KPK tidak segan untuk mengusut persoalan itu sampai tuntas. Atas dasar angka yang fantastis itu, KPK mempunyai legitimasi secara hukum.

Selama ini (sebelum tahun 2015), anggaran yang mengucur dari pemerintah untuk pembangunan di bawah Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sehingga tidak ada ruang bagi KPK untuk mengusut persoalan penyimpangan yang terjadi pada dana pembangunan desa. Cukup ditangani oleh kejaksaan negeri yang ada di daerah. Dan-bisa jadi-tidak jarang persoalan selesai di bawah meja, seperti kasus beberapa hari terakhir yang rencananya mau ditutup, tetapi keburu terjadi OTT oleh KPK. Gagal deh.

Dalam UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 11 huruf c, dijelaskan bahwa
"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: ... c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." Dengan legitimasi itu, KPK sangat leluasa untuk masuk ke desa-desa, bahkan ke kampung-kampung sekalipun, kalau mau (bermain).

Anggaran dana lebih 1 M untuk desa menjadi ruang masuk bagi KPK untuk membedah segala bentuk penyelewengan yang terjadi di desa. Meski saat ini, desa seperti adem-adem saja dan jauh dari pantauan, tapi pelaksana kebijakan di tingkat desa tidak boleh lengah. Ini semacam angin sepoi yang membuat orang terlelap dan dalam kondisi tertentu akan terjatuh. Demikian itu, karena KPK sangat rapat menutup ruang lobi, dan bagi orang-orang yang sudah terjerat oleh KPK sangat sulit untuk berkelit.

Menurut Bapak Presiden RI. Joko Widodo, bahwa anggaran desa tahun 2015, sebesar Rp. 20.000.000.000.000,00 (dua puluh Triliun); pada tahun 2016, Rp. 47.000.000.000.000,00 (empat puluh tujuh Triliun); dan tahun 2017, Rp. 60.000.000.000.000,00 (enam puluh triliun). Semakin tahun anggaran dana desa semakin meningkat, hal ini menunjukkan bahwa anggaran dana desa untuk pembangunan tidak main-main. Itikad baik kepala negara untuk memajukan pembangunan di desa harus direspon secara positif, agar terjadi keseimbangan pembangunan antara kota dan desa. Jika tidak, maka konsekuensinya ditanggung sendiri.

Memang kita banyak melihat, keinginan pemerintah pusat untuk menyetarakan pembangunan sampai ke tingkat desa tidak seiring dengan keinginan perangkat desa. Tidak adanya perubahan yang signifikan pembangunan di desa antara setelah dan sebelum adanya DD dan ADD cukup dijadikan sebagai indikasi adanya kesalahan dalam pengelolaan dana desa. Hal semacam ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut terlalu lama, agar kesejahteraan masyarakat desa segera tercipta.

Pada saatnya, pengkondisian bagi orang yang mengerti tentang persoalan desa tidak akan selalu berhasil. Pada saat itulah, kepala desa dibayangi oleh jeruji besi dan ruang yang pengap dan dingin. Sungguh pelajaran yang berharga bagi kaum-kaum yang mau berpikir. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, kita setuju saja usul KPK kepada Presiden, bagi Kepala Desa yang terbukti korupsi dicopot. Kok diusulkan, bukannya memang begitu.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 03 Agustus 2017

Fobia KPK

Fobia KPK

Teringat dengan sebuah cerita. Ada seseorang yang lari kencang karena dirinya diteriaki maling, semakin kencang diteriaki, semakin cepat berlari. Kenapa dia berlari? Karena merasa pada saat yang bersamaan, dirinya adalah maling. Seandainya dia bukan maling, pasti tidak akan lari dan tidak perlu lari. Bahkan bagi yang bukan maling, akan mengambil peran untuk mengejar dan menangkapnya. Selesai. Berikut, ada pernyataan seorang Kiai dalam sebuah ceramahnya, "Oreng mun rogheh, epelet, atoat. Mun tak rogheh, epelet, ngiddeh," (orang kalau keseleo, diurut, teriak (karena kesakitan). Tapi kalau tidak keseleo, diurut, lelap).

Pernyataan Kiai tersebut mengandung sebuah analogi, bahwa seseorang yang merasa tidak bersalah, tidak harus lari dari sebuah keadaan yang dipersangkakan. Jadi orang yang lari itu, pasti merasa bahwa dirinya sedang bersalah. Kalau tidak salah, buat apa berlari. Tidak penting banget!

Seperti inilah yang mungkin terjadi di Pamekasan, ketika beredar, adanya sejumlah kadis dan kades yang mengganti nomor HP karena takut disadap KPK, (skalanews). Bukankah KPK sedang mencari maling? Ngapain yang bukan maling ikutan lari. Kecuali..., ah, sudahlah.

Hal semacam ini menunjukkan adanya indikasi yang tidak benar pada beberapa oknum yang dimaksud. Justru, tindakan semacam ini (mengganti nomor SIM) akan semakin menambah persoalan baru; menurut penuturan seorang teman (mendengar informasi dari KPK) justru yang mengganti nomor HP ini yang paling sangat dicurigai. Tunggu saja seperti apa episode berikutnya.

Efek yang ditimbulkan oleh sebuah persoalan, tidak lepas adanya sebuah persoalan yang lain, sehingga perasaannya harus mengambil inisiatif, pada saat sesuatu yang dipersangkakan pada dirinya sedang dipersoalkan. Bagi orang yang tidak dalam persoalan itu, tidak harus merasa ada prasangka pada dirinya. Seseorang yang tidak merasa melakukan perbuatan tertentu (yang tidak baik) tidak harus lari dari prasangka itu. Hadapi dan buktikan, bahwa semuanya baik-baik saja.

Saat ini, sedang marak beredar surat cinta dari KPK kepada para kades. Dikatakan surat cinta karena KPK tidak ingin kades mendekam dalam jeruji dalam keadaan kurang terpuji. Seperti sedang kedapatan menelep uang rakyat yang seharusnya untuk pembangunan, misalnya. Selain itu, surat cinta (himbauan) itu dilakukan secara konstitusional. Artinya, yang memberikan peringatan itu adalah sebuah lembaga, bukan perseorangan. Apalagi lembaga negara. Jadi, jangan khawatir tidak ditindaklanjuti, kalau berurusan dengan lembaga negara pasti ditindaklanjuti. Kalau dengan saya, sekarang saya bilang, mungkin besok lupa. Kepanjangan tangan lembaga negara itu cukup, kok, untuk menindaklanjuti kasus yang terjadi.

Kenapa harus ditindaklanjuti? Dipikir-pikir sepertinya memang wajar. Kenapa sebab? Bayangkan saja, berapa banyak uang yang mengalir dari negara ke Madura: mulai kabupaten Bangkalan sampai Sumenep. Nih, datanya.
Info Tamsul Sampang, 15.30 : Jumlah dana desa (tidak termasuk ADD) yang digelontorkan pemerintah pusat tahun 2017 kepada 4 kabupaten se Madura Rp.820.488.930.000 dengan rincian Sebagai berikut:
1. Kabupataen Bangkalan Rp. 226.569.736.000 untuk 273 Desa;
2. Kabupaten Sampang Rp. 167. 492.597.000 untuk 180 Desa;
3. Kabupaten Pamekasan. Rp. 154.653.592.000 untuk 178 Desa;
4. Kabupaten Sumenep Rp. 271.773.005.000 untuk 330 Desa.
[Bayangkan saja] jika uang sebesar itu benar-benar dipakai untuk membangun desa (Infrastruktur maupun peningkatan sumber daya manusia di desa) dalam 10 tahun ke depan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Madura akan terjamin, (K.123).

Mari, saling mengingatkan. Hal ini, merupakan bentuk kecintaan saya kepada anda semua yang mengabdi untuk desa. KPK adalah lembaga negara, banyak elemen di dalamnya yang akan menyukseskan segala agendanya. Tidak pernah mengenal lupa dan lelah.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 08 Agustus 2017

Mendalami Makna Jihad

Mendalami Makna Jihad

Pengertian jihad dewasa ini tampak makin "menyempit", yaitu hanya dipahami sebagai “perang suci” (holy war) atau “perang bersenjata” (jihad fisik-militer). Bahkan, dewasa ini kalangan masyarakat Barat kerap mengasosiasikan jihad dengan ekstremisme, radikalisme, bahkan terorisme. Hal ini terjadi sebagai refleksi masyarakat Barat yang melihat kecenderungan umat Islam -secara umum- mempunyai pemahaman tentang makna jihad itu sendiri. Konsepsi tentang jihad itu tidak akan terbentuk jika umat Islam sendiri tidak secara langsung mempopulerkannya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian umat Islam dengan aksi terorisme dan mengatasnamakan jihad.

Mengurai makna jihad untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan tidak terpotong harus dilakukan. Hal ini dimaksudkan, agar umat Islam tidak terkontaminasi oleh himbauan perang sebagai tuntutan jihad. Memahami jihad dalam konteks negara miskin berbeda dengan negara terjajah. Jihad dalam konteks negara seperti Indonesia kontemporer: pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan adalah cara yang benar untuk berjihad. Mendengungkan jihad dalam perspektif ini, akan meningkatkan nama baik Islam di masyarakat bahkan dunia.

Seperti yang disampaikan oleh Prof. Abdul A'la, "Dalam konteks Indonesia kekinian, persoalan umat dan bangsa yang cukup menantang untuk dijadikan lahan jihad adalah masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Sebab dua aspek ini berada alam ambang yang cukup memprihatinkan yang dapat menjauhkan umat Muslim dan bangsa dari keutuhan eksistensial sebagai manusia. Kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan telah menjadi musuh yang nyaris tak terlawan yang selalu mengintai untuk menghancurkan kehidupan bangsa".

Konsentrasi terhadap kepentingan umat, jihad melawan kemiskinan dan keterbelakangan menjadi jalan otomatis untuk menghindari segala bentuk kegiatan ektrimis fundamentalisme. Pemikiran fundamentalisme dan ekstrimisme ini tidak sedikit telah menghancurkan tatanan kehidupan sosial yang sudah mapan, seperti toleransi, gotong royong, saling menghargai dan lain sebagainya. Padahal, kehancuran tatanan kehidupan sosial ini yang sesungguhnya dikehendaki oleh negara luar. Yang artinya negara luar tidak perlu menghancurkan dari luar, cukup sesama bangsa saling menghancurkan; sesama manusia yang lahir di Indonesia.

Apa jihad itu? Jihad berasal dari kata “jahada” atau ”jahdun” ( ﺟَﻬْﺪٌٌٌ) yang berarti “usaha” atau “juhdun” ( ﺟُﻬْﺪٌ ) yang berarti kekuatan. Secara bahasa, asal makna jihad adalah mengeluarkan segala kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini (diiktikadkan) bahwa jalan itulah yang benar. Menurut Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi Saw, secara bahasa jihad berarti “mencurahkan segenap kekuatan dengan tanpa rasa takut untuk membela Allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan permusuhan orang yang memusuhi”.

Dapat dipahami bahwa ruang jihad itu sangat luas, dan kita tidak harus menyempitkannya. Melakukan kebaikan dengan sungguh-sungguh dengan segala kekuatan yang kita punya untuk kemaslahatan umat adalah jihad. Tidak harus mencari lawan perang di negara damai seperti Indonesia; tidak mengganggu kedamaian umat lain dalam beribadah; tidak mengusik keyakinan umat lain dalam agama. Dalam konteks media sosial, tidak membagikan berita dengan nuansa yang memicu konflik sosial.

Mari, berjihad yang sesuai dengan keadaan lingkungan kita. Tidak menghamburkan kata yang tidak akan dilakukan. Seperti memotivasi orang untuk menghujat, tetapi tidak ada tindak lanjut dengan kontribusi riil yang bermanfaat bagi masyarakat. Ruang jihad dalam konteks hari kemerdekaan seperti saat ini akan sangat berbeda sekali dengan tempo dulu. Memasang bendera dan simbol-simbol kemerdekaan juga termasuk bagian dari jihad; melestarikan cipta karya seperti produk kebudayaan orang-orang terdahulu juga termasuk jahad.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 12 Agustus 2017

Gerak Jalan dan Degradasi Moral

Gerak Jalan dan Degradasi Moral

Mari, sejukkan Madura dengan bershalawat. Kira-kira begitu himbauan dalam baleho yang terpajang besar di samping jalan itu. Himbauan itu menunjukkan bahwa kepala daerah kota dimaksud menginginkan adanya perubahan yang lebih baik, dari kota yang sebelumnya mungkin pasif, menuju kota yang lebih aktif (bershalawat). Tentu, shalawat merupakan salah satu wasilah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sang Maha Pencipta agar tercipta kedamaian dan kesejukan menuju kebaikan masyarakat.

Ironi. Disinkronisasi orientasi menuju kebaikan ternyata mengalami hambatan yang cukup berarti dan tidak sepenuhnya dilaksanakan. Kenapa sebab, satu sisi kepala daerah setempat menginginkan masyarakat lebih Islami dengan bershalawat, namun di sisi lain ada potret yang kontras yang tidak menunjukkan keseragaman terhadap capaian cita-cita yang diinginkan.

Dengan adanya potret rok mini dalam sebuah acara perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang lepas dari kritik oleh tokoh setempat, menunjukkan lemahnya semangat menciptakan keadaan yang lebih baik dengan membumikan shalawat. Atau jangan-jangan potret seksi para kontestasi ini tidak sampai di telinga para tokoh. Kalau kota sebagai pusat peradaban sudah dijajah dengan potret yang kurang Islami dibiarkan, maka hal itu semacam legitimasi untuk melaksanakan hal serupa sampai ke pelosok desa.

Tidak hanya itu, legitimasi waria dalam kehidupan masyarakat yang seharusnya dianggap sebagai penyakit, diberikan ruang luas untuk berkreasi. Masih ingat dengan kasus LGBT? Lesbian, gay, biseksual, transgender yang mendapatkan kutukan publik karena dianggap sebagai penyakit masyarakat dan cenderung menularkan penyakit kelamin. Perbuatan menyimpang mereka harusnya tidak mendapatkan ruang, apalagi di Madura yang dianggap sebagai daerah yang masih kental nilai keagamaannya.

Di Indonesia, masih menganut budaya ketimuran dan mengutuk keras terhadap perilaku menyimpang itu. Saat ini, secara nasional, negara sedang memerangi penyakit masyarakat itu, tetapi ada bagian masyarakat yang justru melegitimasi, menerima keberadaan mereka tanpa perasaan was-was sedikit pun. Padahal perilaku LGBT itu diturunkan dengan cara ditularkan. Karena memang tidak bisa dengan cara seksual untuk mendapatkan keturunan yang sama.

Jika keberadaan mereka pada siang bolong dalam sebuah acara besar diapresiasi sedemikian rupa, maka ke depan mereka akan lebih berani lagi menunjukkan keberadaan mereka. Mereka sudah merasa diterima oleh masyarakat. Tulisan ini tidak memberatkan keberadaan mereka sebagai manusia, tetapi perilaku mereka telah banyak menimbulkan keresahan masyarakat. Dampak terakhir dari adanya waria ini adalah menurunnya populasi manusia di kemudian hari.

Dalam konteks kacamata agama bagaimana? Saya pikir semua orang tahu. Tidak usah membuka kitab yang terlalu tebal. Yang jelas, seorang laki-laki (tulen) menyerupai wanita hukumnya harus dikasih pembinaan.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 13 Agustus 2017

Indonesia 1/2 Merdeka

Indonesia 1/2 Merdeka

Kemerdekaan Indonesia telah banyak mengalami adaptasi bergantung situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Merdeka awal mulanya dipopulerkan oleh para pahlawan kita dalam menghadapi penjajahan, baik penjajahan Belanda, Jepang, dan sekutu-sekutunya. Merdeka tidak semerta lahir begitu saja dalam suasana yang santai dengan sacangkir kopi dan sebatang rokok dalam sebuah diskusi, seperti kebiasaan aktivis dan para tokoh lainnya. Namun, ia lahir dari sebuah ledakan semangat dalam kondisi menghadapi dua pilihan di medan perang, hidup atau mati.

Kemudian kata itu dideklarasikan oleh sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno, pada saat membacakan teks kemerdekaan Republik Indonesia. Kata merdeka yang dikobarkan dengan semangat itu hanya ingin menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk menjadi negara yang berdaulat, karena pada saat yang bersamaan para penjajah masih berkeliaran di Indonesia. Dengan kata merdeka itu menjadi semacam kata kunci untuk tetap menjaga kedaulatan,  dan kedamaian Indonesia; menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.

Seandainya Indonesia tidak segara memroklamirkan kemerdekaannya, maka mental merdeka rakyat Indonesia, dan mental penjajah Belanda masih sama. Rakyat Indonesia masih merasa belum merdeka dan penjajah masih merasa menguasai Indonesia. Sebait kata, dalam teks kemerdekaan itu yang betul-betul mengantarkan Indonesia dalam kemerdekaannya. Dengan berani mengatakan bahwa Indonesia harus bebas dari segala bentuk penindasan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan.

Penjajahan dalam bentuk perang fisik sudah berakhir. Mari, kita bersama mengucapkan "terima kasih" kepada para pahlawan kita yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan kita. Kenapa kita? Sebab, kitalah yang hari ini sedang menikmati hasil jerih payah para pahlawan itu. Perang fisik sudah selesai, sehingga kita harus banyak bersyukur atas limpahan rahmatNya.

Namun, masih banyak perang yang harus kita hadapi dengan semangat merdeka seperti yang telah dilakukan para pendahulu kita. Semua itu masuk dalam dua poin besar: pertama, perang pemikiran dengan orang non-Indonesia; kedua, perang mental dengan pejabat Indonesia. Perang pemikiran dimaksud adalah bagaimana orang luar mencekoki rakyat Indonesia dengan produk pemikiran mereka. Produk pemikiran mereka adalah, bahwa Indonesia dapat dihancurkan dengan budaya bebas seperti budaya mereka. Bebas menjadi pecandu obat terlarang, bebas melakukan seks bebas, bebas berpakaian, bebas bersaing secara ekonomi, dan lain sebagainy. Dengan begitu, apabila bangsa kita betul-betul mengikuti arus pemikiran yang mereka cekoki, maka tunggulah kehancuran Indonesia.

Berikutnya, memerangi mental pejabat Indonesia. Mental pejabat yang dimaksud adalah mental korupsi yang sudah menjadi bagian dari Indonesia. Mental korupsi di Indonesia ini sudah mendarah daging dan sudah memutuskan urat malu para pejabat. Dikatakan putus urat malunya, sebab ketika mereka sedang kedapatan dan tertangkap melakukan perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa untuk diperangi itu, pejabat kita masih bisa tebar pesona dengan senyum yang menawan. "Jhe' pas etapogheh ngara colo'en," itu kata seorang teman.

Mental poligami juga cenderung menjadi penyakit bagi pejabat kita. Ups, poligami sebenarnya tidak termasuk penyakit mental. Masih relatif dan debatebel di masyarakat kita. Tetapi, budaya kita masih melihat poligami sebagai budaya yang masih tabu. Dan urusan poligami saya pasrahkan kepada yang lebih kompeten dalam urusan poligami ini. Seperti yang sempat diopinikan mau diperdakan itu.

Sebenarnya memerangi korupsi pejabat kita, sama dengan memerangi kemiskinan. Kemiskinan berbanding lurus dengan tingkat korupsi para pejabat. Seandainya tidak ada korupsi, maka tidak ada kemiskinan di Indonesia. Mari, perangi segala bentuk penyimpangan yang ada di negara tercinta ini, untuk mencapai kemerdekaan sejati, kemerdekaan yang tidak hanya berada di atas kertas dan baleho-baleho yang besar.

Merdeka!

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 18 Agustus 2017

Perdagangan Manusia dan Iklan Gratis

Perdagangan Manusia dan Iklan Gratis

Tidak hanya makanan, mainan, perabotan yang banyak ditemukan dijual di mana-mana; pun manusia juga tidak lepas dari perdagangan bebas. Di jalanan, di media sosial, di pengajian, di trotoar, di warung, bahkan di WC sekalipun. Jangan salah, ini bukan penjualan manusia di bawah umur, tapi penjualan manusia cukup umur. Manusia yang sudah biasa kencing berdiri dan bahkan berlari.

Ada penjual, ada juga promotor, termasuk penerima layanan iklan gratis. Penerima iklan gratis ini adalah orang yang melibatkan diri dalam keadaan yang sesungguhnya dia tidak sedang dibutuhkan. Sekali pun dia termasuk orang yang tidak dibutuhkan, tetapi loyalitasnya mengalahkan bos copet, dan mempunyai militansi yang cukup tinggi. Kira-kira seperti militer-lah. Tahan cobaan, ujian dan rintangan, mengalahkan kera sakti (baca: Sun Gwo Kuong). Hihihi  

Semisal, setiap kali buka facebook dia posting dagangannya dalam bentuk wajah manusia, kemudian disampaikan bahwa dagangannya itu adalah yang terbaik. Entah, kapan ujiannya. Kemudian mati-matian membela bila ada yang mencela; beda pendapat dihujani dengan penghakiman yang luar biasa. Tidak segan untuk menjustifikasi orang; memberikan label orang. Label yang biasa diberikan adalah liberal, atau kalau tidak, kafir. Waw, takut!

Tidak cukup sampai di situ, pengiklan gratis ini tidak segan untuk menjatuhkan dagangan orang lain. Dengan cara mencela, menghina, menebar fitnah dan lain-lain. Tapi untung, konsumen hari ini sudah cukup cerdas, kalau pun didengarkan paling hanya ingin memastikan, apakah tukang iklan gratis itu 'baik-baik saja' atau mulai kurang waras. Ia, betul, mana ada jasa promosi tidak dibayar, mau saja kerja siang malam. Kecuali... Ah, sudahlah!

Nah, tukang iklan gratis ini kadang suka tidak nyambung. Yang dijual siapa dan yang membutuhkan siapa, seringkali tidak tahu, bahkan tidak tahu tempat. Kadang juga tidak tahu bahwa dia sedang dimanfaatkan dan sedang ditertawakan banyak orang. Pengiklan gratis ini sering menjual produk di tempat dimana tidak ada orang yang membutuhkan produk itu. Entah apa cita-citanya, saya sendiri tidak paham. Padahal menurut saya lebih manfaat, buka kitab dan baca di depan banyak orang. Damaikanlah hati orang dengan tusiah-tausiah ala Imam Atha'illah as-Sakandari.

Pengiklan gratis ini yang penting dapat 'suka' dan beberapa komentar, dia ini sudah senang luar biasa. Kalau dapat dukungan tentang iklannya, ia bahagia. Tetapi pendukungnya memang tidak jauh berbeda.

Tulisan menjelang tidur dengan tokoh misterius.

Pamekasan, 25 Agustus 2016

Selasa, 26 September 2017

Instrospeksi Diri

Instrospeksi Diri

Pasca OTT KPK di Pamekasan, muncul banyak asumsi dan perbincangan di mana-mana. Baik di dunia nyata, pun dunia maya. Di warung kopi, di toko baju, di trotoar jalan, di kantor tempat bekerja, di sawah, di gudang, dan bahkan hampir di semua lini. Dunia maya pun tidak kalah ramai, di facebook misalnya, tidak kalah ramai dari pasar, karena hampir setiap orang bisa nimbrung dalam perspektif masing-masing. Tanpa dibatasi tandeng aling-aling.

Semua orang ikut berkomentar dalam bangunan perspektif mereka masing-masing. Mulai dari para politisi, birokrasi, akademisi, nelayan, petani, pedagang dan lain-lain. Ada yang cenderung bijaksana ada pula yang biasa dan bahkan ada yang sinis. Tetapi secara umum tetap menilai bahwa perbuatan korupsi atau memaling itu tidak baik, dan menjadi buah bibir yang kurang sedap. Meski kebanyakan yang teriak maling tidak menutup kemungkinan juga maling meski dalam skala yang lebih sempit.

Maling teriak maling. Begitulah yang seringkali terjadi di sekitar kita. Kalau kita mendapat bagian, dia bukan maling; namun bila kita tidak dapat bagian, maka dia adalah maling. Tetapi ada juga manusia yang maling tetapi ikut teriak maling pada yang lainnya. Sepertinya bangsa Indonesia (secara umum) ini memang berkarakter maling sejak dalam pikiran. Hanya kesempatan saja yang berbeda.

Iya, dalam kondisi tertentu, kita juga bisa menjadi maling. Entah kenapa sebab. Saya lebih melihat bahwa mental kita (bangsa Indonesia) ini adalah mental maling. Hanya belum punya kesempatan saja untuk memaling, sehingga kita tidak memaling. Kita bisa saja introspeksi diri pada saat kita mendapatkan kepercayaan. Kalau masih memungkinkan untuk memaling kita cenderung maling. So, sesama maling, mari, jangan terlalu lantang berteriak maling.

Saya mendapatkan informasi dari salah seorang teman yang punya tetangga menjadi anggota program pemberdayaan dari pemerintah. Tetangga dimaksud mendapatkan bantuan Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) persekian bulan (entah berapa bulan sekali) dari pemerintah. Namun setiap kali bantuan keluar selalu terpotong sebanyak Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Sebenarnya bantuan tersebut masuk kepada rekening masing-masing, karena program pemerintah itu menggunakan rekening, tetapi anggota program dimaksud mempunyai pendamping yang biasa mengakomodir pengambilan bantuan itu. Ketika ditanyakan kepada pendampingnya, katanya ada pada saldo tabungan, tetapi slip penarikan dari ATM menunjukkan bersisa nol rupiah. Ah! (Untuk kelanjutan ceritanya, bisa saja sudah diselesaikan).

Kasus lain yang biasa terjadi di dunia akademis semisal menjelang tugas akhir bagi mahasiswa. Ada oknum dari perguruan tinggi yang cenderung menjualbelikan tugas akhir (skripsi) kepada mahasiswa yang dianggap kurang mampu membuat. Bukan memaksimalkan pelajaran cara penulisan tugas akhir secara baik, tetapi menyodorkan langkah yang sesungguhnya dekonstruktif bagi perkembangan karakter mahasiswa, yakni membeli yang sudah jadi. Kasihan sekali mahasiswa yang seperti itu ya. Itu contoh kecil saja, belum termasuk fee proyek yang sampai 15% atau mungkin lebih.

Mental kita sebagai bangsa memang cenderung tidak adil kepada orang lain sejak dalam pikiran. Selalu ingin melihat orang lain menjadi orang yang bersalah di mata kita dan yang lain, tanpa berusaha melihat dan bertanya ke dalam diri kita, cukup bersihkah diri kita sehingga harus menjustifikasi orang lain sedemikian rupa.

Perilaku seperti itu sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ia kadang dibawa oleh kecenderungan kelompok tertentu. Kebiasaan salah yang mendapatkan legitimasi secara sosial akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Atau kesalahan yang diulang-ulang tanpa ada teguran sosial juga akan dianggap sebagai kebenaran pula. Ketidakbenaran yang dibiasakan akan menular kepada kita secara tidak kita sadari; bahwa tiba-tiba kita berada di ruang yang salah.

Seperti yang kita tahu, berapa banyak orang yang menjadi tidak baik tanpa mereka sadari hanya karena selalu dicekoki dengan berita hoax seperti group saracen yang beberapa minggu terakhir terungkap. Dan bahkan sebagian orang masih kerasan dalam kondisi seperti itu, kondisi di mana penjelasan sudah ada di depan mata untuk dipahami tentang ketidakbenaran sebuah berita, tetapi memaksa bertahan dalam kebenaran hoax.

Memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik. Maka dari itu, bertemanlah dengan orang-orang yang baik.

Wallahu a'lam!

Sampang, 27 Agustus 2017

Bukan Politisi Wacana tapi Politisi Pengabdi

Saya tertarik membincang tokoh yang satu ini. Di tengah kontestasi politik yang kian memanas dan mendekati klimaks, beliau tidak selesai dengan orang lain, yakni orang yang selama ini lepas dari perhatian banyak orang termasuk pemerintah. Membantu meringankan beban orang lain sepertinya sudah menjadi tabiat yang melekat pada dirinya. Tidak pandang bulu dalam membantu. Menyisir kelokan gang untuk menjumpai orang dengan warisan keterbatasan dalam dirinya.

Semula saya berpikir bahwa yang beliau lakukan adalah bagian dari pencitraan. Maklum, karena akhir-akhir ini memang sedang trend dan musim gaya seperti itu. Sehingga wajar dong kalau saya harus mencurigai adanya trend itu masuk dan menyelinap ke dalam hati semua politisi tanpa pandang bulu. Lagian pula bulu siapa yang akan jadi tontonan gratis. Owh, tidak bisa!

Lambat laun saya mulai berpikir, tentang bagaimana dalam kondisi tertentu manusia akan sampai pada titik jenuh apabila sesuatu yang dilakukan tidak selaras dengan suara hati. Bila sampai pada titik jenuh, maka apa yang dilakukan dari awal tidak akan sama dengan apa yang dilakukan berikutnya. Sebagai contoh, Anis Baswedan misalnya, pada saat berkampanye dia menyisir lorong-lorong untuk menyapa masyarakat, bagian sudah jadi, lorong-lorong pun ditutup rapat.

Dan manusia yang satu ini memang tidak ada lelahnya untuk menghibahkan dirinya pada orang lain. Mana mungkin pencitraan akan bertahan selama itu. Anggap saja seperti Presiden kita Jokowi, yang dianggap pencitraan oleh sebagian orang karena blusukan yang beliau lakukan, ternyata blusukan itu sudah menjadi bagian dari gaya hidupnya dan menguasai tulang sumsum. Sehingga tidak ada istilah capai, bagi yang tidak terbiasa melakukan interaksi ke bawah, dengan nada nyinyir mengatakan, "Ah, itu pencitraan". Asu-dahlah!

Dalam bursa politik hari ini tidak melihat ada nama beliau. Menurut saya, beliau adalah manusia yang sering bercermin dan pandai mengukur diri. Siapa yang tidak suka untuk menjadi bagian dalam kontestasi Pilkada bagi orang yang sudah manjalani beberapa tangga? Tapi bagi orang yang sadar diri dan merasa belum saatnya, maka lebih baik mengabdi dulu sebanyak-banyaknya pada masyarakat. Persoalan masyarakat sendiri yang menginginkan, kenapa tidak. Saat ini memang belum panggungnya beliau. Apa lagi yang lain.

Saya merasa harus angkat topi, meski sebenarnya tidak punya topi. Bahasa lain dari sebuah apresiasi yang sebesar-besarnya kepada beliau atas banyak hal yang sudah dilakukan. Yang turut merasa bersyukur atas kebenaran pilihan masyarakat sehingga beliau bisa menduduki jabatan yang memungkinkan lebih banyak membantu orang lain. Sebab, banyak orang dalam posisi yang sama, namun masih belum jelas kontribusinya.

Teruslah berkarya, meski bukan menjadi bagian dari golongan karya. Kebangkitan bangsa ada pada orang-orang seperti anda. Politik pengabdian adalah cara paling etis untuk mengantarkan pada puncak kekuasaan; dan puncak kekuasaan itu sendiri adalah pengabdian yang seluas-luasnya.

Akhirnya, semoga Allah senantiasa melimpahkan kesehatan dan karunia untuk banyak hal yang telah dilakukan. Amin.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 20 September 2017