Rabu, 27 September 2017

Gerak Jalan dan Degradasi Moral

Gerak Jalan dan Degradasi Moral

Mari, sejukkan Madura dengan bershalawat. Kira-kira begitu himbauan dalam baleho yang terpajang besar di samping jalan itu. Himbauan itu menunjukkan bahwa kepala daerah kota dimaksud menginginkan adanya perubahan yang lebih baik, dari kota yang sebelumnya mungkin pasif, menuju kota yang lebih aktif (bershalawat). Tentu, shalawat merupakan salah satu wasilah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sang Maha Pencipta agar tercipta kedamaian dan kesejukan menuju kebaikan masyarakat.

Ironi. Disinkronisasi orientasi menuju kebaikan ternyata mengalami hambatan yang cukup berarti dan tidak sepenuhnya dilaksanakan. Kenapa sebab, satu sisi kepala daerah setempat menginginkan masyarakat lebih Islami dengan bershalawat, namun di sisi lain ada potret yang kontras yang tidak menunjukkan keseragaman terhadap capaian cita-cita yang diinginkan.

Dengan adanya potret rok mini dalam sebuah acara perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang lepas dari kritik oleh tokoh setempat, menunjukkan lemahnya semangat menciptakan keadaan yang lebih baik dengan membumikan shalawat. Atau jangan-jangan potret seksi para kontestasi ini tidak sampai di telinga para tokoh. Kalau kota sebagai pusat peradaban sudah dijajah dengan potret yang kurang Islami dibiarkan, maka hal itu semacam legitimasi untuk melaksanakan hal serupa sampai ke pelosok desa.

Tidak hanya itu, legitimasi waria dalam kehidupan masyarakat yang seharusnya dianggap sebagai penyakit, diberikan ruang luas untuk berkreasi. Masih ingat dengan kasus LGBT? Lesbian, gay, biseksual, transgender yang mendapatkan kutukan publik karena dianggap sebagai penyakit masyarakat dan cenderung menularkan penyakit kelamin. Perbuatan menyimpang mereka harusnya tidak mendapatkan ruang, apalagi di Madura yang dianggap sebagai daerah yang masih kental nilai keagamaannya.

Di Indonesia, masih menganut budaya ketimuran dan mengutuk keras terhadap perilaku menyimpang itu. Saat ini, secara nasional, negara sedang memerangi penyakit masyarakat itu, tetapi ada bagian masyarakat yang justru melegitimasi, menerima keberadaan mereka tanpa perasaan was-was sedikit pun. Padahal perilaku LGBT itu diturunkan dengan cara ditularkan. Karena memang tidak bisa dengan cara seksual untuk mendapatkan keturunan yang sama.

Jika keberadaan mereka pada siang bolong dalam sebuah acara besar diapresiasi sedemikian rupa, maka ke depan mereka akan lebih berani lagi menunjukkan keberadaan mereka. Mereka sudah merasa diterima oleh masyarakat. Tulisan ini tidak memberatkan keberadaan mereka sebagai manusia, tetapi perilaku mereka telah banyak menimbulkan keresahan masyarakat. Dampak terakhir dari adanya waria ini adalah menurunnya populasi manusia di kemudian hari.

Dalam konteks kacamata agama bagaimana? Saya pikir semua orang tahu. Tidak usah membuka kitab yang terlalu tebal. Yang jelas, seorang laki-laki (tulen) menyerupai wanita hukumnya harus dikasih pembinaan.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 13 Agustus 2017

0 komentar:

Posting Komentar