Rabu, 27 September 2017

KPK Membidik Desa

KPK Membidik Desa

Melihat adanya dana desa melalui DD dan ADD yang mencapai lebih Rp. 1.000.000.000,00 (satu  miliar rupiah) dari Pemerintah, ini semacam jebakan batman yang disediakan oleh pemerintah untuk desa. Kenapa tidak, sebab jika terjadi penyelewengan dengan dana sejumlah itu, maka KPK tidak segan untuk mengusut persoalan itu sampai tuntas. Atas dasar angka yang fantastis itu, KPK mempunyai legitimasi secara hukum.

Selama ini (sebelum tahun 2015), anggaran yang mengucur dari pemerintah untuk pembangunan di bawah Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sehingga tidak ada ruang bagi KPK untuk mengusut persoalan penyimpangan yang terjadi pada dana pembangunan desa. Cukup ditangani oleh kejaksaan negeri yang ada di daerah. Dan-bisa jadi-tidak jarang persoalan selesai di bawah meja, seperti kasus beberapa hari terakhir yang rencananya mau ditutup, tetapi keburu terjadi OTT oleh KPK. Gagal deh.

Dalam UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 11 huruf c, dijelaskan bahwa
"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: ... c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." Dengan legitimasi itu, KPK sangat leluasa untuk masuk ke desa-desa, bahkan ke kampung-kampung sekalipun, kalau mau (bermain).

Anggaran dana lebih 1 M untuk desa menjadi ruang masuk bagi KPK untuk membedah segala bentuk penyelewengan yang terjadi di desa. Meski saat ini, desa seperti adem-adem saja dan jauh dari pantauan, tapi pelaksana kebijakan di tingkat desa tidak boleh lengah. Ini semacam angin sepoi yang membuat orang terlelap dan dalam kondisi tertentu akan terjatuh. Demikian itu, karena KPK sangat rapat menutup ruang lobi, dan bagi orang-orang yang sudah terjerat oleh KPK sangat sulit untuk berkelit.

Menurut Bapak Presiden RI. Joko Widodo, bahwa anggaran desa tahun 2015, sebesar Rp. 20.000.000.000.000,00 (dua puluh Triliun); pada tahun 2016, Rp. 47.000.000.000.000,00 (empat puluh tujuh Triliun); dan tahun 2017, Rp. 60.000.000.000.000,00 (enam puluh triliun). Semakin tahun anggaran dana desa semakin meningkat, hal ini menunjukkan bahwa anggaran dana desa untuk pembangunan tidak main-main. Itikad baik kepala negara untuk memajukan pembangunan di desa harus direspon secara positif, agar terjadi keseimbangan pembangunan antara kota dan desa. Jika tidak, maka konsekuensinya ditanggung sendiri.

Memang kita banyak melihat, keinginan pemerintah pusat untuk menyetarakan pembangunan sampai ke tingkat desa tidak seiring dengan keinginan perangkat desa. Tidak adanya perubahan yang signifikan pembangunan di desa antara setelah dan sebelum adanya DD dan ADD cukup dijadikan sebagai indikasi adanya kesalahan dalam pengelolaan dana desa. Hal semacam ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut terlalu lama, agar kesejahteraan masyarakat desa segera tercipta.

Pada saatnya, pengkondisian bagi orang yang mengerti tentang persoalan desa tidak akan selalu berhasil. Pada saat itulah, kepala desa dibayangi oleh jeruji besi dan ruang yang pengap dan dingin. Sungguh pelajaran yang berharga bagi kaum-kaum yang mau berpikir. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, kita setuju saja usul KPK kepada Presiden, bagi Kepala Desa yang terbukti korupsi dicopot. Kok diusulkan, bukannya memang begitu.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 03 Agustus 2017

0 komentar:

Posting Komentar