Sabtu, 30 September 2017

Pemimpin Pekerja dan Menjadi Tauladan

Pemimpin Pekerja dan Menjadi Tauladan

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khatthab menyatakan, "Jika rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya". Pernyataan itu bukan hanya hisapan jempol belaka; tidak hanya menjadi symbol verbal tanpa realisasi yang konkret.

Amirul Mukminin, pernah ingin memastikan bahwa rakyatnya betul-betul dalam keadaan baik. Beliau berjalan di waktu malam menembus cuaca yang dingin dan masuk ke lorong-lorong untuk melihat apakah ada di antara rakyatnya yang mengalami kelaparan, yang sedang terlantar, kedinginan, dan yang sedang sakit. Hal itu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

Bagi seorang pemimpin, keteladanan manjadi hal utama yang disorot rakyat. Kepatuhan rakyat terhadap pemimpin berbanding lurus dengan kemampuan mereka memberikan keteladanan. Semakin Jauh pemimpin dari keteladanan semakin jauh rakyat dari kepatuhan. Seorang pemimpin tidak hanya menggunakan ujung jarinya untuk memerintah, tapi juga menggunakan segala upaya dan tenaga untuk memastikan bahwa rakyatnya dalam keadaan terpenuhi segala kebutuhannya. Tidak juga hanya sekedar turun ke bawah dengan program "bunga bangsa" yang tidak jelas arahnya.

Keteladanan tercipta atas dasar konstruksi masyarakat melalui interaksi yang dilakukan selama hidup di tengah masyarakat. Konstruksi masyarakat itu kemudian memunculkan opini masyarakat tentang pantas atau tidak pantasnya seseorang untuk dijadikan sebagai pemimpin. Karena pada dasarnya, menjadi seorang pemimpin itu bukan atas dasar kemauan sendiri, akan tetapi keinginan dari rakyat.

Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah engkau meminta kepemimpinan. Jika engkau menerima kepemimpinan atas dasar permintaan, niscaya akan membebanimu. Jika kepemimpinan itu diberikan bukan atas dasar ambisi, engkau akan ditolong (dalam melaksanakannya)," (HR. an-Nasa'i).

Seorang pemimpin harus besar dari pengalaman hidup yang memadai, karena ia harus berhadapan dengan problematika sosial yang tidak sederhana. Kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat menjadi tanggung jawab dari seorang pemimpin. Indikator minimal seorang pemimpin harus pernah mengabdikan dirinya di tengah masyarakat, bukan seseorang yang tanpa kompensasi dan pengalaman dan; tiba-tiba muncul menawarkan diri sebagai pemimpin. Naif sekali.

Ada sebuah realita, bahwa para Nabi dan pemimpin itu tidak langsung lahir sebagai pemimpin. Mereka lahir dan besar dalam kancah pergerakan. Mereka menjadi pemimpin melalui proses. Dengan demikian, tak bisa diterima kalau ada yang ujug-ujug datang menawarkan diri jadi pemimpin sementara selama ini tidak ada kiprah yang dilakukan.

Pemimpin itu jiwa, bukan hanya keinginan. Sehingga bila ada manusia-manusia yang menggebu-gebu untuk jadi pemimpin tanpa pengalaman yang memadai. Sebaiknya lewat.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 09 Juni 2017

0 komentar:

Posting Komentar