Rabu, 18 Oktober 2017

Hari Santri Nasional Sebagai Kilas Balik Perjuangan

Hari Santri Nasional Sebagai Kilas Balik Perjuangan

Hari Santri Nasional merupakan salah satu cara bagaimana pemerintah menghargai perjuangan para ulama dan santri. Peran dan perjuangan para ulama, khususnya di lingkungan pesantren dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak bisa diabaikan apalagi dihapuskan, meski penulisan sejarah resmi sangat minim mengungkap peran tersebut, bahkan cenderung menghapuskannya. Sebelum pecah perang Revolusi yang berpuncak pada peristiwa 10 Nopember 1945, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU)—yang notabene orang pesantren—Hadlratu as-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad. Itulah Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945.

Dalam hal revolusi jihad, para ulama dan kaum santri berada di balik peristiwa besar yang mengawali perang di Surabaya itu, dan menjadi pertimbangan bagi Bung Tomo untuk meneriakkan “Allahu! Akbar!” berulang-ulang. Peperangan yang tidak bisa dihindari itupun mampu memukul tentara Inggris dan sekutunya.

Hal itu yang mendasari kewajaran pemerintah memberikan penghargaan bagi kaum santri, meski dalam perjalanannya dipenuhi pro dan kontra. Adanya pro dan kontra terhadap penghargaan tersebut dinilai sesuatu yang biasa. Mengingat, setiap orang mempunyai sudut pandang dan kepentingan serta cara menghargai dan mengapresiasi setiap perjuangan. Termasuk pemerintah. Pemerintah mempunyai kebijakan tersendiri untuk memberikan penghargaan terhadap siapapun, termasuk masyarakat atau golongan yang dianggap mempuyai kontribusi besar terhadap perjuangan dan berlangsungnya Negara sampai saat ini.

Tentu, pertimbangan-pertimbangan yang digunakan pemerintah sudah lebih matang dari sebatas wacana sebagian orang yang cenderung hanya berdiri di atas kepentingan sendiri atau golongan tertentu, karena pemerintah tidak sembarangan menentukan kebijakan tanpa tinjauan multi aspek yang komprehensif dari pihak-pihak yang kompeten seperti team-team ahli yang ada di sekitarnya.

Dalam perspektif penulis beberapa kalangan yang "berkeberatan" terhadap gagasan ini perlu dipertanyakan ke mana arah berfikirnya. Mengingat, selain perjuangan, sejarah juga mencatat, pesantren merupakan sumber pengetahuan pertama sebelum adanya pendidikan formal di negeri ini. Tidak hanya itu, selama ini pesantren identik sekali dengan golongan pertama dalam menyikapi persoalan-persoalan keagamaan, dan selalu berada di garda paling depan untuk membentengi akhlak dan moral bagi bangsa. Sehingga tidak berlebihan dan sangat wajar bila pemerintah memberikan penghargaan dengan meresmikannya tanggal 22 Oktober sebagai “Hari Santri Nasional”.

Menurut hemat penulis, hal ini harus dimaknai sebagai langkah awal pemerintah untuk memperkuat moral bangsa yang sudah mulai terkikis oleh keadaan. Dengan adanya Hari Santri Nasional akan membuka mata peran serta pesantren dalam perjuangan dan membangun kesandaran nyantri bagi masayarakat, selebihnya menghindari adanya antipati masyarakat terhadap pesantren.

Memperkuat peran pesantren dalam pusaran kebijakan nasional akan memperkecil angka-angka penyimpangan. Selama ini kenyataan membuktikan bahwa kaum pesantren sangat kecil dalam ruang publik terindikasi melakukan praktik-praktik yang melanggar peratuaran, baik agama ataupun perundang-undangan. Meskipun akhirnya persoalan moral itu kembali kepada pribadi masing-masing. Terakhir, Hari Santri Nasional itu sebagai harapan semoga pesantren dan santri mampu mempertahankan nilai-nilai pejuangan yang tertanam dalam institusi kepesantrenan dan mengembangkan kemampuan berkompetisi dalam bidang pengetahuan dan teknologi, serta bidang lainnya di kemuadian hari.

Salam hormat!

Ditulis:
Pamekasan, 19 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar