Rabu, 27 September 2017

Fobia KPK

Fobia KPK

Teringat dengan sebuah cerita. Ada seseorang yang lari kencang karena dirinya diteriaki maling, semakin kencang diteriaki, semakin cepat berlari. Kenapa dia berlari? Karena merasa pada saat yang bersamaan, dirinya adalah maling. Seandainya dia bukan maling, pasti tidak akan lari dan tidak perlu lari. Bahkan bagi yang bukan maling, akan mengambil peran untuk mengejar dan menangkapnya. Selesai. Berikut, ada pernyataan seorang Kiai dalam sebuah ceramahnya, "Oreng mun rogheh, epelet, atoat. Mun tak rogheh, epelet, ngiddeh," (orang kalau keseleo, diurut, teriak (karena kesakitan). Tapi kalau tidak keseleo, diurut, lelap).

Pernyataan Kiai tersebut mengandung sebuah analogi, bahwa seseorang yang merasa tidak bersalah, tidak harus lari dari sebuah keadaan yang dipersangkakan. Jadi orang yang lari itu, pasti merasa bahwa dirinya sedang bersalah. Kalau tidak salah, buat apa berlari. Tidak penting banget!

Seperti inilah yang mungkin terjadi di Pamekasan, ketika beredar, adanya sejumlah kadis dan kades yang mengganti nomor HP karena takut disadap KPK, (skalanews). Bukankah KPK sedang mencari maling? Ngapain yang bukan maling ikutan lari. Kecuali..., ah, sudahlah.

Hal semacam ini menunjukkan adanya indikasi yang tidak benar pada beberapa oknum yang dimaksud. Justru, tindakan semacam ini (mengganti nomor SIM) akan semakin menambah persoalan baru; menurut penuturan seorang teman (mendengar informasi dari KPK) justru yang mengganti nomor HP ini yang paling sangat dicurigai. Tunggu saja seperti apa episode berikutnya.

Efek yang ditimbulkan oleh sebuah persoalan, tidak lepas adanya sebuah persoalan yang lain, sehingga perasaannya harus mengambil inisiatif, pada saat sesuatu yang dipersangkakan pada dirinya sedang dipersoalkan. Bagi orang yang tidak dalam persoalan itu, tidak harus merasa ada prasangka pada dirinya. Seseorang yang tidak merasa melakukan perbuatan tertentu (yang tidak baik) tidak harus lari dari prasangka itu. Hadapi dan buktikan, bahwa semuanya baik-baik saja.

Saat ini, sedang marak beredar surat cinta dari KPK kepada para kades. Dikatakan surat cinta karena KPK tidak ingin kades mendekam dalam jeruji dalam keadaan kurang terpuji. Seperti sedang kedapatan menelep uang rakyat yang seharusnya untuk pembangunan, misalnya. Selain itu, surat cinta (himbauan) itu dilakukan secara konstitusional. Artinya, yang memberikan peringatan itu adalah sebuah lembaga, bukan perseorangan. Apalagi lembaga negara. Jadi, jangan khawatir tidak ditindaklanjuti, kalau berurusan dengan lembaga negara pasti ditindaklanjuti. Kalau dengan saya, sekarang saya bilang, mungkin besok lupa. Kepanjangan tangan lembaga negara itu cukup, kok, untuk menindaklanjuti kasus yang terjadi.

Kenapa harus ditindaklanjuti? Dipikir-pikir sepertinya memang wajar. Kenapa sebab? Bayangkan saja, berapa banyak uang yang mengalir dari negara ke Madura: mulai kabupaten Bangkalan sampai Sumenep. Nih, datanya.
Info Tamsul Sampang, 15.30 : Jumlah dana desa (tidak termasuk ADD) yang digelontorkan pemerintah pusat tahun 2017 kepada 4 kabupaten se Madura Rp.820.488.930.000 dengan rincian Sebagai berikut:
1. Kabupataen Bangkalan Rp. 226.569.736.000 untuk 273 Desa;
2. Kabupaten Sampang Rp. 167. 492.597.000 untuk 180 Desa;
3. Kabupaten Pamekasan. Rp. 154.653.592.000 untuk 178 Desa;
4. Kabupaten Sumenep Rp. 271.773.005.000 untuk 330 Desa.
[Bayangkan saja] jika uang sebesar itu benar-benar dipakai untuk membangun desa (Infrastruktur maupun peningkatan sumber daya manusia di desa) dalam 10 tahun ke depan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Madura akan terjamin, (K.123).

Mari, saling mengingatkan. Hal ini, merupakan bentuk kecintaan saya kepada anda semua yang mengabdi untuk desa. KPK adalah lembaga negara, banyak elemen di dalamnya yang akan menyukseskan segala agendanya. Tidak pernah mengenal lupa dan lelah.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 08 Agustus 2017

0 komentar:

Posting Komentar