Rabu, 27 September 2017

Membangun Desa Tanpa Melompat (Desa)

Membangun Desa Tanpa Melompat (Desa)

Seseorang yang mencalonkan diri menjadi kepala desa tidak harus merupakan penduduk yang berdomisili di desa yang bersangkutan. Kira-kira begitu bunyi terakhir Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, setelah sebagian pasal dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang dimaksud adalah Pasal 33 huruf g Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Semula pasal tersebut berbunyi, “Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:... g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran". Berikut bunyi selengkapnya Pasal 33 UU Desa sebelum dibatalkan oleh MK:

“Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
k. berbadan sehat;
l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.

Keputusan Majelis MK bernomor 128/PUU-XIII/2015 ini sekilas nampak manusiawi, karena telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia untuk menjadi kepala desa di mana saja tanpa dibatasi wilayah tempat tinggal. Namun di sisi lain, ini menjadi tambahan persoalan bagi warga negara yang ingin melaksanakan pemilihan kepala desa di daerahnya. Sebab, kran kebebasan yang dibuka ini telah menarik banyak minat bagi orang yang ada di luar desa untuk berkompetisi di desa orang lain.

Keikutsertaan orang luar desa terhadap demokrasi desa ini berpotensi besar terjadi konflik, karena pasti ada keterlibatan banyak orang dari luar desa. Setidaknya sanak keluarga (calon yang diusung dari luar desa) itu akan keluar masuk desa untuk mengintervensi dan bahkan intimidasi terhadap warga desa untuk mendukung calonnya. Padahal, kebiasaan masyarakat desa, tujuh hari sebelum pemungutan suara dilakukan, semua jalur desa ditutup untuk menghindari intervensi orang dari luar. Nah, kalau seperti ini, jelas sekali akan terjadi keributan jika pendukung dari luar desa memaksa masuk ke dalam desa.

Adanya ruang bagi orang di luar desa untuk menjadi calon, ini seringkali dimanfaatkan sebagai upaya untuk menghambat calon lain (putra desa) oleh lawan politiknya, sehingga tidak jarang masing-masing calon dari putra desa mengundang orang luar untuk mendaftar calon kepala desa di tempat itu dengan tujuan saling menghambat dalam proses verifikasi. Biasanya, kompetitor ini mengundang orang-orang yang mempunyai persyaratan yang lebih baik, semisal ijazahnya yang sudah lebih tinggi, bahkan dari pengundang yang juga ingin berkompetisi sekalipun.

Orang dari luar ini ada yang serius (ambisi) untuk menjadi kepala desa-di daerah orang lain-ada yang hanya memenuhi undangan kompetitor putra desa. Dalam hal orang yang serius berkompetisi, kalaupun ia terpilih sebagai kepala desa, akan mengalami hambatan yang luar biasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebab, masih harus memahami masyarakat desa yang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai orang yang bisa membantu segala urusannya. Dan orang baru tidak akan pernah tahu terhadap sumber daya manusia yang ada di daerah itu. Untuk memahami potensi yang kemudian ditarik dalam formasi struktural desa memerlukan waktu yang relatif lama karena sinergitas antara pemimpin dengan masyarakat belum terbangun.

Sisi lain, bagaimana mungkin ada warga suatu daerah tertentu lebih percaya dipimpin oleh orang luar dari desa itu. Bagi penulis, ini sangat naif sekali. Hal seperti ini hampir sama dengan penjajahan Belanda tempo dulu. Perbedaannya, penjajah Belanda dilakukan antar negara dan hal ini dilakukan antar desa. Sama-sama ingin menguasai wilayah orang lain meski dengan skala yang lebih sempit. Yang jelas, namanya bukan putra desa tidak akan secara maksimal berbuat untuk desa itu, karena ikatan emosional dan rasa memiliki terhadap tanah dan air itu kecil.

Hal seperti ini sebenarnya kurang etis, meski dilegitimasi oleh Undang-Undang. Kalau boleh disuarakan, seperti sedang meremehkan potensi sumber daya manusia yang ada di daerah orang lain. Sekali gus, kalau ini mau disadari adalah bentuk penghinaan bagi warga desa orang lain. Bagi orang Madura, yang notabene kuat memegang nilai-nilai etika, semoga tidak pernah terjadi. Mari, bangun desa masing-masing, tanpa harus melompat pagar masuk desa orang lain.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 27 Juli 2017

0 komentar:

Posting Komentar