Selasa, 26 September 2017

Instrospeksi Diri

Instrospeksi Diri

Pasca OTT KPK di Pamekasan, muncul banyak asumsi dan perbincangan di mana-mana. Baik di dunia nyata, pun dunia maya. Di warung kopi, di toko baju, di trotoar jalan, di kantor tempat bekerja, di sawah, di gudang, dan bahkan hampir di semua lini. Dunia maya pun tidak kalah ramai, di facebook misalnya, tidak kalah ramai dari pasar, karena hampir setiap orang bisa nimbrung dalam perspektif masing-masing. Tanpa dibatasi tandeng aling-aling.

Semua orang ikut berkomentar dalam bangunan perspektif mereka masing-masing. Mulai dari para politisi, birokrasi, akademisi, nelayan, petani, pedagang dan lain-lain. Ada yang cenderung bijaksana ada pula yang biasa dan bahkan ada yang sinis. Tetapi secara umum tetap menilai bahwa perbuatan korupsi atau memaling itu tidak baik, dan menjadi buah bibir yang kurang sedap. Meski kebanyakan yang teriak maling tidak menutup kemungkinan juga maling meski dalam skala yang lebih sempit.

Maling teriak maling. Begitulah yang seringkali terjadi di sekitar kita. Kalau kita mendapat bagian, dia bukan maling; namun bila kita tidak dapat bagian, maka dia adalah maling. Tetapi ada juga manusia yang maling tetapi ikut teriak maling pada yang lainnya. Sepertinya bangsa Indonesia (secara umum) ini memang berkarakter maling sejak dalam pikiran. Hanya kesempatan saja yang berbeda.

Iya, dalam kondisi tertentu, kita juga bisa menjadi maling. Entah kenapa sebab. Saya lebih melihat bahwa mental kita (bangsa Indonesia) ini adalah mental maling. Hanya belum punya kesempatan saja untuk memaling, sehingga kita tidak memaling. Kita bisa saja introspeksi diri pada saat kita mendapatkan kepercayaan. Kalau masih memungkinkan untuk memaling kita cenderung maling. So, sesama maling, mari, jangan terlalu lantang berteriak maling.

Saya mendapatkan informasi dari salah seorang teman yang punya tetangga menjadi anggota program pemberdayaan dari pemerintah. Tetangga dimaksud mendapatkan bantuan Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) persekian bulan (entah berapa bulan sekali) dari pemerintah. Namun setiap kali bantuan keluar selalu terpotong sebanyak Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Sebenarnya bantuan tersebut masuk kepada rekening masing-masing, karena program pemerintah itu menggunakan rekening, tetapi anggota program dimaksud mempunyai pendamping yang biasa mengakomodir pengambilan bantuan itu. Ketika ditanyakan kepada pendampingnya, katanya ada pada saldo tabungan, tetapi slip penarikan dari ATM menunjukkan bersisa nol rupiah. Ah! (Untuk kelanjutan ceritanya, bisa saja sudah diselesaikan).

Kasus lain yang biasa terjadi di dunia akademis semisal menjelang tugas akhir bagi mahasiswa. Ada oknum dari perguruan tinggi yang cenderung menjualbelikan tugas akhir (skripsi) kepada mahasiswa yang dianggap kurang mampu membuat. Bukan memaksimalkan pelajaran cara penulisan tugas akhir secara baik, tetapi menyodorkan langkah yang sesungguhnya dekonstruktif bagi perkembangan karakter mahasiswa, yakni membeli yang sudah jadi. Kasihan sekali mahasiswa yang seperti itu ya. Itu contoh kecil saja, belum termasuk fee proyek yang sampai 15% atau mungkin lebih.

Mental kita sebagai bangsa memang cenderung tidak adil kepada orang lain sejak dalam pikiran. Selalu ingin melihat orang lain menjadi orang yang bersalah di mata kita dan yang lain, tanpa berusaha melihat dan bertanya ke dalam diri kita, cukup bersihkah diri kita sehingga harus menjustifikasi orang lain sedemikian rupa.

Perilaku seperti itu sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ia kadang dibawa oleh kecenderungan kelompok tertentu. Kebiasaan salah yang mendapatkan legitimasi secara sosial akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Atau kesalahan yang diulang-ulang tanpa ada teguran sosial juga akan dianggap sebagai kebenaran pula. Ketidakbenaran yang dibiasakan akan menular kepada kita secara tidak kita sadari; bahwa tiba-tiba kita berada di ruang yang salah.

Seperti yang kita tahu, berapa banyak orang yang menjadi tidak baik tanpa mereka sadari hanya karena selalu dicekoki dengan berita hoax seperti group saracen yang beberapa minggu terakhir terungkap. Dan bahkan sebagian orang masih kerasan dalam kondisi seperti itu, kondisi di mana penjelasan sudah ada di depan mata untuk dipahami tentang ketidakbenaran sebuah berita, tetapi memaksa bertahan dalam kebenaran hoax.

Memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik. Maka dari itu, bertemanlah dengan orang-orang yang baik.

Wallahu a'lam!

Sampang, 27 Agustus 2017

0 komentar:

Posting Komentar