Sabtu, 30 September 2017

Ironi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan

Ironi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan

Ada sebuah fenomena menarik di Pamekasan untuk diperbincangkan. Yaitu seputar datangnya, Lesti ke Pamekasan untuk melakukan buka puasa bersama. Tentu, tidak hanya sekedar buka bersama. Namun, dia masih berdangdut bersama para penggemarnya. Berdangdut tidak di ruang tertutup, tapi di ruang terbuka dan di depan umum. Karena kalau di tempat tertutup tidak ada urusan untuk diperbincangkan. Nah, di sini muncul masalah.

Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada, Lesti. Urusan yang bersangkutan mau berdangdut dan goyang maut pun sampai sehari-semalam tidak ada urusan. Tetapi dengan dibiarkannya, berdangdut di Pamekasan, saya melihat ada sebuah kebijakan timpang yang melahirkan kesenjangan sosial. Kenapa? Sebab, jauh sebelum, Lesti, berdangdut di kota yang katanya Gerbang Salam ini, Bupati Pamekasan dengan kebijakannya telah menggagalkan konser Irwan yang hendak digelar di Pamekasan. Meski memang pada saat itu tidak murni kebijakan Bupati.

Konon kabarnya, kegagalan konser Irwan itu disebab adanya aksi protes dan penolakan dari beberapa kalangan ulama. Tepatnya ulama yang tergabung dalam Aliansi Ulama Madura (AUMA), termasuk di dalamnya Forum Kiai Muda (FKM), (Harian Terbit, 20/04/16). Sehingga intervensi ini mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. Dan sejauh ini, aksi protes itu baik untuk mengurangi tingkat kenakalan remaja. Lebih baik lagi jika dilakukan secara istikomah, menembus ruang dan waktu. Kalau dianggap kemungkaran, sampai kapanpun harusnya dikawal.

Kalau kacamata yang mau digunakan adalah Gerakan Pembangunan Syariat Islam atau yang sering disingkat dengan "Gerbang Salam", maka kehadiran, Irwan lebih kecil mudharatnya. Irwan, akan melakukan pementasan pada siang hari, segala kemungkinan yang terjadi bisa diminimalisir dengan mudah, sedangkan Lesti, selain malam hari, pentasnya dilakukan pada bulan puasa pula dengan pakaian yang tidak memenuhi standar Islam (baca: kurang sopan). Kalau mau dibandingkan, Irwan masih dianggap lebih layak untuk ukuran gerbang salam.

Sebuah potret ironi dan paradoks sekali dengan munculnya dua kebijakan yang berbeda kepada dua kegiatan yang hampir sama oleh pemerintah kabupaten Pamekasan. Pertanyaannya, ada apa ini? Apakah dalam pada ini pemerintah dan segala elemen yang terlibat dalam aksi penggagalan konser Irwan masuk angin untuk saat ini, sehingga menyebabkan perut kembung dan tidak bisa berbuat apa-apa, untuk masalah, Lesti ini. Yang jelas, ini keluar dari asas keadilan. Ini sebuah indikasi bahwa pemerintah kabupaten Pamekasan dalam kondisi kurang baik.

Kalau pemerintah tidak baik, ini akan berpengaruh buruk terhadap pemerintahan. Dalam pada ini, pemerintah masih dianggap kurang bijaksana menyikapi sebuah persoalan-kalau dianggap sebagai persoalan. Sebagai indikator, elemen yang menjadi bagian dari kebijakan pemerintah kurang memenuhi standar kebaikan. Cenderung memihak, kurang istikomah dan kurang bijaksana menyikapi situasi. Padahal kata, Socrates, bahwa pemerintahan yang ideal harus melibatkan orang-orang bijak yang dipersiapkan dengan baik, serta mengatur kebaikan-kebaikan untuk masyarakat.

Sesungguhnya, persoalan utamanya tidak terletak pada konsernya. Tetapi, lebih kepada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memenuhi asas keadilan bagi masyarakat Pamekasan. Terkesan tebang pilih. Yang satu boleh, dan yang lain dilarang. Sepertinya, masyarakat Pamekasan, tidak sepenuhnya mempunyai hak yang sama atas kebijakan pemerintah kabupaten Pamekasan.

Wallahu a'lam!

Sampang, 17 Juni 2017

0 komentar:

Posting Komentar