Selasa, 08 Mei 2018

Akikah untuk Anak

Akikah untuk Anak

Ada satu hal yang dipikirkan orang tua dari sekian banyak hal yang harus dipikirkan ketika anaknya lahir. Satu hal itu adalah akikah. Apa itu akikah? Akikah adalah pengurbanan hewan dalam syariat Islam, sebagai bentuk rasa syukur umat Islam terhadap Allah SWT. mengenai bayi yang dilahirkan. Ingat, substansinya adalah rasa syukur.

Yang lazim, akikah menggunakan kambing. Satu kambing untuk bayi perempuan dan dua kambing bagi bayi laki-laki. Namun demikian, kalau misalnya ada yang mau akikah lain dari kambing, yang serupa kambing seperti sapi, boleh saja. Meski masih menjadi perdebatan, kita sebagai pelaksana teknis tinggal mengikuti saja tanpa ikut memperdebatkan. Islam tidak memberatkan, kok.

Bagi peternak kambing, bukan sesuatu yang berat untuk melaksanakan ritual itu. Namun, bagi orang yang tidak beternak kambing, dibutuhkan pengorbanan untuk mendapatkannya. Harus mengorbankan materi, tenaga dan meluangkan waktu ke pasar untuk sekedar mendapatkan kambing yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan dimaksud, sudah layak dikurbankan, semisal giginya sudah tanggal.

Dalam pencariannya ada kenikmatan tersendiri ketika sedang berbaur dengan masyarakat. Ada banyak karakter kita jumpai di pasar. Mulai dari yang penyabar sampai yang pemarah; dari yang pemaksa sampai yang acuh; dari yang pembohong sampai yang jujur. Pokoknya nano-nano sekali. Bahkan, akibat dari kebohongan pedagang, teman saya terpaksa harus menukar kambingnya dengan tambahan uang, karena ternyata kambing yang dijual belum tanggal giginya.

Perilaku menarik dari pedagang ketika ia menggunakan nominal dalam transaksi. Bila harga jual satu juta, ia menyebutnya dengan seribu, atau jika harga jualnya lebih dari satu juta, ia hanya menyebut ekor nominalnya saja. Misalnya harga barang Rp. 1.350.000 (satu juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) pedagang hanya menyebut dengan 350 (tiga ratus lima puluh) tanpa ribu. Sungguh tidak dimengerti maksud. Apakah mungkin maksudnya memperirit kata atau ingin membangun kesan murah pada pembeli.

Belum lagi pemilihan kalimat yang digunakan. Bukan pedagang namanya kalau tidak punya cara untuk membangunkan kesan pada pembeli. "Mun tellok sèket tak èjuàllàh," (kalau tiga ratus lima puluh tidak mau dijual) salah satu diksi yang digunakan pedagang. Bayangkan, jauh sebelum orang menawar, ia sudah meletakkan standar harga sejauh mana seorang pembeli layak menawar.

Ada kenikmatan tersendiri berbaur dengan mereka. Banyak hal yang kita pahami dalam keramaian, terutama tentang perilaku pasar. Berbaur memungkinkan banyak memahami karakter orang, dengan begitu kita akan lebih bijaksana menyikapi perbedaan. Latar belakang yang melahirkan perbedaan itu juga perlu kita maklumi. Sebab, jika kita tidak mampu menerima perbedaan, berarti dunia ini bukan tempatnya.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 07 Mei 2018

0 komentar:

Posting Komentar