Minggu, 04 Maret 2018

Momentum dan Kompetisi Tidak Sehat

Momentum Dan Kompetisi Tidak Sehat
Refleksi terhadap pergeseran NU, dari tradisi pesantren kepada model politik praktis.

Konferensi cabang NU merupakan sebuah momen yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Momen tersebut diamanahkan oleh AD/ART organisasi sebagai bahan evaluasi dan pertanggungjawaban pengurus dalam periode kepemimpinan. Orientasi konferensi itu sebagai salah satu cara peremajaan terhadap segala kegiatan sebelumnya, atau menambah dengan program baru yang dianggap lebih penting bagi perjalanan organisasi. Selain peremajaan program, peremajaan terhadap struktur (pemilihan pemimpin organisasi) juga sebuah keniscayaan untuk dilakukan, meski dalam perjalanannya masih ada pengurus yang tetap memimpin sampai periode berikutnya.

Sebenarnya, bukan persoalan siapa yang akan terpilih untuk memimpin organisasi ini ke depan, tetapi siapapun yang terpilih sebagai pimpinan organisasi mampu mengemban amanah dan membawa  NU menjadi lebih baik. Tetapi tentu, organisasi dimaksud akan lebih baik jika dikendalikan oleh orang-orang yang mempunyai kapabelitas, kreativitas, integritas, dan inovasi, serta kecerdasan dalam memimpin organisasi. Untuk sampai pada tahap itu, tentu dibutuhkan orang-orang yang tidak melegalkan segala cara untuk dapat menjadi pimpinan tertinggi ini—dalam konteks kabupaten.

Saat ini, seperti ada semacam pergeseran orientasi. Yang semula konferensi dijadikan sebagai ajang evaluasi dan solusi untuk memperbaiki organisasi di masa yang akan datang, berubah menjadi organisasi yang berorientasi kepada perebutan kekuasaan. Ia, betul bahwa organisasi butuh pemimpin. Tetapi, rasanya kurang elok apabila dalam kesempatan evaluasi lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan daripada bagaimana mengevaluasi masa kepemimpinan sebelumnya kemudian memperbaiki pada masa yang akan datang. Nah, kepentingan kekuasaan inilah yang kerap menyeret organisasi ke jalan yang tidak benar, sering menimbulkan perpecahan di tubuh organisasi. Diakui atau tidak, selepas momen konferensi pasti akan terjadi kubu-kubu dalam tubuh organisasi.

Belum lagi, cara-cara tidak sehat sering digunakan untuk menyerang satu sama lain, kepada orang-orang yang dianggap sebagai rival dalam momen tersebut. Mbok yo sadar to yo, ini lho organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, yang tidak sepantasnya diperebutkan dengan cara-cara yang tidak baik. Fakta-fakta tentang isu di lapangan sudah semakin tajam menyerang satu sama lain, saling menjatuhkan satu sama lain. Dan ini sesungguhnya sudah keluar dari tradisi NU dan mencabik-cabik nilai-nilai yang selama ini ditanam dalam tubuh NU.

Kalau konferensi ini dipahami sebagai evaluasi, bagaimana mungkin akan mendapatkan bahan yang akan dijadikan sebagai evaluasi dan berkontribusi dalam pemikiran, apabila sebelum konferensi sibuk mencari celah dan keburukan orang lain. Bagaimana mungkin orang-orang seperti ini akan memperbaiki organisasi ke depan, kalau memimpin karakternya saja tidak mampu.

Aroma politik—tidak dimaknai sebagai politik praktis—uang baunya seperti sudah menyengat sekali. Untuk meloloskan ambisinya menguasai NU, bahkan tidak segan-segan menggunakan uang sebagai alat transaksi jual beli suara dengan pemilih—ranting dan MWC—hal lain yang lebih memprihatinkan terkadang terjadi pemutarbalikan fakta, dalam artian yang dilakukan oleh dirinya dituduhkan kepada orang lain.

Pentas kepentingan kekuasaan yang dilakukan dengan berbagai macam cara ini dipertontonkan kepada khalayak yang notabene masih awam dan masih melihat organisasi ini sebagai penopang nilai ideologi. Padahal, hal ini berpengaruh signifikan terhadap kepercayaan konstituen terhadap organisasi terutama kepada orang-orang yang ada di dalamnya.

Kalau sudah demikian, kebaikan apa yang bisa diharapkan oleh organisasi ini ke depan. Jika keterpilihan pemimpin diperebutkan sedemikan rupa, maka perpecahan pasti terjadi, dan perpecahan ini yang akan membuat organisasi ini tidak hidup meski tidak sampai mati. Dan jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka organisasi yang besar ini akan kehilangan ruh perjuangan para tokoh yang telah mendirikan NU disebabkan perbedaan tujuan dengan para pendiri. Jalan satu-satunya untuk menghindari terjadinya perpecahan itu tidak lain, bahwa semua elemen satu suara untuk tetap memertahankan tradisi NU. Di mana, NU tidak pernah mengenal perseteruan apa lagi sampai politik uang.

Penulis tidak mempunyai solusi dalam hal Ini—karena semua tahu cara mengatasinya—tapi menaruh harapan besar bagaimana model-model keumuman dalam politik praktis tidak pula terjadi dan mengikis tradisi NU yang identik dengan budaya pesantren. Mari, kita bersama turut serta untuk menyelamatkan perahu besar dengan penumpangnya yang begitu banyak ini, agar jangan sampai karam dan tidak bersisa sedikitpun buat anak cucu kita.

Ini semacam kegelisahan dari orang yang selama ini besar dalam lingkungan dan tradisi NU yang banyak memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai keagamaan.

Wallahu a’lam…

Penulis peduli NU.

Pamekasan, 05 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar