Minggu, 18 Maret 2018

Hati-hati dengan Pendukung Baru

Hati-hati dengan Pendukung Baru

Memang dunia apapun yang dihinggapi oleh pendatang baru yang tidak ahli di bidangnya cenderung kacau balau. Beberapa waktu yang lalu, tentu masih terkenang dalam ingatan kita bersama, ada seorang pendakwah perempuan di stasiun televisi swasta yang membawa ayat-ayat Alquran: dengan percaya diri menulis, membaca, dan menafsirkan ayat Alquran secara serampangan.

Atas perbuatan itu, ia harus diganjar dengan kecaman oleh beberapa pihak. Akhirnya, dia harus meminta maaf atas perbuatan itu. Tetapi dengan meminta maaf apakah semuanya selesai? Semuanya sudah terjadi, asumsi apapun di otak orang lain tidak bisa dikendalikan dengan permintaan maaf.

Dalam dunia keilmuan apapun, semuanya ada ahlinya. Misalnya: dalam bidang sosial, sosiolog adalah ahlinya; dalam bidang ekonomi, ekonom adalah ahlinya; dalam bidang politik, politikus adalah ahlinya; dalam bidang psikologi, psikolog adalah ahlinya; termasuk dalam bidang agama, maka ulama adalah ahlinya (ulama dalam konteks Indonesia), dan bidang yang lain. Sehingga dengan begitu, kita harus memahami klasifikasi dan kapasitas masing-masing.

“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya," demikian sebuah hadits berbunyi. Dalam hal apapun, jangan sampai dirasuki oleh orang-orang yang bukan ahlinya, biar keadaan tidak dibuat kacau dan hancur lebur.

Dalam konteks agama, kita harus memahami klasifikasi kapasitas seseorang. Ulama adalah orang yang ahli di bidang agama, beliau selain paham agama juga patuh dan tunduk terhadap segala nilai-nilai agama, pun menyebarkan sekaligus memberikan fatwa dan jalan keluar bagi persoalan keagamaan. Selebihnya ada masyarakat, mereka menjadi pelaku nilai agama atas petunjuk para ulama, ia tidak mempunyai kapasitas untuk menggali hukum-hukum secara langsung, karena keterbatasannya. Sehingga apabila ada masyarakat berfatwa, itu namanya salah tempat.

Nah, bagaimana dengan fenomena munculnya politisi dadakan seperti jamur di musim hujan seperti saat ini? Kalau politisi yang dimaksud adalah pendatang baru, yang tiba-tiba menjelma sebagai seorang yang ahli, ini berbahaya bagi berpolitikan tanah air. Karena orang menyangka, bahwa wajah politik itu tidak ramah lagi, beringas dan penuh caci maki. Di media sosial misalnya, yang heboh itu rata-rata pendatang baru yang belum ahli, sementara yang ahli sekelas ketua partai atau DPRD (yang tidak instan) bawaannya santai. Dan mereka semua dikhawatirkan sedang menertawakan kita.

Bagi sebagian ahli yang menganggapnya sebagai hiburan, bagi yang lain adalah sebuah perang. Itu bergantung keahlian masing-masing orang.

Politik itu sebenarnya adalah sistem pemerintahan. Sistem itu butuh penggerak, dan penggeraknya adalah manusia. Manusia yang menggerakkan itu butuh rekomendasi dari masyarakat. Sehingga untuk mendapatkan rekomendasi ini dibutuhkan strategi. Strategi ini yang kemudian dimaksud dengan politik oleh masyarakat kebanyakan. Yang lazim digunakan oleh sebagian orang strategi menjatuhkan.

Kesimpulannya, untuk membedakan politisi an sich dengan politisi imitasi, tinggal kita lihat seperti apa orang itu memperlakukan lawan politiknya. Dalam politik hanya butuh strategi yang baik, bukan fitnah dan caci maki. "Engkau yang lawan dalam politik, adalah teman dalam kemanusiaan." Naluri kita sama sebagai manusia, butuh sandang, pangan dan papan untuk anak dan istri.

Mari, tanam lagi toga-nya (baca: tanaman obat keluarga).

Wallahu a'lam!

Sampang, 16 Maret 2018

0 komentar:

Posting Komentar