Minggu, 17 Desember 2017

Kacamata Hablun Minannas

Kacamata Hablun Minannas

Sebelum berangkat, saya mendapati kacamata model punya Bung Karno, di dapur. Kacamata berwarna agak kekuningan di bagian kacanya yang sudah beret dan gagangnya patah-tetapi patahannya masih menggelantung-sebelah itu saya coba. Seketika itu saya merasa lebih ganteng dengan pakai kacamata. Karena gagangnya sudah betul-betul patah, pikiran saya terbersit untuk membeli di pasar kalau nanti sudah sampai di tempat tujuan. Tujuan saya ke bengkel, karena ipar saya telpon kalau tutup timing bel yang rusak akibat kecelakaan istri saya itu sudah dapat.

Sesampainya di bengkel, saya letakkan sepeda motor saya, kemudian bergegas ke pasar tempat ipar saya jualan. Karena tadi punya niatan untuk membeli kacamata, saya pamit sama kakak ipar saya. Lalu keliling pasar untuk mencari penjual kacamata. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkan penjual kacamata, saya mendekat untuk memastikan ada yang cocok atau tidak.

Setelah saya coba beberapa. Lalu saya mencoba mengakrabkan diri dengan sang penjual dengan bertanya, "Sampèan dàri kakdimmah?" (Anda dari mana?) Penjual itu menjawab dengan sangat ketus sekali, "Marah padhàddhih ghàlluh kacamatanah, marènah la atanyah!" (Mari jadikan dulu kacamatanya, habis ini pas tanya) maksudnya jadikan dulu traksaksi kacamata itu. Deng, deg deg deg, kepala seperti dipukul pakai galon dan hati berdegup kencang seperti orang yang sedang berpapasan dengan orang yang disukai. Saya merasa sangat malu sekali, seperti tidak dihargai sama orang itu.

Karena saya bersama ponaan. Dengan kesal saya bilang sama ponaan saya, "Dhulih kakèh nyarèh se kemmaah bhàih!" (Segera kamu cari yang mana saja) instruksi saya kepadanya. Dengan tanggap dia mengambil satu, "Nikah ghi?" (Ini ya?) Saya bilang, "Paca'en!" (Terserah!) Hingga beberapa kali dia menunjuk dan saya tetap bilang terserah. Hingga akhirnya dia menjatuhkan sebuah pilihan. Setelah kecamata didapatkan (yang cocoknya pada dia, bukan saya), saya bertanya, "Sanapah arghànah? (Berapa harganya?) Dia jawab, "Tiga puluh ribu". Ponaan saya langsung membayarnya dengan instruksi saya.

Setelah dibayar, tanpa pamit saya langsung pergi dari tempat itu. Dalam hati menggerutu, "sepertinya orang itu tidak akan bertahan lama berjualan". Ponaan yang tahu saya sedang kesal, dia cengar cengir. Akhirnya saya kembali ke toko kakak ipar saya, lalu saya bercerita tentang kejadian itu. Dia senyam senyum, lalu istrinya menyampaikan kalau dia itu masih famili jauhnya. Dan ternyata, orang itu sudah sepuluh kali nikah talak.

Untuk meringankan kemarahan saya, lalu saya cerita juga kepada istri saya. Dia pun bilang kalau orang itu memang sedikit kurang.

Kejadian ini semacam ujian bagi saya. Bagi orang yang sering bercerita panjang lebar tentang Hablun minannas (hubungan manusia dengan manusia, dalam sebuah kegiatan), saya sampaikan bahwa keberagaman karakter manusia adalah sebuah keniscayaan dan tidak perlu diseragamkan. Bahwa kemiskinan dan kekayaan; kebodohan dan kepandaian itu adalah cara Tuhan untuk menciptakan keseimbangan. Jika semuanya kaya, petani tidak ada, dan yang kaya makan apa; pun, jika semuanya bodoh, mau belajar sama siapa, dan siapa yang akan membuat kapal.

Bagi Tuhan yang menjadi standardisasi kabaikan itu bukan kekayaan atau kepandaian, tetapi ketakwaan. Dan ketakwaan itu sendiri tidak berbanding lurus dengan harta benda, dan mental seseorang. Tidak berarti orang kaya dianggap lebih baik sehingga lebih mudah masuk surga; pun, orang yang angkuh tidak membuat Tuhan takut untuk memasukkannnya ke dalam neraka. Meskipun begitu, kemarahan saya tidak kunjung reda dengan pemahaman itu.

Sehingga atas dasar itu kita harus menjaga keseimbangan dengan cara saling menghargai, termasuk menghargai dan memahami seseorang yang pemarah. Sebab, semua orang mempunyai latar belakang yang berbeda, sehingga melahirkan karakter yang berbeda pula. Kalau semuanya lemah lembut, tidak ada panglima perang. Kalau tidak harus penglima perang, setidaknya orang berkapasitas sebagai satpol PP. Agak garang begitu, biar orang nurut perintah.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 17 Desember 2017

0 komentar:

Posting Komentar