Rabu, 04 April 2018

Logika Terbalik Gotong Royong

Logika Terbalik Gotong Royong

Sambil duduk di teras rumah (bukan rumah sendiri) di sebuah perumahan; sembari menatap pagar rumah para tetangga yang masih rapat. Di depan halamannya ada banyak pepohonan kecil dan bunga-bunga, sesekali melambai memberikan tanda bahwa ia sedang diterpa angin, angin sepoi barangkali. Hanya pagi hari saja, saya melihat ada tanda-tanda kehidupan, karena mungkin harus memenuhi tanggungjawabnya, mereka keluar rumah dengan berseragam tanpa harus saling banyak bertutur sapa antara satu dengan lainnya, kemudian menghilang.

Suatu kesempatan, saya berpapasan dengan salah satu penghuni. Saya sempat bertanya perihal pekerjaannya, dia menjawab bahwa ia bekerja di sebuah Sekolah Dasar favorit di kota ini. Entah, saya tidak tahu favorit atau tidaknya diukur dari mana. Pada saat itu saya baru tahu bahwa ternyata orang itu adalah seorang guru. Seorang guru di sebuah sekolah favorit. Pasti terhormat.

Sesaat kemudian, tiba-tiba ada orang meletakkan sepeda persis di depan pagar rumah tempat saya duduk. Saya melihat penampilannya, sepertinya dia adalah seorang tukang rumah, yang mendapat pekerjaan rehab atau apalah nama lainnya, dia bekerja persis sebelah kanan rumah saya (baca: rumah kontrakan). Setelah meletakkan, dia bergegas meninggalkan sepedanya tanpa ada satu atau dua patahpun. Sebenarnya tidak harus menitip, selain tempatnya memang seperti jalan bebas dia juga bisa memantau sendiri sepedanya, karena posisi bekerja dengan sepedanya berdekatan.

Tidak tampak aneh, sekilas biasa saja. Pengalaman hidup saya di kampung yang membuatnya aneh. Saya melihat tidak seorang tetanggapun, yang pura-pura sekedar melihat atau menyapa tuan rumah yang sedang memperbaiki rumahnya. Semuanya seperti sedang tertidur sangat lelap sekali. Sedangkan di kampung, mendengar satu ketukan palu saja sudah banyak orang yang merapat ingin membantu, meski tidak bisa saya jelaskan radiusnya, yang jelas sangat jauh, meski sampai ke pojok kampung. Di sini, berjarak satu tembok saja sudah tak ada yang membantu. Perbedaan yang signifikan. Yaaa!!! Lain kota lain juga kampung.

Terbersit dalam benakku. Bukannya di antara orang-orang ini adalah orang yang biasa ke kampung memenuhi tugasnya mengajar tentang bagaimana bergotong royong. Tapi kenapa orang ini kalah dengan pintu pagarnya. Lantas, pelajaran PMP/PKn yang selama ini diajarkan siapa yang disuruh menerapkan. Ini yang barangkali disebut dengan mengajarkan dan tidak harus dikerjakan sendiri.

Kalau diperkotaan hal semacam itu harus terjadi, cukuplah itu terjadi di kota saja. Jangan biarkan kampung kita yang notabene masih kental dengan budaya gotong royong terkontaminasi dengan pola dan model kehidupan orang kota ini. Meski secara ekonomi orang kampung dituntut lebih banyak bekerja di luar, tapi jangan surutkan semangat gotong royong dalam bertetangga. Kita sadari bahwa kita adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.

Selamatkan kampung dari hedonisme.

Wallahu a'lam...

0 komentar:

Posting Komentar