Kamis, 19 April 2018

Nalé'éh Tabuk

Nalé'éh Tabuk

Masih terngiang di telinga ketika ibu melontarkan sebuah kalimat kepada saya. "Ngkok nalé'éh tabuk lambâk malé kakéh padâh bân oréng, cong," (Saya mengikat perut dulu agar kamu sama seperti orang lain, nak) kata ibu dalam suatu kesempatan. Tentu, yang dimaksud ibu dengan mengikat perut bukan melilitkan tali pada perut, akan tetapi maksudnya adalah menahan lapar; dan menahan diri untuk tidak mudah membeli sesuatu yang kurang penting.

"Sama seperti orang lain" yang ibu maksud, adalah bagaimana agar saya mendapatkan kebahagiaan seperti anak lain yang sebaya. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesedihan apabila fasilitas yang dimiliki tidak sama dengan yang lain miliki. Jika yang lain mempunyai mainan, orang tua saya berusaha bagaimana caranya saya juga punya. Meski akhirnya tidak sepenuhnya terpenuhi. Sebab prioritas tetap kebutuhan pokok sehari-hari.

Saya terlahir dari keluarga miskin. Seperti yang pernah disampaikan sebelumnya. Orang tua saya menarik becak untuk menghidupi kami. Sehingga untuk hal yang bersifat materi yang akan membahagiakan kami sebagai anaknya, ia menyisihkan sebagian dari uang belanjanya. Seperti ingin membelikan mainan, pakaian dan lainnya.

Ketika teringat dengan masa itu, saya juga menjadi ingat pada saya saat ini ketika sudah menjadi seorang ayah. Bagaimana saya mencoba untuk mengurangi sekaligus mengendalikan diri untuk berbelanja sesuatu yang bersifat sekunder. Bagaimana tidak, sebagai seorang ayah saya sudah punya tanggung jawab untuk menghidupi dan membahagiakan anak termasuk isteri di dalamnya. Maka dari itu harus sekuat tenaga dan mampu untuk memfasilitasi sejauh apa kebutuhannya. Meski di sisi lain juga harus "nalé'éh tabuk" sebagaimana orang tua saya dulu.

Nalé'éh tabuk waktu saya masih kecil dengan waktu usia sekolah beda lagi. Kalau waktu kecil lebih kepada mainan, kalau sudah usia sekolah sudah lebih kepada kebutuhan pendidikan. Kebutuhan pendidikan berupa seragam sekolah, buku, tas, sepatu, dan lainnya. Untuk kebutuhan itu agar saya tidak melas dan sama dengan lainnya. Meski akhirnya tetap saja ada cerita memilukan sekaligus memalukan pada masa itu.

Izinkan saya bercerita sedikit. Waktu saya masih kelas 3 (tiga) sekolah dasar (SD), buku saya yang tipis dan sekedar ada itu sudah habis. Untuk membeli tidak punya uang, sementara itu saya mendapatkan tugas dari guru. Pada saat itu, saya menemukan buku tanpa cover kurang lebih sepuluh lembar dengan bersteples dua di bagian tengah. Lalu, buku itu saya selipkan, di bagian tengah buku yang sudah habis itu.

Sial sekali, waktu saya kumpulkan ibu guru saya memanggil saya ke depan. Dengan nada yang keras dia bertanya kepada saya, "Ini buku apa?" Saya menjawab, "Buku pelajaran, bu." Lalu dengan marah dan nada yang keras sambil melempar buku saya ke atas dia mengatakan, "Buku pelajaran, kok seperti ini!" Pada saat dilempar, terbelahlah buku saya menjadi dua golongan, (yang satu mungkin masuk surga). Saya ketakutan sekali waktu itu. Sementara teman-teman menertawakan saya. Apa tidak melas?

Kisah yang lain ketika saya sakit perut di dalam kelas. Waktu itu saya takut untuk meminta izin keluar, sementara perut semakin menjadi-jadi. Karena perut semakin tidak karuan, saya paksakan untuk permisi kepada guru saya. Malang sekali, pada saat saya hendak berdiri dari tempat duduk, bersama dengan itu sesuatu keluar dari balik pantat dan berhasil membasahi tempat duduk saya. Teman-teman yang tahu tentang kejadian itu sampai sekarang masih bernostalgia dengan kata, Musannan acéré'an. Sungguh memalukan sekali.

Semoga untuk kehidupan ini, Tuhan menganugerahkan kepada saya rejeki yang halal, agar tidak ada kisah pilu kepada Musannan Junior di masa depan.

Pamekasan, 19 April 2018

0 komentar:

Posting Komentar