Senin, 02 April 2018

Manusia Kelas Dua yang Malang

Manusia Kelas Dua yang Malang

Ada percakapan seperti ini. "Haji... itu famili kamu ya?" Tanya seseorang kepada temannya. "Tidak! Dia bukan famili saya, karena saya masih belum kaya," jawabnya. Dari percakapan itu, saya hanya sedikit menyimpulkan, ada indikasi munculnya kelas sosial dalam kehidupan ini. Kelas satu yang diwakili manusia dengan keberlimpahan harta dan; kelas dua yang diwakili oleh manusia minim harta. Ketimpangan harta ini yang seringkali dijadikan alasan untuk saling menjauh satu sama lain.

Sebagian orang masih menganggap bahwa kekayaan sebagai penghalang untuk membangun silaturrahim dan memutuskan tali persaudaraan. Sedemikian ganaskah materi terhadap kehidupan sosial? Jawabannya, mungkin iya. Hal itu bukan tanpa alasan. Sebab, jika orang miskin silaturrahim pada orang kaya, sering muncul anggapan bahwa si miskin datang untuk meminta. Bahkan, datang ingin membantu sekalipun seperti orang yang ingin mencari muka. Si miskin yang serba salah.

Di sisi yang berbeda ada sebagian orang bekerja keras untuk mendapatkan pengakuan dari banyak orang. Menyisir orang miskin dari kampung ke kampung, membantu orang yang tidak mampu berobat. Berusaha membangun silaturrahim dengan banyak orang tanpa batas dan status sosial. Tetapi, tetap saja si miskin sebagai objek (sasaran)--terlepas adanya pemberdayaan atau tidak. Perlakuan itu tetap melahirkan anggapan sebelah mata bagi kaum papa ini.

Apa yang salah dengan orang miskin dan apa yang benar dengan orang kaya? Kaya dan miskin tidak pernah menggeser eksistensi sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan sebagai penghuni dan penjaga bumi. Harta hanya masalah beban amanah yang lebih besar untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melestarikan spesies yang bernama manusia. Bukan malah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan karena keberlimpahan harta. Kesempatan lebih banyak untuk mengabdi lebih banyak kepada umat manusia harusnya tidak disia-siakan.

Perbedaan status sosial hanya sebagai wasilah dari Tuhan untuk menjaga keberimbangan umat manusia. Bagi Tuhan, ukuran baik dan buruk manusia bukan secara dhahiriah, tetapi sampai pada kedalaman jiwa yang tak mampu diraba dan diterka oleh manusia. Jangan sampai harta titipan itu melupakan diri kita untuk tetap menjaga tali persaudaraan diantara kita.

Wallahu a'lam!

Pamekasan, 03 April 2017

0 komentar:

Posting Komentar